- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 28911
Suasana Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat di Kantor KPI Pusat, Djuanda, Selasa (7/8/2018).
Jakarta – Tingginya animo masyarakat untuk menonton tayangan dengan muatan mistik, horor dan supranatural (MHS) tidak terlepas dari kondisi sosiologis yang merupakan campuran dari fase theologis, fase metafisis dan fase modern positivistik. Ketiga fase tersebut hadir secara bersamaan dan bahkan saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal tersebut terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, (7/8/2018).
FGD yang dipandu oleh Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Nuning Rodiyah dan Dewi Setyarini menghadirkan narasumber dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Kementerian Agama (Kemenag), Lembaga Sensor Film (LSF), Budayawan dan Psikolog. Forum ini juga menghadirkan peserta aktif dari lembaga keagamaan, lembaga penyiaran dan lembaga swadaya masyarakat.
Budayawan Ngatawi Al Zastro mengatakan, program mistik, horor dan supranatural tidak perlu dilarang tapi cukup ditata sesuai dengan etika dan norma yang berlaku. Menurutnya, hal-hal supranatural sebenarnya bersifat individual dan diperlukan kehati-hatian dalam menampilkan hal tersebut ke ruang publik.
“Membuat program demikian memang tidak gampang karena itu harus melibatkan orang yang memiliki kompetensi dan ahli seperti budayawan, sosiolog, atau ahli tasawuf. Selain itu, perlu juga kebijakan dan kepekaan dalam memproduksi tayangan. Jika secara manfaat dan kemaslahatannya lebih banyak ya silahkan ditayangkan,” kata Zastro.
Hal senada disampaikan Ketua MUI bidang Komunikasi dan Informasi, KH Masduki Baidlowi yang menyebutkan bahwa perlu ada batasan pengertian yang lebih jelas tentang apa yang dimaksud dengan mistik, horor, dan supranatural. “Karena mistik dalam pengertian yang luas adalah percaya pada yang ghaib dan itu terdapat pada semua agama, berlawanan dengan pengertian sekuler yang hanya percaya pada hal-hal material”. Menurutnya, pembangunan kreatifitas dengan menyisipkan nilai positif, edukatif dan karakter building dalam tayangan sangat penting.
Baidlowi berharap agar semua program siaran, termasuk dengan muatan MHS harus mampu memberi inspirasi positif bagi kehidupan keagamaan dan kebangsaan. “MUI senantiasa berkomunikasi dengan KPI, dan membuka ruang dialog dengan lembaga penyiaran”, tandasnya.
Anggota LSF, Nasrullah menyatakan, membuat tayangan mistik atau lainnya harus didahului komitmen menitipkan nilai-nilai edukasi. Dari berbagai dialog yang telah dilakukan LSF dengan berbagai kelompok kemudian dirumuskan batasan-batasan terhadap program dengan muatan MHS, diantaranya adalah tidak mengandung atribut/simbol agama tertentu. Selain itu perlu memperhatikan norma dan adat masyarakat pada tempat yang menjadi lokasi syuting.
“Dalam rangka melindungi masyarakat, khususnya anak dan remaja LSF akan senantiasa melihat dan meneliti setiap tayangan, untuk kemudian ditentukan golongan atau klasifikasinya,” kata Nasrullah.
Sementara, Amirsyah Tambunan mengingatkan, tayangan mistik, horor dan supranatural jangan sampai mendegradasi atau mengikis nilai ber-Ketuhanan. “Jangan pula hal-hal mistis ini menjadi ajang untuk penipuan,” paparnya.
Perwakilan dari Kementerian Agama, Nur Khazin berharap, tayangan mistis atau lainnya dapat dikemas menjadi sebuah tontonan sekaligus tuntunan. “Kita ingin tayangan yang mengarah kepada bimbingan umat supaya masyarakat tidak terjerumus pada hal yang tidak baik dan keimanan mereka makin meningkat,” tuturnya.
Dari sudut pandang Psikolog Anak, Reza Indragiri mengatakan, industri penyiaran harus mengedepankan perlindungan anak dalam setiap tayangan. Tayangan horor pun harus ramah terhadap anak seperti film Scooby Doo. Menurutnya, film Scooby Doo menjadi contoh sebuah tayangan horor yang pada bagian akhir memberikan penjelasan rasional atau ilmiah sehingga tidak ada kengerian usai menonton film tersebut.
“Adalah sangat penting bagi kita menemukan akar rasionalitasnya dalam tayangan horor. Jika tayangan tersebut tidak ada penjelasan ilmiahnya, berarti tayangan tersebut tidak ramah anak. Kita juga berharap bagaimana tayangan itu bisa membangun fantasi dan imaginasi yang cerdas untuk anak,” tandasnya.
Menutup FGD tersebut, Hardly Stefano Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan bahwa semua dinamika pemikiran dan masukan yang berkembang dalam forum diskusi akan menjadi masukan bagi KPI dalam merumuskan kebijakan yang mengatur secara proposional tayangan dengan muatan MHS. ***