Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di Hotel Borobudur, Rabu (30/5/2018), menghadirkan narasumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. (Foto by Agung Rachmadyansah KPI)

 

Jakarta -- Media penyiaran diminta bijak dan arif dalam melakukan peliputan dan penyiaran terkait kejadian serta kasus hukum soal terorisme. Permintaan tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di salah satu Hotel di Jakarta Pusat, Rabu (30/5/2018).

Diskusi yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jelang buka puasa itu menghadirkan narasumber dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. 

Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, media jangan hanya berpikir bagaimana cara menyampaikan informasi tapi juga menaksir dampak yang akan ditimbulkan jika informasi itu disampaikan ke publik. “Kita tidak bisa menampilkan bahan berita apa adanya atau sederhana,” katanya di depan peserta yang sebagian besar perwakilan lembaga penyiaran dan wartawan.

Menurutnya, semangat media untuk menyajikan informasi mengenai terorisme dikhawatirkan justru memunculkan semangat baru atau membangkit sel-sel tidur terorisme. “Tanpa mengurangi kebebasan untuk memberi informasi, kita punya rujukan dan kearifan, bahwa setiap fakta tidak bisa disiarkan secara telanjang.Yang baik adalah harus ada proses edit, verifikasi dan pertimbangan lainnya,” jelas Mayong.   

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung, Mohamad Rum, mengatakan media harus memiliki kearifan dalam menyiarkan kasus terorisme terutama menyangkut persidangan kasus ini. “Memang susah hakim melarang peliputan tapi semuanya kembali ke medianya. Kebijaksanaan media menjadi harapan demi kepentingan publik dan nasional serta penegakan hukum,” jelasnya.

Sementara, Kepala Biro Humas Mahkamah Agung, Abdullah, menyampaikan siaran langsung perkara terorisme dapat mengancam keamanan perangkat pengadilan karena data identitasnya terutama hakim jadi terbuka. Selain itu, jalannya sidang yang disiarkan “live” dapat mempengaruhi keterangan para saksi di depan hakim.

“Mestinya saksi yang akan dimintai keterangan sesudah saksi sebelumnya tidak boleh mengetahui apa-apa yang disampaikan. Ini akan menambah wawasan kepada saksi berikutnya dan akan sulit dipertanggungjawabkan keterangannya karena hakim itu membutuhkan keterangan yang original,” kata Abdullah.

Menurutnya, sebaiknya siaran “live” dari ruang sidang dibatasi demi menjaga kemurnian keterangan saksi untuk mengadili terdakwa. Media memiliki andil besar menyelamatkan banyak orang dengan tidak menyiarkan hal ini. 

Ketua Dewan Pers, Yoseph Adhi Prasetyo, juga mengingatkan media untuk mentaati aturan etika peliputan sidang di sebuah pengadilan. Dia mencontohkan persidangan kasusnya Jesica yang digelar di Pengadilan Negeri Pusat beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, semua media ingin meliput jalannya sidang yesica secara langsung, dimana kasus ini dianggap agak unik, karena Jaksa penuntut Umum  tidak bisa menghadirkan alat bukti yang sah, sehingga vonis banyak berdasarkan dari saksi ahli. 

Dewan pers juga ikut mengeluarkan pedoman peliputan terorisme maupun peliputan sidang lainnya yang dapat menjadi pegangan insan pers. Menurut Stanley, panggilan akrabnya, lembaga penyiaran punya kewajiban menyiarkan berita yang akurat di tengah masyarakat dengan tetap mengedepankan prinsip jurnalistik dan regulasi penyiaran yang ada. “Media memang harus membuat info berdasarkan fakta tapi jangan sampai mengabarkan ketakutan,” katanya.

Kepala Biro Multimedia Polri, Brigjen Pol. Rikwanto mengatakan, media harus berhati hati dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme. Dia mengkhawatirkan informasi yang tanpa pertimbangan matang akan memicu perkembangan terorisme. Media juga harus berperan memisahkan konteks agama dan tindakan terorisme. “Perbuatannya yang harus dihukum. Labelisasinya di buang,” katanya. ***

 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak 2562 untuk umat Budha di Indonesia dan Seluruh Dunia. ***

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat berfoto bersana dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah  (DPD)  Republik Indonesia asal Bali, Dr Shri I Gusti Ngurah  Arya Wedhakarna Suyasa III dengan pihak SCTV usai media di Kantor KPI Pusat.

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) melakukan mediasi  antara anggota Dewan Perwakilan Daerah  (DPD)  Republik Indonesia asal Bali, Dr Shri I Gusti Ngurah  Arya Wedhakarna Suyasa III dengan pihak SCTV. Dalam mediasi yang dipimpin oleh Koordinator bidang pengawasan isi siaran KPI Pusat, Hardly Stefano ini, Arya menyampaikan adanya protes dan keberatan dari masyarakat Hindu Bali atas munculnya simbol-simbol agama Hindu yang tidak sesuai ketentuan, pada  program siaran Grand Master Asia di SCTV.

Arya menjelaskan bahwasanya tari kecak masuk dalam kategori tarian sakral, mengingat filosofi tarian tersebut diambil dari kitab suci Ramayana. Konsekuensi dari hal tersebut, maka untuk menampilkan tari kecak, ada pakem-pakem yang harus ditaati, termasuk dilakukannya ritual-ritual tertentu sesuai dengan ajaran agama Hindu. Visualisasi tari kecak pada program Grand Master Asia yang tayang pada 22 April 2018 ini, menurut Arya, menyalahi ketentuan tersebut.  Pelanggaran ini, menurutnya, mengundang protes tidak saja dari masyarakat Hindu di Bali, namun juga oleh organisasi agama Hindu dunia. “Kami melihat adanya lack of knowledge dalam pemilihan tema tarian ini”, ujar Arya. 

Hal lain yang juga menjadi catatan pada program tersebut adalah penggunaan Topeng Rangda yang juga dianggap tidak sesuai ketentuan. Menurutnya, dengan adanya kasus seperti ini, pihaknya akan menerbitkan pedoman penggunaan simbol-simbol budaya Bali dan agama Hindu.

Menanggapi keberatan dari Arya yang merupakan anggota Komite III DPD RI ini, pihak SCTV menyampaikan permohonan maaf atas tayangan yang dianggap melanggar keyakinan masyarakat Hindu di Bali. David Suharto, Deputi Direktur Program SCTV menyatakan bahwa pada prinsipnya tidak ada unsur kesengajaan untuk melecehkan simbol agama dan budaya Hindu. David menyampaikan bahwa salah satu tujuan diselenggarakannya program Grand Master Asia ini adalah untuk mengangkat kultur lokal. Namun demikian, David menyambut baik hadirnya pedoman penggunaan symbol budaya dan agama seperti yang disampaikan Arya Wedhakarna tersebut. “Tentunya hal ini akan lebih memudahkan pihak kami, dalam menjaga tayangan-tayangan yang terkait budaya Bali, tetap sesuai dengan ketentuan”, ujarnya. 

Arya sendiri mengapresiasi penayangan konten lokal berupa Puja Trisandhya yang hadir di televisi berjaringan di Bali. Selain itu, Arya juga menghargai kepatuhan lembaga penyiaran dalam menghentikan siarannya selama pelaksanaan Nyepi di Bali. “Semoga ke depan, pihak SCTV tetap bersedia memproduksi tayangan-tayangan yang mempromosikan budaya Bali”, pungkas Arya.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono dan Hardly Stefano, serta Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Setyo Wasisto, saat acara diskusi tentang siaran langsung persidangan kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).

 

Jakarta -- Siaran langsung (live) persidangan kasus terorisme dengan terdakwa Aman Abdurahhman di Pengadilan dengan durasi panjang harus disikapi hati-hati oleh lembaga penyiaran. Niat baik untuk mengabarkan setiap informasi persidangan secara detail ke publik melalui siaran tanpa proses edit itu dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif lain. 

Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Irjen Pol. Setyo Wasisto, mengatakan waktu publikasi yang lama terhadap tersangka kasus terorisme dikhawatirkan dapat memunculkan rasa simpati dari sebagian orang bahkan menjadikannya panutan. “Ini bisa saja akan menimbulkan inspirasi bagi orang yang justru awalnya tidak yakin dan tidak kepingin, jadi kepingin,” katanya di sela-sela diskusi terkait tayangan langsung sidang kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).

Hal lain yang dikhawatirkan Setyo dari siaran langsung yang berkepanjangan adalah ancaman terhadap keamanan perangkat pengadilan. Wajah dari hakim yang menangani kasus tersebut dapat dikenal meskipun identitasnya tidak sebutkan. “Hakim ini dapat menjadi target,” jelasnya.

Menurut Setyo, para tersangka atau pelaku kasus terorisme sebaiknya jangan diberikan panggung apalagi saat menjalani persidangan. Terkait penangganan kasus terorisme, Inggris dan Thailand menerapkan kebijakan ketat untuk tidak memberikan ruang publik bagi teroris di media.   

Polri pernah mendapatkan protes keras dari seluruh dunia hanya karena gambar maupun tayangan pelaku bom Bali melambaikan tangan dan tersenyum. “Kok bisa mereka mendapatkan panggung seperti itu kata mereka dan Australia yang paling keras mengkritisi hal ini. Saya harapkan peliputan sidang ke depan melihat beberapa filter,” kata Jenderal bintang dua tersebut. 

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono. Menurutnya, liputan sidang berjam-jam setelah aksi teror di berbagai daerah, seperti penjajahan terhadap televisi. Padahal, ada dampak yang mengintai dari massifnya siaran yang dilakukan jika tanpa pertimbangan. “Harus ada batasan yang pas untuk melakukan peliputan seperti ini. Harus ada kesepakatan untuk tidak meliput hal ini secara keseluruhan,” kata Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat ini.

Komisioner KPI Pusat, Obsatar Sinaga mengatakan, siaran langsung berjam-jam persidangan dapat menimbulkan opini di masyarakat dan ini dikhawatirkan mempengaruhi keputusan hakim. “Vonis yang dijatuhkan publik itu lebih mengerikan ketimbang yang dijatuhkan majelis hakim. Kita minta masukan apakah ini dibuka atau tidak. Ini demi kepentingan bangsa,” katanya.

Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi mengatakan, peliputan siaran langsung persidangan harus melihat substansinya. Produk jurnalistik menerapkan beberapa proses seperti adanya verifikasi, uji informasi dan pemilihan informasi mana yang boleh disiarkan atau tidak. Menurutnya, produk jurnalistik yang terverifikasi akan terlihat perbedaannya.

“Jika ada cara yang melewatkan verifikasi, hal itu merupakan pikiran yang sesat dan itu menghilangkan jati dirinya sebagai pers,” kata Dia di tempat yang sama.    

Menurut Imam, produk jurnalistik harus memperhatikan dampak dan kepentingannya terhadap publik. “Masyarakat tidak hanya cukup tahu soal informasi itu tapi juga soal kepetingan hidup aman untuk mereka. Tugas pers menjamin masyarakat untuk hidup baik, aman dan damai,” jelasnya.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, setuju jika kepentingan publik dinomorsatukan dalam kaitan dampak yang akan timbul dari siaran pemberitaan seperti peliputan sidang kasus terorisme. Menurut Yadi, perangkat pengadilan sebaiknya menerapkan kebijakan ruang sidang dibuka dan terbuka tapi tidak untuk disiarkan secara langsung oleh lembaga penyiaran.

Perwakilan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI), Asep Mulyana menjelaskan, ketika hakim mengatakan boleh dibuka dan terbuka untuk umum, ini harus dicermati apakah boleh disiarkan live dan detail. Menurutnya, siaran secara live menimbulkan rasa tak nyaman khususnya untuk perangkat pengadilan karena indentitasnya terbuka. 

“Saya pikir dan sadar ini bagian dari kepentingan pers. Tapi harus kita sadari juga kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih utama,” katanya. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengusulkan, perlu ada kosensus antar stakeholder terkait kasus seperti ini. Hal ini penting agar satu sama lain saling memahami, bertindak selaras dan penuh pertimbangan ketika terjadi kasus yang sama. 

Dalam diskusi ini turut hadir, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Wakil Ketua KPI Pusat, S. Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, Agung Suprio, Ubaidillah dan Nuning Rodiyah. Selain itu, hadir perwakilan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Majelis Ulama Indonesia (MUI), ATVNI, dan ATVSI. ***

 

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) usai pertemuan dengan KPI Pusat di Kantor KPI Pusat, Jumat (25/5/2018).

 

Jakarta -- Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) mengeluhkan waktu tayangan konten lokal di televisi swasta siaran berjaringan yang dinilai tidak pas. Waktu penayangan konten lokal kebanyakan ditaruh pada waktu dini hari, saat jam-jam tidur. Hal itu disampaikan salah satu Anggota Komisi I DPRD Sumsel, Budiarto, pada saat kunjungan kerja ke Kantor KPI Pusat, Jakarta Pusat, Senin (24/5/2018).

“Seharusnya tayangan konten lokal disiarkan pada jam-jam utama dimana keluarga sedang menonton televisi. Kalau disiarkan menjelang subuh, siapa yang menonton,” katanya.

Menurut Budiarto, program siaran bertemakan lokalitas khususnya tentang budaya dan pariwisata banyak diminati masyarakat. Hal itu sejalan dengan keinginan dewan yang berharap siaran dapat memberikan manfaat dan hiburan yang baik untuk masyarakat.

“Sesuatu yang baik jika disiarkan secara baik akan diterima dengan baik pula oleh masyarakat,” tambah Budi yang menjadi juru bicara dalam pertemuan yang dihadiri Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis dan Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono.

Selain itu, Anggota Dewan yang berasal dari Bumi Sriwijaya ini meminta lembaga penyiaran menyiarkan program penuh manfaat sebelum berbuka puasa dan pada saat sahur. 

Mayong Suryo Laksono mengatakan, waktu siaranan konten lokal masih menjadi masalah di sejumlah daerah. Terkait hal ini, KPI sudah melakukan upaya agar konten lokal dapat disiarkan pada waktu yang pas. 

“Kita ada evaluasi tahunan bagi lembaga penyiaran televisi berjaringan. Soal porsi 10% konten lokal kami pertanyakan termasuk waktu siarannya saat evaluasi. Catatan ini menjadi rapot buat televisi,” kata Mayong.

Yuliandre Darwis menambahkan, perubahan UU Penyiaran yang keputusan penetapannmya sedang ditunggu hingga saat ini, diharapkan dapat menghembuskan angin positif terhadap kelembagaan KPID. Selain itu, perubahan UU ini diharapkan dapat menjawab keinginan DPRD tentang perkembangan konten lokal.

Dalam kesempatan itu, Komisi I DPRD Sumsel menyampaikan akan terus mendukung kinerja KPID sesuai tugas dan fungsi. “KPID punya peran penting dalam pengawasan konten,” kata Busiarto. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.