Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Perwakilan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), dan Polda Metro Jaya usai tandatangani Deklarasi.

 

Jakarta -- Pimpinan media, pengurus dan jurnalis yang tergabung dalam Asosiasi Televisi Swasta Nasional Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Nasional Indonesia (ATVNI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menandatangani Deklarasi Bersatu untuk Indonesia Damai, Rabu (30/5/2018) di Hotel Borobudur, Jakarta.

Deklarasi ini berisikan komitmen untuk mendukung penyiaran sebagai media informasi guna mewujudkan Indonesia Damai. Ikut menandatangani Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, Perwakilan Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Humas Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), dan Polda Metro Jaya.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, deklarasi atau sikap bersama ini dimaksudkan agar media senantiasa mengedepankan kepentingan publik dalam menyampaikan setiap informasinya. “Ini komitmen kita bersama ketika terjadi kejadian-kejadian luar biasa seperti ini,” katanya sebelum membuka diskusi publik di tempat yang sama. 

Sebelumnya, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis menyampaikan, komintmen dan diskusi ini untuk menyamakan persepsi dan tensi lembaga penyiaran usai kejadian bom beberapa waktu itu. Perlu ada diskusi untuk menyamakan tolak ukur yang sama tersebut tentang pemberitaan terorisme. “Agar tidak ada lagi saling intip antar TV, apakah ada yang tayang disana jika kejadian luar biasa seperti terorisme ini,” katanya.

Menurut Andre, panggilan akrabnya, yang harus dipahami sekarang adalah jangan ada saling menyalahkan tapi justru menacari role model untuk mengatur hal ini. “Memang sudah ada kode etik tapi tidak ada kesamaan dalam menjalankannya,” sahutnya.

Dalam kesempatan itu, Ketua KPI Pusat ini mengingatkan agar media khususnya penyiaran mengutip informasi dari pihak berwenang guna mendapatkan informasi yang lengkap dan benar. Uji informasi, verifikasi dan investigas tidak boleh ditanggalkan. 

“Kita harus berkomitmen menjaga stabilitias keamanan dengan mengedepan informai yang positif dan mendamaikan. Ketika ada kejadian seperti ini. Semua pihak sudah paham dan diskusi secara periodik harus terus dilakukan. Media arus utama dalam hal ini TV harus jadi tuntunan dan meminimalisir berita fake atau hoax,” tandasnya. *** 

 

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengucapkan Selamat Hari Raya Waisak 2562 untuk umat Budha di Indonesia dan Seluruh Dunia. ***

Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di Hotel Borobudur, Rabu (30/5/2018), menghadirkan narasumber dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. (Foto by Agung Rachmadyansah KPI)

 

Jakarta -- Media penyiaran diminta bijak dan arif dalam melakukan peliputan dan penyiaran terkait kejadian serta kasus hukum soal terorisme. Permintaan tersebut mengemuka dalam Diskusi Publik mengenai Pemberitaan dan Penyiaran tentang Terorisme di salah satu Hotel di Jakarta Pusat, Rabu (30/5/2018).

Diskusi yang diinisiasi Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) jelang buka puasa itu menghadirkan narasumber dari Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Mahkamah Agung (MA), Kejaksaaan Agung (Kejagung), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan Dewan Pers. 

Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, media jangan hanya berpikir bagaimana cara menyampaikan informasi tapi juga menaksir dampak yang akan ditimbulkan jika informasi itu disampaikan ke publik. “Kita tidak bisa menampilkan bahan berita apa adanya atau sederhana,” katanya di depan peserta yang sebagian besar perwakilan lembaga penyiaran dan wartawan.

Menurutnya, semangat media untuk menyajikan informasi mengenai terorisme dikhawatirkan justru memunculkan semangat baru atau membangkit sel-sel tidur terorisme. “Tanpa mengurangi kebebasan untuk memberi informasi, kita punya rujukan dan kearifan, bahwa setiap fakta tidak bisa disiarkan secara telanjang.Yang baik adalah harus ada proses edit, verifikasi dan pertimbangan lainnya,” jelas Mayong.   

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaaan Agung, Mohamad Rum, mengatakan media harus memiliki kearifan dalam menyiarkan kasus terorisme terutama menyangkut persidangan kasus ini. “Memang susah hakim melarang peliputan tapi semuanya kembali ke medianya. Kebijaksanaan media menjadi harapan demi kepentingan publik dan nasional serta penegakan hukum,” jelasnya.

Sementara, Kepala Biro Humas Mahkamah Agung, Abdullah, menyampaikan siaran langsung perkara terorisme dapat mengancam keamanan perangkat pengadilan karena data identitasnya terutama hakim jadi terbuka. Selain itu, jalannya sidang yang disiarkan “live” dapat mempengaruhi keterangan para saksi di depan hakim.

“Mestinya saksi yang akan dimintai keterangan sesudah saksi sebelumnya tidak boleh mengetahui apa-apa yang disampaikan. Ini akan menambah wawasan kepada saksi berikutnya dan akan sulit dipertanggungjawabkan keterangannya karena hakim itu membutuhkan keterangan yang original,” kata Abdullah.

Menurutnya, sebaiknya siaran “live” dari ruang sidang dibatasi demi menjaga kemurnian keterangan saksi untuk mengadili terdakwa. Media memiliki andil besar menyelamatkan banyak orang dengan tidak menyiarkan hal ini. 

Ketua Dewan Pers, Yoseph Adhi Prasetyo, juga mengingatkan media untuk mentaati aturan etika peliputan sidang di sebuah pengadilan. Dia mencontohkan persidangan kasusnya Jesica yang digelar di Pengadilan Negeri Pusat beberapa waktu yang lalu. Menurutnya, semua media ingin meliput jalannya sidang yesica secara langsung, dimana kasus ini dianggap agak unik, karena Jaksa penuntut Umum  tidak bisa menghadirkan alat bukti yang sah, sehingga vonis banyak berdasarkan dari saksi ahli. 

Dewan pers juga ikut mengeluarkan pedoman peliputan terorisme maupun peliputan sidang lainnya yang dapat menjadi pegangan insan pers. Menurut Stanley, panggilan akrabnya, lembaga penyiaran punya kewajiban menyiarkan berita yang akurat di tengah masyarakat dengan tetap mengedepankan prinsip jurnalistik dan regulasi penyiaran yang ada. “Media memang harus membuat info berdasarkan fakta tapi jangan sampai mengabarkan ketakutan,” katanya.

Kepala Biro Multimedia Polri, Brigjen Pol. Rikwanto mengatakan, media harus berhati hati dalam menyampaikan informasi mengenai terorisme. Dia mengkhawatirkan informasi yang tanpa pertimbangan matang akan memicu perkembangan terorisme. Media juga harus berperan memisahkan konteks agama dan tindakan terorisme. “Perbuatannya yang harus dihukum. Labelisasinya di buang,” katanya. ***

 

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono dan Hardly Stefano, serta Kadiv Humas Polri, Irjen Pol. Setyo Wasisto, saat acara diskusi tentang siaran langsung persidangan kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).

 

Jakarta -- Siaran langsung (live) persidangan kasus terorisme dengan terdakwa Aman Abdurahhman di Pengadilan dengan durasi panjang harus disikapi hati-hati oleh lembaga penyiaran. Niat baik untuk mengabarkan setiap informasi persidangan secara detail ke publik melalui siaran tanpa proses edit itu dikhawatirkan akan menimbulkan efek negatif lain. 

Kepala Divisi (Kadiv) Hubungan Masyarakat (Humas) Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Irjen Pol. Setyo Wasisto, mengatakan waktu publikasi yang lama terhadap tersangka kasus terorisme dikhawatirkan dapat memunculkan rasa simpati dari sebagian orang bahkan menjadikannya panutan. “Ini bisa saja akan menimbulkan inspirasi bagi orang yang justru awalnya tidak yakin dan tidak kepingin, jadi kepingin,” katanya di sela-sela diskusi terkait tayangan langsung sidang kasus terorisme di Kantor KPI Pusat, Senin (28/5/2018).

Hal lain yang dikhawatirkan Setyo dari siaran langsung yang berkepanjangan adalah ancaman terhadap keamanan perangkat pengadilan. Wajah dari hakim yang menangani kasus tersebut dapat dikenal meskipun identitasnya tidak sebutkan. “Hakim ini dapat menjadi target,” jelasnya.

Menurut Setyo, para tersangka atau pelaku kasus terorisme sebaiknya jangan diberikan panggung apalagi saat menjalani persidangan. Terkait penangganan kasus terorisme, Inggris dan Thailand menerapkan kebijakan ketat untuk tidak memberikan ruang publik bagi teroris di media.   

Polri pernah mendapatkan protes keras dari seluruh dunia hanya karena gambar maupun tayangan pelaku bom Bali melambaikan tangan dan tersenyum. “Kok bisa mereka mendapatkan panggung seperti itu kata mereka dan Australia yang paling keras mengkritisi hal ini. Saya harapkan peliputan sidang ke depan melihat beberapa filter,” kata Jenderal bintang dua tersebut. 

Hal senada juga disampaikan Komisioner KPI Pusat Mayong Suryo Laksono. Menurutnya, liputan sidang berjam-jam setelah aksi teror di berbagai daerah, seperti penjajahan terhadap televisi. Padahal, ada dampak yang mengintai dari massifnya siaran yang dilakukan jika tanpa pertimbangan. “Harus ada batasan yang pas untuk melakukan peliputan seperti ini. Harus ada kesepakatan untuk tidak meliput hal ini secara keseluruhan,” kata Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat ini.

Komisioner KPI Pusat, Obsatar Sinaga mengatakan, siaran langsung berjam-jam persidangan dapat menimbulkan opini di masyarakat dan ini dikhawatirkan mempengaruhi keputusan hakim. “Vonis yang dijatuhkan publik itu lebih mengerikan ketimbang yang dijatuhkan majelis hakim. Kita minta masukan apakah ini dibuka atau tidak. Ini demi kepentingan bangsa,” katanya.

Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi mengatakan, peliputan siaran langsung persidangan harus melihat substansinya. Produk jurnalistik menerapkan beberapa proses seperti adanya verifikasi, uji informasi dan pemilihan informasi mana yang boleh disiarkan atau tidak. Menurutnya, produk jurnalistik yang terverifikasi akan terlihat perbedaannya.

“Jika ada cara yang melewatkan verifikasi, hal itu merupakan pikiran yang sesat dan itu menghilangkan jati dirinya sebagai pers,” kata Dia di tempat yang sama.    

Menurut Imam, produk jurnalistik harus memperhatikan dampak dan kepentingannya terhadap publik. “Masyarakat tidak hanya cukup tahu soal informasi itu tapi juga soal kepetingan hidup aman untuk mereka. Tugas pers menjamin masyarakat untuk hidup baik, aman dan damai,” jelasnya.

Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Yadi Hendriana, setuju jika kepentingan publik dinomorsatukan dalam kaitan dampak yang akan timbul dari siaran pemberitaan seperti peliputan sidang kasus terorisme. Menurut Yadi, perangkat pengadilan sebaiknya menerapkan kebijakan ruang sidang dibuka dan terbuka tapi tidak untuk disiarkan secara langsung oleh lembaga penyiaran.

Perwakilan Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung RI), Asep Mulyana menjelaskan, ketika hakim mengatakan boleh dibuka dan terbuka untuk umum, ini harus dicermati apakah boleh disiarkan live dan detail. Menurutnya, siaran secara live menimbulkan rasa tak nyaman khususnya untuk perangkat pengadilan karena indentitasnya terbuka. 

“Saya pikir dan sadar ini bagian dari kepentingan pers. Tapi harus kita sadari juga kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia lebih utama,” katanya. 

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengusulkan, perlu ada kosensus antar stakeholder terkait kasus seperti ini. Hal ini penting agar satu sama lain saling memahami, bertindak selaras dan penuh pertimbangan ketika terjadi kasus yang sama. 

Dalam diskusi ini turut hadir, Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Wakil Ketua KPI Pusat, S. Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, Agung Suprio, Ubaidillah dan Nuning Rodiyah. Selain itu, hadir perwakilan dari Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam), Majelis Ulama Indonesia (MUI), ATVNI, dan ATVSI. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.