Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat melayangkan surat peringatan untuk 7 (tujuh) lembaga penyiaran berlangganan (LPB) lantaran tidak memperhatikan ketentuan P3SPS KPI tentang siaran ketelanjangan dalam program asingnya “Wonderland S3” yang ditayangkan kanal Australia Plus (A+), Selasa, 15 November 2016. Ke tujuh LPB tersebut antara lain First Media, Indovision, Trans Vision, Biznet Home, Oke Vision, IM2 dan USee TV.
Berdasarkan hasil pemantauan dan analisis KPI Pusat, program siaran “Wonderland S3” yang tayang pada tanggal 4 November 2016 pukul 10.29 WIB menayangkan adegan seorang pria yang berdiri tanpa pakaian sehingga memperlihatkan bokong pria tersebut dari belakang secara eksplisit. Menurut penilaian KPI Pusat hal tersebut berpotensi melanggar Pasal 57 SPS KPI Tahun 2012 tentang larangan program siaran berlangganan yang berasal dari saluran asing menampilkan ketelanjangan.
Selain itu, KPI Pusat juga menemukan muatan serupa dalam program siaran “The World” yang ditayangkan pukul 17.30 WIB. Program itu menayangkan liputan tentang karya seni yang menampilkan beberapa lukisan wanita dengan visualisasi payudara serta seni patung dengan visualisasi alat kelamin pria secara eksplisit.
Dalam surat yang ditandatangani Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis, mengingatkan seluruh LPB agar memperhatikan muatan-muatan yang ditampilkan supaya sesuai dengan khalayak yang menonton, terutama anak-anak dan remaja.
KPI Pusat juga menjelaskan jika peringatan ini bagian dari pengawasan KPI Pusat terhadap pelaksanaan peraturan serta P3 dan SPS oleh lembaga penyiaran, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran.
KPI Pusat juga berharap ke depan, seluruh LPB lebih berhati-hati dalam menyajikan sebuah program siaran dan senantiasa menjadikan P3 dan SPS KPI Tahun 2012 sebagai acuan dalam penayangan sebuah program siaran. ***
Depok - Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3&SPS) memang mewajibkan stasiun televisi melakukan sensor secara internal. Namun adanya sensor yang berlebihan justru menunjukkan seakan stasiun televisi menjadi paranoid dengan sanksi yang dikeluarkan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Hardly Stefano, Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran menyampaikan hal tersebut dalam diskusi “Dilema Sensor di Televisi Indonesia: E(STE)TIKA”, (17/1) yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia.
Hardly menegaskan bahwa sensor bukanlah tugas dan wewenang dari KPI. “Kami hanya mengawasi di bagian ujung setelah program acara disiarkan oleh televisi”, ujarnya. Namun pada praktiknya stasiun-stasiun televisi menerapkan swasensor sesuai takaran masing-masing yang kadang-kadang berlebihan. “Rupanya ada ketakutan dan pengalaman traumatik lembaga-lembaga penyiaran. Di sebuah stasiun televisi robot pun sampai disensor,” tutur Hardly.
Hadir pula dalam diskusi tersebut pembicara lainnya, yakni: Haryatmoko (pakar etika komunikasi dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), Gilang Iskandar (Sekretaris Korporat Indosiar), dan Ade Armando (Dosen Ilmu Komunikasi UI). Haryatmoko berpendapat bahwa pendidikan media literasi harus segera dicanangkan dalam kurikulum. Dia memberikan contoh pada sekolah-sekolah di Yogyakarta yang memberikan pendidikan media literasi pada murid-murid SD. Menurutnya, daripada menerapkan sensor yang berlebihan, sebaiknya menggiatkan media literasi. Sehingga audiens paham tentang realitas yang sebenarnya dari apa yang muncul di layar kaca.
Sementara itu Gilang Iskandar menjelaskan latar belakang terjadinya penyensoran dan pembluran dalam tayangan Puteri Indonesia di Indosiar. “Baju yang digunakan finalis Puteri Indonesia tidak didisain untuk muncul di televisi”, ujarnya. Pihaknya sangat paham sekali bahwa aturan di televisi memang sangat ketat, sehingga diambil langkah pembluran tersebut guna menghindari adanya pelanggaran P3SPS. Selain itu, Gilang juga membenarnya adanya pemahaman yang berbeda-beda terkait P3SPS di kalangan stasiun televisi. Belum lagi, ancaman pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran juga dijadikan pertimbangan yang sangat serius guna keberlangsungan bisnis televisi ke depan.
Pada kesempatan diskusi tersebut dosen Ilmu Komunikasi UI, Ade Armando menjelaskan tentang kebebasan berekspresi yang ternyata mempunyai batasan. Menurut Ade, pembatasan tersebut tergantung pada media apa yang digunakan dalam penyebarannya. Yang jelas, ujarnya, seluruh dunia juga paham bahwa televisi sangat “highly regulated”, diatur sangat ketat. Dirinya mengakui bahwa sensor bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya buruk. Namun over-censorship, menurutnya berpotensi berbahaya ke depan.
Ade memaparkan bagaimana regulator penyiaran di negara sebesar Amerika Serikat bersikap sangat tegas terhadap pelanggaran aturan penyiaran. Karenanya Ade berpendapat, daripada ada sensor, jauh lebih baik jika KPI bersikap lebih tegas. Dirinya memaklumi jika KPI mengeluarkan ancaman lewat perpanjangan IPP, agar stasiun televisi tidak terus menerus lakukan pelanggaran. “Kepada seluruh pengelola televisi, dengan segenap hormat pada kebebasan berekspresi, tolong Behave!” pintanya.
Beberapa pertanyaan disampaikan mahasiswa terkait regulasi penyiaran, diantaranya soal sensor wujud rokok dan masih adanya iklan rokok di televisi. Mahasiswa juga bertanya mengapa moral panic industri televisi hanya ada pada masalah sensor semata. Padahal keluhan masyarakat dan juga concern KPI bukan hanya soal sensor, ada masalah kekerasan di televisi, kualitas sinetron, infotainment dan lain-lain. Mahasiswa mempertanyakan, kenapa industri tidak menyikapi seperti halnya sensor internal yang berlebihan itu.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Hardly menyampaikan bahwa concern KPI sebenarnya lebih jauh dari sekedar sensorship. “Concern kami justru pada nilai-nilai (value) apa yang dibawa stasiun televisi pada setiap program siaran?” papar Hardly. Hal ini dilakukan dengan meminta lembaga penyiaran untuk senantiasa mematuhi P3SPS. Selain itu KPI juga berupaya membangun dialog dengan industri, agar peringatan maupun teguran yang disampaikan melalui surat tertulis dapat dimaknai secara kontekstual. Sehingga layar kaca tidak selalu dipenuhi dengan muatan kekerasan, pornografi, hedonistic, dan nilai-nilai negatif lainnya, sebaliknya dapat menyampaikan inspirasi positif kepada pemirsa.
Jakarta - Sekolah Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) memasuki angkatan XIV. Peserta adalah praktisi lembaga penyiaran, mahasiswa hingga masyarakat umum yang mendaftar lewat email pendaftaran Sekolah P3SPS. Pelaksanaan program yang bertujuan untuk mengembangkan sumber daya manusia dalam menjamin profesionalitas di bidang penyiaran ini tidak memungut biaya apapun. Penyelenggaraannya ditanggung oleh APBN. Berikut adalah nama peserta Sekolah P3SPS angkatan XIV.
Untuk angkatan XIV, Panitia mengumumkan peserta yang dapat mengikuti Sekolah P3SPS yang dilaksanakan pada Selasa-Kamis, 22-24 November 2016. Mengingat kuota tiap angkatan hanya sebanyak 30 (tiga puluh) orang, nama-nama yang belum ikut pada angkatan ini akan diprioritaskan pada angkatan XV. Kepada peserta Angkatan XIV diharapkan kedatangannya di Ruang Rapat KPI Pusat pada pukul 08.30 dan membawa foto ukuran 3x4, dua lembar (satu lembar ditempel di sertifikat, 1 lembar untuk arsip). Adapun peserta Sekolah P3SPS angkatan XIV adalah:
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menyelenggarakan Diskusi Terbatas tentang program Infotainment, (17/11). Dalam diskusi yang bertempat di kantor KPI Pusat, diisi oleh beberapa komisioner dan juga narasumber lainya seperti Ronny Kusuma dari Indigo Infotainment, dan Mulharnetti Syas selaku Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta.
Di awal diskusi, Komisioner KPI Pusat KPI Pusat Mayong Suryo Laksono menerangkan bagaimana keberadaan acara infotainment di lembaga penyiaran dengan adanya P3SPS. Mengingat dalam P3SPS menyebutkan isi siaran wajib mengandung informasi, pendidikan, hiburan dan bermanfaat dalam pembentukan karakteristik bangsa, menjaga persatuan dan juga mengamalkan nilai agama dan budaya yang ada di Indonesia. Berdasarkan keterangan dalam presentasi yang disampaikan. Mayong menegaskan bahwa, tayangan infotainment harus mengutamakan perlindungan terhadap kepentingan publik.
Sementara Komisioner KPI Pusat lainnya, Dewi Setyarini, menekankan pada Pasal 2 UU No 32/2002 mengenai penyiaran yang berisi “Penyiaran diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, keberagaman, kemitraan, etika, kemandirian, kebebasan dan tanggung jawab.
Dalam kesempatan itu Mulharnetti Syas menilai saat ini mulai ada perbaikan dalam program infotainment. Hal tersebut dapat dilihat dari Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi yang dilakukan KPI pada periode ketiga, dimana terjadi peningkatan nilai kualitas menjadi 3,1 yang sebelumnya hanya 2,70. Namun demikian, ujar Netty, tetap nilai tersebut masih jauh dari standard nilai KPI.
Netty memfokuskan pemaparannya tentang sejarah perkembangan program infotainment dari dulu hingga era kontemporer saat ini. Menurutnya, harus ada pelatihan ulang yang di adakan oleh KPI untuk mempelajari P3SPS yang seutuhnya, kepada praktisi penyiaran, termasuk juga pekerja di Infotainment.
Sementara Ronny Kusuma menilai bahwa masyarakat sepertinya mulai jenuh dengan acara infotainment yang terkesan monoton. Hal tersebut diakibatkan saat ini infotainment lebih banyak mempromosikan seorang pengacara atau orang penting dalam menangani sebuah kasus besar yang sedang booming. Namun, Ronny mengakui, seperti dua sisi mata uang di lain pihak sebagaian masyarakat masih membutuhkan hiburan seperti ini. Di akhir diskusi, Mayong mengingatkan pentingnya menjaga kualitas tayangan untuk pembentukan intelektualitas dan watak khususnya anak – anak dan generasi muda. (Ravel)
Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis bersama Ketua Panitia Harsiarnas 2017 Ubaidillah usai beraudiensi dengan Gubernur Bengkulu Ridwan Mukti, di Bengkulu (15/11)
Bengkulu (Antara) - Provinsi Bengkulu akan menjadi tuan rumah penyelenggaraan Hari Penyiaran Nasional pada 1 April 2017 yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). "Kami memilih Bengkulu sebagai tuan rumah untuk mengenalkan daerah ini ke dunia luas," kata Ketua KPI, Yuliandre Darwis di Bengkulu, Selasa.
Ia mengatakan selama ini kegiatan nasional bahkan internasional cenderung digelar di kota-kota besar sehingga daerah kecil termasuk Bengkulu yang punya potensi kearifan lokal dan pariwisata, kurang dikenal masyarakat.
Peringatan Hari Penyiaran dan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI se-Indonesia tersebut direncanakan dibuka oleh Presiden Joko Widodo. "Semangatnya adalah satu yakni membawa pesan baik dari Indonesia ke dunia luas melalui media penyiaran," ucapnya.
Kegiatan yang direncanakan diikuti sebanyak 340 peserta dari KPI pusat dan daerah itu juga akan dihadiri para pemilik jaringan televisi dan radio nasional. Oleh karena itu Pemerintah Provinsi Bengkulu, kata dia, dapat memanfaatkan kesempatan tersebut untuk mengenalkan potensi daerah untuk diangkat ke dunia luar.
Lebih jauh Yuliandre mengatakan penyelenggaraan Hari Penyiaran Nasional di Bengkulu juga dapat mengangkat dan mengenalkan potensi wisata Bengkulu guna mendukung tahun kunjungan wisata ke Bengkulu pada 2020 atau "Visit Bengkulu 2020".
Komisioner KPI yang juga Ketua Panitia Hari Penyiaran Nasional, Ubaidillah mengatakan momentum penting tersebut dapat dijadikan untuk mengangkat kearifan lokal Bengkulu. "Dewasa ini `framing`media lebih dominan berbau negatif baik tentang politik maupun isu SARA sehingga kita lupa menggali konten kearifan lokal," kata dia.
Peringatan Hari Penyiaran Nasional menurut Ubaidilah menjadi pengingat tentang fungsi media penyiaran untuk memberikan tayangan yang bermanfaat bagi masyarakat. Kegiatan tahunan itu menurutnya hampir sama dengan penyelenggaraan Hari Pers Nasional (HPN) yang digelar untuk mengingatkan kembali tentang fungsi media bagi masyarakat.
Ketua KPI Daerah Bengkulu, Ratimnuh mengatakan siap menyukseskan Hari Penyiaran Nasional dan Rakornas KPI pada 2017 yang digelar di Kota Bengkulu. "Kami sudah bertemu Gubernur Bengkulu dan menyusun silabus acara untuk menyukseskan Hari Penyiaran Nasional 2017," katanya.
setelah menonton salah satu program TV di stasiun Trans TV ini dan melakukan kajian terhadap program yang ditayangkan, saya melihat satu ke janggalan pada acara ini yakni pelanggran terhadap tayangan tontonan yang di tayangkan pada siang hari, waktu dimana anak-anak masi banyak beraktivitas. Pada episode ini adegan dimana salah satu artis dangdut memeluk salah satu bintang tamu pada acara itu, dengan cara yang tidak biasa, dimana pada episode tersebut ia memerankan karakter hantu yang tidak terlihat oleh manusia biasa jadi ia melakukan tindakan yang seakan bisa melakukan apa saja dan menyentuh pada bintang tamu di acara itu, untuk tontonan dengan jadwal tayang siang tidak pantas atau tidak cocok ditayangkan pada jam tersebut. Karena acara ini berlangsung pada jam 13.00 maka ini termaksud jam rawan di tonton anak-anak apalagi ditanggal sembilan oktober itu bertepatan pada hari minggu dimana anak-anal libur sekolah dan menghabiskan waktu di rumah berkemungkinan besar akan menonton TV pada waktu itu.
Hal tersebut menyalahi aturan yang tertera pada undang-undang P3SPS BAB X perlindungan kepada anak pasal 14 nomor 1 dan nomor 2, dan undang-undang penyiaran nomor 32 tahun 2002 Tentang Penyiaran dengan persetujuan DPR dan Presiden RI.
Pojok Apresiasi
Azhar Muhammad Ishmat
Saya sebagai rakyat Indonesia sekaligus pemuda sangat mengapresiasi acara tv Mata Najwa terutama episode Ujian Reformasi karena bisa menyampaikan aspirasi rakyat Indonesia untuk menegakkan keadilan agar undang undang dipikirkan kembali dan dirancang kembali supaya sesuai dengan keinginan rakyat Indonesia