Paris - Prancis telah lama berjuang untuk menahan gelombang masuknya bahasa Inggris yang membanjiri bahasa Molière. Tetapi sebuah petisi yang menyerukan program televisi untuk disiarkan dalam bahasa Inggris dengan subtitel mendapat dukungan dengan cepat dari berbagai pihak.

Petisi tersebut diluncurkan oleh Delphine Tabaries-Poncet, seorang guru bahasa di kota selatan Béziers yang khawatir bahwa bahasa Inggris muridnya yang tidak sempurna dapat menghambat masa depannya.

Dia menyadari nilai penting dari serial TV dan film dalam bahasa Inggris ketika seorang anak laki-laki Rumania berusia 15 tahun di sekolahnya, dapat berbicara bahasa Inggris jauh lebih baik daripada teman-teman sekelasnya.

Dia telah mencapai kelancaran berbahasa Inggris yang didapat dengan menonton televisi. Rumania sering menyiarkan film dan seri dalam bahasa Inggris. "Dia berbicara dengan sangat baik sehingga yang lain tidak bisa mengikutinya," katanya, awal Maret 2018.

Delphine prihatin bahwa kegagalan banyak anak sekolah Prancis untuk menguasai lingua franca global menghambat prospek karier mereka. Delphine sekarang mendesak Presiden Emmanuel Macron untuk mengambil tindakan untuk memasukkan lebih banyak bahasa Inggris ke penyiaran Prancis.

Permohonannya untuk menghentikan program-program bahasa Inggris dalam bahasa Prancis telah memperoleh ribuan tanda tangan hanya dalam beberapa hari.

Tetapi pasti akan memancing kontroversi di sebuah negara yang mencoba menangkis “invasi budaya Anglo-Saxon” dengan memberlakukan kuota untuk lagu-lagu Prancis yang diputar di radio dan film-film Prancis yang diputar di bioskop-bioskop.

Alex Martin, 55, seorang insinyur, berkata “Mengapa kita harus dipaksa menonton program dalam bahasa Inggris? Terlalu banyak orang yang sudah menggunakan kata-kata bahasa Inggris. Kami harus membela bahasa kami, dengan tidak membiarkan lebih banyak bahasa Inggris berada di Perancis.” Sumber dari https://www.telegraph.co.uk

 

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, didampingi Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah dan Dewi Setyarini, melakukan pertemuan formal dengan Pengurus Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) di Kantor KPI Pusat, Kamis (12/4/218).

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Pengurus Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) melakukan pertemuan formal di Kantor KPI Pusat, Kamis (12/4/218). Pertemuan tersebut dimanfaatkan ATVLI untuk menyampaikan sikapnya terkait surat edaran yang dikeluarkan KPI Pusat terkait aturan siaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018, beberapa waktu lalu.

Sebelum ATVLI menyampaikan tanggapan dan masukan, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, didampingi Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah dan Dewi Setyarini, mengatakan pertemuan ini untuk menjawab surat dari ATVLI terkait sikap mereka terhadap surat edaran KPI Pusat. Menurut Hardly, ketimbang dijawab dengan surat pertemuan secara langsung dapat menemukan konteks dan substansi yang diinginkan. 

Ketua Umum ATVLI, Santoso menyatakan, pihaknya menghormati ketentuan-ketentuan surat edaran yang dikeluarkan KPI juga peraturan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tentang aturan kampanye di media. Namun, secara khususnya ATVLI menilai KPI Pusat belum maksimal melibatkan stakeholder penyiaran termasuk masyarakat dalam membuat aturan terkait Pilkada 2018. “Kami merasa tidak dilibatkan dalam hal ini,” katanya.

Jimmy Silalahi, Sekjen ATVLI, menambahkan agar ketentuan KPI terkait Pilkada 2018 tetap menjunjung tinggi spirit kemerdekaan pers, kebebasan berpendapat, dan nilai-nilai edukasi masyarakat terkait Pilkada. Menurutnya, media adalah salah satu pihak yang bertanggung jawab apabila masyarakat kurang teredukasi dan memahami terkait kontestan Pilkada, yang berpotensi menurunkan minta mereka untuk terlibat dalam pesta demokrasi tersebut

“Ketentuan yang dibuat KPI terkait aturan Pilkada 2018 sebaiknya mempertimbangkan nilai-nilai kearifan lokal dan keberagaman kondisi dan kebutuhan informasi masyarakat di tiap daerah di Indonesia,” tambah Jimmy.

Jimmy berharap aturan KPI tentang Pilkada 2018 tidak menghambat kesempatan media penyiaran di berbagai daerah untuk ikut merasakan dampak positif dari Pilkada yakni memperoleh keuntungan finansial secara konkrit, professional dan proposional. ATVLI juga menyampaikan masukan terkait kelembagaan KPI.

Menanggapi itu, Hardly Stefano mengatakan semangat surat edaran yang dikeluarkan adalah untuk memoderasi Peraturan KPU (PKPU). Edaran KPI Pusat menyesuaikan dengan aturan P3SPS KPI tahun 2012 dan kondisi yang ada di bidang penyiaran. “Semangat kami adalah adanya keberimbang dan proposional. Pada intinya, kami tidak ingin merepotkan semua pihak,” katanya.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah menjelaskan, pihaknya sudah melakukan komunikasi dengan KPU terkait pemanfaatan lembaga penyiaran lokal (televisi lokal) terkait siaran Pilkada seperti debat publik dan lainnya. Penekanan soal target audiensi agar tepat sasaran selalu disampaikan ke KPU.

“Kami selalu mendorong agar televisi lokal menjadi media patner KPU di Pemilukada. Bahkan, jika tidak ada televisi lokal di daerah tersebut kami dorong pemanfaatan lembaga penyiaran berlangganan asalkan sesuai dengan ketentuan produksi konten oleh lembaga penyiaran berlangganan,” kata Nuning.

Hal yang sama diutarakan Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini. Perhatian terhadap lokalitas menjadi alasan KPI untuk mendahulukan lembaga penyiaran lokal sebagai prioritas. “Kami selalu mendorong media penyiaran lokal untuk berkembang,” tandasnya. ***

 

 

Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, menyerahkan plakat KPI ke Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Sardi Susanto, di Kantor KPI Pusat, Kamis (12/4/2018).

 

Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah (Jateng), melakukan kunjungan kerja ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kamis (12/4/2018). Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan aduan soal dugaan pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran lokal di Banyumas terkait tayangan politik. Aduan tersebut diterima langsung Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini.

Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Sardi Susanto mengatakan, pihaknya menemukan lembaga penyiaran lokal yang hanya menyiarkan tayangan salah satu calon pasangan yang ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Banyumas. “Bagaimana mekanismenya untuk melaporkan dugaan pelanggaran ini. Lalu siapa yang punya kewenangan memberi sanksi jika hal itu melanggar,” katanya.

Sardi juga melaporkan keluhan masyarakat Banyumas terhadap program FTV (Film Televisi) di salah satu televisi swasta berjaringan nasional. Menurutnya, tema cerita yang diangkat program FTV itu tidak pantas karena memuat persoalan kekerasan dalam rumah tangga.

“Cerita-cerita film seperti itu memicu tingginya angka korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kabupaten Banyumas. Uniknya, kekerasaan tersebut dilakukan oleh istri terhadap suami. Kami minta KPI menegur tayangan tersebut,” pinta Sardi meneruskan aduan dari Forum Ibu-Ibu Banyumas (FIIB).

Menanggapi aduan itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini menjelaskan, aduan terkait tayangan televisi lokal yang diduga melakukan pelanggaran dapat ditujukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah setempat, dalam hal ini KPID Jateng.

“Untuk urusan lembaga penyiaran lokal kewenangannya ada di KPID dan itu termasuk sanksi yang akan diberikan jika lembaga penyiaran lokal tersebut terbukti melakukan pelanggaran. Adapun aduan terhadap televisi swasta berjaringan nasional dapat ke KPI Pusat. Untuk sanksinya berjenjang mulai dari peringatan, teguran, penghentian sementara hingga pengurangan durasi,” katanya.

Dewi mengatakan, respon masyarakat Banyumas terhadap tayangan yang dianggap tidak pantas dan melanggar sebaiknya diwadahi dalam bentuk forum masyarakat peduli penyiaran (FMPP). Terbentuknya  forum ini dapat memudahkan koordinasi antar anggota ketika ada masalah dengan tayangan media.

Dalam kesempatan itu, Dewi mendorong pengembangan produksi konten lokal di lembaga penyiaran yang bersiaran di Banyumas. ***

 

 

Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono menjadi narasumber diskusi bertajuk "Bijak Menonton Tayangan Layar Kaca di Kalangan Bankom Polrestabes Semarang" itu diikuti oleh puluhan anggota Bantuan Komunikasi (Bankom) Polrestabes Semarang, Kamis (12/4/2018).

 

Semarang - Tayangan televisi saat ini cenderung memihak pada kepentingan industri. Talkshow dan iklan dikemas bukan untuk memberikan manfaat bagi publik tetapi justru untuk keuntungan industri. Pernyataan itu disampaikan oleh Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Tengah Budi Setyo Purnomo saat diskusi literasi media di Majesty Convention Hall Semarang, Kamis (12/4/2018).

Diskusi bertajuk "Bijak Menonton Tayangan Layar Kaca di Kalangan Bankom Polrestabes Semarang" itu diikuti oleh puluhan anggota Bantuan Komunikasi (Bankom) Polrestabes Semarang. Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono dan Presiden Direktur Dreamlight World Media, Eko Nugroho didapuk sebagai narasumber.

Budi menyampaikan, kegiatan literasi media merupakan bagian program KPID yang sangat penting. Sebagai regulator penyiaran, KPID selalu berupaya agar masyarakat bisa melek media. Menurutnya, peran masyarakat sangatlah penting. Untuk itu KPID bekerjasama dengan masyarakat untuk mengawasi konten-konten televisi. Tak hanya televisi, tetapi juga radio.

"Kenapa radio harus diawasi. Padahal radio itu didengar saja. Sebab radio lebih banyak menyiarkan lagu-lagu," katanya.

Menurutnya, lagu yang paling disukai adalah lagu dengan lirik cabul. Misalnya lagu dangdut koplo yang jadi favorit. Menurutnya, lagu dengan harmoni yang bagus mudah ditangkap masyarakat. Itu akan jadi bahaya ketika diikuti lirik yang tak bagus.

"KPID mencatat ada sekitar 52 judul lagu berkonotasi saru," katanya.

Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono menjelaskan,  lembaga penyiaran televisi dan radio harus diatur karena menggunakan frekuensi publik. Dia menyebutkan, ada regulasi yang mengatur yaitu Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran. UU tersebut mengamanatkan adanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai regulator. Namun, aturan tersebut sudah 15 tahun dan tidak relevan lagi. Saat ini sedang direvisi dan belum rampung.

"Banyak hal kalau tak diawasi berisiko, akan berdampak pada keseluruhan bangsa ini. Idealnya KPI memegang mandat supaya kualitas siaran terjaga," katanya," katanya.

Selain memiliki peran mengatur, lanjut Mayong, KPI juga mengapresiasi dan memberikan sanksi. KPI menerapkan memiliki buku acuan berupa Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) untuk lembaga penyiaran.

Meski demikian, perkembangan media saat ini cukup pesat. Televisi dan radio kalah jauh dengan media baru yang memanfaatkan internet.  "KPI idealnya mengatur informasi yang muncul melalui gadget. Hanya saja belum ada regulasinya," katanya.

Mayong juga mengingatkan, media sosial berada di luar jangkauan KPI. Tetapi menjadi tanggung jawab bersama. Untuk itu ia mengajak agar masyarakat bisa menfilter informasi yang beredar.

Sementara itu Presiden Direktur Dreamlight World Media Eko Nugroho mengajak anggota Bankom agar kritis melihat tayangan televisi. Juga informasi yang beredar di internet. Dia menyebutkan ada miliaran video yang diunggah di internet. Untuk itu ia mengajak agar berhati-hati mengonsumsi.

Ketua Bankom Polrestabes Semarang Giri Purdyanto berharap, tim Bankom bisa mengomunikasikan literasi media kepada masyarakat luas. "Informasi saat ini luar biasa. Kalau tidak memfilternya, nilai budaya kita akan hilang. Harus kita jaga," katanya.

Giri mengatakan, saat ini Bankom memiliki angggota lebih dari 100. Juga memiliki anggota halaman Facebook lebih dari 10 ribu. "Kita manfatkan untuk menyebarkan informasi positif," katanya. Sumber dari KPID Jateng

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono.

 

Jakarta – Penyebab rendahnya kualitas tayangan sinetron dalam negeri disinyalir karena Indonesia kekurangan sumber daya manusia (SDM) kreatif seperti penulis skenario atau cerita. Selain itu, tenaga kreatif yang minim tersebut terbebani dengan pola kejar tayang yang menyebabkan ide cerita tidak berkembang.

Pendapat itu disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mayong Suryo Laksono, saat menerima kunjungan mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung, di Kantor KPI Pusat, Kamis (12/4/2018).

Menurut Mayong, pola kejar tayang menyebabkan jam kerja para pekerja kreatif menjadi tidak teratur sehingga mempengaruhi kreatifitas mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan pola kerja kru pembuat film atau sinetron di luar negeri seperti Hongkong.

“Ketika saya belajar soal film di Hongkong. Jam kerja mereka sangat teratur. Masuk pukul tujuh pagi, selesai pukul lima sore. Pukul duabelas siang mereka istirahat makan siang. Sangat teratur. Adapun di sini, bisa sampai pagi lagi selesainya. Kondisi ini jelas tidak memungkinkan untuk membuat tayangan berkualitas,” kata Mayong.

Mayong mengatakan, minimnya tenaga kreatif ini dapat menjadi peluang kerja bagi siapa pun termasuk mahasiswa. “Kita ini kekurangan tenaga kreatif jadi kalian bisa kirim gagasan atau ide cerita kalian,” sarannya kepada para mahasiswa.

Dalam kesempatan itu, Mayong meminta mahasiswa untuk membantu gerakan literasi media ataupun digital. Menurutnya, gerakan literasi media untuk masyarakat tidak boleh berhenti dan harus dilakukan secara massif. Literasi ini akan menumbuhkan sikap bijak, kritis dan jeli memilah media di tengah maraknya informasi menyesatkan atau hoax di media sosial.

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, pihaknya melakukan sosialisasi dan literasi mengajarkan kepada sebanyak orang agar melek media. Literasi ini tidak hanya untuk media arus utama tapi juga media non mainstream. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.