Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan focus grup diskusi (FGD) bertemakan “Siaran Langsung Persidangan” Jumat Sore, 9 Desember 2016, di kantor KPI Pusat. FGD ini mengundang seluruh pimpinan redaksi lembaga penyiaran terutama televisi yang bersiaran nasional.

FGD ini turut menghadirkan lembaga dan stakeholder terkait antara lain Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, perwakilan dari Komisi Yudisial, Komisi Informasi, Dewan Pers, Polri, Kejaksaan Negeri, Pengadilan Negeri, Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, dan sejumlah Pakar Hukum.

FGD yang berlangsung hangat dan dinamis itu membahas rencana persidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang akan digelar Selasa, 13 Desember 2016. ***

Jakarta – Persidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) pada 13 Desember 2016 nanti bakalan menyedot perhatian besar publik negeri ini. Pun demikian dengan kalangan media massa khususnya media penyiaran. Proses persidanganyang akan jalani Gubernur DKI non aktif pada hari Selasa pekan depan itu langsung disikapi Dewan Pers dengan menginisiasi acara diskusi terbuka bertemakan “Etika, Live Report Persidangan Ahok”, Jumat, 9 Desember 2016 di kantor Dewan Pers.

Diskusi yang diiikuti perwakilan media massa termasuk Pemimpin Redaksi dan perwakilan stasiun televisi berita serta yang berjaringan nasional menghadirkan narasumber Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo serta Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis.

Mengawali diskusi, sebelum kedua narasumber berbicara, moderator diskusi Imam Wahyudi meminta Prof. Bagir Manan memberikan masukan terkait rencana persidangan Ahok dan seputar peliputannya. Menurutnya, dalam menghadapi kasus ini sangat penting kalangan Pers mengedepankan prinsip-prinsip akal sehat. 

Karena itu, Bagir yang juga mantan Ketua Dewan Pers ini mengimbau agar pers menampilkan common sense dan mengedepankan wisdom dalam menyikapi kasus Ahok, terutama jelang pengadilan Ahok nanti.

Bagir juga mengatakan, hampir tidak ada siaran langsung dalam persidangan yang dilakukan di negara lain, baik itu negara bebas maupun tertutup. "Tradisi di negara yang bebas sekalipun apalagi negara yang tertutup, mereka tidak membiasakan adanya live untuk persidangan pengadilan," jelas Bagir.

Tidak disiarkannya persidangan, menurut Bagir, lantaran dinilai bisa mempengaruhi kebebasan hakim dalam melakukan tugasnya. "Karena mereka takut melanggar, dengan adanya siaran publik itu akan mempengaruhi kebebasan hakim," kata Bagir.

Bagir menegaskan, hakim memiliki kebebasan yang sangat absolut untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.

Selain itu, siaran langsung persidangan juga memiliki dampak negatif lainnya yakni bisa membuat terdakwa menjadi tidak fokus. Jika terdakwa tidak fokus dalam persidangan, hal tersebut bisa menjadi 'blunder' dan pada akhirnya menyusahkan dirinya sendiri. "Jangan sampai si terdakwa misalnya karena siaran langsung, dia menjadi sangat terpengaruh sehingga jawaban-jawabannya dapat menyusahkan dirinya sendiri," imbuh Bagir.

Bagir pun mengimbau agar pers berlaku bijaksana dan mengedepankan kepentingan sosial dalam peliputan kasus Ahok di persidangan nanti. Jangan sampai tekanan publik mempengaruhi jalannya persidangan, karena sangat melanggar kebebasan hakim dalam menegakkan hukum.

Sementara itu, Ketua Dewan Pers, Yoseph Adi Prasetyo mengingatkan menenai potensi dan resiko dari penyiaraan secara langsung persidangan kasus Basuki Tjahaja Purnama. Karenanya, Stanley, panggilan akrabnya, meminta media mempertimbangkan secara serius dampak sidang live. Sidang live berpotensi menimbulkan hal-hal negatif yang akan mengganggu ketertiban umum.

Karena itu, kata Stanley, perlu ada pembatasan agar potensi itu tak terjadi. Pihaknya menegaskan bahwa kepentingan umum atau publik harus lebih diutamakan agar persatuan sebagai bangsa tidak koyak.
 
Stanley juga sependapat dengan Bagir bahwa pada dasarnya akses siaran langsung sidang pengadilan harus dibatasi sebagaimana dilakukan di banyak negara. Ia mengambil contoh siaran langsung kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin. Dia menilai siaran lansung sidang terdakwa Jessica itu berlebihan dalam membangun framing serta opini yang justru menjadi pengadilan di luar pengadilan. Framing dilakukan melalui talkshow atau diskusi para ahli dan pengamat di luar persidangan.

Sementara itu, sebagian besar perwakilan media setuju dan berkomitmen untuk tidak menyiarkan jalannya persidangan secara langsung. Mereka juga menkhawatirkan siaran live memungkinkan terjadinya pengadilan oleh pendapat umum. Selain itu, siaran semacam itu juga berpotensi memicu potensi konflik di kalangan masyarakat, terutama di antara pengikut tokoh yang akan dihadirkan sebagai saksi atau ahli.

Terkait hal itu, Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyambut baik komitmen yang disampaikan perwakilan media soal peliputan persidangan Ahok. Menurutnya, semangat itu sudah sama dengan pihaknya yakni mengedepankan keutuhan NKRI dan persatuan kesatuan bangsa ini. ***

Bandung - Kesenjangan antara hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan rating televisi harus dijembatani dengan membangun kesadaran kolektif akan pentingnya kehadiran program siaran yang berkualitas di tengah masyarakat. Hal tersebut terungkap dalam Diseminasi Hasil Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang mengangkat topik diskusi: Optimalisasi Hasil Survey dalam Menjaga Kelangsungan Program Siaran yang Sehat, (30/11).

Hery Margono dari Dewan Periklanan Indonesia (DPI) menyarankan agar KPI mulai melakukan gerakan penyadaran tersebut di tengah masyarakat dan pemangku kepentingan penyiaran. Literasi media untuk masyarakat dan untuk pengelola industri penyiaran juga menjadi sebuah jalan keluar.

Hery menilai, jika sudah muncul kesadaran kolektif tersebut, semua pihak harus diajak memberikan kontribusi bersama dalam mewujudkan program siaran yang berkualitas ini. “KPI dapat melakukan roadshow ke perusahaan-perusahaan pengiklan baik itu APPINA, P3I dan lainnya, untuk memastikan pihak pengiklan pun memberi kontribusi positif untuk keberlangsungan program siaran yang baik”, ujarnya. Hery juga memaparkan perbedaan yang didapat dari hasil survey yang dilakukan KPI dengan data pemeringkatan program siaran televisi yang selama ini menjadi acuan dari industri televisi.

Dalam kesempatan tersebut, Irfan Wahid Ketua Pokja Industri Kreatif Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) turut hadir menjadi pembicara. Sebagai praktisi yang berpengalaman bertahun-tahun di industri kreatif, Irfan menjelaskan logika produksi program di televisi. Dirinya menyadari bahwa yang dibutuhkan oleh audiens atau penonton adalah program siaran yang informatif, edukatif namun juga menghibur. Karenanya, untuk mendapatkan kombinasi tiga hal tersebut, Irfan menilai pemerintah harus tegas dalam menjalankan regulasi. “Dunia kreatif tidak akan pernah terbatasi dengan ketat atau tidaknya aturan. Itu tidak ada hubungannya!” tegas Irfan.

Selain meminta penegakan aturan secara tegas, Irfan juga memaparkan tantangan pemerintah dalam meregulasi industri kreatif ke depan, termasuk perkembangan digitalisasi dan konvergensi media. Setidaknya ada empat hal yang harus diperhatikan, ujar Irfan. “Yakni, proteksi, regulasi, edukasi dan sosialisasi,” ujarnya.  Tuntutan hadirnya program siaran yang berkualitas, menurutnya, harus diiringi dengan penegakan regulasi secara tegas serta proses edukasi masyarakat dalam mengkonsumsi konten siaran tersebut.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat Koordinator bidang Kelembagaan Prof Obsatar Sinaga menyampaikan tentang peran strategis KPI sebagai regulator dalam menjaga keberlangsungan program siaran yang sehat. Obsatar menjelaskan tentang survey yang selama ini sudah dilakukan oleh KPI di tengah masyarakat di 12 (dua belas) kota besar di Indonesia. Menurut Obsatar, ada tiga faktor yang mempengaruhi kehadiran program siaran berkualitas di tengah masyarakat. Yakni faktor regulasi, produksi dan konsumsi. Obsatar menjelaskan bahwa regulasi yang tepat dalam pengelolaan penyiaran, harus didukung dengan kesadaran yang benar akan produksi program siaran yang baik. “Harus ada komitmen yang kuat dari pekerja di industri penyiaran untuk bekerja professional dan selaras dengan kepentingan bangsa ini”, ujarnya. Sedangkan dari sisi konsumsi, Obsatar melihat bahwa masyarakat sebagai pengguna akhir dari produk-produk penyiaran juga harus mampu dan mau bersuara ketika layar kaca sudah tidak layak lagi menjadi tontonan ataupun tuntunan. Jika masyarakat juga mau tegas menolak program-program berkualitas rendah, tentu dengan sendirinya terjadi perubahan pada selera masyarakat yang kemudian memaksa stasiun televisi untuk tidak lagi memproduksi dan pengiklan untuk tidak lagi menjadi sponsor program-program tersebut.

Morotai - Hak informasi masyarakat di wilayah perbatasan harus terus diperjuangkan, sekalipun berbagai kendala yang kerap kali ditemui diantaranya jarak tempuh yang panjang untuk mencapai kawasan perbatasan. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memiliki tugas dan kewenangan untuk menjamin masyarakat memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Dalam kesempatan kunjungan ke Pulau Morotai, Maluku Utara, Komisioner KPI Pusat koodinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran (PS2P) Agung Suprio, mendapati stasiun televisi yang tidak lagi beroperasi dan berfungsi di sana. Padahal, masyarakat di Morotai juga membutuhkan keberadaa stasiun-stasiun televisi, tidak saja untuk mendapatkan informasi namun juga mengabarkan kepada dunia tentang Pulau Morotai.

Bertempat di wilayah paling utara dari provinsi Maluku Utara, penduduk di Pulau Morotai kerap mendapatkan siaran radio dari negara tetangga yang berada di Pulau Zulu, Filipina. Agung menjelaskan, kondisi Morotai ini mirip dengan Pulau Sangihe di Sulawesi Utara yang menerima luberan siaran asing dari lembaga penyiaran di Filipina. “Ada radio-radio tertentu yang mendapat siaran radio Filipina yang luber di frekuensi Indonesia”, ujar Agung.

Perjalanan di wilayah perbatasan, Pulau Morotai ini adalah yang pertama kali dilakukan oleh KPI Pusat. “Televisi free to air tidak terjangkau di Morotai”, ujar Agung.  Wilayah terdekat yang terjangkau oleh televisi teresterial adalah Ternate, ibukota provinsi Maluku Utara. Agung menjelaskan bahwa masyarakat di Pulau ini memenuhi kebutuhan informasi dengan berlangganan TV kabel atau menggunakan satelit. “Padahal lembaga penyiaran berlangganan yang resmi hanya satu”, tambah Agung.

KPI sendiri memiliki kepentingan untuk memastikan hak-hak informasi masyarakat di  Pulau Morotai terpenuhi. Penggunaan satelit dan TV kabel yang tidak resmi sebenarnya bukanlah solusi untuk masyarakat di sana. “Muatan siaran yang dipancarkan lewat satelit, banyak yang bertentangan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran”, ujar Agung. Belum lagi keberadaan TV kabel yang illegal yang tentu saja berada di luar jangkauan KPI untuk mengawasinya.

Untuk itu, KPI mengharapkan peran pemerintah melalui Badan Nasional Pengelolaan Perbatasan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memfasilitasi pengadaan menara-menara pemancar bagi stasiun televisi. Hal ini, ujar Agung, diharapkan dapat membantu lembaga-lembaga penyiaran untuk beroperasi di Pulau Morotai, tanpa dibebani kewajiban membangun menara pemancar sendiri. Selain itu, Agung menyampaikan adanya ide mengikutsertakan personil Tentara Nasional Indonesia (TNI) di perbatasan dalam hal pengelolaan penyiaran.

Selain itu, Agung juga mengharapkan adanya revitalisasi bagi lembaga penyiaran publik yang sudah ada sebelumnya di pulau tersebut. Dirinya melihat, sinergi antara lembaga penyiaran swasta dan LPP di Pulau Morotai, akan menguatkan jiwa nasionalisme masyarakat di daerah perbatasan. “Tentunya dengan muatan program siaran yang selaras dengan tujuan diselenggarakannya penyiaran seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang”, pungkasnya.

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengapresiasi peningkatan indeks kualitas pada program infotainment dalam Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode ke-4 yang dilakukan KPI bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI). Jika melihat pergerakan indeks dari survei periode pertama, kategori program infotainment terus mengalami peningkatan nilai indeks dari 2.52 menjadi 3.08 pada periode 4. Namun demikian nilai indeks yang dicapai masih belum memenuhi standar kualitas yang ditetapkan KPI, untuk aspek penghormatan terhadap kehidupan pribadi.

Pada survey periode ke-empat ini, program yang mendapat nilai indeks paling rendah adalah sinetron yakni sebesar 2,96.  Sedangkan nilai tertinggi adalah wisata budaya yakni sebesar 4,15. Namun secara keseluruhan dari sembilan kategori program yang ada, baru program wisata budaya yang mencapai nilai standar kualitas dari KPI, yakni 4.

KPI mencatat ada beberapa aspek kualitas program siaran televisi yang perlu mendapat perhatian. Untuk program berita, aspek independensi didapati terus menurun indeksnya  sejak survey periode 1 hingga periode 4. Catatan lainnya adalah pada program variety show, yang harus meningkatkan kualitas pada aspek kepekaan sosial.

Secara khusus, pada periode 4 ini panel ahli dan responden menilai 4 kategori program yang dianggap berkualitas dari lembaga penyiaran yaitu : Program Berita, Talkshow, Infotainment dan Sinetron. Hasil penilaian panel ahli dan responden untuk program berita tidak jauh berbeda, menempatkan program NET 16 (NET TV), Liputan 6 Pagi (SCTV) dan CNN Indonesia (Trans TV) dengan indeks kualitas tertinggi. Demikian pula halnya dengan program infotainment, panel ahli dan responden sepakat menilai program E-News (NET TV) dan Status Selebritis (SCTV) sebagai program infotainment dengan indeks tertinggi.

Untuk program talkshow yang paling banyak ditonton adalah program Hitam Putih (Trans 7). Bila dinilai dari kualitasnya, panel ahli menempatkan program Michael Chandra Luar Biasa (RTV) dengan indeks kualitas program talkshow tertinggi. Sedangkan penilaian responden menempatkan program Cerita Perempuan (Trans TV) dengan indeks kualitas tertinggi.   

Untuk program sinetron, program Malaikat Kecil dari India merupakan program sinetron yang paling banyak ditonton. Akan tetapi dinilai dari kualitasnya, panel ahli dan responden memberikan nilai indeks tertinggi untuk 3 program Kesempurnaan Cinta (NET TV), Cermin Kehidupan (Trans 7) dan Tukang Bubur Naik Haji (RCTI).

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis mengharapkan hasil survei ini akan menjadi pertimbangan dari stakeholder penyiaran, tidak saja Lembaga Penyiaran, tapi juga rumah-rumah produksi serta para pengiklan, untuk menghasilkan program televisi yang lebih berkualitas. Secara khusus, Yuliandre mengingatkan tentang program sinetron yang harus mendapatkan perbaikan secara substansial. “Fungsi-fungsi penyiaran tidak boleh hanya didominasi pada aspek hiburan belaka, seperti yang tercermin dalam program sinetron, infotainment, variety  show dan sebagainya. Namun juga fungsi informasi dan edukasi harus dapat hadir seimbang di layar kaca”, ujarnya.

Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi ini dilakukan di 12 (dua belas) perguruan tinggi di 12 (dua belas) provinsi. Adapun perguruan tinggi tersebut adalah, Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (Ambon).

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.