- Detail
- Ditulis oleh IRA
- Dilihat: 36673
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menolak seluruh gugatan yang diajukan Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia kepada Pengadilan Tata Usaha Negara atas Surat Edaran Komisi Penyiaran Indonesia nomor 225/ K/ KPI/ 31.2/04/2017 tanggal 21 April 2017. Hal tersebut disampaikan KPI Pusat dalam sidang lanjutan penyampaian jawaban terhadap gugatan Tata Usaha Negara (TUN) antara Partai Berkarya dan Partai Pengusaha dan Pekerja Indonesia sebagai penggugat dan KPI sebagai tergugat, (4/7).
Melalui kuasa hukum yang dipimpin oleh Sehat Damanik, SH., KPI menyampaikan bahwa dalil gugatan yang disampaikan penggugat sangatlah keliru dan tidak mendasar. Hal ini dikarenakan bahwa, surat edaran bukan obyek sengketa TUN. Selain itu, Sehat menjelaskan pula bahwa obyek sengketa dalam gugatan ini adalah surat edaran yang melarang lembaga penyiaran menayangkan iklan/ mars/ himne partai politik di luar masa kampanye. Ruang lingkup dari obyek sengketa ini hanya terhadap lembaga penyiaran yang terdiri atas stasiun televisi dan stasiun radio, selaku internal penyiaran. KPI menilai bahwa penggugat tidak memiliki kepentingan untuk mengajukan gugatan TUN terhadap obyek sengketa.
Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Hardly Stefano Pariela menyampaikan bahwa dalam jawaban gugatan tersebut dijelaskan kondisi mendesak yang menyebabkan dikeluarkannya surat edaran. Diantaranya dalam kurun waktu dari tahun 2016 hingga tahun 2017 terdapat partai politik yang sangat gencar mengiklankan mars atau himne partainya di beberapa lembaga penyiaran. Berdasarkan data yang ada ternyata penyiaran iklan partai politik juga hanya diiklankan di lembaga penyiaran tertentu, yang pemiliknya juga merupakan pendiri partai politik yang beriklan tersebut. Penayangan mars atau himne tersebut dilakukan secara masif di beberapa lembaga penyiaran dengan durasi 60 (enam puluh) detik. Mengingat seringnya iklan partai politik tersebut muncul dalam ruang siar, maka timbul keresahan masyarakat yang disampaikan melalui jalur pengaduan ke KPI dengan meminta agar tayangan iklan partai politik dihentikan.
KPI sendiri sudah melakukan beberapa kali pertemuan dengan lembaga penyiaran yang meminta agar dilakukan penghentian atas penayangan iklan partai politik tersebut, namun pada pelaksanaannya iklan tersebut tetap muncul. Beberapa pertimbangan hukum juga disampaikan KPI dalam jawaban gugatan tersebut, diantaranya Undang-Undang nomor 8 tahun 2012, Peraturan KPI nomor 1 dan 2 tahun 2012, serta Undang-Undang nomor 32 tahun 2002.
KPI juga menilai bahwa surat edaran ini tidaklah menyebabkan usaha memberikan pendidikan politik pada masyarakat tercederai karena adanya pembatasan dan pelarangan. “Partai politik tentunya memiliki kebebasan untuk melakukan pendidikan politik pada rakyat dalam bentuk lain, selain penayangan iklan kampanye di televisi dan radio”, ucap Hardly. Selain itu, berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2011 tentang Partai Politik, iklan partai politik tidaklah termasuk dalam pendidikan politik.
Hardly menegaskan bahwa surat edaran yang menjadi obyek sengketa tersebut diterbitkan dalam rangka menjaga agar penyiaran yang dilakukan dengan menggunakan frekuensi publik, tidak dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok tertentu.