Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, Harsiwi Achmad, saat menerima buku Hasil Survey KPI dari Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, usai sosialisasi hasil Survey Indeks Kualitatif Program Siaran TV Periode 1 di Kantor SCTV, Kamis (9/8/2018).

 

Jakarta – SCTV menilai hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode 1 tahun 2018 buah kerjasama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia sebagai masukan dari kalangan intelektual. 

“Ini masukan dari penonton berpendidikan di Indonesia yang berlatar S1, S2 dan bahkan S3,” kata  Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, Harsiwi Achmad, saat menerima Tim KPI Pusat untuk menyampaikan hasil Survey Indeks Kualitatif Program Siaran TV Periode 1 di Kantor SCTV, Kamis (9/8/2018).

Menurut dia, hasil pengukuran ini menjadi acuan bagi mereka bergerak menciptakan kreatifivitas dan meningkatkan kualitas program. Selama ini, pihak TV hanya mendapatkan pengukuran dari satu lembaga survey satu-satu di Indonesia.

“Adanya acuan dari hasil survey KPI ini menjadi masukan dari berbagai sisi. Bagaimana pun industri televisi harus ada ukuran penontonnya. Bagaimana kita meningkatkan kualitas program tapi tetap baik secara industri,” jelas Siwi.

Adanya penilaian dari tim panel ahli berjumlah 120 orang dengan latarbelakang disiplin ilmu dan kemampuan, menjadikan hasil survey ini lebih mengutamakan bobot atau indeks kualitas dari sebuah program acara.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, hasil survey kualitas ini menjadi bahan masukan programing di lembaga penyiaran. “Ini bukan patokan tapi bisa menjadi acuan membuat program acara selanjutnya,” katanya.

Menurut Andre, program acara SCTV yang mendapat indeks sesuai standar sebaiknya terus dipertahankan, adapun yang di bawah nilai yang ditentukan untuk segera ditingkatkan. ***

 

Ketua KPI Pusat, Yuliandre menyerahkan buku hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018 kepada Direktur Program dan Berita, Apni Jaya Putra, di TVRI, Kamis (9/8/2018).

 

Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mendorong dan mendukung Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi role model produksi konten bernuansa Indonesia. Agar harapan itu dapat terwujud, TVRI harus mendapatkan anggaran yang pantas.

“Kita mendorong lembaga penyiaran publik ini menciptakan gerbong untuk produksi konten dan harapan kita TVRI yang menjadi role model-nya. Tapi upaya ini harus didukung logistik yang cukup. Kita akan dorong hal ini ke DPR untuk pengembangan itu,” kata Andre, panggilan akrabnya, saat sosialiasi hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018 di TVRI, Kamis (9/8/2018).

Andre menjelaskan produksi program acara dalam negeri belum sepenuhnya melebihi 60% porsi konten lokal di lembaga penyiaran. Bahkan, kebanyakan di dominasi konten asing. “Ada permasalah hilir dan hulu produksi kita. Selain juga disebabkan adanya rating sehingga mempengaruhi genre program kita. Saat acara mistis sedang tinggi ratingnya, semua TV jadi ikutan memproduksi yang sama,” ujarnya.

Direktur Program dan Berita LPP TVRI, Apni Jaya Putra mengatakan, TVRI terus berupaya mengembangkan produksi dan kualitas program acaranya dengan permintaan peningkatan anggaran produksi di tahun anggaran 2019. “Kami  mengajukan 1,2 trilyun untuk pengembangan dan peningkatan kualitas program TVRI. Saat ini, anggaran produksi program kami dalam setahun sama dengan biaya produksi program salah satu televisi swasta nasional,” katanya.

Meskipun demikian, Apni menyatakan TVRI bukanlah kompetitor bagi lembaga penyiaran swasta. TVRI sebagai lembaga penyiaran publik memilik tanggungjawab menyediakan masyarakat tontonan alternatif. “Niat kami membesarkan TV ini menjadi saluran alternatif masyarakat. Jika anggaran besar tadi disetujui, kami akan dapat melakukan banyak hal untuk masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Umum TVRI, Tumpak Pasaribu, menyatakan hasil survey kualitas KPI menjadi bahan evaluasi dan data program acara TVRI yang baik dan yang di bawah standar. “Ini masukan berharga karena belum tentu menurut kami baik ternyata kata masyarakat sebaliknya,” katanya. ***

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, dan Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah diterima langsung Ketua dan Wakil Ketua serta Komisioner KPID DKI Jakarta di Kantor KPID DKI Jakarta, Rabu (8/8/2018).

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melakukan koordinasi dalam rangka penguatan kelembagaan ke Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) DKI Jakarta, Rabu (8/8/2018). Kunjungan koordinasi ini diikuti Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, dan Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah diterima langsung Ketua dan Wakil Ketua serta Komisioner KPID DKI Jakarta.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, di awal pertemuan menyampaikan, KPID DKI Jakarta merupakan barometer bagi KPID di Indonesia, sehingga diharapkan tetap konsisten dalam menjalankan tupoksi sebagai regulator penyiaran di Ibu Kota.

“Ada 33 KPID dan setiap daerah memiliki dinamika penyiaran yang berbeda. Dan, sebagai KPID yang ada di Ibu Kota, tentunya KPID DKI Jakarta menjadi acuan bagi yang lain,” kata Andre, panggilan akrabnya.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Ubaidillah, menjelaskan strategi penguatan kelembagaan bagi KPID DKI Jakarta. Upaya ini agar keberadaan KPID DKI Jakarta sebagai lembaga publik dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat di Jakarta.

Dalam pertemuan itu, KPI Pusat melalui Yuliandre Darwis menyampaikan buku laporan hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018. Hasil survey ini diharapkan menjadi masukan dan data bagi KPID. ***

 

Tim Sosialiasi Hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran TV KPI Pusat di Menara Kompas, Kamis (9/8/2018).

 

Jakarta -- Hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018 menjadi acuan alternatif lembaga penyiaran mengarahkan produksi program selain hasil survey dari lembaga rating yang sudah ada. Hasil survey kualitatif Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang bekerjasama dengan 12 Perguruan Tinggi di 12 kota besar di Tanah Air ini, diharapkan mengubah cara pandang pengiklan beriklan di program siaran, bukan melihat animo penonton tapi pada kualitas tayangan.

General Manager (GM) Programming Kompas TV, Arief Prihantoro mengatakan, laporan survey kualitas yang dilakukan KPI bersama 12 Perguruan Tinggi menjadi masukan lain pihaknya dalam menentukan arah program. “Ini menjadi cermin kita untuk programing. Kami berterimakasih dapat report yang lain dari sisi kualitatif. Ini melengkapi,” serunya saat menyambut Tim Sosialiasi Hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran TV KPI Pusat, di Menara Kompas, Kamis (9/8/2018).

Menurut Arif, hasil survey indeks kualitas ini sebaiknya juga diteruskan KPI ke agensi iklan. Pasalnya, yang menentukan iklan sebuah program adalah agen pengiklan. “Ini menjadi tantangan kita bersama,” katanya.

Hasil survey yang dilakukan KPI memang berbeda dengan survey lembaga rating Nielsen yang menggunakan metode bersifat kuantitatif. Selama ini, acuan para pengiklan dalam beriklan di program acara adalah data dari Nielsen hasil survey di 10 kota. KPI menggunakan metode survey berbeda melibatkan responden dan tim panel ahli dari perguruan tinggi yang terpilih selektif dengan latar belakang keahlian dan ilmu berbeda.

Hasil survey KPI dengan metode kualitatif ini dinilai dapat menjadi acuan lain agensi iklan selain lembaga rating Nielsen dalam beriklan. “KPI harus memasukan hasil ini ke meja para biro iklan. Hasil survey KPI ini jadi kitab selain Nielsen. Ini tantangan untuk KPI,” kata Vice GM Corporate Secretary Kompas TV, Deddy Risnanto, dalam sosialiasi tersebut.

Kepala Sekretariat KPI Pusat, Maruli Matondang, di awal pertemuan menyampaikan, penyampaian hasil survey pihaknya ke lembaga penyiaran secara langsung ini dapat memicu meningkat kualitas tayangan di lembaga penyiaran terutama untuk kategori program acara dengan nilai di bawah indeks kualitas yang ditetapkan KPI yakni 3.00.

“Program acara berita dan wisata budaya Kompas TV mendapat nilai paling tinggi dari hasil survey KPI. Ini harus dipertahankan dan untuk program yang masih di bawah indeks diharapkan ditingkat lagi. KPI memiliki kewenangan dan tanggungjawab dengan harapan penyiaran terwujudnya siaran yang baik dan mencerdaskan,” kata Maruli.

Sementara itu, Koordianator bagian Penelitian dan Pengembangan (Litbang) KPI Pusat, Andi Andrianto mengatakan, hasil survey yang sudah dilakukan independen ini dapat meningkat kualitas tayangan di lembaga penyiaran. “Sehat kontennya, sehat juga bisnis,” tandasnya. ***

 

Suasana Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Kantor KPI Pusat, Djuanda, Selasa (7/8/2018).

 

Jakarta – Tingginya animo masyarakat untuk menonton tayangan dengan muatan mistik, horor dan supranatural (MHS) tidak terlepas dari kondisi sosiologis yang merupakan campuran dari fase theologis, fase metafisis dan fase modern positivistik. Ketiga fase tersebut hadir secara bersamaan dan bahkan saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (7/8/2018).

FGD yang dipandu oleh Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Nuning Rodiyah dan Dewi Setyarini menghadirkan narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag), Lembaga Sensor Film (LSF), Budayawan dan Psikolog. Forum ini juga menghadirkan peserta aktif dari lembaga keagamaan, lembaga penyiaran dan lembaga swadaya masyarakat.

Budayawan Ngatawi Al Zastro mengatakan, program mistik, horor dan supranatural tidak perlu dilarang tapi cukup ditata sesuai dengan etika dan norma yang berlaku. Menurutnya, hal-hal supranatural sebenarnya bersifat individual dan diperlukan kehati-hatian dalam menampilkan hal tersebut ke ruang publik.

“Membuat program demikian memang tidak gampang karena itu harus melibatkan orang yang memiliki kompetensi dan ahli seperti budayawan, sosiolog, atau ahli tasawuf. Selain itu, perlu juga kebijakan dan kepekaan dalam memproduksi tayangan. Jika secara manfaat dan kemaslahatannya lebih banyak ya silahkan ditayangkan,” kata Zastro.

Hal senada disampaikan Ketua MUI bidang Komunikasi dan Informasi, KH Masduki Baidlowi yang menyebutkan bahwa perlu ada batasan pengertian yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan mistik, horor, dan supranatural. “Karena mistik dalam pengertian yang luas adalah percaya pada yang ghaib dan itu terdapat pada semua agama, berlawanan dengan pengertian sekuler yang hanya percaya pada hal-hal material”. Menurutnya, pembangunan kreatifitas dengan menyisipkan nilai positif, edukatif dan karakter building dalam tayangan sangat penting.

Baidlowi berharap agar semua program siaran, termasuk dengan muatan MHS harus mampu memberi inspirasi positif bagi kehidupan keagamaan dan kebangsaan. “MUI senantiasa berkomunikasi dengan KPI, dan membuka ruang dialog dengan lembaga penyiaran”, tandasnya.

Anggota LSF, Nasrullah menyatakan, membuat tayangan mistik atau lainnya harus didahului komitmen menitipkan nilai-nilai edukasi. Dari berbagai dialog yang telah dilakukan LSF dengan berbagai kelompok kemudian dirumuskan batasan-batasan terhadap program dengan muatan MHS, diantaranya adalah tidak mengandung atribut/simbol agama tertentu. Selain itu perlu memperhatikan norma dan adat masyarakat pada tempat yang menjadi lokasi syuting.  

“Dalam rangka melindungi masyarakat, khususnya anak dan remaja LSF akan senantiasa melihat dan meneliti setiap tayangan, untuk kemudian ditentukan golongan atau klasifikasinya,” kata Nasrullah.

Sementara, Amirsyah Tambunan mengingatkan, tayangan mistik, horor dan supranatural jangan sampai mendegradasi atau mengikis nilai ber-Ketuhanan. “Jangan pula hal-hal mistis ini menjadi ajang untuk penipuan,” paparnya.

Perwakilan dari Kementerian Agama, Nur Khazin berharap, tayangan mistis atau lainnya dapat dikemas menjadi sebuah tontonan sekaligus tuntunan. “Kita ingin tayangan yang mengarah kepada bimbingan umat supaya masyarakat tidak terjerumus pada hal yang tidak baik dan keimanan mereka makin meningkat,” tuturnya.

Dari sudut pandang Psikolog Anak, Reza Indragiri mengatakan, industri penyiaran harus mengedepankan perlindungan anak dalam setiap tayangan. Tayangan horor pun harus ramah terhadap anak seperti film Scooby Doo. Menurutnya, film Scooby Doo menjadi contoh sebuah tayangan horor yang pada  bagian akhir memberikan  penjelasan rasional atau ilmiah sehingga tidak ada kengerian usai menonton film tersebut.

“Adalah sangat penting bagi kita menemukan akar rasionalitasnya dalam tayangan horor. Jika tayangan tersebut tidak ada penjelasan ilmiahnya, berarti tayangan tersebut tidak ramah anak. Kita juga berharap bagaimana tayangan itu bisa membangun fantasi dan imaginasi yang cerdas untuk anak,” tandasnya.

Menutup FGD tersebut, Hardly Stefano Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan bahwa semua dinamika pemikiran dan masukan yang berkembang dalam forum diskusi akan menjadi masukan bagi KPI dalam merumuskan kebijakan yang mengatur secara proposional tayangan dengan muatan MHS. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.