Serang – Hadirnya digitalisasi penyiaran diharapkan diharapkan dapat membuka kesempatan penunaian hak informasi dan pengembangan pendidikan di wilayah perbatasan.  Hal ini dikarenakan implementasi digitalisasi memberikan prioritas pengembangan penyiaran di wilayah perbatasan yang juga diiringi dengan meluasnya jangkauan internet sebagai konsekuensi didapatnya digital deviden. Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Mulyo Hadi Purnomo menyampaikan hal tersebut dalam Sosialisasi dan Publikasi Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital, yang digelar secara daring di Serang , Banten, (16/10).

KPI sendiri menyambut baik rencana analog switch off (ASO) pada tahun 2022 mendatang, sebagai sebuah transformasi teknologi siaran yang akan memberi banyak manfaat bagi publik, khususnya di wilayah perbatasan yang merupakan beranda terdepan negara, wilayah tertinggal dan wilayah terpencil. Menurut Mulyo, meningkatnya akses informasi tentu akan membantu terjadinya peningkatan kualitas pendidikan di wilayah tersebut. “Muara dari digitalisasi ini adalah meningkatnya kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat”, tegasnya.

Konsekuensi lain dari penyiaran digital adalah semakin beragamnya konten siaran yang hadir ke tengah publik. Selain itu, kesempatan menghadirkan kebudayaan lokal dalam penyiaran juga terbuka semakin luas. Hal ini dikarenakan digitalisasi membuka peluang yang lebih luas bagi pelaku industri penyiaran. Jika selama ini ada keterbatasan frekuensi untuk kiprah industri dalam dunia penyiaran, dengan diterapkannya digitalisasi maka kanal-kanal frekuensi yang dapat digunakan menjadi lebih banyak.

KPI berharap, digitalisasi penyiaran ini dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan konten siaran yang edukatif dan informatif. Khusus untuk wilayah perbatasan, penyiaran digital ini diharapkan menjadi ruang untuk menyapa masyarakat di beranda terluar dari republik ini, ujar Mulyo. Karenanya siaran di wilayah perbatasan pun, diharapkan mampu meningkatkan rasa cinta tanah air, serta menguatkan integrasi nasional.

Pelaksanaaan digitalisasi penyiaran sebenarnya sudah mulai dilaksanakan secara bertahap sejak tahun 2017.  Kerja sama KPI dengan Kementerian Kominfo berhasil meluncurkan secara resmi siaran perdana TV digital di beberapa wilayah perbatasan antar negara, seperti Nunukan (Kalimantan Utara), Batam (Kepulauan Riau), dan Jayapura (Papua).  

Mulyo juga menjelaskan bahwa kegiatan sosialisasi dan publikasi penyiaran digital ini digagas KPI bekerja sama dengan Badan Aksesibilitas Komunikasi dan Informasi (BAKTI) Kemenkominfo yang digelar secara daring dengan peserta dari seluruh tanah air, khususnya dari wilayah perbatasan antar negara. Hadir sebagai pembicara dalam sosialisasi dan publikasi penyiaran digital ini, Wakil Ketua Komisi X Agustina Wilujeng Pramestuti, Anggota Komisi I DPR RI Helmy Faishal Zaini, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika Widodo Muktiyo, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran Mimah Susanti, dan VP Broadcast Operational Trans TV Wawan Julianto. 

 

 

Jakarta -- Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, untuk meningkatkan kualitas siaran, KPI bersama 12 Perguruan Tinggi Negeri melakukan Riset Indeks Kualitas Program Siaran Televisi. 

“Riset ini adalah semangat dan tujuan KPI dengan konsep kualitas. Kita mau tahu apakah tiap program yang ada itu layak untuk disiarkan,” ujar Yuliandre Darwis saat menjadi pemateri dalam diskusi berbasis daring yang diselenggarakan UIN Syarif Hidayatullah dengan tema “Berdakwah di Layar Kaca: Televisi dan Narasi Keagamaan di Indonesia” di Jakarta, Kamis (15/10/2020).

Lebih lanjut, pria yang ramah disapa Andre ini mengatakan, dengan beragamnya konten siaran, pihaknya merasa perlu melibatkan beberapa elemen para pakar terutama akademisi untuk memberikan kontribusinya dalam meningkatkan kualitas program siaran di Indonesia. Dalam konteks konten siaran keagamaan, konten di beberapa lembaga penyiaran sudah mencapai standart riset yang di tetapkan oleh KPI.  

Ada pun penilaian kualitas program siaran keagamaan berdasarkan indikator dengan relevansi alur perjalanan cerita. Kemudian dalam hal toleransi menjadi aspek utama yang menjadi tolak ukur dalam penilaian. Landasan kegiatan prioritas ini mencakup Pancasila dan menggambarkan kebhinekaan serta menghormati keragaman.

“Kami selalu melakukan evaluasi terhadat tayangan terjemahannya KPI merujuk fakta data kemudian ditabulasikan dengan para ahli dan kita transfer ke publik bahwa ada konteks keagamaan yang sehat di lembaga penyiaran,” katanya.

Sementara itu, Ketua Komisi Dakwah dan Pengembangan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH. Cholil Nafis menyampaikan, para tokoh agama yang nantinya akan tampil di lembaga penyiaran diharapkan memiliki kriteria dalam mengukur kompetensi dai yang ada. Konsepnya, MUI menginginkan adanya kemampuan mengkondisikan objek dakwah di Lembaga Penyiaran. 

“Kemampuan berkomunikasi dua arah dan memahami serta menyelesaikan masalah yang dialami oleh objek dakwah dan kemampuan membedakan karakter objek dakwah,” kata Cholil.

Cholil mengatakan standarisasi ini dibuat agar setiap dai memiliki paradigma yang sama. Menurut dia, standarisasi ini bukan bermaksud untuk membatasi dai berdakwah di lembaga penyiaran, tapi untuk dijadikan ambang kualitas para dai. "Tapi di saat bersamaan, kami juga tidak ingin lembaga atau publik disuguhi dengan ustadz yang tidak layak untuk menyampaikan dakwah di layar," ujar Cholil. Man/*

 

Jakarta -- Pemanfaatan media penyiaran dan media daring sebagai wadah kontestan Pilkada 2020 untuk berkampanye dinilai dapat meminimalisir risiko terjadinya praktik money politic atau politik uang. Namun begitu, etika berkampanye dalam ruang-ruang publik yang terbatas ini harus dijunjung tinggi.

Hal itu disampaikan Anggota Komisi I DPR RI, Muhamad Farhan, pada saat kegiatan Rapat Koordinasi dan Launching Pengawasan Pilkada Serentak Tahun 2020 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat secara daring, Selasa (13/10/2020).

Menurut Farhan, keberadaan lembaga penyiaran, TV dan radio, yang diawasi harus mendapatkan perhatian karena pada saat sekarang (pandemi covid-19) mendapat peran lebih. Tidak hanya soal informasi yang menjual, media ini memiliki peran untuk menyakinkan pemilih. 

“Karena pademi covid-19 ini membatasi adanya pertemuan fisik. Peluang ini harus dilihat sebagai kesempatan emas. Kami melihat pemanfaatan media untuk kepentingan Pilkada diharapkan akan mengecilkan risiko money politic,” kata politisi dari Partai Nasional Demokrat ini.

Menggunakan media pada saat Pilkada, lanjut Farhan, harus dilakukan secara dewasa. Meskipun para peserta Pilkada mesti memanfaatkan media ini secara maksimal, harus tetap memperhatikan norma-norma yang berlaku. 

Mewakili Komisi I DPR RI, Farhan menyatakan mendukung penuh adanya pengawasan oleh gugus tugas yang terdiri atas KPI, KPU, Bawaslu, dan Dewan Pers. Lewat kerjasama yang terintegrasi dan sistematik diharapkan dapat memenuhi Pilkada yang jujur, adil, dan berkualitas.

“Kami juga akan mendorong KPI dan Dewan Pers untuk mengawasi. Media, khususnya lembaga penyiaran, harus mengacu pada P3SPS KPI. Kami juga mendorong KPI memastikan media TV dan radio menyampaikan informasi yang terukur agar dapat memeilihara tatanan informasi yang berimbang dan agar informasi yang disampaikan kepada masyarakat adalah informasi yang baik, berimbang, dan adil,” tutur mantan penyiar radio ini.

Dalam kesempatan itu, Farhan meminta lembaga penyiaran untuk tetap bertindak independen dan tidak partisan. “Kami mendesak semua lembaga penyiaran dalam menyukseskan Pilkada harus jadi media yang informatif dan sekaligus media pendidikan untuk meliterasi masyarakat. Media penyiaran pun harus menjadi media penyaring agar informasi yang disampaikan benar, terpecaya, serta sekaligus sebagai media pemersatu dan kampanye untuk para kontestan,” tandasnya. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menyatakan sepakat jika kampanye di media penyiaran akan mengecilkan risiko terjadinya praktik politik uang. Pasalnya, interaksi antara kontestan dengan pendukung atau masyarakat pemilih tidak terjadi secara langsung. Kampanye model seperti ini sangat aman dan juga jauh dari risiko terpapar virus corona.

“Kampanye lewat media penyiaran juga sangat efektif dan efisien. Selain itu, pesan yang disampaikan kontestan dapat diterima secara jelas. Masyarakat jadi lebih tahu dan mengenal seperti apa calon pemimpinnya,” tambah Komisioner bidang Isi Siaran ini usai acara tersebut.

Karena itu, KPI mendorong agar slot iklan kampanye bagi para kontestan Pilkada di lembaga penyiaran dapat ditambah. Hal ini untuk memberi ruang yang luas bagi calon kepala daerah menyampaikan visi, misi, dan programnya kepada pemilih secara lengkap dan jelas. “Di saat pandemi sekarang, kampanye yang paling aman itu lewat media. Agar pemilih dapat memilih calon pemimpinnya secara benar, mereka harus mengenal secara dalam para calonnya. Oleh sebab itu, porsi kampanye mereka di ruang siaran perlu dipertimbangkan ditambah. Pengendalian kampanye melalui media sosial rawan pelanggaran dan banyaknya kampanye hitam,” usul Mulyo.

Sementara itu, Anggota Bawaslu Pusat, Mochammad Afifuddin, mengungkap kampanye lewat daring belum menjadi pilihan para kontestan. Berdasarkan temuan lembaganya, kampanye virtual hanya ditemukan di 37 daerah yang akan melaksanakan Pilkada. 

“Jumlahnya hanya 20-an persen saja. Artinya, budaya daring belum diminati para calon. Adapun persentasi tatap muka sangat tinggi ada sekitar 9900 lebih kegiatan. Dari jumlah itu, sebanyak 237 kegiatan diduga melanggar protokol kesehatan,” paparnya.

Dalam Rakor Pilkada itu hadir kurang lebih 270 peserta yang terdiri atas KPID, KPU Provinsi, Kabupaten dan Kota, serta Bawaslu daerah. Hadir pula perwakilan dari lembaga penyiaran. Kegiatan ini juga menghadirkan narasumber antara lain Dirjen IKP Kemkominfo, Prof. Widodo Muktiyo, Anggota KPU Pusat, Dewa Kade Riaksa, Anggota Dewan Pers, Hendry CH Bangun. Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, turut hadir dan berkesempatan membuka acara di damping Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti. ***

 

Jakarta -- Industri televisi di tanah air mulai banyak diisi oleh perempuan. Mereka berperan sebagai pengisi program, jurnalis, news anchor, floor direktor bahkan sebagai direksi di lembaga penyiaran. Ketika perempuan sudah terjun dan mendominasi televisi, seharusnya ini mempengaruhi perspektif keadilan gender dan penghormatan perempuan pada seluruh program siaran. 

“Semakin banyak perempuan yang terjun ke industri penyiaran. Harapannya ada nilai-nilai pemberdayaan dan penghormatan terhadap hak-hak perempuan yang selama ini sedikit banyak ditampilkan di layar kaca dengan gambaran yang eksploitasi. Perempuan masih menjadi obyek berita maupuan obyek program siaran,” kata Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat mengisi acara webinar Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) dengan tajuk “Perempuan dan Media”, Rabu (14/10/2020).

Menurut Nuning, posisi perempuan di media penyiaran dibagi menjadi tiga peran yakni sebagai penonton, pengisi materi program acara dan tim produksi. Sebagai penonton, perempuan dapat memengaruhi seperti apa iklan yang akan tayang di televisi karena perempuan masih menjadi penentu konsumsi keluarga terhadap satu produk.

“Jika berdasarkan data kepemirsaan yang disampaikan, 56 persen penonton TV adalah perempuan. Menjadi  wajar jika yang jadi target iklan adalah perempuan. Ini menjadi catatan kami untuk mendorong agensi iklan agar beriklan di tayangan berkualitas dan tidak mendiskriditkan perempuan serta program-program yang tidak melecehkan perempuan,” katanya. 

Sedangkan perempuan sebagai pengisi dan menjadi materi program, menurut Nuning, dapat dilihat dari beberapa judul sinetron yang eksploitatif dan mendiskiriditkan perempuan. 

“Jika judulnya itu semakin wow dan diskriminatif akan makin diminati. Ini menjadi catatan kami dan menjadi tanggungjawab bersama untuk melakukan edukasi. Apabila masyarakat semakin cerdas, masyarakat semakin teredukasi untuk memilih program siaran berkualitas dan baik. Saya kira suatu keniscayaan industri penyiaran akan menghadirkan apa yang diinginkan masyarakat. Agar tidak ada lagi judul yang bombastik dan mendiskriditkan,” kata Nuning.

Berikutnya posisi perempuan pada tim produksi. Melihat data bahwa jajaran direksi di lembaga penyiaran sudah banyak dipegang perempuan. Menurut Nuning, kabar ini cukup menggembirkan dan diharapkan sangat berpresfektif perempuan. “Ketika perempuan menjadi decision maker atau penentu kebijakan akan menentukan arah program yang tentu jadi lebih melindungi perempuan, anak dan keluarga,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Nuning menyampaikan strategi KPI terkait perlindungan perempuan dalam siaran yakni dengan penengakan regulasi. Aturan menyangkut perlindungan perempuan menjadi prioritas dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Upaya lain yang dilakuan KPI yakni bersinergi dengan sejumlah stakeholder seperti Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), lembaga penyiaran serta lembaga swadaya masyarakat seperti Maju Perempuan Indonesia.

“Kita mensinergikan program dan pijakan dalam hal meliterasi masyarakat agar lebih cerdas, masyarakat bisa memilih program siaran yang berkualitas. Tentu upaya ini dalam rangka mendorong perlindungan dan pemberdayaan masyarakat dari berbagai sektor kehidupan,” jelasnya.

KPI juga melakukan inovasi guna menegakkan kesetaraan gender di seluruh sektor. Karena itu, kata Nuning, perlu ada keterwakilan perempuan dalam setiap pengambil kebijakan dan hal ini tentu mengharuskan posisi perempuan tidak boleh hilang dalam sebuah tatanan organisasi seperti KPI atau KPID.

“Kami sangat terpukul ketika ada beberapa KPID yang tidak ada perempuannya. Dalam persfektif regulator, ini akan menghambat karena tidak ada persfektif perempuan dalam pengambil keputusan agar perempuan tidak lagi dieksploitasi, didiskriminasi dan lain sebagainya. Ini harus didorong untuk menghadirkan persfektif perempuan dalam konteks pengawasan siaran. Selain itu, KPI juga memberikan apresiasi kepada lembaga penyiaran yang telah memproduksi program siaran yang peduli kepada perempuan,” tegasnya. 

Ketidakadilan gender 

Di awal acara, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( Menteri PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menyampaikan, hingga saat ini ketidakadilan gender bagi perempuan masih terjadi di media penyiaran. Menurut dia, masyarakat Indonesia cenderung masih erat dengan pandangan patriarki yang mempersepsikan peran utama perempuan ada di ranah domestik, misalnya sebagai ibu rumah tangga. Gambaran tersebut dapat dilihat melalui media penyiaran. 

"Gambaran perempuan saat ini yang dapat kita lihat melalui media penyiaran masih lekat dengan ketidakadilan gender, di antaranya terletak pada stereotipe. Perempuan hanya diberikan peran pada sektor domestik serta isu kehamilan, pengasuhan dan pendidikan," kata Bintang saat membuka kegiatan literasi tersebut.

Bintang mengatakan, praktik eksploitatif juga terjadi pada perempuan di media penyiaran, contohnya, kasus prostitusi. Isi pemberitaan di media penyiaran dinilai cukup mengeksploitasi perempuan dari berbagai sisi. "Demikian juga kekerasan, di mana kasus-kasus perkosaan yang kerap menyalahkan dan menganggap perempuan sebagai pemicu perkosaan," ujarnya. 

Dia mengatakan, perempuan harus diberikan akses dan kesempatan lebih luas sehingga potensi dan kemampuannya pun berkembang maksimal. "Saya yakin pemberdayaan perempuan adalah kunci dari kesuksesan pembangunan bangsa, perjuangan perempuan untuk dapat didengar, dipertimbangkan, dan menempati posisi penting masih menjadi permasalahan bagi kita semua," tutur Bintang. 

Bintang mengatakan, dibutuhkan upaya serius untuk meminimalisir ketidakadilan gender pada media penyiaran. Diperlukan kesadaran dan komitmen dari para pelaku usaha di bidang penyiaran, salah satunya dengan menguatkan pedoman responsif gender yang telah ada maupun mendukung pengembangan pedoman yang sudah ada agar lebih efektif.

Sementara itu, Koordinator Maju Perempuan Indonesia, Lena Maryana, menyatakan keterwakilan perempuan di media penyiaran akan mewakili penonton perempuan. Menurut dia, menghadirkan perempuan dalam kehidupan bernegara sangat penting.

“Karena itu, kami mendorong adanya kesadaran gender di semua kalangan  termasuk dalam hal pemutusan kebijakan oleh negara. Ini tidak mudah karena penentu kebijakan mayoritas adalah laki-laki,” kata Anggota DPR RI Periode 2014-2019 ini.

Pada kesempatan yang sama, Direktur Programing SCM, Harsiwi Achmad, mengatakan media tidak bisa berjuang sendiri jika tidak didukung semua aspek. “Perjuangan media tidak sampai di sini. Kami akan terus berupaya memperbaiki tayang-tayangan kami untuk dapat meninggikan derajat perempuan di industri media,” katanya. 

Harsiwi menyatakan komitmen lembaganya untuk penonton perempuan. Pertama, telah ada pembatasan terhadap penampilan perempuan yang hanya mengadalkan fisik bukan kualitas kemampuan. “Ini sudah kami batasi betul. Sehingga ketika nonton dangdut akademi misalnya, tidak ada penyanyi yang suaranya jelek atau hanya mengandalkan fisik. Dan pembatasan ini tentunya juga berlaku pada program lain,” tuturnya.

Sekarang, lanjut Harsiwi, pihaknya juga sudah mengubah image acara dangdut yang mengeksploitasi perempuan dengan goyangan menjadi berdasarkan kualitas suara dan berpenampilan sopan. ***

 

 

Praya -- Dua tahun lagi, Indonesia akan segera mengalihkan sistem penyiaran lawasnya dari analog ke digital. Meskipun terlambat melakukan ASO (analog switch off), transformasi teknologi siaran pada 2022 nanti akan memberi banyak keuntungan dan manfaat besar bagi masyarakat khususnya di wilayah terdepan (perbatasan), tertinggal, dan terpencil (3T). 

Selain manfaat, sistem baru ini dapat memberi jaminan terhadap keamanan dan kekuatan bangsa sekaligus juga memacu kesejahteraan masyarakat. Ada tiga aspek yang menyebabkan itu bisa terwujud. Pertama, adanya keadilan atau pemerataan informasi bagi semua warga negara. Kedua, menjaga kebudayaan. Ketiga, memicu peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Komisioner KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, menilai tiga aspek tersebut termasuk poin krusial dari penyelenggaraan digitalisasi. Menurutnya, setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh informasi atau siaran di manapun tempat tinggalnya termasuk di perbatasan atau daerah 3T. Pemerataan ini dapat terwujud melalui digitalisasi.

“Kaitan dengan perbatasan, TV digital itu bentuk penyapaan kita terhadap saudara-saudara kita di perbatasan. Kalau kita melupakan mereka dan lebih banyak menerima siaran dari luar, ya tentu saja mereka lebih tahu ringgit daripada rupiah. Mereka lebih tahu bahasa upin ipin daripada bahasa kita sendiri. Lagu kebangsaan Singapura lebih diketahui daripada Indonesia Raya. Nah, digitalisasi ini kan bentuk penyapaan dan upaya untuk merangkul,” katanya dalam sesi dialog kegiatan Sosialisasi dan Publikasi “Menjaga Indonesia dan Perbatasan Melalui Penyiaran Digital” di Praya, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (11/10/2020).

Kemudian soal kebudayaan nasional. Bahwa kebudayaan akan terpelihara dengan adanya digitalisasi sangat memungkinkan. Mulyo memberi contoh kasus masyarakat di Miangas, Sulawesi Utara, yang terbiasa menggunakan bahasa Tagalog ketimbang Indonesia. Hal ini terjadi karena mereka tidak disapa oleh siaran nasional. Sementara kontak fisik lebih banyak dilakukan dengan orang-orang Philipina.

“Yang banyak dilihat dan didengar mereka adalah orang-orang Philipina dengan bahasa Tagalog. Sementara TV Indonesia tidak masuk ke sana. Nah, untuk menjaga ke-Indonesiaan mereka harus tetap disapa. Salah satu penyapaannya dengan siaran nasional agar pelan-pelan kemudian dirasuki dengan bahasa Indonesia. Kalau setiap hari mendengar bahasa Indonesia, ya mau tidak mau akan ingat kembali bahwa saya ini orang Indonesia,” ujar Mulyo yang diamini pemandu diskusi yang juga Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia. 

Terkait kebudayaan ini, Mulyo juga menjelaskan pentingnya membuat konten yang penuh pesan kebangsaan dan nasionalisme. Upaya ini untuk mengembalikan lagi jatidiri masyarakat di wilayah perbatasan yang bingung atau sudah berpaling, agar merasa kembali menjadi orang Indonesia. 

“Dengan konten-konten yang sangat variatif yang dimungkinkan tumbuh pesat melalui digitalisasi. Sehingga, saudara kita di perbatasan itu benar-benar mencintai Indonesia dengan konten dalam negeri. Semakin mereka peduli bahwa saya orang Indonesia dan saya dibesarkan di Indonesia dan menginspirasi orang-orang yang selama ini tidak begitu banyak bersentuhan dengan jati diri wilayahnya. Adapun kebijakan pemerintah yang menyatakan daerah perbatasan itu sebagai beranda depan, ini merupakan kebijakan yang sangat positif,” tutur Mulyo.

Keuntungan lain yang hadir ketika sistem digital ini bergulir yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat. Saat ini, fenomena masyarakat yang mulai banyak berbisnis dari rumah begitu marak berkat kemajuan teknologi internet, akan semakin berkembang ketika sistem digital berlangsung pada 2022 nanti berkat digital deviden.

“Soal digital deviden juga akan dirasakan masyarakat dan makin berkembang dengan adanya digitalisasi. Kalau ada digital deviden masyarakat yang sekarang sudah dapat berbisnis dari rumah, akan jauh lebih berkembang sekaligus bisa berbisnis dari mana pun,” papar Wakil Ketua KPI Pusat ini. 

Cegah Disintegrasi

Rasa nasionalisme dan pengakuan diri sebagai orang Indonesia sangat bergantung dari perhatian dan informasi yang diperoleh. Tidak heran ketika masyarakat perbatasan ataupun di wilayah 3T merasa tidak menjadi bagian Indonesia karena tidak adanya informasi nasional di wilayah itu.  Terkadang hal ini memicu perlawanan terhadap konstitusi.

Anggota Komisi I DPR RI, Yan Permenas Mandenas, mengatakan masyarakat di daerah 3T harus mendapat perhatian besar dan salah satunya melalui penyediaan informasi. Menurutnya, ketika mereka tidak mendapat keseimbangan informasi dikhawatirkan menciptakan gerakan baru melawan konstitusi. 

“Contoh di Papua, kita kenal OPM tembak menembak, sebab daerah itu terisolir susah mendapatkan informasi. Semua dianggap bahwa Pemerintah tidak melakukan sesuatu yang bermanfaat di masyarakat,” katanya.

Hadirnya penyiaran digital, lanjut Yan, akan mewujudkan pemerataan informasi di seluruh wilayah NKRI termasuk 3T. Masyarakat akan mendapatkan fasilitas dan pelayanan penyiaran yang sama. Dengan demikian, informasi yang diterima pun akan juga sama, baik itu di pusat, perkotaan maupun di daerah-daerah terpencil dan perbatasan. 

“Informasi ini menjadi edukasi bagi masyarakat. Mereka akan tahu siapa pemimpinnya dan kebijakan apa yang sudah dibuat pemerintah. Dengan begitu akan dapat meredam segala aksi teror dan perlawanan dan pertentangan konstitusi bisa diredam,” jelas Yan.

Sementara itu, Sekjen Kementerian Komunikasi dan Informatika, Rosarita Niken Widiastuti, mengatakan penyiaran digital akan mengerakkan kesejahteraan masyarakat termasuk di perbatasan. Selain itu, sistem ini dapat mencerdaskan masyarakat di daerah tersebut. 

“Di wilayah perbatasan seperti di Sebatik, di sana banyak yang bekerja di perkebunan. Anak mereka banyak yang hidup dengan neneknya, maka pendidikan kurang diperhatikan. Lalu, kami menyelenggarakan sekolah di udara bersama TNI. Kami erat bekerjasama dengan Kepolisian. Jadi memberikan perlindungan pada masyarakat perbatasan untuk menjaga kedaulatan NKRI. Kalau upaya itu ada maka mereka akan jaga patok-patok kegiatan perbatasan,” katanya. 

Dalam kesempatan yang sama, Direktur Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI), Anang Latif, menjelaskan tugas utama lembaganya dalam membangun infrastruktur dan menyelesaikan permasalahan telekomunikasi dan penyiaran. Terkait penyiaran, dia mengatakan bahwa daerah blankspot harus mendapat perhatian dan untuk itu harus ada desain yang tepat, apakah menggunakan perluasan cakupan penyiaran atau seluler 4G.

“Kami ini agen pemerataan. Berkat bantuan pak Yan pada tahun 2021, kami menyelesaikan persoalan pemerataan khususnya infrastruktur,” ujarnya.

Dia juga menyampaikan sejumlah program BAKTI, salah satunya menggunakan istilah Palapa. Program ini sudah selesai pada 2019 lalu dan seluruh ibu kota serta kabupaten sekarang sudah terhubung dengan jaringan broadband. “Lalu jaringan kami menuntaskan coverage seluler. Kami sedang meluncurkan satelit multifungsi bukan satelit telekomunikasi, tapi satelit broadband untuk seluruh Indonesia. Dalam kaitan program digitalisasi penyiaran, kami akan berkolaborasi dengan program infrastruktur BTS,” jelas Anang. 

Optimisme harus dibangun untuk menyambut digitalisasi, pemerataan siaran, gambar dan suara yang lebih jernih, pemerataan, dan kesejahteraan masyarakat. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.