Mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) bersama Ketua KPI pusat usai menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta, Rabu (9/1/2019). 

 

Jakarta – Mahasiswa Universitas Negeri Padang (UNP) mengkritisi cara berbahasa Indonesia di sejumlah program acara, baik televisi maupun radio. Menurut mereka, penggunaannya tidak memenuhi standar berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Hal itu disampaikan mereka saat menyambangi Kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Jakarta, Rabu (9/1/2019). 

“Banyak yang menggunakan bahasa campuran dan ini terjadi tidak hanya di televisi tapi juga radio. Seharusnya menggunakan bahasa Indonesia itu secara baik dan benar. Bagaimana KPI menilai hal ini dan apakah ada aturan yang mengatur,” kata Hanny Putri, salah satu mahasiswa.

Mahasiswa UNP, Stany menyampaikan harapan agar semua stasiun televisi menyampaikan informasi secara berimbang dan netral. Menurut dia, televisi yang pemiliknya ikut berpolitik tidak boleh menyiarkan informasi hanya untuk kepentingan politiknya saja. “Ada ketidaknetralan di televisi dan akhirnya timbul saling hujat,” katanya.

Koordinator bidang Penelitian dan Pengembangan KPI Pusat, Andi Andrianto, menyampaikan pihaknya terus mendorong lembaga penyiaran untuk menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Bahkan, lanjut dia, KPI Pusat melalui KPID mendorong penggunaan bahasa daerah dalam siaran lokal yang harus dipenuhi televisi berjaringan. 

Sementara itu, Ahmad Fakhriul Badhi, meminta Mahasiswa menjadi agen perubahan untuk mengubah penyiaran di tanah air menjadi baik dan berkualitas. “Kami juga meminta mahasiswa mengawal proses revisi UU Penyiaran yang sedang berlangsung dan juga mendorong adanya regulasi yang mengatur media sosial,” tandasnya. 

Di akhir pertemuan itu, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, menyampaikan apresiasinya atas masukan mahasiswa untuk kebaikan penyiaran di Indonesia. ***

 

Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Ahmad Afif Amrullah, ketika di Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an Nurul Islam (Stiqnis) Karangcempaka, Bluto, Sumenep, Jawa Timur, Ahad (6/1/2019).

 

Sumenep - Kasus salah tulis ayat Al-Quran dalam program religi yang disiarkan salah satu stasiun televisi berjaringan secara nasional beberapa bulan lalu menjadi topik hangat pada seminar tentang peran pesantren dalam wajah penyiaran Indonesia. Seminar yang dihadiri oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Ahmad Afif Amrullah, itu diselenggarakan di Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an Nurul Islam (Stiqnis) Karangcempaka, Bluto, Sumenep, Jawa Timur, Ahad (6/1/2019).

Dalam kesempatan tersebut, Afif menyampaikan bahwa kasus tersebut dapat dilihat dari dua sudut pandang. Di satu sisi, pihak stasiun TV bisa jadi memang kurang jeli dalam memilih narasumber atau ketika melakukan proses quality control saat bersiaran sehingga terjadilah peristiwa itu. Namun di sisi lain, yang harus dipertanyakan adalah, mengapa peran seperti itu tidak diisi oleh kalangan pondok pesantren yang dikenal memiliki pengetahuan dan pengamalan agama yang mumpuni? “Harusnya, pesantren dapat mengambil peran ini,” jelasnya di hadapan sekitar 50 orang peserta seminar.

Oleh karena itu, peran strategis seperti itu hendaknya dapat dilakukan para santri. Sebab di era modern seperti sekarang ini, pendidikan agama dan dakwah Islam harus dikembangkan melalui berbagai platform, salah satunya adalah melalui lembaga penyiaran televisi dan radio. "Jika pondok pesantren atau santri tidak mengambil peran strategis ini, maka yang tampil adalah orang lain," tegas Afif.

Namun untuk tampil di televisi atau radio, penguasaan ilmu agama yang mumpuni saja belum cukup. Sebagai layaknya sebuah industri, para santri juga hendaknya dapat memahami tuntutan yang melingkupinya. "Mulai dari tampilan diri yang memesona, suara yang memukau, gestur dan pilihan kata yang menghibur, serta tentu saja kemampuan public speaking yang meyakinkan," kata dosen di Universitas Sunan Giri (Unsuri) Surabaya tersebut. Namun ia yakin, banyak santri atau alumni pesantren yang memiliki semua kriteria tersebut. “Masalahnya, kapan ada keberanian dan semangat untuk berkiprah di dunia yang lebih luas. Tidak hanya sebagai ustadz atau ustadzah, tapi bisa juga sebagai artis atau tim kreatifnya,” sergahnya.

Selain peran tersebut, Afif juga mengajak pesantren untuk berperan mewujudkan siaran sehat dengan cara lain. Jika dimungkinkan, kalangan pesantren bisa memiliki dan mengelola lembaga penyiaran sendiri. Baik dalam bentuk lembaga penyiaran swasta atau komunitas sebagamana diatur dalam UU No 32/2002 tentang Penyiaran. "Di Jawa Timur sudah banyak pesantren yang mengelola TV atau radio sendiri. Dengan begitu pesantren bisa menjadikan saluran media untuk menebarkan konten-konten siaran yang sehat dan bermanfaat sekaligus memperluas jangkauan dakwahnya," tambah Afif.

Berikutnya, pesantren juga bisa berperan dengan cara mendukung KPI atau KPID untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat agar bisa memilah dan memilih siaran berkualitas serta meninggalkan siaran yang tidak berkualitas. "Nah, kalau saat menonton televisi atau radio Anda merasa ada yang meresahkan, silakan lapor kepada KPI atau KPID Jatim. Nanti kalau terbukti ada pelanggaran terhadap pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS), pasti akan diberikan sanksi," jelas alumni UIN Sunan Ampel Surabaya ini. 

Seminar tersebut diselenggarakan sebagai rangkaian peluncuran portal Pondok Pesantren Nurul Islam Sumenep (www.nuriska.id). Hadir sebagai narasumber lain adalah Syaifullah Ahmad Nawawi selaku Kepala Biro NU Online Jawa Timur. Red dari KPID Jatim

 

Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin.

 

Jakarta – Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin, meminta mahasiswa lebih giat memantapkan cita-citanya di tengah perkembangan teknologi yang cepat. Dua hal yang jadi perhatian di era sekarang adalah digitalisasi dan konvergensi. 

Hal itu disampaikannya di depan Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Profesi Indonesia (STIKOM PROSIA) Jakarta, yang berkunjung ke KPI Pusat, Senin (7/1/2019).

Menurut Rahmat, digitalisasi dan konvergensi membuat semua fungsi pekerjaan dapat dilakukan dalam satu perangkat seperti smartphone. Karenanya, kata dia, masa depan generasi sekarang bergantung pada satu gengaman.

“Sekarang, kita bisa melakukan semua hal mulai dari ambil video, foto dan suara serta hal lain melalui telepon gengam. Anda bisa memproduksi konten sendiri dan menayangkan melalui media seperti youtube. Jadi kalau sekarang ingin punya TV, tidak perlu kaya,” katanya.

Sayangnya, lanjut Rahmat, proses digitalisasi dan konvergensi di Indonesia tidak diimbangi dengan adanya regulasi yang memadai. UU Penyiaran yang berlaku saat ini usianya sudah tidak relevan dengan kemajuan penyiaran dan komunikasi.

“Undang-undang Penyiaran usianya sudah enambelas tahun dan sampai sekarang revisinya belum juga selesai. Padahal media baru terus berkembang,” tuturnya. 

Saat diberi kesempatan bertanya, beberapa mahasiswa mengeluhkan film dan sinetron yang dari segi isi tidak mendidik tapi masih saja tayang di televisi. Mereka juga bertanya siapa yang bertanggungjawab melakukan sensor dan blur terhadap sebuah tayangan. 

Dalam kesempatan itu, Koordinator Penelitian dan Pengembangan KPI Pusat, Andi Andrianto, memaparkan program survey indeks kualitas program televisi yang dilakukan KPI pada 2018. Menurutnya, hasil survei KPI terhadap program televisi dapat menjadi bahan penelitian mahasiswa dan data penyiaran di lingkungan perguruan tinggi. ***

 

Oleh : Mahi M. Hikmat

Kendati media sosial tampak mendominasi, tetapi media mainstream masih tetap memiliki peranan besar pada aksesitas kehidupan masyarakat, baik sebagai sumber informasi, sarana hiburan, pendidikan, maupun sebagai perekat dan kontrol sosial. Apalagi televisi yang sudah terlebih dahulu merebut hati khalayak dengan siaran audio visualnya, murah, banyak pilihan, serta dekat dan intim dengan khalayak, tidak dapat diremeh-temehkan. Berbagai penelitian dan teori pun sudah membuktikan, televisi adalah magic box, kotak yang dapat berpengaruh besar terhadap pemikiran, sikap, dan perilaku khalayak; televisi adalah sarana mimesis khalayak yang paling efektif.

Oleh karena itu, di antara “kepanikan” menghadapi dasyatnya pengaruh media sosial, semua pihak juga tetap harus waspada terhadap konten-konten siaran yang disajikan lembaga penyiaran, terutama televisi. Di wilayah perkotaan, boleh jadi peminat televisi sudah mulai berkurang karena trends lifestyle generasi milenial yang media sosial sentris, tetapi siaran televisi pun ikut mewarnai, baik melalui tv streaming-nya maupun youTube-nya. Namun, di wilayah pedesaan, siaran televisi masih tetap menjadi idola.

Apalagi hasil pemantauan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Provinsi Jawa Barat (KPID Jabar) dan laporan masyarakat Jawa Barat selama tahun 2018 dari 1.926 pelanggaran  isi siaran terhadap Undang-Undang Penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran  dan Standar Program Siaran (P3-SPS), 93,8% atau 1.808 pelanggaran dilakukan oleh lembaga penyiaran televisi. Dari 4.210 kali pasal yang dilanggar lembaga penyiaran tersebut, di antaranya 1.394 kali pelanggaran terhadap aturan yang terkait dengan larangan penayangan konten siaran pada waktu tayang klasifikasi anak dan 784 kali terkait pasal perlindungan terhadap anak dan/atau remaja.

Sementara itu, pasal yang terkait dengan konten siaran yang paling sering muncul di televisi dan melakukan pelanggaran sepanjang tahun 2018 adalah konten siaran mistik, horror, dan supranatural (mhs). Konten mistik, horor, dan supranatural  pada tahun 2018 disajikan sangat masif di layar televisi dan hampir merasuki setiap bentuk program siaran, mulai dari film, sinetron, infotaintmen, bahkan reality show. Eksploitasi muatan tersebut yang berlebihan berpotensi menimbulkan efek negatif pada kehidupan masyarakat, seperti munculnya rasa takut yang berlebihan atau mendorong masyarakat untuk percaya atas kesaktian benda atau orang tertentu yang berindikasi melanggar Pasal 36 Ayat (5) UU Penyiaran bahwa isi siaran dilarang bersifat …menyesatkan….

Siaran mistik, horor, dan supranatural pun berbahaya bagi kerusakan kognisi, sikap, dan perilaku; dapat mendorong pada pembenaran terhadap kondisi hidup yang irrasional, toleransi terhadap keburukan, dengki, iri hati, curiga, dan penyakit hati lainnya; dapat memicu perilaku tidak produktif dan permisif terhadap sikap mental menerabas; dapat menciptakan ketakutan, kecemasan, stress dan emosi negatif lainnya (Rachmiatie : 2018). 

Oleh karena itu, Standar Program Siaran mengatur lebih rinci tentang Pogram Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural dalam satu bab dan tiga pasal. Dalam Pasal 30 ayat (1) disebutkan, Pogram Siaran yang mengandung muatan Mistik, Horor, dan/atau Supranatural dilarang menampilkan : a. mayat bangkit dari kubur; b. mayat dikerubungi hewan; c. mayat/siluman/hantu yang berdarah-darah; d. mayat/siluman/hantu dengan pancaindra yang tidak lengkap dan kondisi mengerikan; e. orang sakti makan sesuatu yang tidak lazim, seperti, benda tajam, binatang, batu dan/atau tanah; f. memotong anggota tubuh, seperti, lidah, tangan, kepala, dll.; g. menusukkan dan/atau memasukkan benda ke anggota tubuh, seperti, senjata tajam, jarum, paku, dan/atau benang.

Selain itu, Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI) mempertegas pengaturan Pogram Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural di layar televisi melalui surat edaran. Surat Edaran yang dikeluarkan akhir 2018 menguatkan, mempertegas, dan menambahkan bahwa lembaga penyiaran harus super taat pada peraturan dalam menyajikan Pogram Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural. Khalayak harus ekstra hati-hati dalam menikmatinya. Regulasi penyiaran di Indonesia secara umum memang memberikan peluang bagi lembaga penyiaran untuk menayangkannya; sebagian budaya masyarakat Indonesia pun menerimanya, sehingga rating program tersebut cukup menjanjikan. Namun tampilan program harus tetap dikemas dengan baik dan berlandaskan perlindungan terhadap anak-anak dan remaja serta tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan.

Namun, sesuai dengan karakteristik budaya sebagian masyarakat Indonesia yang juga percaya pada hal-hal gaib, baik dari perwujudan benda-benda keramat maupun tokoh/sosok tertentu, Standar Program Siaran pun “beradaftasi”. Oleh karena itu, dalam Pasal 30 ayat (2) ditegaskan, Pogram Siaran yang bermuatan Mistik, Horor, dan/atau Supranatural yang  merupakan bagian dari pertunjukan seni dan budaya asli suku/etnik bangsa Indonesia dikecualikan dalam adegan: orang sakti makan sesuatu yang tidak lazim; memotong anggota tubuh,;  menusukkan dan/atau memasukkan benda ke anggota tubuh,. Namun, dalam kerangka perlindungan terhadap anak & remaja, adegan tersebut hanya dapat disiarkan pada (jam) klasifikasi dewasa (DW), mulai pukul 22.00 sampai dengan 03.00 waktu setempat.

Kemudian pada Pasal 31 dan 32-nya ditegaskan pula, Pogram Siaran yang menampilkan muatan Mistik, Horor, dan/atau Supranatural dilarang: melakukan rekayasa seolah-olah sebagai peristiwa sebenarnya kecuali dinyatakan dengan tegas sebagai reka adegan atau fiksi; adegan yang menimbulkan ketakutan dan kengerian khalayak harus ditayangkan pada (jam) kategori dewasa (DW) pukul 22.00-03.00 waktu setempat.

Setegas apapun aturan dan seberat apapun sanksi yang diancamkan, tidak akan menjadi solusi terbaik bagi makin sehatnya program siaran. Terlebih Program Siaran Mistik, Horor, dan Supranatural yang akhir-akhir ini sangat masif pada program siaran televisi Indonesia memiliki rating di atas rata-rata.  Dalam frame bisnis, program siaran tersebut cukup menggiurkan di antara mulai lesunya minat khalayak terhadap siaran televisi. Dalam pendekatan layanan, rating tinggi menunjukkan peminatan yang besar, yang berindikasi pada meningkatnya kepuasan publik. Bahkan bagi sebagian masyarakat, siaran tersebut sinergi dengan upaya peningkatan kepedulian dan pelestarian budaya lokal.

Namun, setara-kah pertimbangan-pertimbangan tersebut dengan dampak buruk yang akan ditimbulkan, khususnya pada generasi muda ke depan. Karena kita sangat berharap, Indonesia masa depan lebih baik daripada hari ini dan hal itu sangat bergantung dari generasi muda sekarang. Oleh karena itu, lembaga penyiaran harus bijak dalam menyajikan; KPI/KPID harus ketat mengawasi dan tegas memberi sanksi, kelompok masyarakat strategis pun harus tetap peduli, serta para pemirsa pun harus lebih hati-hati: menontonlah hanya pada program siaran sehat, mendidik, dan sesuai dengan klasifikasi usia. ***

Penulis: Koordinator Pengawas Isi Siaran KPID Jawa Barat, Dosen UIN Bandung, Dewan Pakar ICMI Jawa Barat  

 

Banjarmasin - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Kalimantan Selatan meminta lembaga penyiaran di provinsi itu bersikap adil dan berimbang dalam pemberitaan mengenai Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.

"Pemberitaan yang adil dan berimbang itu, baik dalam pemilihan presiden (pilpres) maupun pemilu legislatif," ujar Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Kalimantan Selatan (Kalsel) Marliyana SP kepada wartawan di Banjarmasin, Rabu.

"Permintaan KPID Kalsel itu terutama kepada televisi lokal. Karena dari hasil pemantauan, penyiaran lokal saat ini tidak adil dan tak berimbang," kata Yana.

Ia menerangkan, ketidakadilan dan ketidakseimbangan tersebut seperti terlihat pada pemberitaan tim kampanye pasangan calon presiden (capres) serta partai politik (parpol) peserta pemilu yang tayang sejak 23 September lalu.

"Jadi selama tiga bulan terakhir, tayangan pemberitaan pemilu tidak adil dan tidak berimbang, baik antara kandidat pasangan capres maupun parpol peserta Pemilu," kata Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPID Kalsel itu.

Sebagai contoh dari hasil pemantauan menunjukan, adanya pemberitaan parpol atau pasangan capres mendominasi tayangan di lembaga penyiaran, sementara yang lain mendapatkan porsi minim.

"Kalau perbandingan 3:1, itu masih bisa ditolerir, namun ini perbandingannya 5:1, mengingat perhitungan dilakukan akumulasi setiap bulan," ujar redaktur salah satu media di Banjarmasin tersebut.

Padahal, tegas alumnus Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin itu, lembaga penyiaran harus bersikap adil dan berimbang serta proporsional dalam memberitakan kegiatan kampanye tim capres ataupun parpol peserta pemilu.

"Kita tidak meminta mereka netral, namun tetap mengedepankan unsur adil, berimbang dan proporsional," tegasnya seraya menambahkan bahwa tidak bisa dipungkiri ada lembaga penyiaran yang berafiliasi dengan parpol tertentu.

Menurut dia, kelihatannya tidak ada upaya memberikan kesempatan yang sama kepada tim kampanye capres ataupun parpol lain untuk mendapatkan porsi pemberitaan.

"Kami dari KPID sudah menyurati lembaga penyiaran untuk memenuhi ketentuan khususnya UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PKPU Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum dan Peraturan Bawaslu Nomor 28 Tahun 2018 tentang Pengawasan Kampanye Pemilihan Umum.

Selain itu, Keputusan Bersama Badan Pengawas Pemilu, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Penyiaran Indonesia dan Dewan Pers tentang Gugus Tugas Pengawas dan Pemantauan Pemberitaan, Penyiaran dan Iklan Kampanye Pemilihan Umum 2019, demikian Yana.  Red dari ANTARA News

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.