Jakarta - Wacana pengaturan dan pengawasan konten di internet harus mengutamakan kepentingan publik agar kemanfaatan didapat optimal dan ekses negatif dapat direduksi. Hal ini didasari dinamika penggunaan media saat ini di Indonesia yang sudah mencapai 204,7 juta atau setara 73% populasi masyarakat. Data terbaru dari Kantar Research menunjukkan satu dari tiga orang Indonesia menonton platform Over The Top (OTT) Streaming. Kenaikan pengguna OTT Streaming ini dikarenakan fleksibilitas akses informasi dan hiburan, baik dalam penggunaan device, pemilihan waktu akses ataupun kesempatan akses bersamaan dengan aktivitas lain.  

Hal ini disampaikan Hardly Stefano Pariela, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan saat menjadi narasumber dalam diskusi bertema “Revisi Undang-Undang Penyiaran: Urgensi Regulasi Konten Streaming OTT” yang diselenggarakan Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM), (26/7). Hardly mengungkap, pada awal kehadirannya, internet mendapatkan atribusi yang sangat positif oleh masyarakat. Hal ini membuat kita menutup mata tentang ekses negatif di internet seperti hoax, ujaran kebencian, radikalisme, pornografi atau pun disinformasi. Atribusi inilah yang sering kali membuat pengaturan internet atau OTT menjadi isu yang sangat sensitif, sehingga banyak penolakan. “Lantaran atribusi positifnya diglorifikasi berlebihan,” ujar Hardly. 

Jika dibandingkan dengan media konvensional, perbedaan paling prinsip dengan internet adalah masalah redistribusi. Pada media konvensional, konten tidak dapat diredistribusi. Sedangkan pada internet, redistribusi dapat dilakukan berkali-kali termasuk dengan medium yang berbeda. Selain itu, meski sama-sama memiliki dampak yang masif seperti halnya media konvensional, pada internet memiliki dampak masif dan berkelanjutan. Hal ini dikarenakan pada era internet sekarang, siapa saja yang punya akses terhadap internet dapat membuat dan juga menyebarkan informasi apapun. Pada tahun 2021, Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan “take down” terhadap 2,7 juta konten negatif. Hal ini menunjukkan memang ada hal-hal negatif di internet, ujarnya. 

Namun demikian, tambah Hardly, harus dipahami juga bahwa partisipasi tanpa regulasi dapat menghasilkan kekacauan (chaos) dan regulasi tanpa partisipasi akan memunculkan tirani. “Tantangannya adalah bagaimana partisipasi didasarkan pada regulasi agar menghasilkan demokrasi,” ujarnya. Kedua hal inilah yang dibutuhkan untuk mewujudkan media yang ideal dalam sebuah ranah publik (public sphere). Ini juga yang menjadi alasan perlunya pengaturan terhadap internet, termasuk di dalamnya OTT Streaming

KPI sendiri, ujar Hardly, melihat ada tiga kepentingan dalam pengaturan internet. Yakni kepentingan nasional baik berupa kedaulatan informasi, ketahanan budaya atau pun penerimaan negara. Kemudian kepentingan publik, tentang perlunya dinamika media yang memberikan kenyamanan bagi masyarakat. Selain itu, kepenting industri dan bisnis yang membutuhkan pengaturan yang adil dalam berusaha (equal level playing fields). 

Dari ketiga hal tersebut, KPI menilai yang paling penting pengaturan ini harus mengutamakan kepentingan publik. Kebebasan berekspresi dan berkreasi harus tetap dijamin namun juga ada koridor regulasi agar tidak kacau dan ranah publik menjadi sebuah ruang ekspresi yang konstruktif. Kemudian memberi perlindungan pada publik dari konten negatif di internet, serta menjamin hak cipta dan ekonomi bagi para pembuat konten. 

Hardly juga mengapresiasi Kominfo terkait pengaturan penyelenggaraan sistem elektronik lingkup privat. Hal ini dinilai sebagai sebuah terobosan untuk menundukkan industri aplikasi internasional untuk masuk dalam ruang hukum Indonesia. Adapun mengenai pengaturan konten internet dan OTT Streaming, menurut KPI pilihan instrumen pengaturannya dapat dilakukan dengan membuat undang-undang baru, revisi undang-undang yang sudah ada, atau melakukan terobosan regulasi. 

Jika pilihannya adalah revisi undang-undang penyiaran, paling tidak  hal mendasar yang perlu dilakukan adalah memperluas definisi penyiaran, menambah satu obyek hukum yang akan diawasi misalnya Lembaga Penyiaran Multimedia Internet, dan mengatur kewenangan pengawas untuk menjalankan co-regulation. Meski demikian, apapun pilihan yang diambil sebagai instrumen pengaturan internet, tetap harus mempertimbangkan diskursus publik, kewenangan pembuat undang-undang, dan efektivitas dalam memenuhi kepentingan nasional, publik dan bisnis. 

 

 

 

Kudus -- Di Indonesia terdapat kurang lebih 3.000 lembaga penyiaran. 700 diantaranya merupakan lembaga penyiaran TV. Sayangnya, walau banyak, masih saja ada wilayah yang belum dapat menerima atau mengakses siaran free to air dari siaran TV dan radio tersebut. Belum lagi persoalan teknis saat menerima sinyal siaran yang terlihat justru gambar semut saling beradu di layar kaca. 

Hal itu disampaikan Komisoner KPI Pusat, Mohamad Reza, di sela-sela seminar Forum Masyarakat Peduli Penyiaran (FMPP) yang berlangsung di Kampus Universitas Muria Kudus (UMK), Jumat (22/7/2022) lalu.

Namun, semenjak Undang-Undang Cipta Kerja diketuk pada 2020 lalu. Kurun waktu dua tahun ke depan, tepatnya di 2 November 2022 mendatang. Indonesia sudah harus meninggalkan penyiaran analog atau analog switch off (ASO) berganti siaran TV digital.

Menurut Reza, proses peralihan yang semestinya sudah dilakukan sejak jauh hari itu dinilai menjadi solusi atas buruknya penerimaan sinyal siaran TV free to air. Keunggulan siaran digital menjadikan gambar TV menjadi bersih dan bersuaran jernih. 

“Positif dari TV digital gambarnya jadi lebih menarik, bersih, suaranya jernih, canggih dan gratis. Adapun sisi negatifnya saat ini perlu literasi penggunaan. Sekarang ini masih ada siaran yang simulcast, power juga belum maksimal, konten masih sedikit dan menyebabkan kita harus punya remote dua,” kata Echa, panggilan akrabnya.

Selain itu, lanjut Reza, siaran TV digital belum dapat diterima masyarakat secara menyeluruh. Artinya, jika sebuah wilayah masih belum dapat atau tidak menerima siaran TV free to air maka dipastikan belum bisa menikmati siaran TV digital. 

“Siaran digital bisa diterima jika wilayah tersebut dapat menerima siaran analog TV free to air. Siaran digital juga gratis, tidak berbayar dan tidak memakai data tetapi harus menggunakan alat penerima siaran yaitu set top box (STB),” jelas Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat ini.

Sementara itu, Rektor UMK Prof. Darsono, menyampaikan terimakasih atas kesempatan menjadi tuan rumah kegiatan seminar dan pembentukan FMPP. Kegiatan ini akan berdampak terhadap kesadaran mahasiswa dan masyarakat dalam bermedia secara arif, dewasa, sehat, dan produktif. 

Selain itu, dia mengingatkan terjadinya disrupsi media atau perubahan media sebagai early warning yang harus dipersiapkan bersama. Menurutnya, respon ini bagian menyiapkan generasi yang lebih baik, beradab dan bermartabat dalam bersaing di dunia global. 

“Kegiatan kerja sama dengan KPI ini tentunya tidak menjadi awal dan akhir, namun akan menjadi lebih intensif bersinergi antara semua pihak,” tuturnya. ***/Foto: AR

 

 

Kudus -- Penyiaran sebagai penyalur informasi dan pembentuk pendapat umum, perannya makin sangat strategis, terutama dalam mengembangkan alam demokrasi di negara indonesia. Penyiaran memiliki kemampuan untuk meneguhkan konfigurasi nasionalisme, kedaulatan, dan kewarganegaraan suatu bangsa. 

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Lestari Moerdijat, saat menjadi keynote speaker di Seminar Forum Masyarakat Peduli Penyiaran Komunitas, Kualitas, dan Konvergensi media di Universitas Muria Kudus (UMK), Jumat (22/7/2022) lalu. 

Indonesia yang memiliki beragam suku dan budaya selain menjadi kelebihan namun sangat rentan untuk terjadinya perpecahan. Oleh karena itu, pengelolaan media penyiaran yang baik dengan literasi penyiaran kepada masyarakat merupakan bentuk upaya dalam mencegah perpecahan tersebut terjadi. 

Lestari Moerdijat mengatakan penyiaran memiliki ruang sangat penting karena kemampuannya dalam menyampaikan pesan-pesan kebangsaan (kebhinekaan) walaupun kita berbeda sebenarnya kita satu. 

Dia juga menyatakan bahwa perbaikan sistem pendidikan Indonesia harus segera dilakukan khususnya pendidikan seks pada anak usia dini. Kasus meninggalnya anak 11 tahun akibat bullying di Tasikmalaya, membuat Ririe prihatin karena perundungan tersebut dilakukan oleh anak sebaya. 

"Sistem pendidikan kita harus segera diperbaiki dengan memberi pendidikan seksual terhadap anak sesuai usianya, sehingga anak-anak kita bisa terhindar dari tindak kekerasan seksual yang marak belakangan ini", ucap Rerie, sapaan akrabnya. 

Begitu cepatnya kemajuan teknologi dan arus deras informasi sekarang ini, harus diimbangi dengan pemahaman literasi yang mumpuni. Hal itu sangatlah penting agar masyarakat memiliki landasan agar bijak memilih dan memilah konten yang beredar pada media apalagi anak kecil pun bisa bebas mengakses segala konten tanpa batas. 

Lestari menilai, pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) merupakan langkah proteksi yang baik terhadap publik. Rerie mengatakan, adanya aturan PSE dari Kominfo merupakan wujud kedaulatan bangsa demi membatasi konten yang bisa merusak generasi penerus.

Ririe yang juga anggota Komisi X DPR RI Dapil II Jateng ini, mendorong para pengelola lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi agar mampu bersama menciptakan masyarakat khususnya generasi muda yang melek dan sadar akan literasi penyiaran. Media digital yang masif sekarang ini, membuat semua orang dapat menciptakan konten apapun tanpa batasan dengan tujuan dan model sesuai seleranya, sehingga masyarakat sendirilah yang harus memiliki landasan literasi dan sensor khusus terhadap konten tersebut. 

"Perguruan tinggi harus bisa secara aktif mengambil peran, khususnya bagaimana kita menyiapkan masyarakat Indonesia khususnya Indonesia agar bisa terlibat aktif dalam literasi penyiaran", ajaknya.

Terakhir, Ririe menyampaikan bahwa penyiaran sangatlah penting bagi kehidupan manusia, "Sampai kapanpun, meski teknologi berubah, cara berubah , namun yang namanya penyiaran akan tetap ada dikehidupan manusia karena sejatinya penyiaran adalah bagaimana kita berkomunikasi dan menyampaikan pesan", tandasnya.

Adapun seminar yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat bekerjasama dengan UMK ini, bertujuan untuk mengajak masyarakat untuk peduli terhadap kualitas penyiaran di Indonesia dimana kualitas penyiaran memiliki peran penting dalam menyampaikan informasi yang positif demi kemajuan bangsa. ***/Foto: AR

 

 

Pontianak – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk menyajikan tayangan yang ramah anak. Demikian disampaikannya Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, saat acara Diseminasi Indeks Kualitas Program Siaran TV “Potret Tayangan Anak di Televisi Indonesia”, di Gedung Konferensi Universitas Tanjungpura Pontianak, Sabtu (23/7/2022).

Bertepatan dengan Hari Anak Nasional 2022 bertemakan “Anak Terlindungi, Indonesia Maju”, Nuning berharap semakin banyak program tayangan yang ramah anak.

“Di hari Anak Nasional ini kami dari KPI meminta kepada seluruh lembaga penyiaran untuk berkomitmen bersama memberikan tayangan yang ramah anak. Tidak semata-mata program anak tetapi diseluruh tayangan ramah anak baik itu program jurnalistik, sinetron, variety show maupun program lainnya,” ucap Nuning.

Nuning mengungkapkan, di tahun ini sudah banyak lembaga penyiaran yang ditegur lantaran menyajikan tayangan yang tidak ramah anak.

“Teguran di tahun ini sangat banyak bahkan yang paling tinggi pasal tentang perlindungan anak dan remaja yang masih banyak ditemukan pelanggarannya diantaranya program berita yang menghadirkan anak sebagai narasumber yang diluar kapasitas, kemudian korban dan pelaku kekerasan seksual menjadi objek berita yang tidak dilindungi identitasnya,” ungkapnya.

Nuning menegaskan, ketiga anak menjadi korban maupun pelaku yang masa depannya masih dipertaruhkan sangat panjang, maka komitmen dari lembaga penyiaran harusnya menghadirkan dan melindungi anak secara komprehensif. Tidak hanya anak sebagai sumber berita tapi bagaimana anak sebagai penerima dampak dari informasi yang dihadirkan lembaga penyiaran.

Ia menjelaskan, kepada lembaga penyiaran yang masih melanggar maka diberikan sanksi sebagaimana diatur dalam Pedoman Perilaku penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

“Pertama memberikan teguran tertulis kepada lembaga penyiaran, kalau memang sudah kumulatif pelanggaran sampai ketiga bisa jadi kita berikan penghentian sementara. Tapi saat ini yang sudah dilakukan KPI adalah memberikan teguran kepada lembaga penyiaran dan kita juga lakukan pembinaan SDM dari lembaga penyiaran agar para jurnalis, kameramen atau peliput bisa memposisikan anak sebagai narsum dengan proporsional,” tukasnya. Red dari berbagai sumber

 

 

Kudus -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Universitas Muria Kudus (UMK) jalin kerjasama penguatan kualitas program penyiaran di Indonesia. Kerjasama ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman atau memorandum of understanding (MoU) yang berlangsung di Gedung Rektorat UMK, Kamis (21/7/2022) lalu.

Komisioner KPI Pusat, M. Reza mengatakan, melalui penandatanganan ini diharapkan dapat memperkuat sinergi dalam menjaga tatanan penyiaran di Indonesia. "Nantinya kita bisa berkolaborasi agar masyarakat kampus civitas UMK bisa mengetahui tupoksi dari KPI kemudian bisa bersama peduli kondisi penyiaran Indonesia", tuturnya. 

Dia juga mengatakan, UMK bisa membuat sebuah civitas perguruan tinggi yang peduli penyiaran yang nantinya bisa di support oleh KPI Pusat secara langsung.

KPI memiliki tugas pokok dan fungsi diantaranya seperti menjamin masyarakat untuk memperoleh informasi yang layak dan benar, ikut membantu pengaturan infrastruktur bidang penyiaran, serta menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, kritik dan apresiasi dari masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran. Tupoksi tersebut tentunya harus mendapatkan dukungan penuh salah satunya adalah melalui peran dari perguruan tinggi (Universitas Muria Kudus).

Sementara itu, Wakil Rektor IV UMK Dr. Drs. Achmad Hilal Madjdi menyatakan MoU ini sangat penting dengan melibatkan Perguruan Tinggi karena penyiaran menjadi concern bersama. Menurutnya, masyarakat harus semakin cerdas menyikapi dinamika penyiaran sekarang ini. 

Dia menyebutkan, isu-isu berita yang tidak benar (hoax), buzzer-buzzer media sekarang ini sudah disikapi masyarakat dengan cerdas, namun kita tidak boleh lengah dan tetap menjalankan pengawasan tersebut dengan kolaborari antara perguruan tinggi (UMK) dengan KPI.

Dalam konteks akreditasi dan reakreditasi, MoU ini harus ditindaklanjuti dengan beberapa dokumen dan kegiatan, tentunya Universitas Muria Kudus bersama KPI-Pusat dapat mengembangkan jalinan kerja sama antar keduanya agar tercipta kolaborasi yang baik yang dapat memajukan kedua belah pihak. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.