Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) melakukan uji coba pelaksanaan proses pelayanan izin penyelenggaraan penyiaran secara elektronik. Uji coba dilakukan di kantor Direktorat Penyiaran Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika (Dirjen PPI) Kemkominfo dengan melibatkan KPI Pusat, KPI DKI Jakarta dan instansi terkait lainnya, (24/1). 

Komisioner KPI Pusat, Koordinator bidang pengelolaan struktur dan sistem penyiaran, Agung Suprio mengatakan bahwa proses perizinan secara elektronik diharapkan dapat mengoptimalkan pelayanan kepada publik. “Serta memberikan kepastian usaha bagi pelaku bisnis di industri penyiaran”, ujar Agung.

Dalam uji coba tersebut, diketahui bahwa proses perizinan secara elektronik ini meliputi proses permohonan, pembayaran, pengawasan, serta pelaporan dan evaluasi. Sistem ini sendiri, tentunya akan terintegrasi dengan data base dari institusi terkait, seperti Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kemkominfo dan KPI Pusat.

Agung menegaskan bahwa penggunaan teknologi informasi dalam pelayanan perizinan, selaras dengan Peraturan Menteri Kominfo no 18 yang akan disosialisasikan Februari mendatang. Kemkominfo sendiri menjelaskan bahwa seluruh lembaga penyiaran akan diberikan surat edaran untuk melakukan pemutakhiran data, baik untuk LP yang sudah mendapatkan IPP ataupun yang sedang mengurus IPP. Diharapkan dengan terintegrasinya data base pelayanan perizinan lewat e-licensing, akan menghindari bertemunya para pemohon izin dan pengelola layanan izin penyiaran. Sehingga diharapkan dapat mewujudkan tata kelola pelayanan masyarakat yang bersih dan transparan untuk penyelenggaraan penyiaran ke depan.

 

Jakarta - Proses revisi Undang-Undang Penyiaran saat ini telah menjadi perhatian publik, diantaranya adalah Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Jakarta yang menyelenggarakan diskusi terkait hal tersebut pada 21 Januari lalu.  Hardly Stefano Pariela, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Koordinator bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan tentang perlunya penguatan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sebagai wujud peran serta masyarakat dalam pengawasan penyiaran.

Hardly menilai, dalam draf RUU Penyiaran per 7 Desember 2016, sebenarnya dapat dilihat adanya usaha memberikan penguatan kewenangan pada KPI. Namun demikian, ada kewenangan lain yang dipangkas dari KPI, yakni penanganan proses perizinan. “Dalam draft ini proses perizinan diserahkan sepenuhnya kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika”, ujarnya. Padahal, menurutnya, KPI seyogyanya tetap diberikan kewenangan dalam proses perizinan.

Hal lain yang menurut Hardly patut diapresiasi dalam draft RUU ini adalah kewajiban penayangan konten lokal sebesar 20 persen. “Kalau bicara ke-Indonesiaan hari ini, konten lokal memang harus ditingkatkan, mengingat isi siaran televisi saat ini sangat Jakarta sentris”, ujarnya. Jika televisi dinilai sebagai produsen budaya, tentunya konten lokal harus dioptimalkan kehadirannya di layar kaca. Selain itu, Hardly juga berharap, dengan hadirnya konten lokal, lembaga pemeringkatan siaran televisi ikut menghitung nilai ratingnya. “Sehingga, secara bisnis konten lokal juga dapat dijual pada pengiklan”, paparnya.

Namun usulan peningkatan  jumlah konten lokal justru mendapat penolakan dari Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI).  Ketua Umum ATVSI, Ishadi SK, yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut mengaku keberatan dengan kewajiban penayangan konten lokal sebanyak 20% sehari. Menurut Ishadi,  ATVS berpendapat konten lokal tetap dibatasi hanya 10% dari jam siaran. Pertimbangannya, industri televisi membutuhkan tambahan peralatan, tenaga professional dan konten yang memenuhi syarat di 50 lokasi di setiap stasiun siaran. “Tentu saja hal ini menyebabkan munculnya additional cost yang sangat besar”, ujar Ishadi.

Catatan lain dari ATVSI atas draft Revisi Undang-Undang adalah tentang kewajiban Universal Service Obligation (USO) sebesar 1,75% dari pendapatan kotor per tahun. Hal ini, papar Ishadi, seyogyanya ditolak karena bertentangan dengan sifat hakikat penyiaran free to air. “Stasiun televisi (FTA) tidak memungut biaya jasa apapun kepada penonton televisi”, ujarnya. Bahkan selama ini setiap stasiun penyiaran sudah dibebani  dengan BHP dan IPP yang besarannya rata-rata lima miliar per tahun. ATVSI menilai haruslah dibedakan antara jasa telekomunikasi dan jasa penyiaran. Beban tambahan untuk USO ini tentu sangat memberatnya  industri penyiaran yang ada.

Sementara itu, dari Asosiasi Televisi Siaran Digital Indonesia (ATSDI), Eris Munandar memberikan tiga catatan penting atas drat Revisi Undang-Undang ini. Secara tegas ATSDI mendukung pilihan single multiplekser dalam pelaksanaan digitalisasi penyiaran ke depan. “Asosiasi selalu minta mux diselenggarakan oleh TVRI”, ujar Eris. Tentunya dengan catatan adanya support anggaran untuk pembangunan infrastruktur digital yang dilakukan TVRI. Eris juga mengharapkan adanya Analog Switch Off (ASO) yang jelas waktunya. “Tanggal, bulan dan Tahun dilaksanakannya ASO harus jelas, dan ditetapkan oleh Undang-Undang”, ujar Eris. Sehingga masyarakat dapat mempersiapkan diri, dan industri pun mulai menghitung mundur dalam menyambut digitalisasi.

Sebagai penutup, Hardly menegaskan bahwa KPI mendukung industri penyiaran untuk tetap berkembang dan mendapatkan keuntungan, namun dengan tetap memperhatikan kualitas isi siaran. Industri harus menyadari tanggung jawab yang diembannya, sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Hardly juga meminta masyarakat terus mengawal proses revisi Undang-Undang Penyiaran yang tengah dibahas Komisi I DPR RI saat ini, untuk memastikan regulasi yang dihasilkan tersebut dapat memberikan manfaat yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat.

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mendukung langkah dan sikap Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) terkait gerakan anti hoax. Dukungan tersebut disampaikan Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis saat menghadiri acara Simposium Nasional “Stop Impunitas Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis” di Hotel Novotel, Gajah Mada, Jakarta, Jumat, 20 Januari 2017.

Menurut Yuliandre, maraknya informasi hoax atau tidak benar yang beredar di media sosial sangat membahayakan sendi-sendi kebangsaan karena dikhawatirkan akan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. “Kami sangat mendukung deklarasi ini. Kita harapkan pula masyarakat untuk lebih cerdas memilih dan menyeleksi serta menelusuri informasi yang beredar di media social,” katanya.

Sementara itu, Menkominfo Rudiantara juga mengajak semua jurnalis TV untuk memerangi hoax. "Masalah hoax tidak akan selesai dengan pemblokiran. Saya mengajak semua untuk tidak meramaikan hoax. Apabila ingin mengetahui suatu informasi haox atau tidak kita bisa periksa di www.turnbackhoax.id." jelas Menteri di tempat yan sama.

Deklarasi Anti hoax ini kemudian dibacakan IJTI dan KPI bersama-sama perwakilan dari TNI, Polri, Pemerintah, Dewan Pers dan Masyarakat.

Berikut isi deklarasi yang dibacakan secara bersama:

1. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat merupakan pengejawantahan dari hak asasi manusia yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945.
2. Kebebasan pers dan kebebasan berpendapat memiliki batas-batas moral, etik dan hukum.
3. Kebebasan pers ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat yang harus terus dijaga dan dirawat.
4. Fabrikasi informasi bohong atau hoax yang kemudian disebarkan melalui media sosial atau media abal-abal, bukan bagian dari aktivitas jurnalistik dan produknya bukan merupakan produk jurnalistik.
5. Kami akan aktif mencegah penyebaran hoax melalui media pers dengan senantiasa mengedepankan profesionalitas dan ketaatan terhadap prinsip, standar dan etika jurnalistik saat menjalankan aktivitas jurnalistik.
6. Kami akan aktif mencegah penyebaran hoax di masyarakat dengan senantiasa melakukan cek, cross check dan bersikap bijak sebelum melakukan share, broadcast atau memberikan komentar saat beraktivitas di media sosial.
7. Kami akan aktif mencegah penyebaran hoax di masyarakat dengan turut serta mencari dan menyebarkan kebenaran dari sebuah informasi yang telah diputarbalikkan oleh pembuat hoax.

Jakarta – Jurnalis adalah garda terdepan dalam ruang edukasi untuk publik. Jurnalis pun harus bisa menjadi penyeimbang semua informasi yang diterima masyakarat. Demikian disampaikan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Yuliandre Darwis di depan peserta Simposium Nasional bertemakan “Stop Impunitas Pelaku Kekerasan Terhadap Jurnalis” yang diselenggarakan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) di Hotel Novotel, Jakarta Pusat, Jumat, 20 Januari 2017.

Karena itu, kata Andre, posisi jurnalis harus dilindungi dalam menjalankan tugasnya. Semua pihak yang terkait langsung maupun tidak dengan para jurnalis pun harus saling mendukung dan menguatkan. Hal ini sangat penting agar jurnalis bisa menjalankan tugasnya dengan rasa aman dan tanpa tekanan.

“KPI mendukung perlindungan jurnalis dalam menjalankan tugasnya. Kegiatan jurnalistik dan penyiaran itu tidak dapat dipisahkan karena berjalan beriringan serta saling beririsan,” tambahnya.

Selain itu, KPI juga mendorong peningkatan kesejahteraan jurnalis khususnya di lembaga penyiaran. Kesejahteraan jurnalis ini sangat penting karena akan menguatkan idealisme ketika tugas di lapangan. Adanya peningkatan kesejahteraan jurnalis juga menjadi catatan bagi KPI dalam evaluasi tahunan terhadap lembaga penyiaran. “Kami sangat mendukung peningkatan kesejahteraan ini,” tegasnya yang disambut tepuk tangan meriah dari peserta simposium yang sebagian besar jurnalis TV.

Ketua IJTI Yadi Hendriyana, dalam sambutannya mengatakan, berita atau informasi bukan hanya sekedar menyampaikan fakta tapi lebih dari itu yakni bagaimana berita harus dilihat dari dampak setelahnya. “Karena itu, mari kita sisipkan sisi-sisi positif dari produk jurnalistik tersebut,” katanya.

Menkominfo Rudiantara pun tak ketinggalan meminta jurnalis untuk professional dalam menjalankan tugasnya. Karenanya, Rudi berharap adanya sertifikat laik melalui uji kompetensi bagi jurnalis khususnya televisi supaya bisa prefesional dalam proses jurnalistiknya.

Selain itu, kata Rudi, tantangan jurnalis akan semakin berat karena ada media sosial. "Ada jurnalis TV yang jadikan informasi di medsos sebagai bahan berita. Kemudian dari TV dilempar lagi ke medsos. Saya minta agar jurnalis bisa lebih baik dalam melihat apa yang bisa diangkat jadi berita." tambahnya.

Rudiantara juga mengajak para jurnalis yang tergabung dalam Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) mempersiapkan apa yang menjadi concern terkait UU Penyiaran. "Tahun ini kita akan membahas revisi UU Penyiaran. Mari beri masukan  klausul yang berkaitan dengan jurnalisme di TV, penyiaran dan radio. Ini yang harus disiapkan IJTI apa yang menjadi concern agar bisa dibawa ke DPR atau pemerintah." jelasnya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosef Adi Prasetyo menyamakan tugas jurnalis atau wartawan itu sebagai tugas negara dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Karena itu, dia berharap jurnalis dapat menjalankan profesinya dengan baik, beretika serta menjaga perilakunya. ***

Jakarta – Minimnya siaran nasional dan melubernya siaran asing di kawasan perbatasan negara membunyikan alarm kita betapa longgarnya sisi luar negara ini. Ancaman terhadap keutuhan bangsa dan intergasi nasional mengintai diam-diam.

Komisioner KPI Pusat Agung Suprio membenarkan jika kebanyakan masyarakat di wilayah batas terutama dengan negara Malaysia lebih banyak mendapatkan infromasi dari negeri tetangga. Hal ini sangat beralasan karena akses siaran nasional di wilayah batas negara sangat sedikit dan cenderung tidak ada.

Menurut Agung, kondisi ini tidak boleh dibiarkan. Harus ada langkah konkrit untuk menyaingi luberan siaran asing. “Luberan siaran dari negara lain tidak bisa ditolak dan memang tidak ada larangan. Satu-satunya jalan adalah dengan membanjiri kawasan di perbatasan dengan siaran nasional,” katanya di sela-sela acara pembahasan siaran televisi di kawasan perbatasan negara yang diadakan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Kamis, 19 Januari 2017..

Agung mengingatkan kebutuhan penyiaran di kawasan perbatasan sangat erat hubungan dengan rasa nasionalisme. Kehadiran siaran nasional yang kreatif dan edukatif di wilayah batas negara akan membangun rasa kebanggaan berbangsa Indonesia. Kebanggaan ini akan memupuk rasa nasionalisme dalam jiwa warga perbatasan. “Penyiaran juga akan menumbuhkan tingkat ekonomi di kawasan perbatasan,” tambahnya.

Kebutuhan akan siaran adalah hak setiap warga negara yang dijamin Undang-undang. Terkait hal ini, kata Agung, adalah tanggungjawab negara untuk menyediakan kebutuhan tersebut dengan opsi mengembangkan siaran TVRI di wilayah perbatasan. “Adalah hak dari TVRI untuk memberikan siaran gratis kepada warga negara Indonesia karena TVRI di biayai negara,” katanya.

Sementara itu, Plt Deputi Bidang Pengelolaan Potensi Kawasan Perbatasan, H. Boytenjuri mengatakan, untuk membangun kawasan perbatasan itu membutuhkan misi dan visi yang kuat. Selain itu, perlu juga strategi pendekatan yang intens untuk mencapai tujuan di kawasan itu. “Saat ini, pengelolaan kawasan perbatasan termasuk penyiaran menjadi kewenangan pusat. Hal ini dikarenakan daerah masih memiliki keterbatasan kemampuan untuk membangun penyiaran di wilayah perbatasan,” jelasnya.

Boytenjuri juga setuju jika TVRI menjadi garda terdepan siaran untuk masyarakat perbatasan. Untuk itu, TVRI harus juga didukung kebijakan-kebijakan yang menguatkan agar proses siaran di kawasan perbatasan lancar.

Dalam kesempatan itu, Boytenjuri mengharapkan adanya dukungan kementerian dan lembaga terhadap penyiaran. Dukungan ini berupa penyediaan anggaran untuk pengembangan di kawasan tersebut tidak masuk dalam paket penghematan. “Jika ada penghematan jangan diambil dari kawasan perbatasan,” katanya.  ***

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.