Makassar – Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sulawesi Selatan (KPID Sulsel) melakukan Roadshow Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) ke lembaga penyiaran. Kegiatan itu diawali dengan kunjungan ke Fajar TV, Kamis (22/8/2019).
Komisioner KPID Sulsel, Herwanita dan Riswansyah Muchsin menyampaikan beberapa hal terkait klarifikasi dugaan pelanggaran yang menjadi temuan tim monitoring KPID Sulsel, penguatan P3SPS untuk SDM Fajar TV dan diskusi mendalam mengenai kemungkinan regulasi yang bisa mengakomodir keberlangsungan lembaga penyiaran lokal di Sulawesi Selatan.
“Roadshow P3SPS ini sebenarnya pendekatan preventif dari KPID untuk mengurangi potensi pelanggaran konten siaran di lembaga penyiaran. Selain bagian dari klarifikasi, kami juga memberikan penguatan terkait P3SPS bagi SDM lembaga penyiaran,” kata Herwanita.
Dalam kunjungan ini juga membahas terkait kondisi industri TV lokal di Sulawesi Selatan, termasuk munculnya perbincangan terkait bagaimana konten TV lokal bisa sampai ke daerah melalui channel TV berlangganan secara reguler dan gratis.
“Di beberapa kesempatan, kami sudah sering menyampaikan terkait kemungkinan menginisiasi Perda Penyiaran Sulsel yang bisa mengakomodir secara komprehensif permasalahan penyiaran di Sulsel, termasuk keberlangsungan TV Lokal, lembaga penyiaran berlangganan (TV Kabel) dan TV lokal berjaringan (SSJ),” kata Riswansyah. Red dari berbagai sumber
Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, memberi sambutan sebelum peluncuran aplikasi e-Penyiaran di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan, Banten, Kamis (22/8/2019).
Tangerang Selatan -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) meluncurkan aplikasi permohonan izin penyiaran secara mobile atau e-Penyiaran “Sameday Service and Mobile Version”. Aplikasi ini mempermudah pemohon untuk mendapatkan izin penyelenggaraan penyiaran secara efisien, cepat dan transparan.
Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, mengatakan pembuatan aplikasi ini tak lepas dari upaya bersama KPI dan Kemenkominfo dalam memberikan pelayanan perizinan yang selaras dengan visi pemerintah yakni percepatan perizinan dan sejalan perkembangan zaman. “Kolaborasi ini telah menghasilkan sejumlah aturan antara lain Permen Kominfo dan Peraturan KPI tentang OSS yang terbit beberapa waktu lalu,” katanya di depan tamu yang hadir dalam peluncuran aplikasi yang berlangsung di Indonesia Convention Exhibition (ICE), Tangerang Selatan, Banten, Kamis (22/8/2019).
Agung menilai, aplikasi pelayanan baru perizinan penyiaran makin mendongkrak nilai indeks kualitas pelayanan di Indonesia di Asia Tenggara. Menurutnya, dalam lima tahun ini perkembangan pelayanan publik Indonesia semakin meningkat.
“Pada 2014, indeks internasional menyatakan posisi kita di atas 100. Pada tahun berikutnya meningkat terus pada angka 90. Sekarang sudah dibawah 80. Diharapkan dengan aplikasi e-Penyiaran ini, indeks kualitas kita akan meningkat dan menyamai Thailand, Singapura dan Malaysia,” tuturnya.
Perkembangan teknologi mau tak mau harus terintegrasi dengan e-perizinan atau proses perizinan secara online. Ke depan akan berkembang teknologi baru 5 G dan ini harus dikolaborasikan. “Teknologi akan mengintregasikan banyak hal karena ini memungkinan. Ke depan saya makin percaya proses pelayanan perizinan makin efektif dan efisien,” tandas Agung.
Direktur Jenderal Penyelenggaraaan Pos dan Informatik Kemkominfo, Ahmad M. Ramli, mengatakan sistem ini berbeda dengan sistem pelayanan perizinan yang lain karena penyiaran memiliki karakter sendiri yakni adanya kemitraan dengan KPI. Kemitraan itu merupakan amanat Undang-undang Penyiaran.
“Karena itu, kami mengkolaborasinya menjadi satu model perizinan. Untuk penyiaran ini, butuh koloborasi dan harmonisasi antara Kementerian Kominfo dengan KPI serta Komisi Penyiaran Indonesia Daerah,” tambahnya.
Menurut Ramli, persoalan perizinan harus dibereskan dari sisi administrasinya. Jika administrasi telah tertata dengan benar maka masyarakat akan lebih mudah memperoleh pelayanan selain akan meminimalisir penyimpangan dalam praktik pelayanan perizinan.
“Kita bikin aturan dan kita pangkas birokrasi yang tidak efisien dan tidak sehat. Tetapi kita juga harus ciptakan model baru termasuk perizinan untuk bisa mendapatkan efisiensi yang lebih tinggi dan kualitas yang lebih baik. Saya selalu mengingatkan, izin itu harus identik dengan kualitas yang baik dan juga investasi yang lebih kondusif sehingga ke depan kita bisa mendapatkan satu sistem perizinan yang memberikan peluang yang sangat baik untuk para pelaku maupun masyarakat,” papar Dirjen PPI.
Dalam kesempatan itu, Ramli mengungkapkan, perkembangan teknologi baru seperti munculnya fenomena Mall Radio harus jadi bahasan dalam pembuatan regulasi penyiaran mendatang. Pasalnya, melalui akses streaming semua radio bisa diakses kapanpun dan di manapun yang nanti akan mendisrupsi aturan sebelumnya. “Semua siaran radio berjaringan dan komunitas dapat menjadi nasional. Ini menjadi bagian penting untuk di bahas dalam revisi UU Penyiaran,” jelasnya.
Sementara itu, Koordinator bidang PS2P KPI Pusat, Mohamad Reza, menyatakan dukungannya dan siap bekerjasama dengan Kemkominfo. "Kami akan mendukung dan bekerjasama agar aplikasi e-penyiaran sameday service and mobile version dapat tersosialisasikan ke daerah-daerah," katanya.
Saat ini, lanjut Reza, pihaknya banyak menerima aduan dari masyarakat lewat media online terkait perizinan. Dia mengusulkan akan ada ruang khusus untuk pengaduan, baik itu berkaitan dengan isi siaran maupun masalah perizinan. "Banyak lembaga penyiaran dan KPID yang menanyakan terkait dengan aplikasi e-penyiaran ini. Dengan adanya ruang khusus menerima pengaduan dari masyarakat, kita berharap masyarakat dapat lebih terlayani dengan lebih baik," tandasnya.
Dalam peluncuran aplikasi tersebut turut hadir Komisioner KPI Pusat, Aswar Hasan , Direktur Penyiaran Kemkominfo, Geryantika Kurnia, Komisioner KPID dari sejumlah Provinsi, Asosiasi Penyiaran dan perwakilan lembaga penyiaran. ***
Komitmen Awasi Televisi dan Radio, KPI Ajak Publik Rumuskan Aturan Yang Adil di Media Baru
Jakarta - Menyikapi wacana yang berkembang terkait pengawasan media baru seperti Netflix, Youtube dan sebagainya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) telah menerima berbagai respon, masukan dan juga aspirasi dari beberapa kelompok masyarakat. Diantaranya Koalisi Anak Madani Indonesia, Lembaga Perlindungan Anak Indonesia (LPAI), Sahabat Yatim Indonesia (SAYATI), Forum Lestari Hutanku, dan Sahabat Anak Indonesia (SAI). Termasuk juga masukan dari warganet yang menyalurkan aspirasi melalui kanal Change.org. Untuk itu KPI menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya atas respon yang disampaikan publik terhadap wacana pengawasan dan pengaturan media baru ini.
Sebagai wujud peran serta masyarakat yang berfungsi mewadahi aspirasi serta mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran, KPI berkomitmen untuk bekerja berlandaskan pada Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Diantaranya dengan melakukan pengawasan optimal terhadap isi dari siaran televisi dan radio, termasuk melakukan revisi terhadap Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), serta penegakan sanksi terhadap pelanggaran aturan tersebut.
Adapun dengan dinamika perkembangan media baru melalui sistem over the top (OTT) yang terjadi saat ini, KPI menilai tetap membutuhkan perhatian dari semua pihak. Karenanya KPI akan menjadikan wacana ini sebagai bahan kajian untuk pengambilan kebijakan. Selain itu, KPI pun mengajak seluruh pihak untuk ikut menyumbangkan gagasan dalam pengaturan media baru ini. KPI berharap, dengan adanya kajian komprehensif dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan, akan menghasilkan pengaturan yang adil terhadap media baru. Sehingga keberadaan media baru pun ikut memberikan informasi yang berkualitas, serta kontribusi yang signifikan bagi kesejahteraan masyarakat.
Jakarta – Inisiatif Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk melakukan pengawasan terhadap media baru diapresiasi salah satu anggota Dewan Pers, Agus Sudibyo. Agus yang juga Ketua Komisi Hubungan Antar Lembaga & Luar Negeri Dewan Pers mengatakan, regulasi media baru seperti Youtube, Netflix, IGTV ataupun Facebook TV memang sangat dibutuhkan di era digital saat ini. Meski demikian, Agus menilai inisiatif terkait pengawasan media baru ini haruslah efektif agar tidak menimbulkan fireback kepada KPI sebagai sebuah institusi negara. Hal tersebut disampaikan Agus, saat diwawancara redaksi www.kpi.go.id, di kantornya, (13/8).
Agus memaparkan, media baru saat ini merupakan medium yang sangat luas dan kompleks sehingga membutuhkan peraturan yang komprehensif dan multilayer. Menurutnya yang diatur tidak hanya konten di media baru. Tapi juga ada beberapa aspek lain yang patut mendapat perhatian serus. Diantaranya kedudukan media baru sebagai korporasi, pajak, hak cipta serta penggunaan user behavioral data. Di beberapa negara lain, menurut Agus, masalah media baru telah mendapat perhatian serius. Sedankan di Indonesia, masih belum ada aturannya.
Terkait dengan usulan mewajibkan media baru berkantor di Indonesia, Agus melihatnya sebagai usaha mengintegrasikan perusahaan media sosial ini sebagai bagian subyek hukum di Indonesia. “Biar mereka tidak stateless!”, ujarnya. Mereka memang harus dimasukkan, diinkorporasikan dalam hukum Indonesia. Artinya, media baru ini bisa melakukan bisnis, namun juga dengan responsibility atau tanggung jawab yang harus dijalani.
Pada prinsipnya Agus memandang pengaturan media baru sebagai suatu hal yang urgent. Khusus tentang Netflix dan Youtube, Agus sepakat bahwa terdapat unsur penyiaran pada keduanya. “Ada kemungkinan praktek Netflix dan Youtube merupakan praktek broadcasting meskipun menggunakan teknologi internet”, ujarnya. Hal ini memang suatu area yang harus diatur, dengan tetap didasari studi yang komprehensif dan jangan terburu-buru. Dia menilai pembuatan aturan ini memerlukan keterlibatan berbagai pihak agar dapat menghasilkan aturan yang lebih komperensif serta mengakomodir berbagai kepentingan. “Guna menciptakan regulasi yang tepat maka para stekeholder harus duduk bersama untuk merumuskan dan menyusunnya”, pungkas Agus.
Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan langsung jawaban yang ditunggu kalangan warganet terkait petisi #KPIJanganUrusinNetflix ke penggagas petisi, change.org dan remotivi di kantor KPI Pusat, Rabu (21/8/2019). Jawaban ini merupakan janji KPI yang disampaikan saat menerima petisi tersebut, Rabu pekan lalu.
Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, saat menyampaikan jawaban tersebut mengatakan, pihaknya menyadari memang belum ada kewenangan KPI untuk melakukan pengawasan media baru karena tidak diatur dalam Undang-undang No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran.
Menurutnya, wacana pengawasan media baru ini merupakan bentuk perhatian KPI terhadap kedaulatan bangsa, perlindungan masyarakat, adanya potensi ekonomi seperti pajak untuk negara dan keinginan membangun kesadaran publik terhadap media tersebut.
“Karena itu, kami membuka diri atas semua masukan masyarakat terkait wacana pengawasan media baru. Masukan ini akan jadi kajian mendalam sebelum menghasilkan kebijakan yang dilandasi argumentasi yang benar dan membangun. Karena itu, kami menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas masukan ini,” kata Irsal Ambia yang didampingi Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo.
Irsal juga menegaskan, kritikan publik terhadap KPI akan menjadi pelecut untuk bekerja lebih keras dan sebaik mungkin. “Kita berkomitmen untuk menjadikan KPI lebih baik lagi,” tuturnya di depan awak media yang ikut menyaksikan pertemuan tersebut.
Sebelumnya, perwakilan dari Remotivi, Roy Thaniago, menyampaikan sejumlah masukan terhadap KPI antara lain pengawasan iklan yang dinilai sudah melebihi 20% dan komposisi produksi tayangan asing dan lokal di lembaga penyiaran khususnya televisi.
Sementara itu, Penggagas Petisi #KPIJanganUrusinNetflix, Dara Nasution, meminta KPI lebih banyak mengadakan literasi media secara aktif. Pasalnya, apa yang diperhatikan bukan aktivitasnya tapi medianya. ***