Jakarta - Sepanjang tahun 2016 terdapat 5387 pengaduan terverifikasi yang masuk ke KPI, 175 di antaranya ditindaklanjuti dengan peringatan dan sanksi. Dari pengaduan dan sanksi tersebut, terdapat pelanggaran berulang atas Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) yang perlu mendapatkan perhatian serius, yakni:
1.    Tayangan yang menampilkan kekerasan (dalam sinetron maupun berita),
2.    Tayangan yang tidak memiliki nilai edukasi dan cenderung hedonistik (misal : infotainment dan variety show)
3.    Tayangan/produk jurnalistik yang tidak memberikan perlindungan terhadap anak (misal : anak sebagai narasumber dalam bencana dan kasus hukum)
4.    Jam tayang yang tidak sesuai dengan klasifikasi program (misal film kartun)
5.    Iklan Rokok yang ditayangkan sebelum jam 21.30
6.    Tayangan/produk jurnalistik yang masih memberikan label atau stigma negatif pada perempuan (misal : pemberitaan dugaan PSK dengan memblow up wajah).

Survei indeks kualitas program siaran televisi selama tahun 2016 yang dilakukan KPI di 12 titik propinsi di Indonesia juga mencatat banyak acara yang tidak memiliki nilai edukasi. Dalam lima kali survey yang digelar sepanjang tahun 2016, hanya program wisata/budaya yang konsisten mendapatkan nilai di atas poin 4, sedangkan kategori program lainnya masih di bawah poin 4, terutama infotainment yang masih rendah indeks kualitasnya yakni rata-rata 2,7.

Televisi dan radio karena sifatnya yang sangat khas memiliki peran strategis terhadap perkembangan anak dan memberikan pesan-pesan tertentu kepada khalayak, membantu membentuk stigma positif terhadap perempuan, dan membantu pengungkapan kasus-kasus hukum. Atas pertimbangan tersebut, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) bersepakat untuk membuat Kesepahaman Bersama mengenai “Perlindungan Perempuan dan Anak di bidang Penyiaran” yang akan ditandatangani pada hari Rabu, tanggal 1 Februari 2017 jam 10.00 di Kantor KPI oleh Menteri KPPA Yohana Yembise dan Ketua KPI Yuliandre Darwis.

Tujuan dari kesepahaman ini adalah  : (1) mewujudkan penyiaran yang bebas dari segala bentuk muatan kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, pelabelan dan merendahkan harkat perempuan dan anak; dan (2) meningkatkan pemahaman masyarakat dalam mengupayakan perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan pelabelan terhadap perempuan dan anak di bidang penyiaran.

Dengan adanya kesepahaman ini maka KPI dan KPPA akan saling berkoordinasi dalam pelaksanaan tugas masing-masing, termasuk dalam pembuatan kebijakan, bekerjasama dalam melaksanakan sosialisasi, komunikasi, informasi, dan edukasi tentang perlindungan perempuan dan anak, dan saling memberikan informasi mengenai aduan masyarakat terkait isi siaran yang merendahkan harkat dan martabat perempuan dan anak. Kesepahaman ini akan ditindaklanjuti dengan langkah-langkah konkret dalam waktu dekat dengan harapan wajah media terutama televisi dan radio akan semakin ramah kepada anak dan perempuan, tak ada lagi yang menjadi korban karena pemberitaan yang bias.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menandatangani kesepahaman bersama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPP dan PA) tentang perlindungan perempuan dan anak di bidang penyiaran. Kesepahaman tersebut ditandatangani oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Yohana Yembise dan Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis, di kantor KPI Pusat (1/2).

Yuliandre Darwis menjelaskan bahwa kesepahaman bersama ini dimaksudkan untuk meningkatkan kerjasama antara dua institusi sebagai bentuk tanggung jawab untuk mewujudkan penyiaran yang memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak. 

Lebih jauh Yuliandre memaparkan bahwa MoU ini bertujuan untuk mewujudkan penyiaran yang bebas dari segala bentuk muatan kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, pelabelan dan merendahkan harkat perempuan dan anak; dan meningkatkan pemahaman masyarakat dalam mengupayakan perlindungan perempuan dan anak dari segala bentuk kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, dan pelabelan terhadap perempuan dan anak di bidang penyiaran.

Dengan adanya kesepahaman ini, KPI mengharapkan lembaga penyiaran turut memberikan kontribusi untuk menciptakan penyiaran yang melindungi kaum perempuan dan anak-anak. Termasuk di dalamnya, dengan memberikan support lewat penyiaran yang proporsional dalam penyelesaian kasus kekerasan yang menimpa perempuan dan anak. “Jangan sampai lewat pemberitaan di televisi dan radio yang berlebihan dan mengesampingkan etika, justru abai dalam melindungi korban kekerasan tersebut”, ujar Yuliandre. Sehingga para korban justu malah mendapatkan kekerasan selanjutnya lewat media.

KPI sendiri, ujar Yuliandre, akan memberikan memberikan pengawasan khusus terhadap materi siaran yang mengandung muatan kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi yang merendahkan harkat perempuan dan anak di televisi dan radio.

Ke depan, ujar Yuliandre, kesepahaman ini akan ditindaklanjuti dengan kerjasama antar institusi dalam melaksanakan sosialisasi, komunikasi, informasi, dan edukasi tentang perlindungan perempuan dan anak di lembaga penyiaran bersama seluruh pemangku kepentingan penyiaran.

Jakarta – Komisi I DPR RI mendukung langkah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat untuk mengoptimalkan pelaksanaan tugas pengawasan isi siaran melalui peningkatan peralatan dan teknologi pengawasan isi siaran. Dukungan tersebut disampaikan Komisi I dalam butir rekomendasi yang dikeluarkan usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan KPI Pusat, Senin, 30 Januari 2017.

“Kita akan membahas rencana pengadaan sarana monitoring isi siaran KPI Pusat dengan terlebih dahulu membahasnya dengan Kementerian Kominfo dalam rapat kerja dengan Komisi I yang juga akan dihadiri KPI Pusat,” kata Meutya Hafid, pimpinan rapat dengar pendapat di ruang rapat Komisi I.

Namun begitu, Komisi I memberikan catatan kepada KPI Pusat untuk membuat program yang jelas, terukur dan menyeluruh serta perencanaan yang matang terkait pengadaan sarana monitoring isi siaran tersebut.

Terkait dukungan ke KPI Pusat, Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi PDI-P RudiantoTjen menilai memang sudah sepatutnya karena dengan dukungan tersebut KPI Pusat diharapkan dapat bekerja secara efisien dan efektif. “Saya mendukung peningkatan alat pemantauan KPI Pusat,” katanya.

Hal senada juga disampaikan Jazuli Juwaini, Anggota Komisi I DPR dari Fraksi PKS. Menurut Jazuli, tuntutan terhadap KPI  sangat besar dalam melakukan pengawasan isi siaran demi menciptkan siaran yang sehat dan bermanfaat. “Saya juga mendukung jika KPI memiliki anggaran mandiri,” paparnya.

Sementara itu, Anggota Komisi I dari Fraksi PPP, Dimyati Natakusumah mengharapkan peningkatan alat pemantauan KPI Pusat dapat disesuai dengan perkembangan zaman. Menurutnya, teknologi dari hari ke hari semakin canggih dan kondisi itu harus diperhatikan KPI Pusat. “Saya dukung KPI Pusat memiliki alat pemantauan yang modern,” tambahnya.

Selain mendukung langkah peningkatan peralatan pengawasan isi siaran, Komisi I juga mendesak KPI Pusat untuk mengoptimalkan pengawasan terhadap pemberitaan dan siaran iklan politik terkait dengan pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak. KPI Pusat juga diminta bersikap tegas dalam memberikan teguran dan sanksi kepada lembaga penyiaran yang melakukan pelanggaran.

Hal lain yang diminta Komisi I dalam rekomendasinya antara lain KPI Pusat harus melaporkan hasil evaluasi pengawasan isi siaran setiap tiga bulan kepada Komisi I DPR RI.

Di awal rapat, Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyampaikan laporan pertanggungjawaban kinerja KPI Pusat tahun 2016. Andre yang didampingi Wakil Ketua KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin serta Komisioner KPI Pusat Ubaidillah, Nuning Rodiyah, Hardly Stefano, Mayong Suryo Laksono, Dewi Setyarini dan Agung Suprio, menyampaikan rencana kerja lembaga untuk tahun 2017. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memberikan peringatan kepada 3 (tiga) stasiun televisi yang berpotensi Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012. Peringatan tersebut diberikan kepada MNC TV, I-News TV dan RCTI,  karena KPI menilai dalam pemberitaan yang ditayangkan tentang pasangan calon gubernur DKI Jakarta menyajikan informasi yang cenderung tidak berimbang.  Koordinator Gugur Tugas Pengawasan dan Pemantauan Pemberitaan dan Iklan Pilkada 2017, Nuning Rodiyah menjelaskan hal tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi I DPR RI, (30/1).

Nuning menjelaskan, peringatan yang dikeluarkan KPI ini merupakan sebuah early warning bagi lembaga penyiaran agar lebih berhati-hati dan memperhatikan kualitas tayangannya. “Ada potensi pelanggaran SPS KPI 2012 pasal 40 huruf a terkait kewajiban program siaran jurnalistik untuk mempertahankan prinsip-prinsip jurnalistik yakni berimbang dan tidak berpihak”, ujarnya.

Dalam RDP tersebut, Nuning juga menjelaskan bahwa selain ketiga stasiun televisi ini, ada dua stasiun televisi lain yang mendapatkan teguran dan peringatan. “KPI DKI Jakarta memberikan teguran dan peringatan dua stasiun televisi lain sehubungan dengan penayangan iklan partai politik di luar masa kampanye”, ungkapnya.

Dalam rangka mengintensifkan pengawasan penyiaran, pemberitaan, dan iklan kampanye Pilkada 2017 pada lembaga penyiaran, KPI menjalin kerjasama dengan Komisi Pemilhan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Koordinasi antar tiga lembaga tersebut dilakukan dengan rutin, termasuk salah satunya dengan melakukan rapat koordinasi untuk pelaksanaan teknis pengawasan dan pemantauan pemberitaan, penyiaran dan iklan kampanye, serta membahas temuan-temuan pelanggaran, yang berlangsung hari ini (31/2). KPI memastikan bahwa selama ini sudah cukup berhati-hati dalam mengambil keputuan, apalagi terhadap tayangan jurnalistik yang merupakan wilayah dengan aturan dan hukum yang khusus (lex specialis). Mekanisme lahirnya peringatan KPI telah melalui berbagai tahapan, dari temuan, rapat internal, sampai rapat pleno komisioner.

Jakarta – Industri penyiaran televisi saat ini cenderung memilih membeli program siaran asing ketimbang produksi lokal. Penyebabnya sudah jadi rahasia umum yakni harganya murah. Padahal, hal itu akan mengakibatkan kreativitas dan perkembangan industri konten dalam negeri menjadi stagnan alias diam di tempat.

Terkait kondisi tersebut, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis, menilai hal itu sangat dipengaruhi oleh aspek finansial bisnis penyiaran yakni meraih untung bagi usahanya. Memang sangat dimaklumi, tapi ini tidak boleh dibiarkan karena akan mempengaruhi kreatifitas dan industri konten di dalam negeri. “Kreativitas sumber daya manusia kita jadi tidak dimanfaatkan dan berkurang,” katanya di depan peserta diskusi publik bertemakan Urgensi Tata Kelola Perindustrian Nasional yang diselenggarakan Celgor di Restoran Handayani, Jumat, 27 Januari 2017.

Andre mengungkapkan produksi satu episode program siaran lokal bisa menelan biaya hingga 400 jutaan, sedangkan jika membeli program asing hanya 100 juta per episode. Perbandingannya sangat jauh sekali dan tentunya dari segi bisnis memang lebih menguntungkan beli dari luar negeri. “Kondisi ini semakin diperparah dengan rendahnya kualitas konten kita. Banyak program diproduksi tetapi isinya tidak mengandung nilai edukasi dan membawa pesan moral. Pasti ada yang salah dengan hal itu,” kata Ketua KPI Pusat.

Selain itu, lanjut Andre, rating televisi dinilainya ikut mempengaruhi perkembangan konten dalam negeri. Karena berpatokan hanya kepada hasil survey satu lembaga rating, kebanyakan program televisi jadi seragam. Padahal kondisi ini tidak sesuai harapan KPI yakni menciptakan konten siaran beragam dengan isi yang berkualitas.

Di Korea Selatan, kata Andre, produksi sebuah program siaran memiliki batasan meskipun program tersebut laku dipasaran. Batasan itu dinilai Andre sangat baik untuk memberikan ruang ide dan kreativitas untuk menciptakan program siaran baru. “Berbeda dengan kita, kalau program tersebut masih tinggi ratingnya akan terus diproduksi bila perlu hingga ribuan episode,” jelasnya.

Menurut Andre, harus ada langkah solutif untuk menata ulang tata niaga industri penyiaran kita supaya lebih baik dan sehat. Tata niaga yang sehat akan berimplikasi dengan konten siaran dan juga sumber daya manusianya. “Industri ini harus ada blueprint yang baik. Jangan hanya serba diadakan. Kita harus juga memikirkan hak masyarakat yakni mendapatkan informasi dan hiburan yang baik, edukatif dan sehat,” paparnya. ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.