- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 22589
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, di acara Sosialisasi Pengawasan Iklan Kampanye Pemilihan Umum Serentak 2019 yang diselenggaran Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI), di Hotel Aviary Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (17/12/2018).
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kondisi siaran politik di lembaga penyiaran menjelang berlangsungnya Pemilihan Umum 2019 relatif masih kondusif. Namun demikian, KPI terus mendorong lembaga penyiaran untuk mengedepankan asas keberimbangan dan proposionalitas dalam penyiaran dan pemberitaan kampanye Pemilu 2019.
Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, suasana kondusif ini harus terus dijaga semua pihak khususnya lembaga penyiaran hingga berlangsungnya hari pemilihan atau pemungutan suara pada 17 April 2019 mendatang.
“Karenanya, hingga sekarang KPI belum mengeluarkan surat edaran kepada lembaga penyiaran. Selain karena masih relatif aman juga untuk memberi ruang dinamis pada lembaga penyiaran untuk berkreasi,” kata Hardly di acara Sosialisasi Pengawasan Iklan Kampanye Pemilihan Umum Serentak 2019 yang diselenggaran Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI), di Hotel Aviary Bintaro, Kota Tangerang Selatan, Banten, Senin (17/12/2018).
Menurut Hardly, langkah yang dilakukan KPI dengan memberi ruang lembaga penyiaran mengatur dirinya sendiri adalah untuk mendorong mereka menjadi media pendidikan politik bagi masyarakat melalui pemberitaan dan penyiaran Pemilu. “Dengan menyampaikan informasi pemilu yang berkualitas, diharapkan dapat meningkatkan partisipasi pemilih dan memperkuat demokasi,” tambahnya.
Hardly mengungkapkan, pihaknya menerima laporan masyarakat dan menemukan ada indikasi beberapa lembaga penyiaran yang arah siarannya keluar dari koridor aturan atau tidak berimbang. Untuk itu, dia mengingatkan pada lembaga penyiaran itu untuk segera memperbaiki dan tidak condong sebelah.
“Jika lembaga penyiaran itu sudah merasa agak miring mohon segera diperbaiki agar tidak ada sanksi. Karena berlakunya sanksi ini tidak hanya kepada peserta Pemilu tapi juga kepada lembaga penyiaran. Masyarakat butuh informasi yang berimbang. Ini tuntunan mereka. Memang ada kepentingan bisnis atau politik, tapi dahulukan kepentingan publik disini,” pinta Hardly.
Sejauh ini, KPI masih merujuk kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dalam mengawasi penyiaran politik di lembaga penyiaran. Jika dinilai ada potensi pelanggaran, KPI berkoordinasi dengan Gugus Tugas Pengawasan Penyiaran Pemilu 2019 sebelum menjatuhkan putusan.
Anggota Bawaslu RI Pusat, Mochammad Afifuddin, menyampaikan aturan yang harus diikuti lemnbaga penyiaran dalam konteks penyiaran Pemilu 2019. Salah satu yang ditekankannya soal definisi kampanye dan citra diri.
Definisi kampanye adalah kegiatan peserta Pemilu atau pihak lain yang ditunjuk oleh peserta Pemilu untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri peserta Pemilu. Kemudian definisi citra diri atau pencitraan yakni adanya siaran identitas, ciri-ciri khusus atau karakteristik peserta Pemilu yang memuat tanda gambar dan nomor urut peserta Pemilu.
Menurut Afif, lembaga penyiaran harus mengacu pada definisi tersebut untuk menghindari terjadinya pelanggaran siaran kampanye. “Karena itu, kami selalu melakukan pencegahan diawal dengan sosialisasi seperti ini. Bagi kami selalu kami sampaikan, karena posisi aturannya masih multitafsir, kami minta hindari citra diri,” katanya.
Sementara itu, Yoseph Adi Prasetyo, menegaskan jurnalis yang terlibat dalam kompetisi Pemilu dan Tim Sukses salah satu Paslon Presiden harus mengundurkan diri untuk sementara waktu dari profesinya atau mengundurkan diri secara permanen.
“Aturan main yang lebih tegas berkaitan dengan jurnalis yang mencalonkan diri sebagai Caleg atau Tim Sukses adalah mengundurkan diri secara permanen dari profesi jurnalistiknya. Alasannya, dengan menjadi Caleg atau Tim Sukses, Ia berjuang untuk kepentingan politik pribadi atau golongannya. Padahal tugas utama jurnalis adalah untuk mengabdi pada kebenaran dan kepentingan publik,” jelas Stanley, panggilan akrabnya.
Menurut Stanley, ketika seorang jurnalis memutuskan menjadi Caleg atau Tim Sukses salah satu Paslon, ia kehilangan legitimasinya untuk kembali pada profesi jurnalistik. ***