Komunitas Anak Indigo dan Indigo and More saat menyampaikan keberatan terhadap program siaran “Karma” ANTV di KPI Pusat, Selasa (22/5/2018). Foto by Agung Rachmadyansah

 

Jakarta --  Komunitas Anak Indigo dan Indigo and More menyampaikan keberatan terhadap program siaran “Karma” di ANTV. Penggunaan orang indigo (orang dengan kemampuan spesial atau tidak biasa hingga supranatural) dalam program yang ditayangkan setiap hari itu dapat membentuk stigma publik yang dianggap akan mengganggu mereka.

“Kekhawatiran kami yang pertama adalah acara ini dapat membentuk framing. Akan muncul pertanyaan dari masyarakat kepada kami. Bisa lihat ya! Ini kan mengganggu kami karena masyarakat menilai kami seperti paranormal,” kata Rizman Gumilang, Ketua Komunitas Anak Indigo saat beraudiensi dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Kantor KPI Pusat, Selasa (22/5/2018). 

Menurut Rizman, awalnya mereka tidak tertarik dengan tayangan program “Karma”. Tapi dalam salah satu episode program acara tersebut, terdapat siaran yang membuat mereka kurang nyaman perihal buka aib masa lalu orang lain. “Kok aib mudah diumbar. Kami anggap ini tidak pantas dilakukan, apalagi oleh media penyiaran. Apalagi ini ada bumbu-bumbu mistisnya,” keluhnya di depan Komisioner KPI Pusat yang hadir.

Rizman menjelaskan, tidak semua orang indigo memiliki kemampuan melihat sesuatu yang tak kasat mata, mampu meramal masa depan serta masa lalu, dan membaca angka. Orang indigo terdiri dari berbagai macam kemampuan. “Adapun pendekatan yang dilakukan komunitas kami dengan cara ilmu pengetahuan. Kami ingin meliterasi hal itu,” katanya.

Orang yang memiliki kemampuan ini, selain karunia Tuhan, bisa diperoleh dari keturunan atau dengan pencarian. “Biasanya anak-anak indigo sangat sensitif baik dengan udara, cuaca atau bencana alam. Mereka bisa merasakan pusing jika ada perubahan aura. Tapi tidak semuanya bisa melihat dan itu tergantung takdirnya,” kata Rasti salah satu founder Indigo and More. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, menyampaikan apesiasi atas masukan dari Komunitas Anak Indigo. Menurutnya, sikap kritis pada media harus ditumbuhkan. “Setiap masukan dari publik akan kami sampaikan ke lembaga penyiaran agar mereka dapat berkreasi dan kreatif lagi,” katanya.

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini mengatakan, pihaknya butuh masukan dari masyarakat bagaimana membuat format acara dengan muatan nilai positif. “Kami sangat berharap adanya masukan-masukan yang positif untuk pengembangan kualitas tayangan kita,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, meminta Komunitas Anak Indigo untuk terlibat meliterasi masyarakat agar menonton tayangan yang baik. Audiensi itu juga dihadiri Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono. ***

 

FGD tentang Anugerah Penyiaran Ramah Anak di KPI Pusat, Selasa (22/5/2018).

 

Jakarta -- Anugerah Penyiaran Ramah Anak diharapkan memicu munculnya program-program acara untuk anak yang bermutu. Harapan ini mencuat seiring makin minimnya program acara acara di layar kaca televisi di tanah air.

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Dewi Setyarini, yang menyampaikan harapan tersebut mengatakan, program acara khusus anak yang berkualitas merupakan hak absolut bagi anak. Tayangan yang diproduksi dengan tujuan untuk dinikmati anak-anak harus mengandung nilai edukasi dan pesan moral positif. 

“Di dalam Pasal 72 ayat 5 Undang-undang Perlindungan Anak tentang hak anak dalam media disebutkan bahwa media berperan dalam melakukan penyebarluasan informasi dan materi edukasi yang bermanfaat dari aspek sosial,budaya, pendidikan, agama, dan kesehatan anak dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak,” kata Dewi dalam acara Fokus Grup Diskusi (FGD) tentang Anugerah Penyiaran Anak di Kantor KPI Pusat, Selasa (22/5/2018).

Menurut Komisioner bidang Isi Siaran ini, keberadaan program acara anak di TV saat ini tidak sebanding dengan jumlah anak di Indonesia yang mencapai angka 87 juta jiwa. Jumlah tersebut sepertiga dari populasi penduduk di Indonesia.  “Penetrasi penonton televisi untuk kategori anak-anak atau generasi Z pun terbilang tinggi hingga 98 persen. Dan mereka menghabiskan waktu cukup lama menonton TV, 5 jam 18 menit,” katanya.

Dewi menjelaskan, banyaknya tayangan anak bermutu di TV akan meminimalisir anak menonton tayangan yang bukan peruntukan mereka. Namun, untuk mewujudkan tayangan yang berkualitas erat kaitan dengan adanya dukungan kebijakan atau regulasi yang adil, kesadaran dan sumber daya manusia di level produksi, pola konsumsi publik dan teknologi. 

Hasil kajian dari Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA) yang disampaikan Bobby Guntarto dalam FGD itu menunjukkan, jumlah program anak pada Mei 2018 hanya 40 program. Padahal pada Mei 2009 jumlah program anak ada 68 program, sedangkan pada Mei 2014 sebanyak 48 program.

Bobby mengatakan, memang kebutuhan membuat program anak yang bermutu menjadi prioritas. Menurutnya, perlu dibuat regulasi baru untuk lembaga penyiaran agar wajib menayangkan program acara yang bermutu. “Ini dapat menjadi penilaian dalam evaluasi perpanjangan izin penyiaran,” usulnya ke KPI Pusat.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Margaret Aliyatul Maimunnah, mengatakan potret penyiaran di dalam negeri belum sepenuhnya ramah anak. Menurutnya, banyak tayangan yang masih berkutat pada adegan kekerasan, mistis dan tidak mendidik. 

Bahkan saat ini, fenomena perundungan atau bullying banyak digambarkan di televisi. Hal ini menjadikan contoh anak-anak atau remaja untuk melakukan perundungan tersebut. “Belum lagi sekarang televisi tayangkan adegan percintaan, pacaran dan hal lainnya yang dianggap tabu pada zaman dulu. Sekarang ini justru ditayangkan di televisi,” keluh Margaret. 

Upaya untuk menekan dampak dari buruknya tayangan adalah dengan mendorong lembaga penyiaran dan rumah produksi membuat tayangan anak yang berkualitas. Pasalnya, anak sekarang makin tidak punya ruang bagi mereka menikmati tayangannya. “Kita harus mendorong ini dan meminta memasukan nilai-nilai positif seperti gotong royong, nasionalisme, toleransi dan value lain dalam tayangan tersebut,” papar Margaret. ***

 

KPID DKI Jakarta melakukan kunjungan ke Stasiun ANTV untuk bersilaturahim.

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi DKI Jakarta meminta agar stasiun televisi, termasuk ANTV, konsisten menyiarkan konten-konten lokal Jakarta dalam programnya. "Karena itu stasiun televisi yang bersiaran di Jakarta tidak boleh menganggap sepele konten lokal," ujar Wakil Ketua KPID DKI Jakarta Rizky Wahyuni saat berkunjung ke kantor ANTV di Jakarta, Senin malam (21/5/2018).

Tujuh komisioner KPID DKI Jakarta melakukan kunjungan ke Stasiun ANTV untuk bersilaturahim dan memperkenalkan diri pasca pelantikan mereka pada 15 Februari 2018 lalu oleh Gubernur Anies Rasyid Baswedan.

Rizky menegaskan, tayangan konten lokal dalam program siaran televisi wajib dipatuhi oleh setiap lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio. "Dalam Sistem Siaran Jaringan, konten lokal wajib disiarkan sebanyak 10 persen dari keseluruhan program," lanjut Rizky.

Menurut Rizky, hal-hal baik yang bermanfaat untuk masyarakat yang sudah dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga merupakan konten lokal.

Sementara itu, Ketua KPID DKI Kawiyan menambahkan, konten lokal yang bisa digali dari masyarakat Jakarta yang berbasis dari kebudayaan Betawi sangat banyak. Jika lembaga penyiaran memiliki kemauan tinggi dan kreativitas akan banyak bisa diolah konten lokal yang berasal dari masyarakat Jakarta dan Betawi. 

"Tradisi mengaji atau belajar agama bagi anak-anak Betawi sesudah shalat magrib, tradisi silaturahmi, dan bahasa Betawi yang egaliter merupakan beberapa contoh konten lokal yang dapat memperkaya khasanah program pertelevisian dan radio," papar Kawiyan.

Ia melanjutkan, akomodasi konten lokal tidah harus dalam satu program acara tersendiri tetapi bisa diselipkan dalam program-program lain. "Misalnya kita mengangkat kuliner Betawi atau busana muslim khas Betawi bisa diselipkan dalam program berita atau talkshow," papar Kawiyan.

Risya Maharmilla, Chief Humman Resources ANTV mengaku sudah cukup banyak menayangkan banyak konten. Namun demikian ia berjanji akan terus meningkatkan baik porsi maupun kualitasnya. Red dari KPID DKI Jakarta

 

 

Manila -- Semakin banyak masyarakat Filipina beralih ke teknologi digital dalam menonton televisi. Menurut survei terbaru yang dilakukan oleh Pulse Asia, tercatat lebih dari separuh jumlah total rumah tangga di ibukota Filipina saat ini menonton televisi digital melalui set-top box.

Menurut data Pulse Asia, 51 persen rumah tangga di Ibu kota Filipina saat ini memiliki set-top box.Sementara  secara keseluruhan 16 persen rumah tangga di wilayah Filipina sekarang menonton acara televisi favorit mereka menggunakan teknologi digital.

Pemerintah memulai wacana menuju televisi digital pada tahun 2013, ketika National Telecommunications Commission memilih standar Jepang dibandingkan standar Eropa karena faktor biaya yang lebih murah serta adanya built-in warning system.

National Telecommunications Commission mengatakan televisi analog akan dihentikan secara total pada 2023 yang diprediksi  95 persen masyarakat filipina telah beralih menonton siaran TV digital.

Terdapat dua perusahaan yang bersaing dalam peralihan sistem siaran ini, salah satunya adalah ABS-CBN Corp yang mulai menawarkan produk televisi digital dalam hal ini STB kepada masyarakat sejak tahun 2015 dengan harga P1,500 perbuah.

Sedangkan GMA Network Inc menawarakan produk mereka sendiri yaitu sebuah Perangkat berbentuk ponsel atau handphone yang dapat mengkonversi transmisi TV analog ke digital. Red dari businessmirror.com

 

Ketua dan Anggota Komisi I DPRD Provinsi Sulawesi Utara (Sulut) melakukan melihat secara langsung aktifitas pemantauan isi siaran di Kantor KPI Pusat, Jumat (21/5/2-18). (Foto by Agung Rachmadyansah)

 

Jakarta --  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah memiliki fungsi penting dalam pengawasan isi siaran dan penyelenggaraan penyiaran di daerah. Apabila lembaga ini mengalami kevakuman atau kekosongan, hal ini akan menyebabkan gangguan dalam menjalankan dua fungsi tersebut. 

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengibaratkan fungsi pengawasan dan penyelenggaraan penyiaran KPID merupakan urat nadi dari pengembangan penyiaran di daerah. Berhentinya pengawasan isi siaran di daerah akan berdampak terhadap perlindungan masyarakat dari siaran yang memiliki efek buruk.

“Pengawasan siaran konten lokal dari lembaga penyiaran berjaringan maksimal 20% akhirnya ikut tidak berfungsi. Hal ini kami khawatirkan akan memicu tayangan disiarkan secara bebas. Hal lain yang tak kalah pentingnya adalah pengawasan siaran politik Pemilukada 2018 tidak ada yang mengawasi,” kata Hardly di depan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRP) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), yang berkujung ke KPI Pusat, Jumat (18/5/2018).

Kemudian, fungsi penyelenggaraan penyiaran atau permohonan perizinan penyiaran yang biasa dilakukan KPID jadi tidak aktif. Ini akan menghambat pertumbuhan industri penyiaran di daerah. “Akibat kekosongan KPID membuat lambat proses perizinan penyiaran dan terbengkalainya kehadiran lembaga penyiaran baru yang ingin berusaha di bidang ini,” jelas Hardly.

Menurut Hardly, DPRD harus memiliki kepedulian dengan kondisi KPID yang mengalami masalah dengan kelembagaan dan anggaran. “Kami titip KPID Sulut dan berharap dukungan penuh dari DPRD untuk tetap menjalankan kesinambungan lembaga ini,” katanya.

Pernyataan senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono. Menurutnya, pengawasan siaran di daerah harus terus berjalan karena ini merupakan kewajiban dari KPID. “Marwah KPID adalah menjaga marwah penyiaran di daerah dan isi siaran tidak boleh dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan,” jelasnya. 

Anggota Komisi I DPRD Provins Sulut, Netty Agnes Pantow, menyatakan pihaknya selalu mendukung program KPID. Namun, karena keterbatasan anggaran dan ketentuan yang mengantar penganggaran membuat mereka tidak banyak berbuat banyak. 

“Kami usulkan agar KPI Pusat memperjuangkan hal ini ke DPR RI terkait kelembagaan dan penganggaran KPID,” katanya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.