Para peserta berfoto bersama usai pembukaan Rapat Koordinasi Gugus Tugas Pengawasan Pemilu 2019 di Hotel El Polonia, Jumat (8/3/2019).

Medan – Ketua Komisi II DPR RI, Zainuddin Amali, menyambut baik adanya Gugus Tugas Bersama Pengawasan Pemilu 2019 yang terbentuk berdasarkan kesepakatan empat lembaga yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu) dan Dewan Pers. Dia berharap kesepakatan Gugus Tugas dapat menjalankan tugas dan fungsinya sesuai kesepakatan yang sudah disetujui.

Menurut Zainuddin, tugas pengawasan Pemilu tidak bisa dilakukan sendiri perlu keterlibatan pihak lain yang terkait dalam sebuah wadah Gugus Tugas bersama. “Sebentar lagi akan masuk waktu iklan kampaye di media. Pesan saya, setiap ada kesepakatan yang sudah disepakati bersama harus konsisten dilaksanakan,” katanya sesaat sebelum pembukaan Rapat Koordinasi Gugus Tugas Pengawasan Pemilu 2019 di Hotel El Polonia, Jumat (8/3/2019). 

Dia menjelaskan, Pemilu 2019 berbeda dengan Pemilu sebelumnya yang setiap pemilihan dipisah waktunya. Kondisi ini belum sepenuhnya diketahui masyarakat, terlebih isi dari UU No.7 yang mengaturnya. “Ini jadi tantangan semua pihak untuk mensosialisasikan kepada masyarakat khususnya kepada peserta Pemilu. Kita harus mencegah sedini mungkin agar tidak ada pelanggaran terhadap aturan yang ada sedemikian rupa,” pinta Zainuddin. 

Zainuddin juga meminta Gugus Tugas memberi ruang dan kebijakan pengawasan yang sama serta adil terhadap semua Peserta Pemilu. Pasalnya, tidak sumber sumber daya peserta Pemilu sama. “Ini bagian dari tugas Gugus Tugas Pemilu untuk memperlakukan mereka secara proposional, adil dan berimbang. Jika ada perlakuan keistimewaan kepada salah satu peserta, itulah awal malapetaka,” tandasnya. 

Anggota Komisi I DPR RI, Meutya Hafidz, yang hadir dalam pembukaan Rakor tersebut, meminta pers menjadi sumber inspirasi yang menyejukan dalam Pemilu 2019. Pers harus mengambil langkah strategis dan signifikan untuk terlibat mengawal proses Pemilu supaya berjalan demokratis.

“Peran pers bisa menentukan baik buruknya Pemilu. Pers juga harus jadi pemicu peningkatan pemilih dalam Pemilu ini. Gugus Tugas pun tetap harus memerlukan dukungan masyarakat. Masyarakat harus ikut berperan aktif untuk mewujudkan proses pengawasan ini lebih baik. Kami mengapresiasi adanya Gugus Tugas empat lembaga ini,” kata Meutya.

Sementara itu, Ketua Bawaslu RI, Abhan, saat membuka Rakor menyatakan, Rakor ini bagian dari persiapan menghadapi kampanye di media elektronik. Menurutnya, Gugus Tugas Bersama ini, akan menghadapi situasi berbeda dengan Pemilu sebelumnya. “Tapi, adanya Gugus Tugas ini untuk mengefektifkan pengawasan kampanye di media elektronik,” paparnya. 

Dalam pembukaan Rakor yang berlangsung pada Jumat malam tersebut, hadir Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Mayong Suryo Laksono, Nuning Rodiyah, Dewi Setyarini serta Kepala Sekretariat KPI Pusat, Maruli Matondang. Selain itu, hadir perwakilan Anggota KPID sejumlah daerah dan Bawaslu Provinsi seluruh Indonesia. Rencananya, kegiatan Rakor Gugus Tugas Pengawasan Pemilu 2019 akan berlangsung hingga Minggu (10/3/2019). *** 

 

Bima – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, eksploitasi konten lokal secara langsung akan meningkatkan dan mengenalkan potensi yang ada di daerah kepada khalayak luas. Hal itu disampaikannya saat membuka kegiatan Literasi Media dengan tema “Dari Masyarakat untuk Bangsa” di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat, Kamis (07/03/2019).

Andre penggilan akrabnya menyampaikan bahwa saat ini pihaknya terus berupaya meningkatkan kualitas serta mutu siaran Televisi. Menurutnya, KPI akan menindak tegas berbagai pelanggaran di lembaga penyiaran yang menyalahi aturan yang ada di P3SPS, termasuk informasi hoax dan SARA yang marak sekarang ini.

Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Syafrudin, yang hadir dalam kegiatan itu mengatakan, DPR sangat mengapresiasi upaya KPI meliterasi masyarakat di Bima lewat kegiatan ini. Diaberharap kei gaitan ini bermanfaat bagi seluruh warga NTB Khususnya Bima. “Literasi ini diharapkan akan memberi inspirasi baru serta mengedukasi  generasi muda di Bima dalam menggunakan media,” ujarnya.

Sementara itu, Walikota Bima, Muhammad Lutfi, menyampaikan tentang pentingnya literasi dan hal ini sangat diperlukan masyarakat di Bima. Menurutnya, literasi media memiliki dua peran penting di antaranya mengevaluasi serta mendekonstruksi. 

Literasi media berperan dalam hal mengevaluasi jadi masyarakat dapat menilai bagaimana sebuah karya jurnalistik berita. Dalam kebebasan pers terkadang media berlebihan dalam mengemas berita sehingga menabrak etika jurnalistik. Sedangkan dalam hal mendekonstruksi, media berperan dalam membentuk karakteristik seseorang. “Oleh karena itu masyarakat harus dapat memilah informasi yang benar,” kata Lutfi.

Hal senada di sampaikan Hadi Santoso mengenai kebebasan pers. Dia mengambarkan bagaimana kondisi pers sebelum 1997 dan sekarang. Menurutnya, pers saat ini jauh lebih bebas. Namun, hal ini juga berdampak pada banyaknya konten yang tidak sesuai dengan etika juranlistik demi meraup popularitas, “Oleh karena itu, literasi media dibutuhkan bagi masyarakat,” imbuhnya 

Selain pendapat dari kedua Narasumber, Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan, Ubaidillah, menilai saat ini konten yang di media mainstream jauh lebih baik dibandingkan dengan media baru. Ini terjadi karena adanya filter serta aturan yang jelas untuk media mainstream dan tidak ditemukan pada media baru.

Dia berharap adanya penguatan kelembagaan KPI mengingat beban kerja KPI semakin berat ditambah semakin cepatnya perkembangan media. “Saya berharap RUU Penyiaran yang saat ini sedang dalam tahap harmonisasi di DPR RI segera selesai agar kelembagaan KPI semakin kuat dalam mengawasi konten siaran,” pinta Ubaid, panggilan akrabnya.

Saat sesi tanya jawab, perwakilan BEM Sekolah Tinggi Ilmu Keguruan dan Pendidikan (STKIP) mengeluhkan konten di TV yang menurutnya tidak sesuai dengan jati diri bangsa yang sebenernya. Selain itu, Dia merasa tidak menemukan nilai edukasi pada siaran khususnya dalam konten anak-anak. 

Menanggapi hal itu, Ubaidilah menjawab bahwa tidak semua tayangan layak dikonsumsi anak. Oleh karena itu, setiap program itu dibuat klasifikasi usia. Berbagai upaya telah dilakukan KPI Pusat dalam meningkatkan mutu penyiaran.

“Salah satu upaya itu adalah mendorong lembaga penyiaran membuat konten kartun sendiri agar sesuai dengan nilai dan norma yang ada di Indonesia. Kami juga bekerjasama dengan Persatuan Perusahaan Pengiklan Indonesia (P3I) serta Asosiasi Perusahaan Periklanan Indonesia (APPINA) agar pengiklan mau memberikan suport pada program yang berkualitas berdasarkan penilaian KPI Pusat namun tidak mendapat rating yang tinggi,” papar Ubaidillah sekaligus menutup kegiatan tersebut. Tim liputan Literasi Media Bima

 

Surabaya - Siaran televisi, radio dan jaringan internet di Provinsi Bali dipastikan mati total saat Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1941, yang jatuh pada Kamis (7/3/2019). Namun saat siaran TV dan radio di seluruh pelosok Bali dihentikan, kadang ada luberan siaran radio dari daerah tetangga yang masuk ke Bali.

Menurut KPID Bali, problem inilah yang masih menjadi persoalan beberapa tahun terakhir. Karena itu, sejak sebulan lalu KPID Bali bersama Pemerintah Provinsi dan DPRD Bali terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Antara lain dengan KPI Pusat, Kementerian Kominfo RI, KPID Jawa Timur dan KPID Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Balai Monitoring (Balmon) Spektrum Frekuensi Kelas 1 Surabaya dan Mataram.

"Menurut KPID Bali, tahun lalu sebagian masyarakat melaporkan adanya luberan siaran dari Banyuwangi dan sekitarnya ke wilayah Bali. Padahal semua TV dan radio di Bali sedang off selama 24 jam selama perayaan Hari Raya Nyepi," kata Ahmad Afif Amrullah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Selasa (5/3) di Surabaya.

Untuk itu, KPID Jawa Timur menerbitkan surat edaran yang berisi imbauan kepada seluruh lembaga penyiaran, baik jasa penyiaran radio maupun televisi di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, untuk menyesuaikan jangkauan siarannya sesuai ketentuan yang berlaku, terutama pada Kamis, 7 Maret 2019 pukul 06.00 WITA sampai dengan Jum'at, 8 Maret 2019 pukul 06.00 WITA. 

Keluarnya Surat Edaran KPID Jatim ini juga karena mempertimbangkan surat edaran Menteri Kominfo Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2019 tanggal 22 Februari 2019 tentang Himbauan Tidak Bersiaran (off air) Pada Hari Raya Nyepi Tahun 2019 Di Wilayah Provinsi Bali. Juga hasil koordinasi KPID Jawa Timur bersama KPID Bali dan Balai Monitoring (Balmon) Spektrum Frekuensi Kelas 1 Surabaya pada Kamis (28/2) lalu di Surabaya.

"Untuk TV dan radio di Banyuwangi dan sekitarnya kami minta menyesuaikan daya pancarnya agar tidak sampai meluber ke Bali. Kita hormati kekhusyukan ibadah umat Hindu di Bali," jelas Afif usai menandatangani surat edaran bernomor 480/ 236/114/II12019 tentang Imbauan Terkait Penyelenggaraan Penyiaran Pada Hari Raya Nyepi Tahun 2019 di Wilayah Banyuwangi dan Situbondo.

Terkait keluarnya Surat Edaran KPID Jawa Timur ini, Ketua KPID Bali, I Made Sunarsa sangat mengapresiasi dukungan yang diberikan KPID Jawa Timur dan Balai Monitor Spektrum Frekuensi Kelas 1 Surabaya. Pihaknya berharap ini menjadi salah satu sarana untuk menjadikan pelaksanaan ibadah umat Hindu di Bali saat Hari Raya Nyepi makin khusyuk dan berkualitas. 

"Kami sudah menyosialisasikan imbauan itu kepada seluruh lembaga penyiaran di Bali. Dan semua sudah sepakat untuk menghentikan siaran selama 24 jam. Apalagi aturan itu juga sudah disepakati oleh pemerintah provinsi dan kabupaten, DPRD dan seluruh majelis agama di Bali. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada KPID Jawa Timur dan KPID NTB," ungkapnya.

Sedangkan aturan soal jaringan internet tertuang dalam surat edaran Menteri Komunikasi dan Informasi nomor 03 Tahun 2019 tentang Imbauan untuk melaksanakan seruan bersama majelis agama dan keagamaan Provinsi Bali Tahun 2019. Edaran itu menyebutkan agar jaringan internet di seluruh pelosok Provinsi Bali diputus sementara sejak Kamis (7/3) 06.00 WITA hingga Jumat (8/3) 06.00 WITA, kecuali di objek-objek vital dan strategis. Red dari KPID Jatim

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menggelar Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) terhadap dua Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) yakni PT. MNC  SKY VISION dan PT. CIPTA SKYNINDO, Rabu (6/3/2019) di Jakarta. Proses EDP merupakan salah satu rangkaian yang harus dilalui lembaga penyiaran sebelum mendapatkan izin siaran dan juga memperpanjangnya. 

Dalam EDP tersebut, KPI dan para narasumber memberikan masukan dan evaluasi dari aspek program siaran salah satunya tentang gender dalam layar televisi.

Komisioner sekaligus Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, Agung Suprio, sekaligus mengatakan bahwa ke depan, KPI akan menfokuskan siaram ramah gender. "Layar televisi perlu memperhatikan, sekaligus menfokuskan pengarus utamaan gender dalam siarannya," tutur pria yang akrab disapa Agung ini.

Hal senada juga disampaikan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, Etnike Nova Sigiro. Menurutnya, konten LPB harus lebih ramah terhadap perempuan karenanya perlu ada strategi dari LPB untuk pengarusutamaan gender dalam layar televisi.

Menyambung pernyataan Atnike, Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran, Dewi Setyarini, ikut mendorong pentingnya acuan regulatif bagi LPB. “Saya menekankan, selain perempuan, juga adanya siaran ramah terhadap anak, sesuai dengan aturan-aturan  KPI,” pintanya.

EDP yang berlangsung di pagi hingga jelang sore ini, dibuka oleh Wakil Ketua KPI Pusat, S. Rahmat M. Arifin dan Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, sebagai Pimpinan Sidang. 

Turut hadir Sekretaris KPI Pusat, Maruli Matondang dan perwakilan Balai Monitor Provinsi DKI Jakarta, M. Maruf, serta Komisioner KPID Jakarta, Thomas Bambang Pamungkas dan Kawiyan.

Sementara itu, PT. MNC SKY VISION diwakili langsung Direktur Utamanya, Hari Susanto,  Ade Tjendra (Direktur) dan Ruby Budiman (Direktur). Sedangkan dari PT. CIPTA SKYNINDO hadir Krestian (Direktur), Renault (Penanggung Jawab Marketing) dan Adelina (Penanggung Jawab Keuangan). *

 

 


Ubaidillah, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

Beberapa peristiwa alam belakangan ini tampaknya perlu mendapatkan perhatian serius. Maklum dipahami, kaleidoskop 2018 runtut ragam bencana di beberapa tempat. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung api, hingga tsunami, menjadi lonceng pengingat bahwa bencana alam kapan saja dan di mana saja bisa terjadi. Geografis Indonesia yang terletak di lempeng tektonik Australia, Pasifik, Filipina, dan Eurasia, serta daerah aliran sungai (DAS) dari Sabang sampai Merauke yang mencapai jumlah 5.590 menjadikan Indonesia rentan. 

Hal ini setidaknya bisa dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sepanjang 2018, BNPB mencatat setidaknya terjadi 2.572 kejadian bencana dan mengakibatkan 4.814 orang meninggal dan hilang serta 10.239.533 terdampak dan mengungsi. 

Bencana juga tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi sebanyak 320.165 rumah mengalami kerusakan akibat bencana. BNPB juga mencatat bahwa banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi pada 2018, yakni 86 kali, tanah longsor 67 kali, gempa bumi 5 kali, letusan gunung api 3 kali, terjadi 1 kali tsunami. 

Data di atas mendorong adanya gerak terpadu dalam penanggulangan bencana alam tidak berhenti pada upaya yang sifatnya parsial, tetapi juga perlu dibarengi dengan kerja-kerja kolaboratif berbagai elemen. 

Berkelanjutan 

Upaya-upaya instansi pendidikan tentang kebencanaan menjadi salah satu produk pen didikan yang dinantikan dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana. Melalui produk pendidikan, setidaknya bisa memberikan pemahaman komprehensif kepada anak didik kita tentang risiko bencana dan langkah-langkah taktis manakala terjadi bencana. 

Pemetaan tentang potensi-potensi terjadinya bencana serta kaitannya dengan peringatan akan gejala bencana juga bisa dilihat dari upaya BNPB sebagai langkah pengu rangan risiko bencana. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana upaya itu mampu mengurangi risiko bencana dan segala  hal yang berkaitan dengan kebencanaan? Tentu tidak menutup mata bah wa pengetahuan tentang kebencanaan masih minim. 

Dari berapa penelitian semisal, pendidikan kebencanaan dilakukan secara temporer yang pada akhirnya gampang di lupakan masyarakat. Nahas nya lagi, pendeteksi bencana dini belum bekerja dengan maksimal. Alhasil, setiap ter jadi bencana, tak heran jika melulu menelurkan korban yang tidak sedikit, lengkap dengan kerusakan-kerusakan yang mengekorinya. 

Di sinilah penulis menganggap penting adanya keikutsertaan lembaga penyiaran dalam sosialisasi kebencanaan. Diakui atau tidak, keterlibatan lembaga penyiaran sangat minim kebencanaan. Paling banter, lembaga penyiaran hanya menyajikan informasi tentang bencana hanya berdasarkan kejadian belaka. 

Berita-berita yang ditayang kan oleh lembaga penyiaran tak lebih dari sekadar peliputan pasca kejadian. Tak jarang, peliputan-peliputan yang dilakukan justru me lipat unsur-unsur kemanusiaan dalam bencana. Memainkan emosi korban untuk meraup nilai komersial dari khalayak. 

Nilai-nilai kemanusiaan justru termarjinalkan. Khalayak hanya bisa mendatangkan rasa empati, tetapi tidak melahirkan pengetahuan baru, kecuali jumlah korban, proses robohnya rumah, dan hal lainnya yang bersifat emosional. Fenomena di atas berbeda jauh dengan media-media, termasuk lembaga penyiaran seperti televisi yang berada di Jepang. 

Media-media di Jepang tidak hanya melakukan peliputan tentang peristiwa bencana, tetapi ia terjun ke masyarakat melakukan sosialisasi, baik da lam bentuk diskusi dan seminar-seminar. Salah satu lembaga penyiaran di kota Sendai, Jepang, semisal Highasi Nippon Broadcasting (KHB) rutin selama tujuh tahun memberitakan tentang dampak tsunami Je pang pada 2011. Mereka bahkan membuat liputan khusus. 

Komitmen Televisi 

Atas dasar itulah, saya menilai sebenarnya televisi mempunyai peranan penting yang bisa dilakukan, tetapi tidak maksimal dalam melakukannya. Dengan segala keunikan yang dimilikinya, barangkali televisi men jadi prasyarat kesadaran kebencanaan itu tumbuh di masyarakat. 

Hal ini bisa dilakukan melalui iklan layanan masyarakat maupun program siaran bertemakan tentang kebencanaan. Mengutip James Monaco (1977), televisi mempunyai ke mampuan dalam menghubungkan realitas dengan penonton. Kemampuan itu disebab kan oleh sifat televisi yang menyajikan pengalaman secara berkesinambungan (Andi Ali muddin Unde, 2015). 

Apalagi berbicara kebencanaan–meminjam bahasa Markoen Sanjaya (2019)–news value sudah termaktub dalam peristiwa dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebencanaan. Ia mem punya nilai-nilai pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), kebaruan (actual), dam pak (impact), dan keluarbiasaan (unusualness). 

Artinya bahwa televisi tidak sekadar menginformasikan ke pada publik tentang peristiwa-peristiwa bencana alam secara temporer, melainkan hadir menjejali kesadaran masyara kat tentang kebencanaan dengan komprehensif. Tentu saja model informasi yang ditekan kan adalah kreativitas dan tidak menakutkan. 

Ia harus dibalut dengan sentuhan-sentuhan yang bisa diterima semua kalangan terutama anak dan remaja, sebab setengah dari jiwa terpapar bencana adalah anak usia sekolah. Rekomendasi ini tidak berangkat dari ruang kosong. Ini merupakan penagihan komitmen televisi yang menggunakan frekuensi milik publik. 

Masyarakat mesti diberikan informasi berkaitan pengetahuan tentang kebencanaan secara komprehensif, bukan lagi parsial, apalagi hanya menarik keuntungan dengan memainkan emosi khalayak melalui penayangan bencana. 

Bukan hal yang susah dilakukan, apabila pihak terkait termasuk televisi dan lembaga pe nyiaran lainnya termasuk media elektronik maupun cetak melakukan kerja-kerja kolaboratif tentang sosialisasi dan pendidikan kebencanaan. 

 

UBAIDILLAH 

Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.