Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, saat bertemu dengan perwakilan lembaga penyiaran radio di Kantor KPI Pusat, Senin (13/8/2018).

 

Jakarta – Lembaga penyiaran radio diminta untuk menghentikan dan tidak lagi memutar lagu-lagu bersyair cabul, jorok, kasar dan berbau makian. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih menemukan adanya siaran musik, baik lokal maupun asing, yang berbau hal yang dilarang dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012 khususnya dalam lagu bergenre Rap dan Dangdut.

“Kami mencatat terdapat beberapa radio yang memutarkan lagu yang syairnya mengandung kata-kata cabul, jorok, kasar dan makian. Sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk mengatur penyiaran, KPI juga punya tugas mengatur penyiaran radio,” kata Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, saat bertemu dengan perwakilan lembaga penyiaran radio di Kantor KPI Pusat, Senin (13/8/2018).

Menurut Dewi, meskipun banyak pihak yang pesimis terhadap keberlangsungan lembaga penyiaran ini, radio masih tetap menjadi media yang signifikan dipercaya sebagai sumber informasi dan hiburan. Maka menjadi penting untuk memastikan bahwa program siaran di radio tetap sesuai dengan regulasi penyiaran, termasuk lagu-lagu yang diputar di radio.

KPID DKI Jakarta ikut hadir dalam acara bertajuk pembinaan itu menyatakan menemukan banyak siaran lagu berbahasa Indonesia dan daerah yang mengandung hal itu terutama dalam lagu dangdut. “Liriknya mengadung unsur vulgar, cabul dan seksualitas . Kami minta radio tidak menayangkan lagu tersebut. Dan yang paling banyak lagu dangdut,” kata Wakil Ketua sekaligus Komisioner KPID DKI Jakarta, Rizky Wahyuni.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah mengatakan, lagu dengan muatan cabul, jorok, berbau makian berpotensi terkena sanksi teguran tertulis. Di Pasal 20 dan 24 SPS KPI dijelaskan soal larangan menyiarkan hal-hal tersebut. “Apakah siaran lagu ini sudah melalui proses sensor dari produsernya,” katanya.

Sementara Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, mengkhawatirkan siaran lagu demikian didengarkan anak-anak dan mereka jadikan ikutan menyanyikan liriknya.  “Kita harus memastikan anak-anak tidak mendengarkan lagu-lagu seperti ini,” tambahnya.

Terkait siaran lagu, KPI mengusulkan adanya kerjasama dengan Pengurus Daerah (PD) Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) untuk melakukan proses verifikasi list lagu yang boleh dan tidak untuk diputarkan di radio. “KPI juga meminta radio melakukan sensor mandiri terhadap lagu-lagu cabul atau kasar, dengan tidak memutarkannya, atau melakukan pengeditan seperlunya terhadap lirik yang dimaksud,” kata Dewi Setyarini.

Selain soal lirik lagu, pertemuan tersebut juga membahas program bincang-bincang mengenai seksualitas di radio. Menanggapi hal ini, KPI meminta radio untuk berhati-hati ketika menyiarkan talkshow dengan muatan seperti itu. “Dalam bincang-bincang seks perlu kehati-hatian dan kesantunan, serta harus melibatkan ahli kesehatan atau psikolog, dan seyogyanya tayang di jam dewasa,” pinta Dewi Setyarini yang juga mempunyai latar belakang di dunia radio.

Selain itu, Dewi juga mengingatkan bahwa  masih banyak persoalan yang beririsan dengan dunia radio, misalnya iklan kesehatan, iklan dewasa, dan eksplorasi lokal konten. Harapannya, persoalan norma dan etika dalam pemutaran lagu sudah terselesaikan sehingga ke depan bisa fokus kepada persoalan lain yang tidak kalah penting, termasuk terlibat dalam perubahan regulasi dan strategi menghadapi tantangan perkembangan zaman yang sedemikian pesat. ***

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan memberi sanksi teguran pada program siaran “Hitam Putih” di Trans 7 karena tidak menyamarkan wajah orangtua dan nenek serta identitas pelaku pada saat dialog dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang menikah di usia dini. Pelanggaran tersebut terjadi di program “Hitam Putih” yang tayang pada 18 Juli 2018 mulai pukul 18.14 WIB.

Dalam surat teguran yang ditandatangani Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, Senin pekan lalu (6/8/2018), disebutkan acara tersebut menampilkan dialog dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang menikah di usia dini. KPI Pusat mencatat Trans 7 telah melakukan penyamaran wajah terhadap kedua anak, namun wajah ibu dan nenek kedua anak yang dimaksud tidak turut disamarkan dan terdapat penyebutan identitas nama kedua anak tersebut yakni “Arifin dan Ira”. 

Menurut KPI Pusat, hal itu berpotensi membentuk stigma masyarakat dan menimbulkan dampak psikologis terhadap kedua anak tersebut. “Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang perlindungan anak-anak dan remaja,” kata Yuliandre Darwis. 

Berdasarkan keputusan KPI Pusat, tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran KPI Tahun 2012 Pasal 14 serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 15 Ayat (1). Berdasarkan pelanggaran tersebut, KPI Pusat memberikan sanksi administratif teguran tertulis.

“Kami minta Trans 7 menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran dan segera melakukan perbaikan agar kejadian serupa tidak terulang,” tutur Andre, panggilan akrab Ketua KPI Pusat. *** 

 

Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, Harsiwi Achmad, saat menerima buku Hasil Survey KPI dari Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, usai sosialisasi hasil Survey Indeks Kualitatif Program Siaran TV Periode 1 di Kantor SCTV, Kamis (9/8/2018).

 

Jakarta – SCTV menilai hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran TV Periode 1 tahun 2018 buah kerjasama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan 12 Perguruan Tinggi Negeri di Indonesia sebagai masukan dari kalangan intelektual. 

“Ini masukan dari penonton berpendidikan di Indonesia yang berlatar S1, S2 dan bahkan S3,” kata  Direktur Program dan Produksi SCTV dan Indosiar, Harsiwi Achmad, saat menerima Tim KPI Pusat untuk menyampaikan hasil Survey Indeks Kualitatif Program Siaran TV Periode 1 di Kantor SCTV, Kamis (9/8/2018).

Menurut dia, hasil pengukuran ini menjadi acuan bagi mereka bergerak menciptakan kreatifivitas dan meningkatkan kualitas program. Selama ini, pihak TV hanya mendapatkan pengukuran dari satu lembaga survey satu-satu di Indonesia.

“Adanya acuan dari hasil survey KPI ini menjadi masukan dari berbagai sisi. Bagaimana pun industri televisi harus ada ukuran penontonnya. Bagaimana kita meningkatkan kualitas program tapi tetap baik secara industri,” jelas Siwi.

Adanya penilaian dari tim panel ahli berjumlah 120 orang dengan latarbelakang disiplin ilmu dan kemampuan, menjadikan hasil survey ini lebih mengutamakan bobot atau indeks kualitas dari sebuah program acara.

Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, hasil survey kualitas ini menjadi bahan masukan programing di lembaga penyiaran. “Ini bukan patokan tapi bisa menjadi acuan membuat program acara selanjutnya,” katanya.

Menurut Andre, program acara SCTV yang mendapat indeks sesuai standar sebaiknya terus dipertahankan, adapun yang di bawah nilai yang ditentukan untuk segera ditingkatkan. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memutuskan menjatuhkan sanksi teguran untuk program siaran “Tercyduk” di SCTV. Acara bertajuk variety show tersebut kedapatan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Demikian ditegaskan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, dalam surat teguran untuk program “Tercyduk” SCTV, Senin (6/8/2018).

Berdasarkan pemantauan dan hasil analisis, KPI Pusat menemukan pelanggaran pada program “Tercyduk” yang ditayangkan pada tanggal 17 Juli 2018 mulai pukul 15.49 WIB.

Menurut keterangan Yuliandre, program siaran tersebut menampilkan adegan dua orang wanita yang merupakan istri pertama dan kedua terlibat konflik yakni saling dorong dan menjambak rambut hingga tercebur ke dalam danau. 

“Selain itu, terdapat pula adegan seorang pria yang menceraikan istrinya dengan mengucapkan talak. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas ketentuan tentang penghormatan terhadap hak privasi, perlindungan anak-anak dan remaja serta penggolongan program siaran,” jelas Andre.

KPI Pusat memutuskan bahwa tayangan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran KPI Tahun 2012 Pasal 13, Pasal 14 dan Pasal 21 Ayat (1) serta Standar Program Siaran KPI Tahun 2012 Pasal 13 Ayat (1), Pasal 15 Ayat (1) dan Pasal 37 Ayat (4) huruf a. 

“Berdasarkan pelanggaran tersebut, kami memutuskan memberikan sanksi administratif teguran tertulis untuk SCTV,” kata Andre. 

Dalam surat tersebut, KPI Pusat meminta SCTV menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 2012 sebagai acuan utama dalam penayangan sebuah program siaran. “Kami minta teguran ini menjadi perhatian dan SCTV segera melakukan perbaikan segera,” paparnya. ***

 

Ketua KPI Pusat, Yuliandre menyerahkan buku hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018 kepada Direktur Program dan Berita, Apni Jaya Putra, di TVRI, Kamis (9/8/2018).

 

Jakarta -- Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mendorong dan mendukung Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Televisi Republik Indonesia (TVRI) menjadi role model produksi konten bernuansa Indonesia. Agar harapan itu dapat terwujud, TVRI harus mendapatkan anggaran yang pantas.

“Kita mendorong lembaga penyiaran publik ini menciptakan gerbong untuk produksi konten dan harapan kita TVRI yang menjadi role model-nya. Tapi upaya ini harus didukung logistik yang cukup. Kita akan dorong hal ini ke DPR untuk pengembangan itu,” kata Andre, panggilan akrabnya, saat sosialiasi hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi Periode 1 2018 di TVRI, Kamis (9/8/2018).

Andre menjelaskan produksi program acara dalam negeri belum sepenuhnya melebihi 60% porsi konten lokal di lembaga penyiaran. Bahkan, kebanyakan di dominasi konten asing. “Ada permasalah hilir dan hulu produksi kita. Selain juga disebabkan adanya rating sehingga mempengaruhi genre program kita. Saat acara mistis sedang tinggi ratingnya, semua TV jadi ikutan memproduksi yang sama,” ujarnya.

Direktur Program dan Berita LPP TVRI, Apni Jaya Putra mengatakan, TVRI terus berupaya mengembangkan produksi dan kualitas program acaranya dengan permintaan peningkatan anggaran produksi di tahun anggaran 2019. “Kami  mengajukan 1,2 trilyun untuk pengembangan dan peningkatan kualitas program TVRI. Saat ini, anggaran produksi program kami dalam setahun sama dengan biaya produksi program salah satu televisi swasta nasional,” katanya.

Meskipun demikian, Apni menyatakan TVRI bukanlah kompetitor bagi lembaga penyiaran swasta. TVRI sebagai lembaga penyiaran publik memilik tanggungjawab menyediakan masyarakat tontonan alternatif. “Niat kami membesarkan TV ini menjadi saluran alternatif masyarakat. Jika anggaran besar tadi disetujui, kami akan dapat melakukan banyak hal untuk masyarakat,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Umum TVRI, Tumpak Pasaribu, menyatakan hasil survey kualitas KPI menjadi bahan evaluasi dan data program acara TVRI yang baik dan yang di bawah standar. “Ini masukan berharga karena belum tentu menurut kami baik ternyata kata masyarakat sebaliknya,” katanya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.