- Detail
- Ditulis oleh RG
- Dilihat: 5579
Jakarta -- Pemanfaatan frekuensi sebagai ranah publik, terbatas, dan dikuasai negara, seharusnya digunakan secara proporsional. Penggunaan frekuensi oleh kelompok tertentu ataupun pribadi secara berlebihan untuk urusan politiknya dinilai bertentangan dengan tujuan penyiaran yang ada dalam UU Penyiaran.
Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, di depan peserta kegiatan bertema “Evaluasi Penyiaran, Pemberitaan, dan Iklan Politik di Lembaga Penyiaran” yang berlangsung di Kantor KPI Pusat, di bilangan Jalan Djuanda, Jakarta Pusat, Kamis (14/12/2017).
Menurut Hardly, pemanfaatan frekuensi yang dipinjamkan negara ke lembaga penyiaran seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemaslahatan masyarakat. Dalam konteks itu, masyarakat harusnya mendapatkan manfaat salah satunya untuk pendidikan politik yang baik sekaligus berimbang.
“Terasa sekali informasi atau berita politik yang disampaikan sudah diframing. Kita nonton berita seperti nonton sinetron. Ada pemeran antagonisnya ada yang baik. Hal ini dibangun sedemikian rupa. Hal yang sama juga dapat kita rasakan dalam acara talkshow, terasa sekali membangun framing,” tegas Hardly kepada peserta yang sebagian besar perwakilan media penyiaran, LSM dan partai politik.
Hardly mengusulkan sebaiknya lembaga penyiaran memperlakukan hal yang sama kepada kontestan politik lain dalam pemanfaatan frekuensi untuk kepentingan politik. Pasalnya, tidak semua partai politik memiliki akses ke media.
Dia menambahkan, akses yang diperoleh partai politik di media dapat berupa program siaran khusus seperti acara Rakernas atau Rapim yang waktu tayangnya diusulkan antara satu hingga satu setengah jam. “Kita juga akan mendorong lembaga penyiaran memberi waktu setengah jam kepada semua partai untuk mempublikasikan diri. Hal-hal seperti ini mestinya juga dipikirkan,” kata Hardly.
Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua Komisi II DPR RI, Zainudin Amali, menyatakan peran KPI dalam menyikapi permasalahan siaran politik di lembaga penyiaran harus tegas jika lembaga penyiaran tersebut sudah memiliki kecenderungan berpihak. Menurutnya, harus ada batasan antara subyektivitas dan obyektivitas.
Zainudin meminta lembaga penyiaran mengedepankan tanggungjawabnya sebagai media pemberi pendidikan termasuk pendidikan politik bagi publik. “Bagaimanapun juga kehadiran partai politik harus tetap ada dalam proses berdemokrasi,” jelasnya.
Hal yang sama juga disampaikan Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Heroik Muttaqin Pratama. Menurutnya, frekuensi harus dperlakukan setara untuk semua peserta. Akses setara ini harus diikuti dengan fungsi partai politik sebagai wadah untuk menyampaikan pendidikan politik bagi masyarakat. ***