Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi peningkatan indeks kualitas pada program infotainment dalam Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode ke-4 yang dilakukan KPI bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). Jika melihat pergerakan indeks dari survei periode pertama, kategori program infotainment terus mengalami peningkatan nilai indeks dari 2.52 menjadi 3.08 pada periode 4. Namun demikian nilai indeks yang dicapai masih belum memenuhi standar kualitas yang ditetapkan KPI, untuk aspek penghormatan terhadap kehidupan pribadi.

Pada survey periode ke-empat ini, program yang mendapat nilai indeks paling rendah adalah sinetron yakni sebesar 2,96.  Sedangkan nilai tertinggi adalah wisata budaya yakni sebesar 4,15. Namun secara keseluruhan dari sembilan kategori program yang ada, baru program wisata budaya yang mencapai nilai standar kualitas dari KPI, yakni 4.

KPI mencatat ada beberapa aspek kualitas program siaran televisi yang perlu mendapat perhatian. Untuk program berita, aspek independensi didapati terus menurun indeksnya  sejak survey periode 1 hingga periode 4. Catatan lainnya adalah pada program variety show, yang harus meningkatkan kualitas pada aspek kepekaan sosial.

Secara khusus, pada periode 4 ini panel ahli dan responden menilai 4 kategori program yang dianggap berkualitas dari lembaga penyiaran yaitu : Program Berita, Talkshow, Infotainment dan Sinetron. Hasil penilaian panel ahli dan responden untuk program berita tidak jauh berbeda, menempatkan program NET 16 (NET TV), Liputan 6 Pagi (SCTV) dan CNN Indonesia (Trans TV) dengan indeks kualitas tertinggi. Demikian pula halnya dengan program infotainment, panel ahli dan responden sepakat menilai program E-News (NET TV) dan Status Selebritis (SCTV) sebagai program infotainment dengan indeks tertinggi.

Untuk program talkshow yang paling banyak ditonton adalah program Hitam Putih (Trans 7). Bila dinilai dari kualitasnya, panel ahli menempatkan program Michael Chandra Luar Biasa (RTV) dengan indeks kualitas program talkshow tertinggi. Sedangkan penilaian responden menempatkan program Cerita Perempuan (Trans TV) dengan indeks kualitas tertinggi.   

Untuk program sinetron, program Malaikat Kecil dari India merupakan program sinetron yang paling banyak ditonton. Akan tetapi dinilai dari kualitasnya, panel ahli dan responden memberikan nilai indeks tertinggi untuk 3 program Kesempurnaan Cinta (NET TV), Cermin Kehidupan (Trans 7) dan Tukang Bubur Naik Haji (RCTI).

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis mengharapkan hasil survei ini akan menjadi pertimbangan dari stakeholder penyiaran, tidak saja Lembaga Penyiaran, tapi juga rumah-rumah produksi serta para pengiklan, untuk menghasilkan program televisi yang lebih berkualitas. Secara khusus, Yuliandre mengingatkan tentang program sinetron yang harus mendapatkan perbaikan secara substansial. “Fungsi-fungsi penyiaran tidak boleh hanya didominasi pada aspek hiburan belaka, seperti yang tercermin dalam program sinetron, infotainment, variety  show dan sebagainya. Namun juga fungsi informasi dan edukasi harus dapat hadir seimbang di layar kaca”, ujarnya.

Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi ini dilakukan di 12 (dua belas) perguruan tinggi di 12 (dua belas) provinsi. Adapun perguruan tinggi tersebut adalah, Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (Ambon).

Jakarta –  Membaiknya isi siaran tidak hanya diukur dari menurunnya tampilan atau adegan yang melanggar. Isi siaran yang baik harus juga diimbangi dengan value atau nilai apa yang bermanfaat atau baik bagi masyarakat. Hal itu disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, disela-sela diskusi yang diselenggarakan Remotivi bertajuk “Kritik terhadap Regulasi dan Penerapan Sanksi KPI Sepanjang 2015” di kampus Universitas Indonesia (UI) Salemba, Rabu, 23 November 2016.

Menurut Hardly, menurunnya jumlah tayangan atau adegan yang melanggar memang baik tapi kalau nilai manfaat dari program tersebut tidak ada jadi terasa hambar. Misalnya, sebuah program infotainment yang pernah ditegur KPI terus mereka melakukan perbaikan tapi isi acaranya masih saja sama alias konteksnya tidak memiliki manfaat tidak bisa dikatakan membaik.

“Kami ingin perbaikan isi siaran itu juga dibarengi dengan peningkatan valuenya. Jika nilai atau value dari sebuah program itu penuh edukasi, infonya baik bagi masyarakat serta menginspirasi ini dapat dikatakan berkualitas,” tegas Hardly.

Hardly menyampaikan pihaknya terus mengupayakan dan mendorong lembaga penyiaran untuk melakukan perubahan isi kontennya dengan keberimbangan dua unsur tersebut yakni adegan dan nilai yang baik. Upaya itu mulai dilakukan dengan berbagai cara salah satu dengan pembinaan kepada lembaga penyiaran dengan dialog atau diskusi membangun dan mengingatkan.

Hardly juga mengkaitkan jika sanksi yang diberikan KPI kepada lembaga penyiaran bagian dari instrument pembinaan dan perbaikan. Sanksi ini bisa menjadi bahan masukan kepada industri untuk lebih baik. Pihaknya akan juga membangun relasi ke semua unsur baik itu publik, negara juga industri.

“Kami terus mengarah mendorong tumbuhnya industri yang sehat sekaligus juga isi siaran yang sehat. Kita juga berupaya mendorong adanya keberimbangan dari motif industri agar tidak hanya mengedepankan bisnis tapi juga menegakkan tujuan dari fungsi penyiaran. JIka ini terwujud harapan masyarakat untuk mendapatkan informasi yang sehat, edukatif, menginspirasi dan aman untuk semua dapat tercipta,” jelas Hardly.

Sementara itu, di tempat yang sama, Pengamat Hukum dan Penyiaran, Sofyan Pulungan menyoroti lemahnya kewenangan KPI dalam menegakkan sanksi penyiaran. Menurutnya, perbaikan isi siaran dapat juga diimbangi dengan kewenangan yang kuat KPI dalam menerapkan sanksi tersebut.

Faktor lemahnya kewenangan KPI yang dinilai Sofyan memiliki korelasi perbaikan konten dikarenakan kewenangan KPI dalam kebijakan perizinan yang dilemahkan. Diambilnya kewenangan KPI dalam bidang itu membuat daya dukung pemberian sanksi menjadi lemah juga. “Ini juga menjadi problem semua lembaga independen,” katanya.

Sebelumnya, peneliti dari Remotivi, Eduard Lazarus dan Gabriel Eriviany, mempresentasikan hasil penelitian mereka terhadap penerapan sanksi yang dilakukan KPI selama tahun 2015. Penelitian yang mengacu pada dokumen rekapitulasi sanksi administrative yang terdapat di website resmi KPI (kpi.go.id) menemukan adanya peningkatan jumlah sanksi KPI sebesar 44% dibanding tahun sebelumnya.

Menurut keduanya, penelitian ini dilakukan untuk mencari tahu bagaimana KPI melaksanakan wewenangnya dalam memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran. Selain itu, penelitian ini akan membuka jalan mengevaluasi P3SPS untuk menemukan kelemahan dalam aturan tersebut. ***


Depok - Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) memang mewajibkan stasiun televisi melakukan sensor secara internal.  Namun adanya sensor yang berlebihan justru menunjukkan seakan stasiun televisi menjadi paranoid dengan sanksi yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).  Hardly Stefano, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan hal tersebut dalam diskusi “Dilema Sensor di Televisi Indonesia: E(STE)TIKA”, (17/1) yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.

Hardly menegaskan bahwa sensor bukanlah tugas dan wewenang dari KPI. “Kami hanya mengawasi di bagian ujung setelah program acara disiarkan oleh televisi”, ujarnya. Namun pada praktiknya  stasiun-stasiun televisi menerapkan swasensor sesuai takaran masing-masing yang kadang-kadang berlebihan. “Rupanya ada ketakutan dan pengalaman traumatik lembaga-lembaga penyiaran. Di sebuah stasiun televisi robot pun sampai disensor,” tutur Hardly.

Hadir pula dalam diskusi tersebut pembicara lainnya, yakni: Haryatmoko (pakar etika komunikasi dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), Gilang Iskandar (Sekretaris Korporat Indosiar), dan Ade Armando (Dosen Ilmu Komunikasi UI).  Haryatmoko berpendapat bahwa pendidikan media literasi harus segera dicanangkan dalam kurikulum. Dia memberikan contoh pada sekolah-sekolah di Yogyakarta yang memberikan pendidikan media literasi pada murid-murid SD. Menurutnya, daripada menerapkan sensor yang berlebihan, sebaiknya menggiatkan media literasi. Sehingga audiens paham tentang realitas yang sebenarnya dari apa yang muncul di layar kaca.

Sementara itu Gilang Iskandar menjelaskan latar belakang terjadinya penyensoran dan pembluran dalam tayangan Puteri Indonesia di Indosiar. “Baju yang digunakan finalis Puteri Indonesia tidak didisain untuk muncul di televisi”, ujarnya. Pihaknya sangat paham sekali bahwa aturan di televisi memang sangat ketat, sehingga diambil langkah pembluran tersebut guna menghindari adanya pelanggaran P3SPS. Selain itu, Gilang juga membenarnya adanya pemahaman yang berbeda-beda terkait P3SPS di kalangan stasiun televisi. Belum lagi, ancaman pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran juga dijadikan pertimbangan yang sangat serius guna keberlangsungan bisnis televisi ke depan.

Pada kesempatan diskusi  tersebut dosen Ilmu Komunikasi UI, Ade Armando menjelaskan tentang kebebasan berekspresi yang ternyata mempunyai batasan. Menurut Ade, pembatasan tersebut tergantung pada media apa yang digunakan  dalam penyebarannya. Yang jelas, ujarnya, seluruh dunia juga paham bahwa televisi sangat “highly regulated”, diatur sangat ketat. Dirinya mengakui bahwa sensor bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya buruk. Namun over-censorship, menurutnya berpotensi berbahaya ke depan.

Ade memaparkan bagaimana regulator penyiaran di negara sebesar Amerika Serikat bersikap sangat tegas terhadap pelanggaran aturan penyiaran. Karenanya Ade berpendapat, daripada ada sensor, jauh lebih baik jika KPI bersikap lebih tegas. Dirinya memaklumi jika KPI mengeluarkan ancaman lewat perpanjangan IPP, agar stasiun televisi tidak terus menerus lakukan pelanggaran. “Kepada seluruh pengelola televisi, dengan segenap hormat pada kebebasan berekspresi, tolong Behave!” pintanya.

Beberapa pertanyaan disampaikan mahasiswa terkait regulasi penyiaran, diantaranya soal sensor wujud rokok dan masih adanya iklan rokok di televisi. Mahasiswa juga bertanya mengapa moral panic industri televisi hanya ada pada masalah sensor semata. Padahal keluhan masyarakat dan juga concern KPI bukan hanya soal sensor, ada masalah kekerasan di televisi, kualitas sinetron, infotainment dan lain-lain. Mahasiswa mempertanyakan, kenapa industri tidak menyikapi seperti halnya sensor internal yang berlebihan itu.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Hardly menyampaikan bahwa concern KPI sebenarnya lebih jauh dari sekedar sensorship. “Concern kami justru pada nilai-nilai (value) apa yang dibawa stasiun televisi pada setiap program siaran?” papar Hardly. Hal ini dilakukan dengan meminta lembaga penyiaran untuk senantiasa mematuhi P3SPS. Selain itu KPI juga berupaya membangun dialog dengan industri, agar peringatan maupun teguran yang disampaikan melalui surat tertulis dapat dimaknai secara kontekstual. Sehingga layar kaca tidak selalu dipenuhi dengan muatan kekerasan, pornografi, hedonistic, dan nilai-nilai negatif lainnya, sebaliknya dapat menyampaikan inspirasi positif kepada pemirsa.

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melayangkan surat peringatan untuk 7 (tujuh) lembaga penyiaran berlangganan (LPB) lantaran tidak memperhatikan ketentuan P3SPS KPI tentang siaran ketelanjangan dalam program asingnya “Wonderland S3” yang ditayangkan kanal Australia Plus (A+), Selasa, 15 November 2016. Ke tujuh LPB tersebut antara lain First Media, Indovision, Trans Vision, Biznet Home, Oke Vision, IM2 dan USee TV.

Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis KPI Pusat, program siaran “Wonderland S3” yang tayang pada tanggal 4 November 2016 pukul 10.29 WIB menayangkan adegan seorang pria yang berdiri tanpa pakaian sehingga memperlihatkan bokong pria tersebut dari belakang secara eksplisit. Menurut penilaian KPI Pusat hal tersebut berpotensi melanggar Pasal 57 SPS KPI Tahun 2012 tentang larangan program siaran berlangganan yang berasal dari saluran asing menampilkan ketelanjangan.

Selain itu, KPI Pusat juga menemukan muatan serupa dalam program siaran “The World” yang ditayangkan pukul 17.30 WIB. Program itu menayangkan liputan tentang karya seni yang menampilkan beberapa lukisan wanita dengan visualisasi payudara serta seni patung dengan visualisasi alat kelamin pria secara eksplisit.

Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis, mengingatkan seluruh LPB agar memperhatikan muatan-muatan yang ditampilkan supaya sesuai dengan khalayak yang menonton, terutama anak-anak dan remaja.

KPI Pusat juga menjelaskan jika peringatan ini bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.

KPI Pusat juga berharap ke depan, seluruh LPB lebih berhati-hati dalam menyajikan sebuah program siaran dan senantiasa menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam penayangan sebuah program siaran. ***



Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Diskusi Terbatas tentang program Infotainment, (17/11). Dalam diskusi yang bertempat di kantor KPI Pusat, diisi oleh beberapa komisioner dan juga narasumber lainya seperti Ronny Kusuma dari Indigo Infotainment, dan Mulharnetti Syas selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.

Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat KPI Pusat Mayong Suryo Laksono menerangkan bagaimana keberadaan acara infotainment di lembaga penyiaran dengan adanya P3SPS. Mengingat dalam P3SPS menyebutkan isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan bermanfaat dalam pembentukan karakteristik bangsa, menjaga persatuan  dan juga mengamalkan nilai agama dan budaya yang ada di Indonesia. Berdasarkan keterangan dalam presentasi yang disampaikan. Mayong menegaskan bahwa, tayangan infotainment harus mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan publik.

Sementara Komisioner KPI Pusat lainnya, Dewi Setyarini, menekankan pada Pasal 2 UU No 32/2002 mengenai penyiaran yang berisi “Penyiaran diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab.

 

Dalam kesempatan itu Mulharnetti Syas menilai saat ini mulai ada perbaikan dalam program infotainment. Hal tersebut dapat dilihat dari Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan KPI pada periode ketiga, dimana terjadi peningkatan nilai kualitas menjadi 3,1 yang sebelumnya hanya 2,70. Namun demikian, ujar Netty, tetap nilai tersebut masih jauh dari standard nilai KPI.

Netty memfokuskan pemaparannya  tentang sejarah perkembangan program infotainment dari dulu hingga era kontemporer saat ini. Menurutnya, harus ada pelatihan ulang yang di adakan oleh KPI untuk mempelajari P3SPS yang seutuhnya, kepada praktisi penyiaran, termasuk juga pekerja di Infotainment. 

Sementara Ronny Kusuma menilai bahwa masyarakat sepertinya mulai jenuh dengan acara infotainment yang terkesan monoton. Hal tersebut diakibatkan saat ini infotainment lebih banyak mempromosikan seorang pengacara atau orang penting dalam menangani sebuah kasus besar yang sedang booming. Namun, Ronny mengakui, seperti dua sisi mata uang di lain pihak sebagaian masyarakat masih membutuhkan hiburan seperti ini. Di akhir diskusi, Mayong mengingatkan pentingnya menjaga kualitas tayangan untuk pembentukan intelektualitas dan watak khususnya anak – anak dan generasi muda. (Ravel)

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.