Jakarta - Penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilkada) serentak harus dimanfaatkan oleh lembaga penyiaran untuk pemenuhan kewajiban penyiaran konten lokal sebanyak 10% (sepuluh persen) sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menilai bahwa hegemoni siaran Jakarta yang terlalu tinggi, menyebabkan informasi tentang pelaksanaan Pemilukada di 100 wilayah lain di Indonesia, menjadi tidak optimal. Komisioner KPI Pusat koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Agung Suprio menyampaikan hal tersebut dalam talkshow Pilkada Serentak yang disiarkan di TVRI Nasional, (15/2).

Tidak meratanya informasi Pemilukada di wilayah di luar Jakarta ini juga diakui oleh Jimly Asshidiqie, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemily (DKPP) yang hadir sebagai narasumber. Dirinya sepakat bahwa lembaga penyiaran harus meningkatkan durasi penyebaran informasi seputar Pemilukada di luar Jakarta.  “Sehingga informasi yang hadir di televisi tidak didominasi Jakarta semata”, ujarnya.

Terkait dengan asumsi penyelenggaraan Pilkada yang terkesan sepi dan kurang meriah, Agung melihat salah satunya disebabkan aturan yang baru menyebutkan pendanaan iklan pasangan calon di Pemilukada ini sepenuhhnya oleh Komisi Pemilihan Umum  Daerah (KPUD) masing-masing. Hal yang berbeda terjadi pada pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden 2014 lalu yang memberi kesempatan masing-masing peserta pemilu untuk beriklan.

Ke depan, Agung menegaskan bahwa infrastruktur penyiaran harus menjadi prioritas untuk dikembangkan, terutama di wilayah-wilayah perbatasan antar negara. Dirinya melihat dengan tersedianya infrastruktur penyiaran tersebut, memudahkan lembaga penyiaran mendirikan stasiun-stasiun produksi untuk melayani kebutuhan informasi masyarakat setempat, dan tidak bergantung pada kiriman informasi dari Jakarta.

Agung juga berharap, momentum peralihan penyiaran analog ke penyiaran digital dapat meningkatkan kontribusi lembaga-lembaga penyiaran lokal serta rumah-rumah produksi lokal untuk menyiarkan informasi sesuai dengan kebutuhan masyarakat daerah. “Hingga dapat menutup kesenjangan informasi yang terjadi selama ini di masyarakat, termasuk untuk kepentingan pesta demokrasi seperti Pilkada saat ini”, ujarnya.

Sebagai penutup Agung menegaskan bahwa demokrasi saat ini harus mampu memisahkan empat faktor yakni negara, masyarakat sipil, pasar, dan media.  Agung berharap, draft undang-undang penyiaran yang baru yang tengah dirumuskan oleh Komisi I DPR RI, dapat secara tegas mengatur siaran politik sehingga tidak ada lagi siaran-siaran politik di media penyiaran yang berpihak dan kehilangan netralitas dan independensi. 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengimbau lembaga penyiaran untuk menjaga independensi dalam penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 15 Februari 2017. Ketua KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengingatkan tentang Surat Pernyataan Komitmen Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) Televisi kepada KPI dan Menteri Komunikasi dan Informatika ketika proses perpanjangan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP), Oktober 2016 lalu. “Lembaga penyiaran telah menyatakan sanggup untuk menjaga independensi dan keberimbangan terkait dengan penyelenggaran Pemilihan Umum, khususnya pemilihan pimpinan kepala daerah,” ujar Yuliandre.

 

KPI berkepentingan mengingatkan seluruh lembaga penyiaran, baik 10 televisi swasta yang menandatangani komitmen ataupun lembaga penyiaran lainnya. Dalam pilkada serentak yang digelar di 101 daerah di 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten besok, lembaga penyiaran diharapkan memegang teguh prinsip-prinsip jurnalistik dan menaati Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS).

 

KPI mengimbau seluruh Lembaga penyiaran untuk menjaga independensi dan keberimbangan program isi siaran dengan tidak dipengaruh oleh pihak manapun termaksud pemodal atau pemilik Lembaga Penyiaran dalam proses penyelenggaraan pemilihan umum kepala daerah (Pilkada). Yuliandre menegaskan, kepatuhan terhadap regulasi ini, akan menjadi kontribusi besar dunia penyiaran dalam mengawal proses demokrasi yang sedang berlangsung di Indonesia.  

 

Jakarta – Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis meminta semua lembaga penyiaran untuk menghormati aturan di masa tenang sebelum penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017 yang akan berlangsung pada 15 Februari 2017. Masa tenang ditetapkan KPU mulai hari Minggu 12 Februari 2017 hingga Selasa 14 Februari 2017.

Pasal 52 Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2016 tentang Kampanye disebutkan bahwa selama masa tenang media massa cetak, elektronik dan lembaga penyiaran, dilarang menyiarkan iklan, rekam jejak Pasangan Calon, atau bentuk lainnya yang mengarah kepada kepentingan Kampanye yang menguntungkan atau merugikan Pasangan Calon .

Menurut Andre, semua lembaga penyiaran harus ikut menciptakan suasana kondusif.  Seperti yang disampaikan KPI dalam surat edaran ke lembaga penyiran terkait masa penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017.

Hal yang harus dilakukan lembaga penyiaran dalam edaran KPI disampaikan yaitu dengan menyiarkan pemberitaan/informasi terkait Pilkada secara berimbang, proporsional dan mengedepankan netralitas. Kemudian, mengutamakan kemaslahatan masyarakat dengan mempertimbangkan kemungkinan dampak dari setiap pemberitaan, informasi, ataupun program siaran lain yang ditayangkan.

Selain itu, lembaga penyiaran diminta untuk menghindari pemberitaan, informasi, atau program siaran yang menghasut, mengadu domba perseorangan maupun masyarakat, bersifat fitnah, menyesatkan, bohong dan mendiskreditkan pasangan calon atau tokoh politik tertentu.

“Pilkada adalah bagian puncak demokrasi dalam suatu negara. Ukuran aman nyaman dan suka cita adalah sesuatu ukuran akhir dari proses pilkada. Semoga minggu tenang ini membuat kesejukan bagi kita semua untuk menentukan pilihan,” papar Ketua KPI Pusat kepada kpi.go.id. ***

Jakarta – Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis menilai profesi wartawan atau jurnalis merupakan profesi penuh resiko. Oleh karena itu, profesi jurnalis harus mendapatkan perlindungan hukum demi menjamin keamanan dan kenyamanan mereka dalam menjalankan profesinya. Pandangan tersebut disampaikannya usai diskusi tentang “Kebijakan Redaksi dan Keselamatan Jurnalis” yang diadakan IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia) di Dewan Pers, Selasa, 14 Februari 2017.

Menurut Andre, kebebasan menjalankan fungsi pers atau kemerdekaan pers dijamin dalam UU Pers No.40 tahun 1999. Perlindungan itu dijamin sebagai hak asasi warga negara. Beberapa hal yang tidak boleh dilakukan terhadap pers nasional yakni adanya penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Kemerdekaan pers juga menjamin hal jurnalis untuk mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.

“Komisi Penyiaran Indonesia sebagai lembaga negara sangat menghormati profesi jurnalis khususnya di industri penyiaran dalam menjalankan tugasnya. Karena itu, kami sangat menentang adanya tindak kekerasan atau intimidasi terhadap jurnalis pada saat menjalankan tugas jurnalis. Jika ada tindakan seperti itu adalah bertentangan dengan hukum yang ada,” jelasnya.

Ketua KPI Pusat ini menilai terjadinya tindak kekerasaan terhadap jurnalis disebabkan beberapa hal seperti persoalan independensi media penyiaran serta validitas informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan. Namun, apapun tindakan kekerasan terhadap jurnalis dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dibiarkan. Jurnalis juga mempunyai hak untuk mempertanggungjawabkan pemberitaannya di depan hukum karena wartawan mempunyai hak tolak.

“Kami juga mengharapkan kebijakan yang dibuat setiap media khususnya lembaga penyiaran dapat memberikan rasa aman terhadap jurnalisnya. Oleh karena itu, kami sangat menekankan pentingnya independensi dan validitas informasi yang bisa dipertanggungjawabkan,” kata Yuliandre. ***

Jakarta - Pers Indonesia harus melakukan konsolidasi guna memastikan akses informasi yang sesuai hak asasi manusia dapat terpenuhi bagi seluruh rakyat Indonesia.  Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis menilai, membanjirnya informasi yang di tengah masyarakat baik itu didapat melalui insitusi pers resmi ataupun media-media sosial yang menjadi kanal-kanal baru bagi masyarakat untuk mengemukakan pendapat, merupakan tantangan tersendiri bagi dunia pers saat ini.  Hal tersebut disampaikan Yuliandre di sela-sela peringatan Hari Pers Nasional 2017 di Ambon, (9/2).
 
“Produksi berita-berita hoax atau berita palsu, telah menjadi ancaman bagi kehidupan berdemokrasi kita”, ujar Yuliandre. Untuk itu, sebagai salah satu pilar demokrasi, Pers harus memastikan informasi yang disampaikan ke tengah masyarakat telah teruji akurasi dan validitasnya. “Informasi yang valid dan akurat, akan membantu masyarakat mengambil keputusan yang tepat untuk kesinambungan kehidupan mereka”, ujar Yuliandre.
 
Pria asal ranah Minang ini mengutip pesan dari Presiden Joko Widodo dalam acara yang sama, bahwa media harus tetap menjunjung etika jurnalistik yang menuntut faktualitas, obyektivitas dan disiplin melakukan verifikasi.  Selain itu, Yuliandre berharap pers juga tetap mengedepankan independensi dan menjaga jarak dengan kekuasaan, agar tidak kehilangan daya kritis.
 
“Kita masih tetap membutuhkan hadirnya pers yang sehat agar mekanisme check and balance juga hadir, untuk menghasilkan tatanan demokrasi yang lebih berkualitas”, ujar Yuliandre.  Selain itu, tambahnya, pers Indonesia juga diharap berperan aktif dalam mengawal demokrasi yang memberikan kesejahteraan rakyat dan menguatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.