Denpasar-Dari hasil pantaun langsung oleh KPID Bali diketahui dalam satu bulan ada sejumlah lembaga penyiaran swasta dengan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) dalam program siaran muatan lokalnya 70% nya adalah mata acara yang di putar secara berulang-ulang. Diketahui pemutaran dilakukan secara berulang dalam waktu satu minggu hingga dua mingu sekali.

Tiga tahun terakhir, pemantauan program siaran muatan lokal rutin dilakukan oleh KPID Bali pada 13 stasiun televisi swasta SSJ. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah siaran muatan lokal pada televisi SSJ sudah dilakukan minimal 10% sesuai aturan bidang penyiaran. Stasiun televisi SSJ adalah stasiun televisi yang mengantongi Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP) berjaringan di daerah Bali sejak tahun 2012 dimana induk jaringannya ada di Jakarta yaitu : Global TV, Trans 7, Trans TV, TV One, Metro TV, RCTI, NET TV, SCTV, INDOSIAR, MNC TV, ANTV, KOMPAS Dewata dan I NEWS/BMC.

KPI secara nasional sejak tahun 2012 terus mendorong lembaga penyiaran televisi SSJ dapat memenuhi minimal 10 % kontens lokal. Untuk wilayah Bali dari hasil pemantauan menunjukan durasi siaran kontens lokal diketahui masih belum memenuhi ketentuan minimal 10% dari total jam siaran.

Data menunjukan pada triwulan pertama 2015 secara keseluruhan rata-rata tayangan kontens lokal masih dibawah 10% yaitu rata-rata 3,87 % dan pada triwulan pertama 2016 durasi kontens lokal jauh meningkat menjadi rata-rata 7,42 %.

Sementara dari hasil pantaun tiga bulan terakhir tahun 2016, bulan Juli persentase kontens lokal rata-rata 6,69%, bulan Agustus 6,95% dan bulan Oktober 7,23 %. Berdasarkan jam tayang kontens lokal tersebut ditayangkan tersebar pagi Pk. 06.00 wita hingga sore dan dini hari sekitar Pk. 02.56 Wita hingga pagi Pukul 05.55 Wita. Siaran Trisandya walau termasuk kontes lokal, namun dalam perhitungan ini tidak dimasukan karena sudah menjadi program siaran rutin.

Dari 13 stasiun SSJ yang dipantau hingga bulan September 2016 sebagian sudah ada yang mampu memenuhi kontens lokal minimal 10% yaitu pada bulan Juli ada 6 stasiun (40%), bulan Agustus 5 stasiun (33,33%) dan bulan September 5 stasiun (33,33%). Sementara dua stasiun TV yaitu; Bali TV dan TVR I BALI dalam perhitungan ini dipisahkan karena status ijin Bali TV adalah Lembaga Penyiaran Lokal dan TVRI Bali adalah Lembaga Penyiaran Publik. Kedua stasiun televisi tersebut sudah menayangkan kontens lokalnya diatas 10%.

Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran Ni Putu Suaryani berharap, kedepan durasi kontens lokal oleh stasiun TV SSJ dapat terus ditingkatkan, mulai minimal 10%, kami juga banyak menerima aduan kontens lokal di tayangkan secara berulang-ulang dan penyangan kontens lokal pada jam malam hingga subuh, ucap Suaryani.

Pemantauan isi siaran oleh KPID Bali dilakukan untuk mengetahui sejauh mana lembaga penyiaran SSJ melakanakan aturan bidang penyiaran yaitu wajib menayangkan minimal 10 % kontens lokal. Penayangan kontens lokal juga sejalan dengan mandat UU No. 32/2002 tentang Penyiaran yaitu pentinganya keragaman isi dalam program siaran (diversity of contens) –dalam hal ini termasuk muatan lokal.

Staf monitoring siaran KPID Bali Putu S. Mardawa mengatakan, data siaran muatan lokal tersebut belum di bedakan berdasarkan ruang lingkup dan penggolongan program siaran seperti ketentuan dalam Peraturan KPI No. 2/P/KPI/03/2012 tentang Standar Program Siaran, hal itu membutuhkan kajian yang lebih komprehensif lagi, terang Mardawa.

“Kendala kami saat monitoring adalah peralatan komputer yang sering eror, sehingga peralatan monitoring butuh perawatan rutin karena menyala 24 jam untuk memantau seluruh stasiun,”imbuhnya.

Seperti diketahui Ijin Penyelenggaran Penyiaran Televisi berlaku 10 tahun dan dapat diperpanjang. Terkait hal ini Ketua KPID Bali AA. Gede Rai Sahadewa mengatakan, dunia penyiaran sangat kompleks karena memadukan sisi kepentingan industri dan kepentingan publik, hal itu mengharuskan KPI melakukan monitoring isi siaran secara rutin. UU menyebutkan penilaian isi siaran terkait dengan aspek perizinan yaitu seperti yang tertuang dalam pasal 33 ayat 3 UU No. 32/2002 tentang Penyiaran yang menyebutkan; “Pemberian izin penyelenggaraan penyiaran berdasarkan minat, kepentingan dan kenyamanan publik”. Data ini hanya gambaran umum saja, tentu sangat terbuka untuk dikaji kembali, pungkas Sahadewa .

Jakarta - Diantara tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang disebutkan dalam regulasi adalah menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar sesuai dengan hak asasi manusia. Karenanya keberadaan juru bicara bahasa isyarat di televisi harus dikawal realisasinya, guna memenuhi hak-hak warga negara penyandang disabilitas, khususnya bisu dan tuli. Hal tersebut disampaikan oleh Komisoner KPI Pusat bidang kelembagaan, Ubaidillah, saat bertemu dengan perwakilan organisasi penyandang disabilitas bisu dan tuli, Pusat Layanan Juru Bicara Bahasa Isyarat (PLJ) dan Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), (19/10).

Dalam kesempatan tersebut Jumiati dari PLJ menyampaikan bahwa para penyandang disabilitas khususnya bisu dan tuli membutuhkan juru bicara bahasa isyarat pada beberapa program di televisi. Diantaranya adalah program berita, debat politik, komedi dan komedi. Dirinya menyampaikan kritik atas program berita di televisi yang muncul terlalu pagi atau terlalu malam. Padahal, ada beberapa stasiun televisi yang sempat menyediakan juru bicara bahasa isyarat untuk program berita, beberapa waktu lalu.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran, Dewi Setyarini mengapresiasi masukan dari kelompok masyarakat berkebutuhan khusus ini.  “Kami akan mendorong kalangan industri untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan juru bicara bahasa isyarat”, ujarnya. Bagaimana pun juga, Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) mengakomodir kehadiran bahasa isyarat untuk digunakan dalam mata acara tertentu untuk khalayak berkebutuhan khusus.

Bambang Prasetyo dari  Gerkatin menyampaikan bahwa penyandang disabilitas bisu tuli mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan informasi melalui media penyiaran. Dalam beberapa kesempatan organisasinya mendatangi beberapa lembaga penyiaran, namun tanggapan yang didapat justru mengatakan bahwa penyediaan juru bicara bahasa isyarat adalah kewajiban pemerintah.

Sedangkan catatan penting yang disampaikan oleh Jumiati adalah juru bicara bahasa isyarat harusnya disediakan pada program peringatan dini bencana. Jumiati memberikan contoh pada negara lain seperti Filipina dan Jepang yang memiliki problem bencana alam yang sama seperti Indonesia.  Ketersediaan juru bicara bahasa isyarat untuk program peringatan dini bencana ataupun pasca bencana akan meningkatkan keselamatan para penyandang disabilitas bisu dan tuli atas dampak yang timbul dari bencana.

Ubaidillah menegaskan, bahwa KPI sudah meminta komitmen dari 10 (sepuluh) lembaga penyiaran yang mengajukan perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) untuk menyediakan juru bicara bahasa isyarat guna memenuhi hak-hak masyarakat penyandang disabilitas. Karenanya Ubai berharap,  organisasi masyarakat penyandang disabilitas ikut memberikan rumusan tentang teknis penyediaan juru bicara tersebut. Termasuk diantaranya standarisasi penggunaan jenis bahasa isyarat yang disepakati oleh seluruh kelompok penyandang disabilitas bisu dan tuli.

Jakarta – Dunia pers dalam televisi saat ini sedang berada dalam kondisi yang menyedihkan dikarenakan seringnya terjadi pengabaian terhadap prinsip-prinsip jurnalistik. “Saya bisa katakan bahwa pers saat ini sedang sakit,” demikian dikatakan oleh Yosep Adi Prasetya, Ketua Dewan Pers dalam acara pembinaan tematik jurnalisik yang dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) untuk praktisi televisi dan radio, di kantor KPI (13/10).

Yosep yang arab dipanggil Stanley menyatakan bahwa salah satu prinsip jurnalistik yang kerap diabaikan dalam dunia pers saat ini adalah verifikasi. Jurnalis seringkali mengambil sumber berita dari akun media sosial tanpa melakukan verifikasi terhadap narasumber utama. Verifikasi informasi menurut Stanley adalah sebuah keharusan yang harus dilewati setiap jurnalis dalam menyajikan fakta-fakta di tengah masyarakat.

Sejalan, narasumber lainnya, Yadi Hendriyana, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI)  juga mengingatkan perlunya verifikasi. “Kita menghilangkan verifikasi, sehingga informasi di media tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, terutama kaitannya dengan media sosial,”ujarnya.  Padahal jurnalis selalu melakukan verifikasi, yang jika hal ini diabaikan jadinya adalah jurnalisme pengukuhan dan menghasilkan penyesatan.

Prinsip lainnya yang menjadi sorotan Stanley adalah keberimbangan dan netralitas. Terlebih saat ini sudah mendekati musim pemilihan Kepala Daerah, di mana media (elektronik) menjadi barometer utama bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi. Stanley mengingatkan kembali kepada para awak pemberitaan mengenai pentingnya penyajian informasi yang benar, serta melihat dampaknya bagi masyarakat. Keberimbangan bukan sekadar menyandingkan narasumber dari berbagai pihak, namun juga memastikan narasumber yang dimaksud tidak menyampaikan sesuatu yang provokatif.

Menurut Stanley, ada 3 (tiga) factor minimal yang harus dipenuhi dalam penayangan debat pro dan kontra secara langsung di televisi. Yakni, memiliki pemahaman Kode Etik Jurnalistik yang kuat, lama berkecimpung dalam dunia jurnalistik, dan memiliki kapasitas untuk menghentikan jika ada potensi pelanggaran Kode Etik Jurnalistik. “Ketiga hal itu tidak bisa ditutupi hanya dengan keberimbangan-ketidakberimbangan semata, karena dampak yang muncul sesudahnya sangat besar,” tuturnya.

Pertimbangan untuk kepentingan publik yang lebih luas dan menjaga suasana yang kondusif sudah seharusnya menjadi pegangan para jurnalis, produser, dan awak pemberitaan lainnya. Stanley memberikan contoh kasus persidangan Jessica yang ditayangkan secara langsung dengan durasi yang panjang. Menurutnya tayangan tersebut menabrak prinsip presumption of innocent dan trial by the press. Stanley tidak sepakat dengan pernyataan kalau tidak suka siaran Jessica, tinggal pindah channel. “Tidak boleh itu!” ujarnya. Karena frekuensi yang digunakan televisi untuk menyiarkan persidangan Jessica itu dipinjam dari publik.

Menanggapi persoalan independensi yang seringkali menjadi dilema, stanley menegaskan bahwa News Room harus netral dan bersih dari kepentingan pemilik. “Anda harus berani berkata tidak,” tegas Stanley menjawab audiens yang bertanya tentang bagaimana caranya bersih dari kepentingan sementara News Room adalah tempat di mana semua kepentingan berada.

Dalam pembinaan tersebut, hadir pula sebagai pembicara Komisioner KPI Pusat bidang Pengawasan Isi Siaran, Mayong Suryo Laksono dan Dewi Setyarini sebagai moderator. Mayong mengingatkan komitmen lembaga penyiaran dalam proses perpanjangan izin penyelenggaraan penyiaran yang ditandatangani oleh pemilik dan direktur utamanya, tentang netralitas dan independensi yang harus senantiasa ditegakkan. “Produk siaran jurnalistik adalah pembuat dan penentu selera masyarakat, tolong sisihkan waktu sejenak untuk menjadi orang lain yang “menikmati” produk Anda sendiri, sehingga Anda bisa merasakan menjadi pemirsa TV,” pungkas Mayong menutup acara.

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat memberi peringatan kepada RCTI, MNC TV, I-News TV dan Global TV terkait intensitas penayangan iklan “Partai Perindo” yang dinilai tidak wajar, Senin, 17 Oktober 2016.

Menurut penjelasan KPI Pusat dalam surat peringatannya ke empat stasiun televisi tersebut, tayangan iklan dengan muatan mars Partai Perindo berpotensi mengganggu kenyamanan publik akibat intensitas tayangnya yang berlebihan.

Selain itu, siaran iklan Partai Perindo tidak memperhatikan ketentuan tentang perlindungan kepentingan publik yang diatur dalam Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 dan SPS) KPI tahun 2012.

KPI Pusat juga menerima banyak aduan dari masyarakat perihal tayangan iklan Partai Perindo. Berdasarkan data pengaduan masyarakat yang KPI Pusat terima, siaran iklan Partai Perindo dinilai sangat sering ditayangkan.

Dalam empat surat peringatan itu, KPI Pusat menjelaskan bahwa peringatan yang dilayangkan merupakan bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

KPI Pusat berharap RCTI, Global TV, MNC TV dan I-News TV segera menindaklanjuti aduan masyarakat tersebut dan senantiasa menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam penayangan sebuah program siaran. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak pernah mengeluarkan surat larangan bagi lembaga penyiaran untuk menyiarkan liputan demonstrasi yang berlangsung kemarin (14/10) di Jakarta. Adapun surat yang disampaikan KPI kepada stasiun televisi TV One merupakan peringatan terhadap acara Indonesia Lawyers Club (ILC) dengan judul “Setelah Ahok Minta Maaf” yang tayang pada 11 Oktober 2016 pukul 19.30.

Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis mengatakan bahwa surat yang disampaikan KPI tersebut merupakan peringatan agar TV yang bersangkutan berhati-hati dalam membahas isu SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang berpotensi menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Untuk itu KPI meminta agar TV One tidak menyiarkan ulang (re-run) tayangan tersebut.

Yuliandre menegaskan bahwa KPI tetap obyektif dalam menilai seluruh tayangan yang hadir di televisi dan radio dengan bertindak sesuai pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) dan Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Diingatkan pula oleh Yuliandre, Undang-Undang Penyiaran menyebutkan bahwa penyiaran diselenggarakan dengan tujuan memperkukuh integrasi nasional dan penyiaran diarahkan salah satunya untuk menjaga dan mempererat persatuan dan kesatuan bangsa. Karenanya lembaga penyiaran tidak boleh menyampaikan muatan siaran yang mengarah pada adu domba, merusak integrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.