Padang - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Sumatera Barat mendorong masyarakat di provinsi itu agar melek literasi media sehingga dapat membedakan siaran yang layak dikonsumsi. "Kami terus berupaya untuk melakukan sosialisasi di seluruh kota dan kabupaten di Sumbar sehingga masyarakat mampu menentukan mana tontonan atau siaran yang layak dikonsumsi," kata Wakil Ketua KPID Sumbar Afriendi pada kegiatan Literasi Media di Padang, Kamis.
Menurut dia apabila masyarakat telah memiliki literasi media membuat mereka lebih kritis dan dapat memilah siaran sehingga dalam mengonsumsi siaran tidak membabi buta dan menganggap siaran yang ada di televisi dan radio selalu benar.
"Salah satu tugas kita adalah membuat masyarakat mampu memilah siaran yang mereka tonton di rumah masing-masing," kata dia. Afriandi mengatakan salah satu tugas KPISD adalah melakukan pengawasan terhadap siaran televisi dan radio yang ada di daerah agar layak di konsumsi oleh warga Sumbar.
Sejauh ini banyak laporan masyarakat yang diterima dan pihaknya telah beberapa kali melakukan peringatan terhadap kantor televisi lokal. "Beberapa kesalahan yang dilakukan seperti tidak memblur ketika mewawancarai anak kecil dan teknis penyiaran lainnya," katanya.
Ke depannya pihaknya akan melakukan penyaringan terhadap siaran televisi nasional yang akan diterima oleh masyarakat Sumbar karena perbedaaan pemahaman seperti siaran-siaran yang bertentangan dengan adat istiadat. "Seperti wanita yang menggunakan rok mini, adegan berciuman yang bertentangan dengan budaya lokal ini akan coba disaring," sebut dia.
Ia mengatakan Komisi I DPRD Sumbar telah meminta KPID Sumbar untuk merancang ranperda tentang penyiaran di daerah ini sehingga tata cara penyiaran dapat disesuaikan dengan budaya lokal. "Kita masih merancang hal tersebut dan ditargetkan nantinya akan kita usulkan ke Komisi I DPRD Sumbar untuk menjadi sebuah aturan daerah," kata dia. (*) ANTARA
Pertengahan tahun 2016 menjadi hari-hari yang panjang bagi Komisioner KPI Pusat Periode 2013-2016 dan Periode 2016-2019. Bagaimana tidak, hampir tiap pekan KPI dipanggil Rapat Dengar Pendapat (RDP) oleh Komisi I DPR RI perihal evaluasi 10 tahunan 10 televisi berjaringan yang akan memperpanjang Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP)-nya. Penilaian DPR hampir seragam bahwa televisi masih belum mampu menjalankan amanahnya sebagai pengguna frekuensi milik publik. Hal itu gamblang terlihat dari keberpihakan televisi dalam event politik, baik Pemilu Legislatif (Pileg), Pemilukada maupun Pemilu Presiden (Pilpres). DPR menilai, layar kaca keruh oleh adu kepentingan pemiliknya yang partisan.
Belajar dari sengkarut itu, maka DPR meminta KPI melaporkan evaluasi tahunan kinerja televisi berjaringan. Laporan tahunan ini diharapkan akan menjadi metode evaluasi baru yang lebih rigid dan bisa diketahui perkembangannya tahun ke tahun. Keinginan Dewan itu diakomodir oleh Kementrian Kominfo melalui Peraturan Menteri Kominfo Nomor 18 tahun 2016 tentang Persyaratan dan Tata Cara Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran. Gayung pun bersambut, terhitung sejak 2017, saban tahun KPI melakukan evaluasi tahunan televisi berjaringan.
Dalam evaluasi kinerja televisi, KPI menggunakan parameter meliputi kepatuhan atas UU, P3SPS dan Komitmen Televisi yang dibuat jelang perpanjangan IPP. Regulasi dan komitmen itu kemudian diturunkan menjadi beberapa variabel penilaian antara lain; penegakan internal P3SPS, konsistensi format siaran, prinsip independensi netralitas dan keberimbangan, kaitan siaran program iklan politik dengan kepemilikan, pemenuhan presentase waktu siaran iklan Layanan Masyarakat (ILM), sanksi KPI, apresiasi KPI dan pemenuhan atas ketentuan sistem siaran berjaringan (SSJ).
Tiga Unsur Penilaian Utama Dari variabel tersebut ada 3 unsur yang menjadi penilaian utama; yakni. Satu, televisi harus mempunyai standar dan prosedur (S&P) dalam menjalankan kegiatan siarannya. S&P itu meliputi standar dalam produksi program, baik program jurnalistik maupun non jurnalistik. Di negara negara maju, S&P ini lazim jadi pedoman dasar yang harus dijalankan oleh segenap awak media dalam kegiatannya. Dengan pedoman yang rinci, setiap awak media akan dipandu membuat program yang bagus dan benar. Dengan begitu kualitas program dan jurnalistik sebuah televisi tidak bergantung pada orang per orang namun pada prosedur baku yang dimilikinya. Ini akan menjamin konsistensi media dalam jangka panjang. Dua, prinsip independensi, netralitas dan keberimbangan. Parameter ini menjadi isu utama dalam perpanjangan izin penyiaran. Sebuah televisi selain diharapkan mempunyai S&P yang mengatur perihal independensi dan netralitas, juga harus mempunyai gugus tugas yang mengawasi pelaksanannya. Dalam media modern, gugus tugas itu idealnya berbentuk ombudsman media yang susunan pengurusnya terdiri dari internal dan eksternal perusahaan. Tiga, Implementasi sistem siaran berjaringan (SSJ). Sesuai amanat UU Penyiaran, hanya ada 2 sistem penyiaran nasional di Indonesia, yaitu LP jaringan dan LP Lokal. Pada LP jaringan mereka diwajibkan minimal bersiaran lokal 10 persen dari waktu siaran pada anak jaringannya. Dengan kata lain, anak jaringan tidak sepenuhnya boleh hanya menjadi stasiun relay dari induknya. Selain pemenuhan minimal 10% konten lokal, penilaian sistem siaran jaringan (SSJ) juga meliputi jam tayang konten lokal, lokalitas konten dan SDM lokal.
Sistem penilaian KPI dalam evaluasi ini didasarkan pada hasil pemantauan KPI, dokumen yang diserahkan oleh televisi dan kroscek pemantauan yang dilakukan oleh KPID seluruh Indonesia. Obyek yang dinilai adalah 14 televisi jaringan yang secara rutin dipantau oleh KPI Pusat, yaitu RCTI, SCTV, ANTV, Indosiar, MNC TV, GTV, TV One, Metro TV, Trans TV, Trans 7, INews TV, Kompas TV, Net TV dan RTV.
Hasil Evaluasi Jauh Dari Ideal Hasil evaluasi KPI, hampir semua televisi sudah mempunyai S&P sebagai panduan internal dalam pembuatan dan penayangan program. Bentuk S&P masih beragam dan secara umum belum detail mengatur tata cara produksi dan standar kualitas yang ditetapkan oleh televisi. Ada yang sudah relatif bagus membuat S&P menjadi buku paket praktis yang detail namun ada juga yang hanya membuatnya dalam beberapa lembar dokumen yang berisi instruksi umum. Idealnya sebuah S&P berisikan petunjuk detail mengenai visi program sebuah televisi hingga detail standar dan teknis pembuatan hingga penayangan programnya. Ia adalah hasil kristalisasi semua regulasi yang ada sekaligus mengawinkannya dengan cita ideal program di televisi tersebut.
Terkait pedoman penyiaran politik hampir semua televisi belum mempunyai pedoman dan belum membentuk gugus tugas (task force), sejenis ombudsman media, yang menjadi pengawas pelaksanaan pedoman itu. Hampir semua televisi juga belum memiliki kebijakan internal yang melarang siaran iklan politik yang berkaitan dengan pemilik dan kelompoknya. Bahkan hingga kini beberapa televisi masih saja menyiarkan iklan politik pemilik dan kelompoknya. Hal ini tentu menjadi rapor merah bagi televisi terkait dengan komitmen perpanjangan IPP setahun lalu.
Dalam pelaksanan SSJ pun televisi masih compang-camping dalam melaksanakannya. Dari 14 televisi yang dinilai, hanya 4 televisi yang memenuhi durasi minimal 10% jam tayang siaran lokal tiap harinya. Selain itu hanya 7 televisi yang memenuhi alokasi jam tayang di waktu produktif alias bukan di jam “hantu”. Secara umum tafsir “lokalitas”nya pun masih beragam. Ada televisi yang menyiarkan program yang sebenarnya nasional, tapi di klaim lokal dengan dalih “cross culture”.
Secara keseluruhan, kepatuhan atas regulasi dan komitmen yang mereka buat, ke-14 televisi memang masih jauh dari ideal. Evaluasi tahunan ini setidaknya menjadi lampu kuning bagi televisi untuk terus berbenah sebelum jatuh tempo perpanjangan izin agar tak lagi memantik kegaduhan seperti tahun kemarin. Televisi harus makin menyadari bahwa sebagai industri padat modal mereka harus melindungi investasinya dengan cara sepatuh mungkin dalam melaksanakan regulasi. Disisi lain, amanah frekuensi dari publik harus didayagunakan buat mendorong arah peradaban bangsa kita menuju lebih baik. Lantas jika medianya sendiri malas berbenah, karakter masyarakat seperti apa yang hendak kita ciptakan?
Layaklah jika antologi puisi Hamdi Akhsan ini kita jadikan renungan di akhir tulisan ini;
Tuhan Tuhan baru bermunculan di bumi Atas nama sihir peradaban Wajah wajah tanpa dosa terpaku Dengan layar televisi di depan Dimana engkau wahai ayah bunda, yang miskin keteladanan Yang ada hanya harta telah dipertuhankan.......
Ankara - Dewan Tinggi Pengawas Radio dan Televisi Turki (Radyo ve Televizion Ust Kurulu - RTUK) menjatuhkan denda pada saluran TV8 sebesar 1 juta lira atau setara dengan Rp 3,5 miliar, karena mempertontonkan gadis muda dengan pakaian minim dalam lomba bakat. Keputusan tersebut juga diambil setelah masuk keluhan dari pemirsa tentang pelecezhan anak pada program tersebut.
Dengan menyebutkan tentang bahaya kejiwaan bagi anak-anak, RTUK memutuskan program Yetenek Sizsiniz (Kamu Punya Bakat) telah melanggar peraturan siaran etisnya dan mendenda saluran televisi tersebut dua persen dari pendapatan iklannya, yang hampir mencapai 1 juta lira.
Peraturan negara tersebut menyatakan bahwa "program yang mengandung konten yang dapat membahayakan perkembangan fisik, mental dan moral anak-anak dan remaja tidak dapat disiarkan."
RTUK mengatakan dalam sebuah laporan, mereka telah menerima keluhan bahwa saluran tersebut telah mengeksploitasi anak-anak dalam sebuah pertunjukan "tidak bermoral". "Terdapat reaksi dari masyarakat karena membuat anak kecil, berusia 7-8, menari setengah telanjang demi penilaian, yang merupakan pelecehan anak-anak," demikian laporan tersebut.
Kementerian Kebijakan Keluarga dan Sosial Turki mengatakan bahwa anak-anak tersebut "menari dengan pakaian yang tidak sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan mereka."
Surat kabar "Hurriyet"melaporkan, RTUK juga mendenda beberapa saluran musik untuk menyiarkan video musik yang digambarkannya sebagai "satu tingkat di bawah film erotis."
Video lagu "Sifir Tolerans" (Tiada Tenggang Rasa) oleh penyanyi kelahiran Belgia, Hadise, menampilkan artis tersebut dalam adegan intim dengan lawan main pria. Video tersebut mencakup adegan penyanyi di tempat tidur dengan aktor pria dan di bak mandi. Red dari antara
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mulai melakukan penyampaian hasil evaluasi tahunan penyelenggaraan penyiaran untuk 14 (empat belas) stasiun televisi berjaringan. Wakil Ketua KPI Pusat Rahmat Arifin menjelaskan bahwa dalam Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika nomor 18 tahun 2016 mengatur tentang evaluasi tahunan yang meliputi tiga aspek, yaitu: aspek administratif, aspek teknis dan aspek isi siaran. Hal tersebut disampaikan Rahmat sebelum pelaksanaan menyampaikan hasil evaluasi tahunan kepada SCTV, di kantor KPI, (9/1).
Evaluasi tahunan ini juga menjadi mandat dari Komisi I DPR RI pada tahun 2016 saat 10 (sepuluh) televisi berjaringan melakukan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran. “Atas mandat tersebut, KPI melakukan evaluasi tahunan dan sudah melaporkan hasilnya pada DPR,” ujarnya.
Rahmat mengatakan, dalam evaluasi kinerja televisi, KPI menggunakan parameter meliputi kepatuhan atas Undang-Undang, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS), dan Komitmen televisi yang dibuat jelang perpanjangan IPP pada tahun 2016 lalu. Regulasi dan komitmen tersebut, tambah Rahmat, diturunkan menjadi beberapa variabel diantaranya, aturan internal tentang netralitas lembaga penyiaran dan konsistensi pemanfaatan frekuensi untuk kepentingan publik, standar dan prosedur dalam menjalankan program siaran, serta penegakan sistem stasiun jaringan (SSJ).
Hari ini, KPI mulai melakukan pertemuan dengan televisi berjaringan untuk menyampaikan hasil penilaian evaluasi tahunan. “Selama dua minggu ke depan, masing-masing televisi akan datang ke KPI untuk menerima hasil penilaian tersebut,” ucap Rahmat. Ke-empatbelas TV tersebut adalah RCTI, SCTV, MNC TV, Global TV, ANTV, Indosiar, TV One, Metro TV, Trans TV, Trans 7, RTV, Kompas TV, I News dan NET. Rahmat berharap, dengan adanya evaluasi tiap tahun, muncul perbaikan-perbaikan signifikan atas kualitas isi siaran. Sehingga, amanah frekuensi dari publik dapat didayagunakan untuk mendorong arah bangsa ini menuju lebih baik.
Jakarta – Penyiaran sehat akan terealisasi jika penempatannya dilakukan secara proporsional yakni dengan menyajikan tontonan yang baik sekaligus bermanfaat untuk publik. Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat menerima kunjungan mahasiswa Univesitas Ibnu Chaldun di kantor KPI Pusat, Kamis (4/1/2018).
Hardly mengatakan untuk mewujudkan siaran sehat yang sesuai dengan kondisi saat ini tidak bisa lagi dengan bentuk formal dalam penyajiannya karena hal itu akan menimbulkan kebosanan. Konten siaran sekarang harus menarik tapi juga punya nilai atau value. “Harus ada keseimbangan dalam penyajian konten agar banyak orang yang menonton,” katanya.
Menurut Hardly, sebuah siaran yang berkualitas akan berdampak terhadap cara berpikir dan perilaku penonton. Siaran berkualitas secara otomatis membentuk penontonnya menjadi baik dan cerdas. Jadi ketika ada pilihan mana yang harus didahului, penonton cerdas atau tontonan berkualitas, pilihannya jatuh pada yang terakhir.
“Literasi media harus terus ada supaya masyarakat dapat mengikuti arah yang sesuai dengan tujuan tersebut. Kita pun juga mendorong melalui regulasi agar penonton lebih cerdas. Masyarakat harus bisa selektif, kritis dan berpartisipasi agar penyiaran kita menjadi sehat, berkualitas dan penuh manfaat,” jelas Hardly.
Dalam kesempatan itu, Hardly menegaskan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mengupayakan berbagai cara supaya penyiaran sehat dapat terwujud. “Kami berusaha menyeimbangkan hal itu yakni siaran itu sebagai tontonan sekaligus juga tuntunan,” katanya.
Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, KPI merupakan lembaga negara yang mempunyai misi mengawasi dan menjaga kualitas isi siaran. Persoalan di luar penyiaran bukan menjadi kewenangan KPI. “Kita masih melakukan kontrol dengan mengacu kepada UU Penyiaran No.32 tahun 2002,” katanya saat menjawab pertanyaan dari Mahasiswa soal kewenangan KPI dalam mengawasi siaran. ***