Jakarta - Rancangan undang-undang penyiaran yang tengah dibahas di Komisi I DPR, merumuskan penganggaran terpusat untuk Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), sehingga pembiayaan untuk kerja KPI Daerah di seluruh provinsi menjadi beban dari Anggaran Perencanaan dan Belanja Nasional (APBN).  Selain itu, tengah dirumuskan pula perpanjangan masa jabatan KPI menjadi lebih dari tiga tahun. Hal ini diungkap anggota Komisi I DPR RI, Nurul Arifin pada Rapat Kerja antara Komisi I DPR RI dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang turut menghadirkan Ketua KPI Pusat, (4/9). 

Nurul mengatakan dalam kunjungan kerja yang dilakukan Komisi I ke berbagai provinsi, terungkap kondisi KPID yang sangat terbatas, tergantung kebaikan dari kepala daerahnya. Nurul memberi contoh di KPID Jawa Timur yang memiliki 38 kabupaten/ kota, hanya menerima satu sekian miliar untuk operasional dan kegiatan selama satu tahun.  Atau di provinsi lain, KPID berkantor  dan beraktivitas di rumah anggota KPID, dalam memberikan pelayanan publik.

Dengan realitas seperti ini, Nurul meminta Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi yang hadir dalam Rapat Kerja bersama DPR, menambahkan anggaran pada KPI agar tetap menjalankan amanat undang-undang secara optimal. “Meskipun anggaran Kominfo mengalami penurunan, saya berharap hak-hak dari Komisi (lembaga kuasi di bawah Kominfo. Red), tetap dapat ditunaikan,” ujar Nurul. 

Senada dengan hal tersebut, Anggota Komisi I DPR RI Jazuli Juwaini berpendapat bahwa sudah saatnya KPI memiliki anggaran sendiri yang terlepas dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. “Rasanya di Undang-Undang Penyiaran yang baru nanti, Pak Menteri harus ikhlas melepas kewenangannya bahwa anggaran KPI tidak lagi lewat Kominfo,” ucapnya. Harapannya, dengan penganggaran yang lepas dari Kominfo, KPI dapat menjadi lembaga yang independen dalam kontrolnya. Lebih jauh, Jazuli menilai, KPI, Dewan Pers dan juga Komisi Informasi, adalah lembaga yang lahir dari undang-undang. Tapi kehadirannya, tidak didukung oleh kebijakan atau regulasi yang dapat membuat mereka melaksanakan tugas dengan baik, tambahnya. 

 

 

Dalam Rapat Kerja tersebut, hadir pula Ketua KPI Pusat Ubaidillah dan Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza. Ubaidillah mengatakan, saat ini KPI Pusat tengah melakukan clusterisasi KPID, mengingat kebutuhan masing-masing provinsi dalam menjalankan amanat regulasi terkait penyiaran, tidaklah sama. Misalnya saja kebutuhan KPID di Maluku Utara, akan berbeda dengan provinsi lain. Perbedaannya dilihat dari kondisi geografis, demografi penduduk, serta jumlah lembaga penyiaran yang diawasi KPID. 

Lebih jauh tambah Ubaidillah, KPI Pusat sudah berkoordinasi dengan Kementerian Dalam Negeri untuk penganggaran KPID. Harapannya, dengan arahan dari Kemendagri pada pemerintah daerah, penganggaran dapat diberikan secara signifikan agar pelayanan pada publik pun terselenggara dengan dengan baik. Pada Rapat Kerja ini, Ubaidillah juga melaporkan tentang dinamika pengusulan Revisi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI pada Rakornas KPI se-Indonesia sebagai usaha KPI menyesuaikan regulasi konten siaran dengan dinamika teknologi terbaru dan tren perilaku publik dalam mengonsumsi media.

Selain membahas penguatan kelembagaan KPI dalam RUU Penyiaran, Komisi I juga mengevaluasi pelaksanaan Analog Switch Off (ASO) dari lembaga penyiaran swasta (LPS) televisi. Anggota Komisi I DPR RI Nico Siahaan secara khusus meminta pertimbangan dari Menteri Kominfo untuk mengevaluasi pembebanan sewa pada televisi lokal. Menurutnya, penerimaan negara bukan pajak yang diperoleh dari sewa kanal televisi lokal tidak cukup signifikan. Menurutnya, lebih baik baik digratiskan atau diberikan diskon yang besar supaya pengelola televisi lokal dapat bersaing dengan lebih baik. ”Toh, mereka juga membuka lapangan kerja,”tambahnya. Hal ini disampaikan Nico sebagai refleksi atas perjuangan pengelola televisi lokal bersaing tidak saja dengan televisi nasional, tapi juga melawan media streaming.

 

 

Jakarta --  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus mengupayakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia (SDM) di bidang penyiaran melalui kegiatan Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standat Program Siaran). Kegiatan ini menjadi wadah menimba wawasan tentang aturan penyiaran sekaligus mengasah kemampuan analisa dan sensitifitas masyarakat khususnya insan penyiaran terhadap bentuk tayangan.

Sejak kemarin (30/8/2023) hingga Kamis (31/8/2023), puluhan peserta Sekolah P3SPS Angkatan 47 mendapatkan materi berharga mengenai penyiaran para narasumber dari luar dan internal KPI Pusat. Pada hari ini, materi sekolah ditekankan pada elemen tayangan yang paling banyak mendapat soroton KPI  yakni tentang siaran berbau pornografi.

Terkait materi ini, Anggota KPI Pusat Aliyah, menekankan beberapa hal yang harus diperhatikan khususnya tim produksi di lembaga penyiaran. Hal-hal itu menyangkut aturan yang ada dalam P3SPS seperti larangan menampilkan ketelanjangan dan/atau alat kelamin. Dilarang menampilkan adegan  yang menggambarkan aktivitas seks dan/atau persenggamaan. 

Selain itu, dilarang menayangkan kekerasan seksual, menampilkan suara yang menggambarkan berlangsungnya aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Aturan ini juga dilarang menampilkan percakapan tentang rangkaian aktivitas seks dan/atau persenggamaan. Hal-hal lebih lengkap mengenai aturan ini terdapat dalam Pasal 18 di Standar Program Siaran (SPS) KPI tahun 2012.

Aliyah juga menjelaskan secara rinci aturan tentang siaran iklan termasuk penayangan siaran iklan rokok dan produk atau jasa untuk dewasa seperti alat kontrasepsi dan lainnya. Pasalnya. dari catatan sanksi KPI Pusat masih ada pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran terhadap aturan siaran tersebut. 

Menganai siaran pemberitaan serta iklan dan kampanye Pemilu 2024, Aliyah meminta peserta untuk memahami secara dalam aturan penyiaran pemilu yang ada dalam Pasal 71 SPS KPI. Dia menegaskan jika pengawasan KPI terhadap siaran pemilu sangat ketat. Hal ini untuk memastikan seluruh komponen, baik kontestan maupun masyarakat, mendapatkan keadilan dan porsi yang proporsional dalam siaran.

“Program siaran harus memberikan alokasi waktu yang sama dan memperlakukan  secara adil serta proporsional dalam pemberitaan kegiatan kampanye peserta pemilu. Program siaran jangan dimanfaatkan untuk pemberitaan kepentingan peserta pemilu tertentu,” katanya.

Sementara itu, Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, menerangkan aturan menyangkut siaran lokal, asing dan sistem stasiun jaringan (SSJ). Dia juga menekankan pentingnya penghormatan terhadap nilai-nilai kesukuan, keagamaan, ras dan antar golongan. Selain juga perlindungan kepentingan publik, layanan publik, dan penghormatan terhadap hak privasi. 

“Siaran asing berdasarkan SPS KPI Pasal 67 dapat disiarkan dengan ketentuan tidak melebihi 30% dari waktu siaran per hari. Adapun aturan SPS Pasal 68 menyatakan program siaran lokal wajib diproduksi dengan durasi paling sedikit 10% untuk televisi dan paling sedikit 60% untuk radio dari seluruh waktu siaran berjaringan per-hari,” jelas Ubaidillah. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mohamad Reza, menambahkan materi tentang program siaran jurnalistik, program siaran terkait rokok, napza (narkotika, psikotropika dan zat adiktif) dan minuman beralkohol serta siaran mistik, horror dan supranatural. Di sela-sela materi tersebut, dijelaskannya aturan Pasal 18 P3 bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program terkait muatan rokok. napza, dan minuman beralkohol. 

“Lembaga penyiaran wajib tunduk pada ketentuan pelarangan dan/atau pembatasan program terkait muatan mistik, horror dan supranatural. Aturan ini ada di pasal 20 dalam pedoman perilaku penyiaran KPI,” tandasnya. ***/Foto: Maman

 

 

 

Jakarta - Televisi dan radio diharapkan dapat ikut mendorong keterlibatan masyarakat membantu mengatasi stereotype negatif atau prasangka terhadap budaya dan kelompok tertentu, dengan menyebarkan informasi yang akurat dan berimbang. Hal ini didasarkan dengan keberagaman masyarakat Indonesia yang membutuhkan sosialisasi serius dengan data yang akurat, agar dapat meningkatkan tolerasi sebagai sesama anak bangsa. 

Hal ini disampaikan anggota Komisi I DPR RI Krisantus Kurniawan saat menjadi pemateri dalam Kuliah Umum di Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran Dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) angkatan 47 yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Jakarta, (30/8).  

Dalam materi yang mengambil topik “Tanggungjawab Sosial Lembaga Penyiaran dalam Menjaga Karakter Bangsa, Krisantus juga menjelaskan secara rinci tentang pentingnya karakter bangsa dalam keberlanjutan dan identitas suatu negara. “Bukan hanya tentang membangun pondasi moral dan etika masyarkaat, tetapi juga tentang membentuk dasar untuk memahami dan menghargai identitas nasional,” ujarnya. 

Sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Kalimantan Barat II yang meliputi kabupaten yang bersebelahan dengan negara tetangga, Krisantus menilai, media baik melalui lembaga penyiaran atau pun media sosial, memiliki fungsi yang strategis dalam menjaga karakter bangsa. “Media memiliki potensi besar untuk menyebarkan nilai-nilai positif, budaya, dan sejarah bangsa secara luas dan efektif,  termasuk diantaranya soal kekhasan dari setiap suku bangsa di  negeri ini,” tambahnya. 

Secara khusus Krisantus berharap, media juga dapat dioptimalkan untuk menyosialisasikan informasi tentang tradisi-tradisi budaya yang menjadi kekayaan negeri ini, seperti festival, upacara atau pun ritual tertentu. “Dengan adanya sosialisasi melalui media, tentu akan membantu masyarakat memahami dan menghargai warisan budaya negerinya sendiri,” tegas Krisantus.

Sekolah P3SPS sendiri merupakan kegiatan KPI Pusat dengan target peserta pelaku di industri penyiaran. Kegiatan ini digelar untuk memberi kesempatan pada pekerja di sektor penyiaran memiliki pemahaman yang menyeluruh tentang regulasi penyiaran di Indonesia. Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Tulus Santoso, dalam acara ini menyampaikan kerangka dasar regulasi penyiaran yang saat ini menjadi sandaran bagi para pembuat konten siaran baik itu televisi dan radio. 

Melihat dari kronologi undang-undang penyiaran, Tulus mengungkap, secara perlahan sudah dilakukan pengurangan kewenangan KPI dari yang sesungguhnya diharapkan pembuat regulasi ini. Misalnya saja, kewenangan membuat peraturan pemerintah bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika yang kemudian dihilangkan setelah adanya pengajuan judicial review dari beberapa lembaga dan pemangku kepentingan penyiaran. Yang terakhir, tambah Tulus, adalah pencabutan kewenangan KPI dalam proses perizinan lembaga penyiaran lewat undang-undang cipta kerja. “Sehingga saat ini, kewenangan KPI hanya sebatas pada pengawasan konten siaran dan penjatuhan sanksi administrasi saja,” ujarnya. 

Namun demikian, apa pun kewenangan yang tersisa untuk KPI yang diamanatkan regulasi, tetang digunakan untuk menjaga kepentingan publik. Undang-undang kita secara tegas menyatakan penyiaran diselenggarakan dengan tujuan memperkukuh integritas nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang  beriman dan bertakwa, termasuk juga menumbuhkan industri penyiaran Indonesia, pungkas Tulus. (Foto: KPI Pusat/ Agung Rachmadiansyah).

 

Jakarta - Wacana pengaturan konten layanan Over The Top (OTT) yang tengah dibahas DPR sangat dibutuhkan demi membangun level of playing field yang setara dengan penyiaran free to air (FTA) di tanah air. Kehadiran asosiasi seperti Asia Video Industry Association (AVIA) dan Asosiasi Video Streaming Indonesia (AVISI) dapat menjadi pengaya substansi pengaturan OTT yang diwacanakan akan masuk dalam Revisi Undang-Undang Penyiaran. Hal ini diungkap Amin Sabhana, Anggota Bidang Kelembagaan KPI Pusat, usai menghadiri diskusi panel pada State of Piracy yang diselenggarakan AVIA di Jakarta, (30/8). 

“Ada permasalahan kompleks yang berkembang dalam layanan OTT, seperti perizinan, materi siaran, pembajakan dan juga klasifikasi siaran,” ujar Amin. Mengingat sebagian besar penyedia layanan OTT ini berbasis di luar negeri, tentu tidak mudah dihadapi jika dibebankan pengaturan dan pengawasan tersebut kepada KPI saja. 

KPI sendiri memiliki perhatian yang besar terhadap hak cipta yang harus dihormati dalam setiap program siaran di televisi, baik di FTA atau pun televisi berbayar (Pay TV). Apalagi dengan makin terbukanya kesempatan memproduksi konten dan menyiarkannya lewat saluran televisi digital yang mengakibatkan jumlah televisi berlipat-lipat dari sebelumnya.  

Meskipun hingga saat ini KPI belum mendapat kewenangan dalam layanan OTT, termasuk terkait pembajakan, Amin mengingatkan tentang pengalaman industri perfilman yang sempat mati suri akibat aksi pembajakan. Untuk itu, pembajakan yang terjadi dalam layanan OTT harus dicermati dengan cepat sesuai regulasi yang ada. “Bila tidak ada law enforcement yang tegas, praktik pembajakan tentang akan merugikan industri media dan mengakibatkan bisnis ini tidak berjalan dengan sehat. 

Pada pertemuan itu juga dilaksanakan penandatanganan kerja sama antara AVIA dan AVISI dalam rangka menanggulangi pembajakan yang menjadi isu global dalam industri pembuat konten. Dalam diskusi panel tersebut diungkap hasil survey konsumen terbaru dari Coalition Against Piracy (CAP) yang mengungkat 54% konsumen Indonesia mengakses layanan pembajakan pada tahun 2023. 

Namun demikian, survey CAP ini mengungkap adanya peningkatan kesadaran hingga 94% bahwa pembajakan ini memiliki konsekuensi negatif terhadap industri kreatif. Menurut CEO AVIA, Louis Boswell, pembajakan merupakan satu-satunya masalah terbesar yang dihadapi industri video dan untuk menyelesaikan masalah ini harus melakukan pendekatan pada multistakeholder. 

Ini juga yang menjadi alasan bagi AVIA untuk bekerja sama dengan AVISI dalam memberantas pembajakan, serta melindungi dan mempromosikan konten-konten di Indonesia. Kedua organisasi ini selain sepakat untuk memperkuat pertahanan dan mendorong akses hukum terhadap konten, juga akan memperjuangkan hak-hak pembuat konten untuk menumbuhsuburkan ekosistem konten kreatif. (Foto KPI Pusat/ Intantri K)

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Malaysian Communications and Multimedia Commissions (MCMC) menggelar pertemuan perdana melalui daring, Senin (28/8/2023). Pertemuan ini untuk mempererat kerjasama kedua lembaga sekaligus mempersiapkan pembentukan forum regulator penyiaran di negara-negara Asia Tenggara (ASEAN). 

Dalam pertemuan ini, hadir Ketua KPI Pusat, Ubaidillah, Anggota KPI Pusat, Amin Shabana, Evri Rizqi Monarshi, Mimah Susanti dan I Made Sunarsa serta Kepala Sekretariat KPI Pusat Umri. Adapun MCMC diwakili Shaharliza, Faisal Hamdi, Suraya, dan Mawar Latif.

Ketua KPI Pusat Ubaidillah mengatakan, pertemuan ini dalam rangka membentuk sinergi kedua belah pihak. Selain itu, banyak hal yang menjadi bahasan khususnya terkait perkembangan penyiaran dan multimedia di kedua negara. 

“Kami perlu mengetahui bagaimana proses pengawasan siaran, penerapan ASO, bisnis penyiarannya, serta model literasi di Malaysia,” ujarnya. 

Anggota KPI Pusat Amin Shabana menambahkan, pertemuan ini bagian dari upaya KPI mempertemukan seluruh regulator penyiaran di ASEAN dalam sebuah forum penyiaran. Menurutnya, pembentukan forum penyiaran ASEAN diperlukan. Tidak hanya untuk pengembangan penyiaran di kawasan, tapi juga menyangkut tukar menukar informasi mengenai dinamika regulasi penyiaran di masing-masing negara. 

“Kami sebelumnya sudah melakukan pertemuan dengan Duta Besar Malaysia di Jakarta. Kami menyampaikan kepada beliau bahwa kami berinisiatif mempererat kerjasama dengan lembaga sejenis. Kami juga sudah bertemu dengan Dubes lainnya,” kata Amin yang secara khusus menyampaikan maksud pertemuannya dengan MCMC untuk belajar cara bagaimana Malaysia mengatur penyiaran multimedia. 

Sementara itu, Suraya dari MCMC menjelaskan tentang tugas dan fungsi lembaganya. MCMC berdiri pada 1 November 1998 merupakan regulator yang mengatur sektor penyiaran dan telekomunikasi di Malaysia. Lembaga ini berada di bawah naungan Kementerian Komunikasi dan Digital Kerajaan Malaysia.  

Dia mengatakan regulasi penyiaran di Malaysia tidak banyak. Hal ini dikarenakan jumlah pendudukannya yang tidak sebesar Indonesia. “Sekarang ini kami sedang mengkaji 5G broadcasting, ini untuk penyiaran yang lebih efektif. Baik itu dari segi biaya dan lainnya,” tutur Suraya. 

MCMC juga melakukan survei dan analisis untuk mendapatkan data jumlah dan kepuasaan penonton pada FTA (free to air) TV. Sekarang, MCMC tengah membuat blue print tentang industri penyiaran  di Malaysia. Hal ini untuk memastikan model bisnis yang tepat bagi industri penyiaran di negaranya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.