- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 19850
Anggota Komisi I DPR RI Elnino Hussein Mohi berbicara tentang draf RUU Penyiaran dalam RAPIM KPI 2017, (15/11).
Depok - Draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah dibahas di DPR RI, menyepakati adanya penguatan kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai instrumen negara yang bertanggungjawab melakukan pengawasan terhadap kualitas isi siaran. Hal tersebut disampaikan oleh anggota Komisi I DPR RI, Elnino Hussein Mohi, dalam Seminar yang dilaksanakan pada kegiatan Rapat Pimpinan (Rapim) KPI 2017, di Depok (15/11).
Penguatan terhadap KPI ini tercermin pada perubahan kelembagaan KPID yang diusulkan bersifat hirarki dengan KPI Pusat. Hal tersebut tentunya juga berimplikasi pada penganggaran KPID yang tidak lagi didanai oleh Anggaran Perencanaan dan Belanja Daerah (APBD). “Komisi I mengusulkan anggaran KPI didapat dari APBN, hibah dan USO penyiaran”, ujarnya.
USO atau universal services obligation diambil dari 1,5 persen dari keuntungan yang diperoleh seluruh televisi yang bersiaran di Indonesia. “Kami merencanakan, USO ini selain untuk membiayai LPP TVRI dan RRI, juga untuk KPI”, tambah Elnino. Dengan adanya perubahan yang signifikan pada struktur kelembagaan KPI dan KPID, Komisi I mengusulkan, bahwa dalam melaksanakan tugas dan fungsinya KPI dibantu oleh sekretariat jenderal.
Elnino yang juga anggota Panita Kerja (Panja) RUU Penyiaran memaparkan, bentuk penguatan lain terhadap KPI dalam draf RUU adalah munculnya sanksi denda untuk pelanggaran penyiaran yang ditetapkan melalui peraturan KPI. Selain itu, KPI juga memiliki tugas untuk melakukan audit terhadap pelaksanaan pemeringkatan program televisi, sosialisasi literasi media, mengevaluasi isi siaran secara berkala, serta memberikan evaluasi terhadap hasil uji coba siaran.
Hingga saat ini, posisi draf RUU tinggal menyisakan satu masalah yang belum mencapai kata sepakat dalam proses harmonisasi di Badan Legislatif (Baleg) DPR RI, yakni tentang pengelolaan multiplekser. “Komisi I sejak awal sudah sepakat pada pilihan single mux”, ujarnya. Bahkan, Elnino mengingatkan bahwa rekomendasi Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2016 juga menyepakati single mux.
RUU yang diinisiasi DPR sejak Januari 2015, secara prinsip ingin mengembalikan frekuensi kepada negara. Frekuensi sebagai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak, memang sudah selayaknya dikelola sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. “Kita berpendapat bahwa rakyat itu bukan hanya ATVSI, ATVLI, atau ATVNI. Tapi seluruh rakyat Indonesia termasuk pengelola tv lokal, radio lokal, dan rumah-rumah produksi yang ada di seluruh Indonesia”, ujar Elnino.
Dirinya berharap draf Undang-Undang Penyiaran ini dapat segera ditetapkan sebagai RUU oleh DPR untuk kemudian diajukan kepada pemerintah. Sehingga kepastian pelaksanaan digitalisasi penyiaran yang memberikan kualitas teknis penyiaran lebih baik ke masyarakat, dapat segera direalisasikan. “Tentunya juga RUU ini memberikan penguatan kelembagaan KPI, baik dari segi anggaran, kewenangan ataupun masa jabatan, sehingga diharapkan kualitas isi siaran ke depan menjadi jauh lebih baik” pungkas Elnino.