Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) mengharapkan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) terus selaras dengan visi dan misi UU Penyiaran yakni sebagai wadah pendorong majunya dunia penyiaran di tanah air. Harapan itu disampaikan Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis, pada saat ramah tamah dengan Pengurus Besar PRSSNI di bilangan Cipayung, Selasa (18/7/17).

Menurut Andre, panggilan akrabnya, hadirnya PRSSNI sebagai wadah organisasi radio swasta nasional di Indonesia juga berfungsi sebagai pengawas anggotanya. “Kami sangat mengharapkan PRSSNI melakukan pengawasan tersebut,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Andre mengatakan, KPI Pusat sudah melakukan pemantauan terhadap isi siaran radio. Sampai saat ini, ada lima radio yang bersiaran jaringan dipantau KPI Pusat.

 

Sementara itu, Ketua Umum PRSSNI, Rohmad Hadiwijoyo mengatakan, tugas pengawasan KPI terhadap lembaga penyiaran khususnya radio dinilai dapat memberi masukan atau kritisi membangun terhadap konten radio. 

Rohmad mengatakan, hingga saat ini jumlah anggota PRSSNI mencapai 674 yang tersebar di seluruh Indonesia.

Dalam kesempatan itu, Rohmad juga menyinggung sedikitnya pembahasan soal radio dalam draft revisi UU Penyiaran.

Pertemuan itu juga dihadiri seluruh Pengurus Besar PRSNNI dan beberapa Pengurus Daerah seperti DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Komisioner KPI Pusat yang ikut dalam pertemuan tersebut, Mayong Suryo Laksono dan Ubaidillah. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) meminta komitmen lembaga penyiaran untuk menayangkan iklan layanan masyarakat (ILM) secara intensif per 1 Agustus 2017. Hal itu ditegaskan KPI Pusat dalam kesempatan pertemuan dengan 15 lembaga penyiaran televisi yang bersiaran nasional secara berjaringan, Selasa (18/7/17) di Kantor KPI Pusat.

Kewajiban penayangan iklan layanan masyarakat di lembaga penyiaran diatur dalam UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 46 ayat (7) yang berbunyi “Lembaga penyiaran wajib menyediakan waktu untuk siaran iklan layanan masyarakat”. Bahkan, persentase dari waktu siaran iklan layanan masyarakat juga telah diatur dengan tegas pada ayat (9) bahwa “Waktu siaran iklan layanan masyarakat untuk lembaga penyiaran swasta paling sedikit 10 persen dari siaran iklan niaga, sedangkan untuk lembaga penyiaran publik paling sedikit 30 persen dari siaran iklannya.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah mengatakan, penayangan ILM merupakan wujud komitmen lembaga penyiaran untuk menayangkan materi yang berpihak pada kepentingan publik seperti keselamatan umum, kewaspadaan bencana alam, dan kesehatan masyarakat.

“Penayangan iklan layanan masyarakat oleh lembaga penyiaran merupakan upaya menyampaikan ajakan menjaga integrasi nasional dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” kata Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran ini.

Di awal pertemuan itu, Nuning menyampaikan simulasi siaran untuk penayangan iklan layanan masyarakat. Menurutnya, kewajiban lembaga penyiaran menyediakan porsi penayangan ILM kurang lebih 28 menit dari 20% porsi siaran iklan secara keseluruhan. Jika dihitung 1 spot iklan lamanya 30 detik berarti ada ada 57 spot ILM.

KPI Pusat meminta lembaga penyiaran untuk segera menyampaikan jadwal tayang dan judul ILM paling lambat 29 Juli 2017. “Waktu penayangan wajib juga memperhatikan penyebaran tayangan ILM di setiap program siaran per hari,” tegas Nuning.

Terkait permintaan KPI, perwakilan 15 LP menyatakan berkomitmen untuk menyediakan slot waktu ILM 10 % dr total iklan niaga. Komitmen tersebut juga tertuang dalam berita acara pertemuan dan ditandatangani semua perwakilan lembaga penyiaran yang hadir.

Pertemuan itu juga membahas kebijakan KPI soal siaran iklan rokok, ketentuan mengenai sulih suara dan siaran kesehatan. Dalam pertemuan itu, turut hadir Komisioner KPI Pusat Hardly Stefano, Dewi Setyarini dan Mayong Suryo Laksono. ***

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Remotivi melakukan pertemuan rutin membahas pengaduan publik terhadap isi siaran selama bulan Mei dan Juni dan tindak lanjut yang sudah dilakukan KPI Pusat atas aduan tersebut, Jumat (14/7/17).

Pertemuan ini dihadiri Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat antara lain Hardly Stefano, Nuning Rodiyah, Mayong Suryo Laksono dan Dewi Setyarini.
Sementara itu, dari Remotivi yang datang Direktur Remotivi Muhammad Heychael dan tiga rekannya.
Pertemuan kali ketiga ini banyak mendiskusikan soal siaran kekerasan dan mistis yang masih banyak tayang di televisi. Selain itu, dibahas pula soal tayangan iklan rokok yang dibalut iklan beasiswa.  

Terkait tayangan kekerasan, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, isu soal siaran kekerasan di televisi dinilai mulai menurun. Pasalnya, KPI sudah melakukan sejumlah upaya untuk menekan maraknya siaran kekerasan dengan dialog dan penjatuhan sanksi. “Saya rasa isu soal ini sudah berkurang banyak,” katanya.

Secara keseluruhan, kata Hardly, aduan publik yang diterima KPI melalui Remotivi sudah melalui proses sebagaimana mestinya. Jika memang aduan tersebut dinilai KPI melanggar aturan P3 dan SPS maka akan terkena sanksi sesuai dengan nilai pelanggarannya.



Beberapa aduan publik yang disampaikan Remotivi dan mendapatkan sanksi atau peringatan antara lain sinetron Anak Langit, Tuhan Beri Kami Cinta, Promo Iklan Beasiswa dan Iklan Perindo. Adapun aduan yang dinilai KPI tidak melanggar aturan P3 dan SPS akan menjadi kajian dan monitoring.

Sementara itu, Muhammad Heychael menegaskan, setiap aduan publik yang disampaikan Remotivi ke KPI Pusat dinilai memiliki potensi pelanggaran terhadap P3 dan SPS. “Karenanya kami selalu menanyakan tindak lanjut atas aduan tersebut dan kami juga butuh batasan yang dibuat KPI untuk menjawab pertanyaan publik atas aduan mereka,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Remotivi menyampaikan data aduan publik yang masuk ke mereka dari April hingga awal Juli 2017 mencapai 270 aduan. Adapun yang disampaikan ke KPI Pusat setelah melalui proses penyaringan mencapai 94 aduan. ***

 

Australia – Televisi  siaran Australia sedang dalam keadaan genting. Hal tersebut disebabkan permasalahan demografis karena terus kehilangan penonton muda dengan cepat.

Angka penonton muda pada setiap kuartal selalu mengalami penurunan yang cukup signifikan hal tersebut disampaikan dalam laporan The Australian Multi-Screen yang  telah berganti nama menjadi Australian Video Viewing. Sedangkan untuk perhitungan jumlah penonton pada wilayah regional, dilakukan oleh TAM, OzTAM dan Nielsen, seluruhnya menunjukan penurunan yang sama.

Siaran Televisi di Austalia tetap menjadi sumber konten yang paling banyak ditonton, tapi bukan berarti membanggakan. Angka tersebut hanya menunjukan 50+ secara demografis dan tetap menjaganya agar angka-angka itu tidak masuk ke terjun bebas ke level 18+ sampai 35+ sedangkan generasi muda mencari alternatif atau hiburan ditempat lain.

Pada kuartal pertama tahun 2017, orang Australia menonton televisi selama 79 jam dan 30 menit di rumah setiap bulannya, angka ini mengalami penurunan 7% dari tahun-tahun sebelumnya. Penurunan itu termasuk terjadi dengan cepat karena pada tahun 2016 penurunan penonton TV hanya 5% dari tahun 2015.

 
Meskipun penurunan bertahap ini secara keseluruhan tidak terdengar terlalu buruk, ceritanya akan berbeda saat Anda memecahkan angka ke dalam berbagai demografi setiap zaman di Australia.

Dalam 12 bulan terakhir,  penonton usia 18 sampai 35 tahun telah memangkas jam menonton siaran bulanan mereka lebih dari 20%. Mereka beralih lebih cepat dari tahun sebelumnya, pada Q4 2016, hanya terjadi penurunan sebesar 15%, sementara pada Q2 2016 mendekati 10%.

Jika kita melihat pada grafik di atas yang dibuat berdasarkan angka mentah dalam industri penyiaran di Australia, angka untuk penonton berusia di bawah 18 tahun tidak terlihat lebih baik, hal tersebut memperjelas bahwa penyiaran di Australia saat ini memiliki masalah yang besar.

Ini adalah grafik yang tidak pernah dibicarakan atau didiskusikan oleh para pemilik Industri penyiaran Australia dan mereka mencoba menenangkan diri mereka sendiri dan berpikir bahwa kaum muda akan kembali menikmati siaran televisi begitu mereka menjadi warga lanjut usia. Red dari http://www.smh.com.au

Jakarta - Menyikapi dinamika atas hadirnya draf undang-undang penyiaran yang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai lembaga negara yang lahir dari Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan bertugas mengatur hal-hal yang terkait dengan penyiaran, mempunyai pandangan sebagai berikut:

  1. KPI menilai kehadiran undang-undang penyiaran yang baru menjadi sebuah kemestian, mengingat undang-undang yang ada saat ini sudah tidak dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi terbaru, sehingga muncul problematika di dunia penyiaran. Untuk itu, mengingat isu revisi undang-undang (RUU) ini sudah bergulir sejak tahun 2010, KPI berharap pembahasan RUU penyiaran tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan untuk disahkan.
  2. Masalah digitalisasi yang ditengarai menjadi penyebab kemacetan pembahasan RUU ini, merujuk pada rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2014, KPI berpendapat bahwa apa pun pilihan terhadap pengelolaan penyiaran digital, harus mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan efisiensi yang menjadi tujuan utama dari migrasi digital. Efisiensi tersebut diharapkan menghasilkan digital deviden yang dapat dialokasikan untuk penyediaan internet broadband guna pemenuhan hak masyarakat Indonesia akan informasi.
  3. Eksistensi  Komisi Penyiaran Indonesia sebagai representasi publik perlu diperkuat dalam undang-undang penyiaran yang akan datang. Penguatan itu meliputi perluasan kewenangan di bidang isi siaran serta tetap melibatkan KPI di dalam seluruh proses penataan infrastruktur penyiaran untuk mengontrol kaidah pokok demokratisasi penyiaran, yakni keberagaman kepemilikan (diversity of ownership).
  4. Sebagai representasi publik, maka KPI harus masuk dalam Badan Migrasi Digital, yang dalam draf RUU yang dibahas Baleg DPR RI hanya terdiri atas pemerintah, organisasi lembaga penyiaran, dan pemangku kepentingan. KPI juga mengkritisi keberadaan Organisasi Lembaga Penyiaran (OLP) dalam proses regulasi, seperti Badan Migrasi Digital dan Panel Ahli dalam penjatuhan sanksi. KPI menilai kehadiran OLP pada proses tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran antara operator dan regulator. Meski demikian, sekalipun harus ada pembatas yang tegas regulator dan OLP, tentunya regulator tetaplah harus mempertimbangkan aspirasi OLP sebagai operator. Mengenai keberadaan OLP dalam Panel Ahli, KPI melihat adanya potensi konflik kepentingan antara regulator dan operator, karena OLP adalah obyek yang akan dikenai sanksi.
  5. KPI menilai RUU harus memperkuat keberadaan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ). Implementasi SSJ merupakan bagian dari penerapan prinsip demokratisasi penyiaran yang mensyaratkan adanya diversity of content dan diversity of ownership. SSJ juga menjadi usaha memperkuat kebhinnekaan dengan merepresentasikan masyarakat, budaya, dan mengangkat perekonomian pada setiap daerah. Konsep cross culture  yang diajukan dalam RUU yang diusulkan Baleg DPR RI ini mengaburkan tujuan dari SSJ tersebut. Bahkan konsep cross culture dalam SSJ berpotensi melanggengkan kondisi sekarang, saat siaran Jakarta mendominasi seluruh wajah stasiun televisi jaringan, dan produksi siaran lokal yang seharusnya dapat menyerap SDM lokal pun tereduksi.
  6. Batasan siaran iklan sebanyak maksimal 30% menurut KPI dapat mengganggu kenyamanan publik sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, meningkatnya proporsi siaran iklan berdampak pula pada keadilan ekonomi pada televisi lokal. KPI menilai harus ada distribusi iklan yang merata pada masing-masing lembaga penyiaran, tidak terpusat pada lembaga penyiaran tertentu saja.
  7. Mengenai iklan rokok, KPI mendukung rumusan yang diajukan oleh Komisi I DPR RI yang telah lebih dahulu dibuat sebelum pembahasan di Baleg DPR RI.
Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.