- Detail
- Dilihat: 16890
Jakarta – Saat ini, siaran televisi kita belum seluruhnya ramah terhadap anak dan perempuan. Hal ini dapat dinilai dari masih banyaknya surat teguran ataupun peringatan KPI Pusat untuk lembaga penyiaran televisi terkait pelanggaran terhadap perlindungan anak dan juga perempuan. Padahal sudah menjadi kewajiban lembaga penyiaran untuk melidungi anak dan perempuan dalam setiap tayangannya.
UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat 3 menyebutkan isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.
Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran, Dewi Setyarini mengatakan, siaran televisi harusnya melihat aspek perlindungan terhadap khalayak khusus seperti anak dan remaja selain juga ramah terhadap perempuan. Isi siaran seharusnya mempertimbangkan perkembangan psikologis anak dan remaja karena tayangan media memiliki pengaruh besar terhadap anak dan remaja dan menentukan seperti apa sikap dan pola pikir mereka.
Menurut Dewi, saat ini yang harus dilakukan lembaga penyiaran adalah bagaimana menciptakan tayangan yang bervalue, mengandung pesan moral, dan jauh dari hal-hal yang eksploitatif, adegan penuh bahaya, serta ungkapan-ungkapan tidak pantas disajikan,” katanya di depan perwakilan lembaga penyiaran yang hadir dalam acara FGD Pembinaan Program Siaran terkait Tayangan Ramah Anak dan Perempuan di kantor KPI Pusat, Rabu, 28 September 2016.
Hadir dalam acara tersebut, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfah Anshor. Ulfah menyorot banyaknya pelanggaran dilakukan media terkait pemberitaan kasus kekerasan terhadap anak. Salah satunya mengenai siaran anak sebagai korban atau pelaku secara terbuka. Padahal hal itu bertentangan dengan Pasal 2 ayat 2 UU Perlindungan Anak.
Tak hanya siaran pemberitaan, KPAI juga mengeluhkan kualitas beberapa program acara dan tayangan sinetron yang bertemakan horor atau mistik, kekerasan dan mengandung hal-hal tak baik lainnya.
Terkait rendahnya kualitas isi siaran, narasumber lain dari Komnas Perempuan Mariana Amirudin menyatakan hal ini disebabkan kurangnya sumber daya manusia yakni tenaga kreatif. Hal ini tidak sejalan dengan arah industri televisi sebagai industri kreatif yang semestinya tidak henti menciptakan kreasi baru.
Mariana juga membahas siaran yang sesuai dengan konsep perlindungan terhadap perempuan. Menurutnya persoalan eksploitasi perempuan dalam siaran harus dilihat dari berbagai aspek. Jika perempuan tersebut sebagai obyek hal itu jelas tidak dibenarkan. Terkait kasus atlet renang yang diblur, Mariana menyatakan dia (atlet renang) sebagai subyek jadi tidak perlu berlebihan. “Kalau program acaranya uji nyali terus ada perempuan seksi hadir disitu sudah jelas ada unsur eksploitasinya,” jelasnya.
Tapi yang penting, kata Mariana, dalam konteks perlindungan perempuan, ketika perempuan tampil di layar kaca jangan sampai memunculkan stigma, streotip atau pun persepsi. “Untuk lebih amannya, pelaku media dapat berkonsultasi terkait persoalan hak asasi, juga pada seniman, pengawas media, serta ahli visual sebelum program tayang,” katanya mengusulkan.
Beberapa peserta yang berasal dari lembaga penyiaran ikut menyampaikan usulan terkait perbaikan kualitas tayangan seperti perlunya pembicaraan dengan kalangan rumah produksi terkait konten sinteron. Selain itu, penilaian terhadap sebuah program harus juga melihat konteks dan kontennya.
Di akhir acara, Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini meminta semua pihak khusus lembaga penyiaran untuk bersama-sama mengembalikan fungsi media sebagai wadah pendidikan, kontrol, pembangun ekonomi, dan pemberi informasi. “Memang sekarang semua serba bebas, tapi hal itu harus juga dibarengi dengan tanggungjawab,” paparnya.
Acara bertajuk pembinaan ini dihadiri pula Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, sekaligus bertindak sebagai moderator. ***