Jakarta - Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nurwahid menyayangkan hadirnya tayangan Ramadhan yang sia-sia di televisi. Apalagi jika tayangan tersebut hadir pada waktu saat doa-doa diijabah oleh Allah.  Hal tersebut disampaikannya saat menjadi pembicara kunci dalam Diskusi Terbatas Siaran Ramadhan Bermartabat di Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Jumat (21/4/17).

Merujuk pada tayangan Ramadhan tahun lalu yang dipenuhi dengan aksi hiburan yang sia-sia, Hidayat menilai hal tersebut harus dikoreksi. Siaran televisi dan radio harus mengambil semangat Ramadhan agar selaras dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran, seperti amanat Undang-Undang. Bukan menjadikan Ramadhan sebagai alasan untuk menjadikan program hiburan mendominasi layar kaca dan ruang dengar.

Hidayat yang juga anggota Komisi I DPR-RI ini mengingatkan peserta diskusi yang sebagian besar dari lembaga penyiaran, televisi dan radio, bahwa penyelenggaraan penyiaran harus dapat mencerminkan watak dan jati diri bangsa. Bulan Ramadhan, menurut Hidayat, dipilih oleh pendiri bangsa ini sebagai bulan kemerdekaan Indonesia. Karenanya Hidayat tidak sepakat jika seakan-akan masyarakat membutuhkan hiburan yang lebih banyak dari biasanya, di bulan Ramadhan ini. “Ramadhan harus dimaknai sebagai bulan perjuangan, bukan untuk bermalas-malasan dan bukan pula untuk hiburan”, ujarnya.

Bahkan, tambah Hidayat, siaran Ramadhan justru harus mengokohkan rasa kebangsaan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk juga menguatkan nilai-nilai bhineka tunggal ika. Dirinya berharap KPI dapat memastikan dalam siaran Ramadhan nanti, televisi dan radio menghadirkan siaran yang menguatkan moralitas serta meningkatkan daya juang di masyarakat, sebagaimana pendahulu bangsa yang mengabadikan bulan Ramadhan dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini. 

Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Ubaidillah, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan, dan turut dihadiri narasumber Komisioner KPI bidang Pengawasan Isi Siaran Dewi Setyarini, Direktur PENAIS Kementerian Agama RI, Muhammad Tambrin, dan Ketua Komisi Infokom Majelis Ulama Indonesia (MUI), Asrori S. Karni.

 

Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Ubaidillah dan Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional Negara Berkembang Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri, Roy Rolliansyah Soemirat dalam Rapat Koordinasi di Kantor Kementerian Luar Negeri

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengharapkan seluruh negara yang tergabung dalam Organisasi Kerjasama Islam (OKI) ikut menjadi anggota Organization of Islamic Cooperation Broadcasting Regulathory and Authorities Forum (IBRAF). Hal tersebut disampaikan Ubaidillah, Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan dalam rapat koordinasi di Kementerian Luar Negeri untuk persiapan pertemuan 40th Session of Islamic Commission for Economic, Cultural and Sosial Affairs (ICECS) Organisasi Kerjasama Islam, (20/4).

Dalam kesempatan tersebut Ubaidillah menyampaikan deklarasi yang dihasilkan dalam pertemuan tahunan IBRAF ke-lima di Bandung (22-24/2), tentang  Peran Media dalam Mempromosikan Toleransi dan Pemberantasan Terorisme dan Islamophobia.  Menurut Ubaidillah, keikutsertaan negara-negara anggota OKI dalam IBRAF menjadi sangat penting untuk mendukung hilangnya islamophobia melalui medium penyiaran. “Negara-negara Islam harus ikut berperan aktif memunculkan wajah Islam yang ramah dan penuh kedamaian, sebagai bentuk perlawanan terhadap Islamophobia”, ujar Ubaidillah. Indonesia sendiri, dalam pertemuan tahunan tersebut, kembali terpilih menjadi Presiden IBRAF hingga tahun 2018 mendatang.

Terkait pertemuan ICECS mendatang di Jeddah, Ubaidillah menitipkan agenda literasi media sebagai bentuk penguatan masyarakat sipil terhadap paparan media dan dampak negatif yang dimunculkan. Selama ini KPI sebagai regulator penyiaran memang telah memberikan pengawasan dan pembinaan pada lembaga penyiaran, baik itu televisi maupun radio. Namun penguatan masyarakat dalam menerima segala muatan dari media perlu dilakukan dengan melakukan edukasi literasi media. Hal tersebut bahkan harus dilakukan melalui pranata masyarakat terkecil, yakni keluarga.

Sebagai contoh di beberapa negara anggota IBRAF, seperti Turki dan Maroko, program literasi media telah disinergikan antara regulator media dengan kementerian pendidikan dan yang terkait. Hal tersebut menjadi sebuah usaha menghadirkan masyarakat yang kokoh dan dapat melakuan swafilter terhadap segala muatan dan konten media, agar sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya. 

Dalam rapat yang dipimpin oleh Kepala Subdirektorat Organisasi Internasional Negara Berkembang Direktorat Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri, Roy Rolliansyah Soemirat, juga menghadirkan utusan dari perwakilan kementerian dan lembaga terkait. Roy mengapresiasi kinerja KPI dalam perhelatan pertemuan tahunan IBRAF di Bandung. “Posisi Indonesia sebagai Presiden IBRAF sangatlah strategis, dan harus terefleksikan secara tepat”, ujarnya. Selain itu, Roy juga berharap, KPI dapat terlibat dalam isu-isu yang ada dalam berbagai forum di OKI. Dia menilai ada banyak isu strategis dan implementatif di OKI yang sebenarnya dapat ditindaklanjuti lebih konkrit, ketimbang isu politik tingkat tinggi sepertinya sulit diukur setiap capaiannya.

Pembinaan Isi Siaran "Dahsyat" RCTI oleh KPI Pusat.

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat) melakukan pembinaan isi siaran untuk program acara “Dahsyat” RCTI usai mendapat sanksi penghentian sementara akhir Maret lalu, Kamis (20/3/17) di Studio Dahsyat RCTI, Kebun Jeruk, Jakarta. Pembinaan ini merupakan salah satu upaya KPI Pusat guna meningkatkan kualitas dan nilai program acara “Dahsyat”.

Pembinaan isi siaran ini dihadiri semua host dan tim produksi acara “Dahsyat” seperti Raffi Ahmad, Denni Cagur, Ayu Dewi, Syahnaz, dan Dede. Hadir pula Direktur Corporate Affairs, Syafril Nasuiton dan Direktur Program RCTI, Dini Aryanti Putri.Komisioner KPI Pusat yang hadir yakni Hardly Stefano, Nuning Rodiyah dan Mayong Suryo Laksono.

Di awal acara, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano mengatakan, pembinaan ini bertujuan mencari keselarasan pandangan mengenai aturan P3SPS KPI. Batasan yang terdapat dalam peraturan tersebut dapat dipahami para kru “Dahsyat” sehingga kreasi yang diungkapkan pada saat siaran tidak berbenturan dengan aturan.



“Kami ingin pembinaan ini seperti diskusi bersifat kekeluargaan agar apa saja yang menjadi kesulitan dan ganjalan dalam mengartikan batasan yang ada dalam dapat diceritakan kepada kami. Kami akan menjelaskan dan memberi masukan kepada rekan-rekan Dahsyat untuk jadi catatan,” kata Hardly.

Selain itu, Hardly menyampaikan bahwa sanksi yang diberikan KPI untuk program yang melanggar merupakan bentuk perlindungan pihaknya terhadap anak-anak dan remaja. Setiap tindakan dan perkataan dalam acara yang dampaknya tidak baik dikhawatirkan dianggap sesuatu yang biasa dan kemudian ditiru mereka dalam keseharian.

Hal yang sama juga disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah. Menurutnya, anak-anak dan remaja harus dilindungi dari siaran yang tidak baik dan berpengaruh buruk. Perlindungan terhadap khalayak khusus ini bagian dari amanah yang diatur dalam P3 dan SPS KPI.

“Mari kita konsisten untuk memperbaiki dan menjaga isi siaran. Jangan sampai hal-hal yang tidak positif  di televisi ditiru oleh anak-anak yang menonton,” kata Nuning.



Sementara itu, artis sekaligus host acara “Dahsyat” Raffi Ahmad mengatakan bahwa sekarang dia dan rekannya di Dahsyat lebih berhati-hati saat bersiaran. Kehati-hatian tersebut untuk meminimalisir adanya pelanggaran. Bahkan, menurut Raffi, tayangan Dahsyat sekarang lebih baik ketimbang sebelumnya.

Pada kesempatan yang sama, Denni Cagur menanyakan perihal batasan-batasan yang tidak boleh dilakukan. Batasan itu meliputi kata-kata apa saja yang tidak dan boleh disampaikan pada saat siaran.

Di akhir pertemuan itu, Komisioner KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono mengatakan aturan atau kebijakan KPI bukanlah untuk memasung kreativitas industri penyiaran. Justru dengan aturan yang ada itu, kalangan industri dapat melakukan kreasinya dengan bebas sesuai dengan pedoman yang ada. “Jadi, kami sangat mengharapkan rekan-rekan untuk juga memikirkan penonton seperti anak-anak dan remaja,” paparnya. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat kembali menggelar Survey Kepemirsaan bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) dan 12 (dua belas) perguruan tinggi di 12 (dua belas) ibukota provinsi di Indonesia. Mengawali kegiatan tersebut, KPI menandatangani Perjanjian Kerja Sama dengan Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Islam Negeri (Jakarta), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Hasanuddin (Makassar), Universitas Udayana (Denpasar), dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (Ambon).

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyatakan bahwa Survey ini dilakukan untuk mendorong terjadinya perubahan kualitas program siaran televisi ke arah yang lebih baik, agar selaras dengan amanat Undang-Undang Penyiaran. “Tentunya, kita berharap program televisi ke depan memberikan manfaat yang optimal bagi kepentingan publik”, ujar Yuliandre. Pada tahun 2017 ini, Survey dilakukan sebanyak 2 kali di 12 kota di Indonesia.

Pelibatan perguruan tinggi ternama yang sebagian besar adalah perguruan tinggi negeri, diharapkan dapat menjaga menjaga independensi dari hasil survey sehingga mampu memotret dengan utuh, persepsi masyarakat tentang kualitas program siaran televisi saat ini. Yuliandre menjelaskan, pada tahun 2018 direncanakan terjadi perluasan wilayah survey dari 12 kota menjadi 20 kota, yang juga nantinya melibatkan 20 perguruan tinggi pula.

KPI memberikan apresiasi yang sangat tinggi atas keterlibatan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia yang selama ini telah memberikan kontribusi dalam penilaian kualitas program siaran televisi. Memasuki tahun ketiga pelaksanaan survey indeks kualitas program siaran televisi ini, KPI selalu mengikutsertakan kalangan akademisi, mulai dari diskusi terbatas penentuan format survey, penyusunan indikator hingga pelaksanaan survey mendatang di 12 kota besar di Indonesia. 

Sebagai lembaga negara independen yang lahir dari undang-undang penyiaran, KPI juga berkepentingan untuk memastikan penyiaran diselenggarakan sejalan dengan regulasi. KPI melihat hasil survey ini dapat mengurangi kesenjangan antara kebijakan televisi dalam menayangkan program siaran, harapan masyarakat tentang tayangan televisi yang berkualitas, serta arah  bagi terselenggaranya penyiaran sesuai regulasi.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.