Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat menghadiri jumpa pers laporan pantauan siaran Ramadan 2018 di Kantor MUI Pusat, Selasa (6/5/2018).

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bersama Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengadakan jumpa pers hasil pantauan TV Ramadhan 2018, Selasa (05/06/2018), di Kantor MUI Pusat, Jakarta. 

 

Jumpa pers ini membahas hasil temuan pelanggaran tayangan televisi sejak 17 Mei hingga 31 Mei 2018. Turut hadir dalam pertemuan tersebut Komisioner KPI Pusat Nuning Rodiyah, Ketua Komisi Infokom MUI Masduki Baidlowi, Sekretaris Komisi Infokom Asrori S. Karni, serta Anggota Komisi Infokom Prof. Ibnu Hamad.

 

Nuning Rodiyah mengatakan, Ramadan Kali ini tayangan televisi mengalami peningkatan baik kualitas maupun kuantitas tayangan. "Pada tahun ini terjadi peningkatan jumlah penonton khususnya pada program variety show serta reality show," katanya

 

Dia menambahkan, tahun ini KPI Pusat mengeluarkan beberapa sanksi antara lain 3 (tiga) peringatan tertulis, 2 (dua) teguran tertulis pertama serta 1 (satu ) teguran tertulis kedua. "Diharapkan dengan sanksi yang diberikan lembaga penyiaran dapat melakukan evaluasi terhadap kualitas siarannya," paparnya.

 

Hal senada juga disampaikan Asrori. Menurutnya 2018 ini terdapat 5 (lima) lembaga penyiaran yang berinisiatif untuk meminta masukan kepada MUI dalam pembuatan program acara Ramadan.

 

Selain mengapresiasi langkah tersebut, Asrori juga meminta Lembaga Penyiaran untuk memperbaiki konten acara yang dinilai tidak sesuai dengan nilai Ramadan. "Diharapkan seluruh Lembaga Penyiaran melakukan koreksi dan mematuhi aturan penyiaran seperti yang sudah diatur dalam P3SPS KPI," pungkasnya.

 

Di akhir jumpa pers, Ibnu Hamad menyampaikan apresiasi dan koreksi pantauan menekankan pada dua hal yaitu memberi apresiasi pada program acara yang baik dan koreksi pada acara yang kurang patuh terhadap regulasi. “Tindak lanjut pertemuan ini dikembalikan pada regulator yang berwenang yaitu KPI," tutup Ibnu. Ravel

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) memutuskan memberi sanksi teguran untuk program siaran “Orang Ketiga” SCTV. Program tersebut kedapatan melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Hal itu ditegaskan KPI Pusat dalam surat teguran yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, tertanggal 14 Mei 2018.

Berdasarkan pemantauan, pengaduan masyarakat dan hasil analisis, KPI Pusat menemukan pelanggaran pada program siaran “Orang Ketiga” yang ditayangkan stasiun SCTV pada tanggal 15 April 2018 pukul 23.17 WIB. Program siaran tersebut menampilkan adegan seorang pria dan wanita yang sedang bertengkar dengan berkata “Bajingan”. Selain itu, pada tanggal 18 April 2018 pukul 22.11 WIB menampilkan adegan seorang wanita yang dibawa ke Bidan untuk melakukan aborsi. 

Berdasarkan pengaduan masyarakat yang KPI Pusat terima, hal ini dianggap telah memberikan citra/stigma negatif terhadap profesi bidan. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan serta penghormatan terhadap etika profesi. 

“KPI Pusat memutuskan bahwa tayangan tersebut telah melanggar P3 KPI tahun 2012 Pasal 9 dan Pasal 10 serta SPS KPI Tahun 2012 Pasal 9 Ayat (1) dan Pasal 10 Ayat (1). Berdasarkan pelanggaran tersebut, KPI Pusat memberikan sanksi administratif Teguran Tertulis,” kata Ketua Yuliandre Darwis.

Diakhir surat, KPI Pusat minta SCTV agar menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. ***

 

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Perwakilan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), dan Polda Metro Jaya usai tandatangani Deklarasi.

 

Jakarta -- Pimpinan media, pengurus dan jurnalis yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menandatangani Deklarasi Bersatu untuk Indonesia Damai, Rabu (30/5/2018) di Hotel Borobudur, Jakarta.

Deklarasi ini berisikan komitmen untuk mendukung penyiaran sebagai media informasi guna mewujudkan Indonesia Damai. Ikut menandatangani Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Perwakilan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), dan Polda Metro Jaya.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, deklarasi atau sikap bersama ini dimaksudkan agar media senantiasa mengedepankan kepentingan publik dalam menyampaikan setiap informasinya. “Ini komitmen kita bersama ketika terjadi kejadian-kejadian luar biasa seperti ini,” katanya sebelum membuka diskusi publik di tempat yang sama. 

Sebelumnya, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis menyampaikan, komintmen dan diskusi ini untuk menyamakan persepsi dan tensi lembaga penyiaran usai kejadian bom beberapa waktu itu. Perlu ada diskusi untuk menyamakan tolak ukur yang sama tersebut tentang pemberitaan terorisme. “Agar tidak ada lagi saling intip antar TV, apakah ada yang tayang disana jika kejadian luar biasa seperti terorisme ini,” katanya.

Menurut Andre, panggilan akrabnya, yang harus dipahami sekarang adalah jangan ada saling menyalahkan tapi justru menacari role model untuk mengatur hal ini. “Memang sudah ada kode etik tapi tidak ada kesamaan dalam menjalankannya,” sahutnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat ini mengingatkan agar media khususnya penyiaran mengutip informasi dari pihak berwenang guna mendapatkan informasi yang lengkap dan benar. Uji informasi, verifikasi dan investigas tidak boleh ditanggalkan. 

“Kita harus berkomitmen menjaga stabilitias keamanan dengan mengedepan informai yang positif dan mendamaikan. Ketika ada kejadian seperti ini. Semua pihak sudah paham dan diskusi secara periodik harus terus dilakukan. Media arus utama dalam hal ini TV harus jadi tuntunan dan meminimalisir berita fake atau hoax,” tandasnya. *** 

 

Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di Hotel Borobudur, Rabu (30/5/2018), menghadirkan narasumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. (Foto by Agung Rachmadyansah KPI)

 

Jakarta -- Media penyiaran diminta bijak dan arif dalam melakukan peliputan dan penyiaran terkait kejadian serta kasus hukum soal terorisme. Permintaan tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di salah satu Hotel di Jakarta Pusat, Rabu (30/5/2018).

Diskusi yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jelang buka puasa itu menghadirkan narasumber dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. 

Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, media jangan hanya berpikir bagaimana cara menyampaikan informasi tapi juga menaksir dampak yang akan ditimbulkan jika informasi itu disampaikan ke publik. “Kita tidak bisa menampilkan bahan berita apa adanya atau sederhana,” katanya di depan peserta yang sebagian besar perwakilan lembaga penyiaran dan wartawan.

Menurutnya, semangat media untuk menyajikan informasi mengenai terorisme dikhawatirkan justru memunculkan semangat baru atau membangkit sel-sel tidur terorisme. “Tanpa mengurangi kebebasan untuk memberi informasi, kita punya rujukan dan kearifan, bahwa setiap fakta tidak bisa disiarkan secara telanjang.Yang baik adalah harus ada proses edit, verifikasi dan pertimbangan lainnya,” jelas Mayong.   

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung, Mohamad Rum, mengatakan media harus memiliki kearifan dalam menyiarkan kasus terorisme terutama menyangkut persidangan kasus ini. “Memang susah hakim melarang peliputan tapi semuanya kembali ke medianya. Kebijaksanaan media menjadi harapan demi kepentingan publik dan nasional serta penegakan hukum,” jelasnya.

Sementara, Kepala Biro Humas Mahkamah Agung, Abdullah, menyampaikan siaran langsung perkara terorisme dapat mengancam keamanan perangkat pengadilan karena data identitasnya terutama hakim jadi terbuka. Selain itu, jalannya sidang yang disiarkan “live” dapat mempengaruhi keterangan para saksi di depan hakim.

“Mestinya saksi yang akan dimintai keterangan sesudah saksi sebelumnya tidak boleh mengetahui apa-apa yang disampaikan. Ini akan menambah wawasan kepada saksi berikutnya dan akan sulit dipertanggungjawabkan keterangannya karena hakim itu membutuhkan keterangan yang original,” kata Abdullah.

Menurutnya, sebaiknya siaran “live” dari ruang sidang dibatasi demi menjaga kemurnian keterangan saksi untuk mengadili terdakwa. Media memiliki andil besar menyelamatkan banyak orang dengan tidak menyiarkan hal ini. 

Ketua Dewan Pers, Yoseph Adhi Prasetyo, juga mengingatkan media untuk mentaati aturan etika peliputan sidang di sebuah pengadilan. Dia mencontohkan persidangan kasusnya Jesica yang digelar di Pengadilan Negeri Pusat beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, semua media ingin meliput jalannya sidang yesica secara langsung, dimana kasus ini dianggap agak unik, karena Jaksa penuntut Umum  tidak bisa menghadirkan alat bukti yang sah, sehingga vonis banyak berdasarkan dari saksi ahli. 

Dewan pers juga ikut mengeluarkan pedoman peliputan terorisme maupun peliputan sidang lainnya yang dapat menjadi pegangan insan pers. Menurut Stanley, panggilan akrabnya, lembaga penyiaran punya kewajiban menyiarkan berita yang akurat di tengah masyarakat dengan tetap mengedepankan prinsip jurnalistik dan regulasi penyiaran yang ada. “Media memang harus membuat info berdasarkan fakta tapi jangan sampai mengabarkan ketakutan,” katanya.

Kepala Biro Multimedia Polri, Brigjen Pol. Rikwanto mengatakan, media harus berhati hati dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme. Dia mengkhawatirkan informasi yang tanpa pertimbangan matang akan memicu perkembangan terorisme. Media juga harus berperan memisahkan konteks agama dan tindakan terorisme. “Perbuatannya yang harus dihukum. Labelisasinya di buang,” katanya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.