Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini, menyerahkan plakat KPI ke Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Sardi Susanto, di Kantor KPI Pusat, Kamis (12/4/2018).

 

Jakarta – Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyumas, Provinsi Jawa Tengah (Jateng), melakukan kunjungan kerja ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kamis (12/4/2018). Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan aduan soal dugaan pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran lokal di Banyumas terkait tayangan politik. Aduan tersebut diterima langsung Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini.

Ketua Komisi A DPRD Kabupaten Banyumas, Sardi Susanto mengatakan, pihaknya menemukan lembaga penyiaran lokal yang hanya menyiarkan tayangan salah satu calon pasangan yang ikut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Banyumas. “Bagaimana mekanismenya untuk melaporkan dugaan pelanggaran ini. Lalu siapa yang punya kewenangan memberi sanksi jika hal itu melanggar,” katanya.

Sardi juga melaporkan keluhan masyarakat Banyumas terhadap program FTV (Film Televisi) di salah satu televisi swasta berjaringan nasional. Menurutnya, tema cerita yang diangkat program FTV itu tidak pantas karena memuat persoalan kekerasan dalam rumah tangga.

“Cerita-cerita film seperti itu memicu tingginya angka korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Kabupaten Banyumas. Uniknya, kekerasaan tersebut dilakukan oleh istri terhadap suami. Kami minta KPI menegur tayangan tersebut,” pinta Sardi meneruskan aduan dari Forum Ibu-Ibu Banyumas (FIIB).

Menanggapi aduan itu, Komisioner KPI Pusat, Dewi Setyarini menjelaskan, aduan terkait tayangan televisi lokal yang diduga melakukan pelanggaran dapat ditujukan ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah setempat, dalam hal ini KPID Jateng.

“Untuk urusan lembaga penyiaran lokal kewenangannya ada di KPID dan itu termasuk sanksi yang akan diberikan jika lembaga penyiaran lokal tersebut terbukti melakukan pelanggaran. Adapun aduan terhadap televisi swasta berjaringan nasional dapat ke KPI Pusat. Untuk sanksinya berjenjang mulai dari peringatan, teguran, penghentian sementara hingga pengurangan durasi,” katanya.

Dewi mengatakan, respon masyarakat Banyumas terhadap tayangan yang dianggap tidak pantas dan melanggar sebaiknya diwadahi dalam bentuk forum masyarakat peduli penyiaran (FMPP). Terbentuknya  forum ini dapat memudahkan koordinasi antar anggota ketika ada masalah dengan tayangan media.

Dalam kesempatan itu, Dewi mendorong pengembangan produksi konten lokal di lembaga penyiaran yang bersiaran di Banyumas. ***

 

 

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono.

 

Jakarta – Penyebab rendahnya kualitas tayangan sinetron dalam negeri disinyalir karena Indonesia kekurangan sumber daya manusia (SDM) kreatif seperti penulis skenario atau cerita. Selain itu, tenaga kreatif yang minim tersebut terbebani dengan pola kejar tayang yang menyebabkan ide cerita tidak berkembang.

Pendapat itu disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Mayong Suryo Laksono, saat menerima kunjungan mahasiswa Universitas Parahyangan Bandung, di Kantor KPI Pusat, Kamis (12/4/2018).

Menurut Mayong, pola kejar tayang menyebabkan jam kerja para pekerja kreatif menjadi tidak teratur sehingga mempengaruhi kreatifitas mereka. Hal ini berbanding terbalik dengan pola kerja kru pembuat film atau sinetron di luar negeri seperti Hongkong.

“Ketika saya belajar soal film di Hongkong. Jam kerja mereka sangat teratur. Masuk pukul tujuh pagi, selesai pukul lima sore. Pukul duabelas siang mereka istirahat makan siang. Sangat teratur. Adapun di sini, bisa sampai pagi lagi selesainya. Kondisi ini jelas tidak memungkinkan untuk membuat tayangan berkualitas,” kata Mayong.

Mayong mengatakan, minimnya tenaga kreatif ini dapat menjadi peluang kerja bagi siapa pun termasuk mahasiswa. “Kita ini kekurangan tenaga kreatif jadi kalian bisa kirim gagasan atau ide cerita kalian,” sarannya kepada para mahasiswa.

Dalam kesempatan itu, Mayong meminta mahasiswa untuk membantu gerakan literasi media ataupun digital. Menurutnya, gerakan literasi media untuk masyarakat tidak boleh berhenti dan harus dilakukan secara massif. Literasi ini akan menumbuhkan sikap bijak, kritis dan jeli memilah media di tengah maraknya informasi menyesatkan atau hoax di media sosial.

Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan, pihaknya melakukan sosialisasi dan literasi mengajarkan kepada sebanyak orang agar melek media. Literasi ini tidak hanya untuk media arus utama tapi juga media non mainstream. ***

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini, dan Nuning Rodiyah, memberikan penjelasan kepada lembaga penyiaran terkait adanya kecenderungan eksploitasi kekerasan pada program siaran realty show, Selasa (10/4/2018).

 

Jakarta - Adanya kecenderungan eksploitasi kekerasan pada program siaran Reality Show di beberapa televisi, menjadi perhatian Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Dalam kegiatan pembinaan program siaran untuk Reality Show, Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran, Hardly Stefano Pariela memaparkan tentang catatan yang dimiliki KPI atas program tersebut.

Hardly menilai, pemilihan tema reality show yang terpusat pada konflik percintaan dan perselingkuhan sangat berpotensi melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012. Karenanya dalam pembinaan tersebut, Hardly meminta penanggungjawab program siaran pada setiap televisi memberikan penjelasan atas pilihan diambil dalam program yang dikelolanya itu.

Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran lainnya, Mayong Suryo Laksono juga mengaku prihatin dengan wajah layar televisi yang dipenuhi caci maki lewat Reality Show ini. Secara khusus, Mayong juga menilai acara ini sangat bising dengan konflik yang dibangun dan dimunculkan. Mayong memaklumi, secara ideal program seperti ini memiliki tujuan untuk menyelesaikan masalah. “Namun hal tersebut kerap kali tertutup dengan dominasi cacian dan makian yang muncul,” ujarnya. 

Dikatakan pula oleh Mayong, kelemahan terbesar pada produksi program siaran secara umum adalah tidak menyisihkan waktu untuk menggunakan kacamata sebagai penonton. “Padahal penonton juga butuh kenyamanan saat menonton siaran,” tambah Mayong.

Tentang munculnya kesan bising pada program ini, Hardly menjelaskan hal itu muncul ketika semua orang yang muncul pada layar kaca berbicara dengan nada yang tinggi. “Padahal komunikasi adalah cara kita menyampaikan pesan pada orang lain”, ujarnya. Kalau semua orang berbicara dengan intonasi dan nada yang tinggi, bagaimana pesan yang dibawa dapat tersampaikan. Pada titik inilah Hardly melihat, telah hilang kenyamanan bagi penonton untuk menikmati Reality Show.

Sebelum menutup acara pembinaan yang juga dihadiri pihak rumah produksi Reality Show, Hardly menegaskan setidaknya tiga hal yang harus diperhatikan pengelola televisi. Pilihan-pilihan tema yang cenderung tidak ramah pada anak sebaiknya dihindari. “Televisi harus membuka diri pada tema-tema lain yang jauh lebih positif dan memberikan inspirasi kebaikan untuk masyarakat”, ujarnya. Catatan lainnya alah pengelolaan konflik yang dibangun agar jangan didominasi pada dialog-dialog dengan intonasi tinggi yang berpotensi munculnya kekerasan verbal. Selain itu, Hardly juga meminta televisi mencegah adanya eksploitasi kekerasan, terutama pada program-program yang muncul di jam tayang anak, sehingga tidak ada hak-hak anak yang dilanggar saat menikmati siaran televisi. ***

Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio menghadiri Forum Rapat Bersama (FRB), dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI di Bogor, Rabu (11/4/2018).

 

Bogor - Koordinator Bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Agung Suprio menghadiri Forum Rapat Bersama (FRB), dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) RI.

Seperti biasa, pria yang akrab disapa Agung ini memberikan sambutan berkaitan proses perizinan, terutama soal peringkasan proses perizinan. "KPI mendukung proses perizinan via on line dan peringkasan proses perizinan. Proses  perizinan dapat diringkas karena adanya sistem teknologi informasi," ucapnya, di Bogor, Rabu (11/4/2018).

Kendati demikian, menurut Agung peraturan harus dibuat sesuai dengan semangat teknologi informasi atau konteks kekinian. "Semua harus progresif, orientasi pada pelayanan, penghematan waktu, dan kredibe," tegasnya.

Forum  Rapat Bersama (FRB) kali ini membahas pemberian izin prinsip kepada pemohon dari 3 provinsi, yaitu Sumatra Utara, Jawa Barat, dan Banten. Dalam forum tersebut, terdapat 3 Jenis Lembaga Penyiaran yang dimohonkan, yaitu Lembaga Penyiaran Komunitas (LPK), Lembaga Penyiaran Swasta (radio) yang eksisting, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) atau Pay TV. ***

Jakarta -- Mahasiswa Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga berkunjung ke Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dalam rangka kuliah kerja lapangan (KKL), Selasa (10/4/2018). Dalam kesempatan itu, mereka menyampaikan keluhan soal adanya tayangan realty show yang menurut mereka kurang etis dan tidak ada nilai pendidikannya.

“Ada tayangan program reality show yang tayang di salah satu lembaga penyiaran yang menurut kami terlihat sekali rekayasanya. Isinya pun tidak etis dan tidak mendidik,” kata Gesang, Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam IAIN Salatiga.

Selain itu, Mahasiswa lain juga mengomentari tayangan mars lagu salah satu partai politik yang tayangan di sejumlah televisi. Menurut Dia, saking seringnya mars tersebut ditayangkan membuat anak-anak jadi lebih hafal. “Sangat disayangkan sekali jika yang dihafal anak-anak cuman hal itu. Harusnya ada hal lain yang bisa disuguhkan ke mereka tentunya yang memiliki nilai pendidikan,” katanya.

Komisioner KPI Pusat, Agung Suprio, yang menerima langsung kunjungan, menjelaskan bahwa tayangan yang tidak berkualitas justru banyak ditonton masyarakat seperti reality show dan mistik. Berdasarkan rating itu banyak pengiklan yang menaruh uangnya di program-program tersebut. “Mungkin bagi kita tayangan tersebut tidak berkualitas, tapi justru masyarakat yang menontonnya banyak,” katanya.

Menurut Agung, ada sejumlah faktor yang menyebabkan tayangan-tayangan seperti mistik muncul kembali di layar kaca, salah satunya soal kesadaran atau itikad yang belum optimal. Selain itu, pergantian orang di kalangan rumah produksi menyebabkan pandangan mengenai aturan dan etika yang awalnya sudah selaras dengan KPI menjadi berubah.

“Namun kami menggunakan berbagai metode supaya kalangan industri bisa lebih baik yakni melalui pembinaan rutin terhadap lembaga penyiaran selain memberi sanksi. Kami juga ada bimbingan teknis atau sekolah P3SPS bagi semua kalangan termasuk mahasiswa yang ingin memperdalam pengetahuan soal aturan penyiaran,” jelas Agung.

Dalam kesempatan itu, Agung menyatakan perlunya pengembangan kreatifitas dalam pembuatan konten siaran. Dia menilai tayangan yang berkualitas dan kreatif hasil produksi sumber daya dalam negeri masih kurang. “Negara harus ikut membantu mengalokasikan anggaran untuk membuat film atau tayangan yang berkualitas untuk mengimbangi tayangan tidak berkualitas tadi,” harapnya.

Sebelumnya, di awal pertemuan, Kepala Bagian Perencanaan dan Humas KPI Pusat, Umri, menjelaskan bagaimana tugas dan fungsi KPI. Dalam kesempatan itu, Umri mengajak mahasiswa untuk ikut mengkritisi media dan membantu meliterasi masyarakat tekait penggunaan media dan memilih tayangan yang pantas mereka tonton. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.