Surabaya - Siaran televisi, radio dan jaringan internet di Provinsi Bali dipastikan mati total saat Hari Raya Nyepi, Tahun Baru Saka 1941, yang jatuh pada Kamis (7/3/2019). Namun saat siaran TV dan radio di seluruh pelosok Bali dihentikan, kadang ada luberan siaran radio dari daerah tetangga yang masuk ke Bali.

Menurut KPID Bali, problem inilah yang masih menjadi persoalan beberapa tahun terakhir. Karena itu, sejak sebulan lalu KPID Bali bersama Pemerintah Provinsi dan DPRD Bali terus berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait. Antara lain dengan KPI Pusat, Kementerian Kominfo RI, KPID Jawa Timur dan KPID Nusa Tenggara Barat (NTB) serta Balai Monitoring (Balmon) Spektrum Frekuensi Kelas 1 Surabaya dan Mataram.

"Menurut KPID Bali, tahun lalu sebagian masyarakat melaporkan adanya luberan siaran dari Banyuwangi dan sekitarnya ke wilayah Bali. Padahal semua TV dan radio di Bali sedang off selama 24 jam selama perayaan Hari Raya Nyepi," kata Ahmad Afif Amrullah, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur, Selasa (5/3) di Surabaya.

Untuk itu, KPID Jawa Timur menerbitkan surat edaran yang berisi imbauan kepada seluruh lembaga penyiaran, baik jasa penyiaran radio maupun televisi di Kabupaten Banyuwangi dan Situbondo, untuk menyesuaikan jangkauan siarannya sesuai ketentuan yang berlaku, terutama pada Kamis, 7 Maret 2019 pukul 06.00 WITA sampai dengan Jum'at, 8 Maret 2019 pukul 06.00 WITA. 

Keluarnya Surat Edaran KPID Jatim ini juga karena mempertimbangkan surat edaran Menteri Kominfo Republik Indonesia Nomor 01 Tahun 2019 tanggal 22 Februari 2019 tentang Himbauan Tidak Bersiaran (off air) Pada Hari Raya Nyepi Tahun 2019 Di Wilayah Provinsi Bali. Juga hasil koordinasi KPID Jawa Timur bersama KPID Bali dan Balai Monitoring (Balmon) Spektrum Frekuensi Kelas 1 Surabaya pada Kamis (28/2) lalu di Surabaya.

"Untuk TV dan radio di Banyuwangi dan sekitarnya kami minta menyesuaikan daya pancarnya agar tidak sampai meluber ke Bali. Kita hormati kekhusyukan ibadah umat Hindu di Bali," jelas Afif usai menandatangani surat edaran bernomor 480/ 236/114/II12019 tentang Imbauan Terkait Penyelenggaraan Penyiaran Pada Hari Raya Nyepi Tahun 2019 di Wilayah Banyuwangi dan Situbondo.

Terkait keluarnya Surat Edaran KPID Jawa Timur ini, Ketua KPID Bali, I Made Sunarsa sangat mengapresiasi dukungan yang diberikan KPID Jawa Timur dan Balai Monitor Spektrum Frekuensi Kelas 1 Surabaya. Pihaknya berharap ini menjadi salah satu sarana untuk menjadikan pelaksanaan ibadah umat Hindu di Bali saat Hari Raya Nyepi makin khusyuk dan berkualitas. 

"Kami sudah menyosialisasikan imbauan itu kepada seluruh lembaga penyiaran di Bali. Dan semua sudah sepakat untuk menghentikan siaran selama 24 jam. Apalagi aturan itu juga sudah disepakati oleh pemerintah provinsi dan kabupaten, DPRD dan seluruh majelis agama di Bali. Karena itu kami sangat berterima kasih kepada KPID Jawa Timur dan KPID NTB," ungkapnya.

Sedangkan aturan soal jaringan internet tertuang dalam surat edaran Menteri Komunikasi dan Informasi nomor 03 Tahun 2019 tentang Imbauan untuk melaksanakan seruan bersama majelis agama dan keagamaan Provinsi Bali Tahun 2019. Edaran itu menyebutkan agar jaringan internet di seluruh pelosok Provinsi Bali diputus sementara sejak Kamis (7/3) 06.00 WITA hingga Jumat (8/3) 06.00 WITA, kecuali di objek-objek vital dan strategis. Red dari KPID Jatim

 

 


Ubaidillah, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan

Beberapa peristiwa alam belakangan ini tampaknya perlu mendapatkan perhatian serius. Maklum dipahami, kaleidoskop 2018 runtut ragam bencana di beberapa tempat. Banjir, tanah longsor, gempa bumi, letusan gunung api, hingga tsunami, menjadi lonceng pengingat bahwa bencana alam kapan saja dan di mana saja bisa terjadi. Geografis Indonesia yang terletak di lempeng tektonik Australia, Pasifik, Filipina, dan Eurasia, serta daerah aliran sungai (DAS) dari Sabang sampai Merauke yang mencapai jumlah 5.590 menjadikan Indonesia rentan. 

Hal ini setidaknya bisa dilihat dari data yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sepanjang 2018, BNPB mencatat setidaknya terjadi 2.572 kejadian bencana dan mengakibatkan 4.814 orang meninggal dan hilang serta 10.239.533 terdampak dan mengungsi. 

Bencana juga tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi sebanyak 320.165 rumah mengalami kerusakan akibat bencana. BNPB juga mencatat bahwa banjir merupakan bencana alam yang sering terjadi pada 2018, yakni 86 kali, tanah longsor 67 kali, gempa bumi 5 kali, letusan gunung api 3 kali, terjadi 1 kali tsunami. 

Data di atas mendorong adanya gerak terpadu dalam penanggulangan bencana alam tidak berhenti pada upaya yang sifatnya parsial, tetapi juga perlu dibarengi dengan kerja-kerja kolaboratif berbagai elemen. 

Berkelanjutan 

Upaya-upaya instansi pendidikan tentang kebencanaan menjadi salah satu produk pen didikan yang dinantikan dalam kaitannya dengan pengurangan risiko bencana. Melalui produk pendidikan, setidaknya bisa memberikan pemahaman komprehensif kepada anak didik kita tentang risiko bencana dan langkah-langkah taktis manakala terjadi bencana. 

Pemetaan tentang potensi-potensi terjadinya bencana serta kaitannya dengan peringatan akan gejala bencana juga bisa dilihat dari upaya BNPB sebagai langkah pengu rangan risiko bencana. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana upaya itu mampu mengurangi risiko bencana dan segala  hal yang berkaitan dengan kebencanaan? Tentu tidak menutup mata bah wa pengetahuan tentang kebencanaan masih minim. 

Dari berapa penelitian semisal, pendidikan kebencanaan dilakukan secara temporer yang pada akhirnya gampang di lupakan masyarakat. Nahas nya lagi, pendeteksi bencana dini belum bekerja dengan maksimal. Alhasil, setiap ter jadi bencana, tak heran jika melulu menelurkan korban yang tidak sedikit, lengkap dengan kerusakan-kerusakan yang mengekorinya. 

Di sinilah penulis menganggap penting adanya keikutsertaan lembaga penyiaran dalam sosialisasi kebencanaan. Diakui atau tidak, keterlibatan lembaga penyiaran sangat minim kebencanaan. Paling banter, lembaga penyiaran hanya menyajikan informasi tentang bencana hanya berdasarkan kejadian belaka. 

Berita-berita yang ditayang kan oleh lembaga penyiaran tak lebih dari sekadar peliputan pasca kejadian. Tak jarang, peliputan-peliputan yang dilakukan justru me lipat unsur-unsur kemanusiaan dalam bencana. Memainkan emosi korban untuk meraup nilai komersial dari khalayak. 

Nilai-nilai kemanusiaan justru termarjinalkan. Khalayak hanya bisa mendatangkan rasa empati, tetapi tidak melahirkan pengetahuan baru, kecuali jumlah korban, proses robohnya rumah, dan hal lainnya yang bersifat emosional. Fenomena di atas berbeda jauh dengan media-media, termasuk lembaga penyiaran seperti televisi yang berada di Jepang. 

Media-media di Jepang tidak hanya melakukan peliputan tentang peristiwa bencana, tetapi ia terjun ke masyarakat melakukan sosialisasi, baik da lam bentuk diskusi dan seminar-seminar. Salah satu lembaga penyiaran di kota Sendai, Jepang, semisal Highasi Nippon Broadcasting (KHB) rutin selama tujuh tahun memberitakan tentang dampak tsunami Je pang pada 2011. Mereka bahkan membuat liputan khusus. 

Komitmen Televisi 

Atas dasar itulah, saya menilai sebenarnya televisi mempunyai peranan penting yang bisa dilakukan, tetapi tidak maksimal dalam melakukannya. Dengan segala keunikan yang dimilikinya, barangkali televisi men jadi prasyarat kesadaran kebencanaan itu tumbuh di masyarakat. 

Hal ini bisa dilakukan melalui iklan layanan masyarakat maupun program siaran bertemakan tentang kebencanaan. Mengutip James Monaco (1977), televisi mempunyai ke mampuan dalam menghubungkan realitas dengan penonton. Kemampuan itu disebab kan oleh sifat televisi yang menyajikan pengalaman secara berkesinambungan (Andi Ali muddin Unde, 2015). 

Apalagi berbicara kebencanaan–meminjam bahasa Markoen Sanjaya (2019)–news value sudah termaktub dalam peristiwa dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebencanaan. Ia mem punya nilai-nilai pengaruh (magnitude), kedekatan (proximity), kebaruan (actual), dam pak (impact), dan keluarbiasaan (unusualness). 

Artinya bahwa televisi tidak sekadar menginformasikan ke pada publik tentang peristiwa-peristiwa bencana alam secara temporer, melainkan hadir menjejali kesadaran masyara kat tentang kebencanaan dengan komprehensif. Tentu saja model informasi yang ditekan kan adalah kreativitas dan tidak menakutkan. 

Ia harus dibalut dengan sentuhan-sentuhan yang bisa diterima semua kalangan terutama anak dan remaja, sebab setengah dari jiwa terpapar bencana adalah anak usia sekolah. Rekomendasi ini tidak berangkat dari ruang kosong. Ini merupakan penagihan komitmen televisi yang menggunakan frekuensi milik publik. 

Masyarakat mesti diberikan informasi berkaitan pengetahuan tentang kebencanaan secara komprehensif, bukan lagi parsial, apalagi hanya menarik keuntungan dengan memainkan emosi khalayak melalui penayangan bencana. 

Bukan hal yang susah dilakukan, apabila pihak terkait termasuk televisi dan lembaga pe nyiaran lainnya termasuk media elektronik maupun cetak melakukan kerja-kerja kolaboratif tentang sosialisasi dan pendidikan kebencanaan. 

 

UBAIDILLAH 

Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat 

 

 

Bukittinggi - Jelang masuknya jadwal pemasangan iklan kampanye di lembaga penyiaran, baik televisi maupun radio, Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPI) Sumatera Barat, mengingatkan lembaga penyiaran agar mempublikasikannya sesuai jadwal yang telah dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Komisioner Bidang Kelembagaan sekaligus Ketua Gugus Tugas Pemilu KPID Sumbar, Jimmi Syah Putra Ginting, saat berada di Bukittinggi, Sabtu (2/3/2019), menjelaskan, pihaknya meminta media televisi maupun radio, untuk tidak menyiarkan iklan kampanye sebelum jadwal yang sudah ditentukan, yakni pada 24 Maret hingga 13 April 2019.

“Sebagai wakil masyarakat, KPID Sumatera Barat telah mengimbau lembaga penyiaran televisi dan radio untuk mematuhi aturan itu, dan dalam pengawasannya, pertama secara internal melalui tim pemantau, yang kedua melibatkan partisipasi masyarakat, karena KPID tidak dapat menjangkau langsung di seluruh di Kabupaten dan Kota,” ulasnya.

Pengawasan iklan kampanye ini sambung Jimmi Syah Putra Ginting, juga sebagai upaya agar Pemilu berjalan sesuai aturan, menghasilkan pemimpin yang berkualitas dari proses yang baik dan benar.

“Pemilu ini hendaknya juga menjadi baju loncatan bagi lembaga penyiaran agar bisa tampil sebagai lembaga pemersatu masyarakat yang berimbang, netral, dan dapat memberitakan seluruh tahapan pemilu, sehingga bermanfaat sebagai informasi bagi seluruh lapisan masyarakat,” sebutnya.

Menurut Jimmi Syah Putra Ginting, lembaga penyiaran wajib menjaga independensi dan netralitas isi siaran dalam setiap program siaran, sejalan dengan peraturan KPI Nomor 1 Tahun 2012 tentang Pedoman Perilaku Penyiaran.

“Disamping itu lembaga penyiaran juga diminta bersikap adil dan profesional terhadap seluruh peserta Pemilu, sehingga saat iklan kampanye sudah diperbolehkan tidak ada terkesan pilih-pilih dalam memutar iklannya,” ulasnya.

Sementara itu untuk durasi iklan kampanye tambah Jimmi Syah Putra Ginting, ada aturan bakunya, di media televisi maksimal 30 detik, dan tidak lebih dari 10 kali sehari. Sedangkan untuk radio durasi maksimal selama 60 detik, dengan masa penayangan tidak lebih dari 10 kali dalam sehari.

"Apabila ada lembaga penyiaran yang melanggar aturan diberikan teguran sesuai dengan kesalahan yang dilakukan, dan jika tidak mematuhinya KPID Sumbar akan memberikan sanksi terberat, yang merekomendasikan pencabutan izin siaran iklan kampanye,” terangnya.

Jimmi Syah Putra Ginting juga mengajak masyarakat, agar turut berperan aktif dalam membantu pengawasan iklan kampanye baik melalui media televisi maupun radio, dengan merekam atau mencatat nama media yang menyiarkan, dan membuat laporan tertulis untuk disampaikan pada KPID Sumbar.

“Berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum (Pemilu), kampanye merupakan kegiatan peserta Pemilu, untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, program, serta citra diri peserta Pemilu, baik menyangkut dari partai apa, serta nomor urut berapa dalam surat suara,” jelasnya. Red dari RRI

 

Wakil Ketua KPI Pusat, Sujarwanto Rahmat Arifin.

 

Bandar Lampung – Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, S. Rahmat M. Arifin menyebutkan bahwa Indonesia dan Myanmar menjadi dua negara terbawah di Asia Tenggara yang belum menerapkan digitalisasi telivisi hingga saat ini.

Hal itu diungkapkannya saat kepada media di sela kegiatan sosialisasi televisi digital, yang dilaksanakan di Hotel Emersia Bandar Lampung, Kamis (28/2/2019).

“Ini sebetulnya sesuatu yang sangat memprihatinkan, karena sebagai bangsa yang besar dan pasar yang luas kita sangat terlambat dalam adaptasi teknologi. Sehingga kalau dalam kajian digitalisasi ini tentunya akan menghambat proses perkembangan teknologi termasuk telekomunikasi di Indonesia,” ujar Rahmat.

Menurut dia, adanya proses digitalisasi televisi merupakan salah satu dari perkembangan teknologi komunikasi lewat efisiensi frekuensi, hal itu menjadi salah satu manfaat dari penggunaan televisi digital.

“Suatu contoh, satu TV (televisi) itu menggunakan pita selebar 8 Megahertz (Mhz), besok di era digital pita dengan lebar yang sama itu bisa dipakai 12 TV. Sisa dari frekuensi yang nanti tidak dipakai ketika kita sudah digital itu disebut sebagai digital dividen,” jelasnya.

Dengan penerapan TV digital, lanjut dia, frekuensi dari digital dividen tersebut nantinya bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan telekomunikasi seperti mempermurah biaya internet dan mempercepat akses jaringan telekomunikasi 4G, sehingga berujung pada pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

“Akses frekuensi kita masih boros dan banyak dipakai untuk keperluan yang tidak ekonomis, salah satunya TV analog. Sekarang ekonomi kita sudah dikendalikan oleh online sistem. Banyak yang berusaha di sektor perdagangan produksi itu sudah menggunakan e-commerce. Jadi kalau sudah menggunakan TV digital, digital deviden itu bisa mendukung kegiatan e-commerce, itu tentunya berdampak bagi ekonomi masyarakat,” katanya. Red dari kupastuntas.co

 

Mamuju - Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KIPD) Sulbar, Periode 2019-2022, resmi dilantik oleh Gubernur, Ali Baal Masdar (ABM), Jumat (1/3/2019).

Pengambilan sumpah jabatan berlangsung di ruangan pertemuan lantai II kantor gubernur, Jl Abd Malik Pattana Endeng, Rangas, Mamuju.

Ketua KPID Sulbar, April Ashari Hardi mengaskan, ke depan akan fokus memperbaiki citra KPID sebagai lembaga pengawasan independen.

"Ke depan, KPID harus menjadi lembaga yang mendapat nilai positif di masyarakat,"kata Chali sapaan Ketua KPID Sulbar.

Ke depan mereka juga akan lebih fokus mengawasi konten siara lembaga penyiaran publik, seperti televisi, radio dan televisi berbasis online.

"Untuk awal-awal ini, karena pemilu sudah mendekat, pemilu dulu yang mau kita awasi,"ujarnya.

Setelah itu, mereka akan turun melakukan verifikasi seluruh lembaga penyiaran publik di Sulawesi Barat.

"KPID ingin memastikan, mana-mana saja lembaga penyiaran publik di Sulbar yang memiliki izin dan tidak baik tv maupun radio,"kata dia.

Kata dia, jika didapati lembaga penyiaran publik yang menyiarkan iklan lantas belum memiliki izin siar, pihaknya akan menyurati.

"Kami akan surati dulu, jika tak ada respon maka kita akan lakukan tindakan penertiban,"tuturnya. Red dari tribun-timur.com

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.