Bekasi – Siaran politik Pilkada 2017 menjadi perhatian utama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) KPI 2016 Se-Indonesia di Bekasi, Jawa Barat, 5 sampai 7 Oktober 2016. Hal-hal menyangkut slot iklan setiap pasangan calon, informasi atau berita berbau kampanye hingga keberpihakan media dalam pilkada di bahas dalam talkshow yang menghadirkan Anggota KPU Ferry Kurnia Rizkyansyah dan Anggota Bawaslu Pusat Daniel Zuchron serta di moderatori Tina Talisa.

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus menjaga kualitas Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi, agar dapat menjadi rujukan nilai kualitas atas semua program siaran televisi.  Anggota Komisi I DPR RI Arief Suditomo berharap, survey ini dapat membebaskan bangsa ini dari belenggu atas tafsir tunggal terhadap program siaran televisi selama ini. Hal tersebut disampaikan Arief saat memberikan pengantar dalam Ekspose Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi ke-2, oleh KPI Pusat, (4/10).

“Saya berharap survey KPI ini dapat menjadi referensi, tidak saja bagi industri penyiaran, tapi juga bagi dunia pendidikan dan masyarakat secara umum,” ujarnya. Bahkan, tambah Arief, seharusnya standar nilai 4 yang dipatok oleh KPI dijadikan target bagi seluruh pengelola televisi. “Bagaimana program siarannya dapat meraih nilai 4 yang berarti berkualitas baik”, tegas Arief.

Secara khusus Arief berpesan agar KPI menjaga integritasnya dalam pelaksanaan survey ini. “Kalau survey ini dapat menjadi referensi bagi semua stakeholder penyiaran, tentunya akan menjawab banyak permasalahan”, kata Arief. Termasuk juga menjadi bahan rekayasa sosial dan akselerasi pembangunan masyarakat Indonesia, serta sebagai alat menghadapi proxy war saat ini.

 

Jakarta – Komisi I DPR RI kembali melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP), Senin, 3 Oktober 2016, dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) membahas perpanjangan izin penyelenggaraan perizinan (IPP) lembaga penyiaran televisi yang akan habis izin penyiaran pada tahun ini. RDP kali ini merupakan RDP yang kedua dengan topik bahasan soal perpanjangan izin.

Di awal RDP, Wakil Ketua Komisi I DPR Meutya Hafidz, selaku pimpinan rapat, mempersilahkan Menteri Kominfo Rudiantara memberikan keterangan seputar proses perpanjangan izin lembaga penyiaran televisi yang akan habis masa izinnya pada akhir 2016 ini. Dalam kesempatan itu, Rudi mengusulkan adanya evaluasi penyelenggaraan penyiaran setiap setahun sekali. Tujuannya agar lembaga penyiaran melakukan pembenahan serius terhadap kualitas isi siarannya.

Setelah itu, giliran KPI Pusat diberi kesempatan memberikan penjelasan. Ketua KPI Pusat Yuliandre Darwis menyampaikan secara umum mengenai proses perpanjangan izin penyiaran ke sepuluh lembaga penyiaran televisi yang akan habis izin siarnya. 

Di tempat yang sama, Komisioner sekaligus Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat, Agung Suprio, menjelaskan perihal metode dan penilaian KPI mulai dari aspek program, sistem stasiun jaringan, sumber daya manusia, hingga administrasi. 

RDP yang berlangsung hingga lewat tengah hari ini, juga dihadiri Wakil Ketua KPI Pusat Sujarwanto Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat H. Obsatar Sinaga, Mayong Suryo Laksono, Ubaidillah, dan Dewi Setyarini. Hadir pula Kepala Sekretariat KPI Pusat Maruli Matondang beserta beberapa staf KPI Pusat. ***

 

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai lembaga penyiaran belum  optimal melakukan perbaikan kualitas siaran, khususnya pada program infotainment dan sinetron. Hal tersebut ditunjukkan dengan masih rendahnya nilai indeks yang didapat dua program tersebut dan dalam Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi periode kedua tahun 2016.

Secara khusus, Ketua KPI Pusat  Yuliandre Darwis memberikan catatan pada program sinetron yang nilai indeksnya lebih rendah dari periode sebelumnya. Pada survey  periode pertama, program sinetron mendapat nilai indeks 2,94 sedangkan pada periode kedua ini, nilai indeks yang diperoleh sebesar 2,7. Catatan dari panel ahli tentang program sinetron ini menunjukkan nilai yang rendah pada aspek membentuk watak dan jati diri bangsa, relevansi cerita, serta muatan tidak edukatif yang mendominasi wajah program sinetron di televisi.

Sedangkan untuk program infotainment, Yuliandre mengatakan, meskipun terdapat peningkatan nilai indeks dari periode lalu, nilainya tetap saja rendah yakni sebesar 2,64. Catatan terbesar dari program infotainment adalah rendahnya penghormatan terhadap kehidupan pribadi dalam program ini. Bahkan kecenderungannya justru membesar-besarkan ranah kehidupan pribadi. Panel ahli dalam survey ini mengakui, ada aspek informatif dalam program infotainment. Namun berita yang cenderung sensasional lebih mendominasi.

Yuliandre menilai, lembaga penyiaran harus melakukan perbaikan secara total pada konsep sinetron dan infotainment yang hadir di televisi. Meskipun dalam penyiaran terdapat fungsi hiburan, namun hal tersebut tidak dapat mendominasi. “Karena ada fungsi-fungsi lain dalam penyiaran yang harus hadir secara seimbang bagi  kemaslahatan masyarakat”, ujarnya.

Jika merujuk pada nilai indeks yang didapat dari dua program ini di setiap surveynya, Yuliandre melihat tidak ada perbaikan yang signifikan. KPI sendiri akan mengambil langkah agar hasil survey ini menjadi catatan penting dalam evaluasi tahunan yang akan dilakukan Kementerian Komunikasi dan Informatika  bersama KPI terhadap izin penyelenggaraan penyiaran (IPP) stasiun televisi yang bersangkutan. “Jika memang hasil survey ini sebangun dengan pengaduan masyarakat dan akumulasi sanksi yang didapat, kami akan merekomendasikan sinetron dan infotainment mana saja yang sebaiknya dihentikan secara permanen”, ujarnya.

Dari hasil survey ini, KPI memberikan apresiasi kepada program wisata budaya yang hadir di televisi.Nilai indeks yang diperoleh program ini pada survey tahap kedua, mencapai 4,09. Yuliandre berharap betul kepada lembaga penyiaran agar memberikan porsi yang signifikan pada program-program wisata budaya di televisi. “Keanekaragaman yang dimiliki Indonesia tentunya sangat memungkinkan untuk dieksplorasi menjadi program siaran di televisi”, tuturnya. Hal ini juga menjadi wujud dari peneguhan bhineka tunggal ika yang menjadi semboyan banga ini.  Selain itu, KPI berharap para pengiklan juga mau menempatkan produk-produknya pada program wisata budaya dan program lain yang berkualitas menurut para ahli yang ikut serta dalam survey ini. Hal tersebut untuk menjaga nafas dan kesinambungan program tersebut agar tetap hadir di tengah masyarakat.

Survey Indeks Kualitas Program Siaran Televisi ini dilakukan KPI bekerjasama dengan Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) serta 12 (dua belas) perguruan tinggi di 12 (dua belas) provinsi. Adapun perguruan tinggi tersebut adalah, Universitas Sumatera Utara (Medan), Universitas Andalas (Padang), Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah (Jakarta), Universitas Padjajaran (Bandung), Universitas Airlangga (Surabaya), Universitas Diponegoro (Semarang), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (Yogyakarta), Universitas Udayana (Denpasar), Universitas Tanjung Pura (Pontianak), Universitas Lambung Mangkurat (Banjarmasin), Universitas Hasanuddin (Makassar), dan Universitas Kristen Indonesia Maluku (Ambon).

Lebih lengkap, hasil survey indeks kualitas program siaran televisi kedua di tahun 2016 ini adalah sebagai berikut:

Program

Nilai Indeks

Wisata Budaya

4,09

Religi

3,80

Anak-anak

3,79

Berita

3,67

Talkshow

3,53

Variety Show

3,21

Komedi

3,13

Sinetron/ Film

2,70

Infotainment

2,64

 


Jakarta – Saat ini, siaran televisi kita belum seluruhnya ramah terhadap anak dan perempuan. Hal ini dapat dinilai dari masih banyaknya surat teguran ataupun peringatan KPI Pusat untuk lembaga penyiaran televisi terkait pelanggaran terhadap perlindungan anak dan juga perempuan. Padahal sudah menjadi kewajiban lembaga penyiaran untuk melidungi anak dan perempuan dalam setiap tayangannya.

UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran Pasal 36 ayat 3 menyebutkan isi siaran wajib memberikan perlindungan dan pemberdayaan kepada khalayak khusus, yaitu anak-anak dan remaja, dengan menyiarkan mata acara pada waktu yang tepat, dan lembaga penyiaran wajib mencantumkan dan/atau menyebutkan klasifikasi khalayak sesuai dengan isi siaran.

Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran, Dewi Setyarini mengatakan, siaran televisi harusnya melihat aspek perlindungan terhadap khalayak khusus seperti anak dan remaja selain juga ramah terhadap perempuan. Isi siaran seharusnya mempertimbangkan perkembangan psikologis anak dan remaja karena tayangan media memiliki pengaruh besar terhadap anak dan remaja dan menentukan seperti apa sikap dan pola pikir mereka.

Menurut Dewi, saat ini yang harus dilakukan lembaga penyiaran adalah bagaimana menciptakan tayangan yang bervalue, mengandung pesan moral,  dan jauh dari hal-hal yang eksploitatif, adegan penuh bahaya, serta ungkapan-ungkapan tidak pantas disajikan,” katanya di depan perwakilan lembaga penyiaran yang hadir dalam acara FGD Pembinaan Program Siaran terkait Tayangan Ramah Anak dan Perempuan di kantor KPI Pusat, Rabu, 28 September 2016.

Hadir dalam acara tersebut, komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Maria Ulfah Anshor.  Ulfah menyorot banyaknya pelanggaran dilakukan media terkait pemberitaan kasus kekerasan terhadap anak. Salah satunya mengenai siaran anak sebagai korban atau pelaku secara terbuka. Padahal hal itu bertentangan dengan Pasal 2 ayat 2 UU Perlindungan Anak.

Tak hanya siaran pemberitaan, KPAI juga mengeluhkan kualitas beberapa program acara dan tayangan sinetron yang bertemakan horor atau mistik, kekerasan dan mengandung hal-hal tak baik lainnya.

Terkait rendahnya kualitas isi siaran, narasumber lain dari Komnas Perempuan Mariana Amirudin menyatakan hal ini disebabkan kurangnya sumber daya manusia yakni tenaga kreatif. Hal ini tidak sejalan dengan arah industri televisi sebagai industri kreatif yang semestinya tidak henti menciptakan kreasi baru.

Mariana juga membahas siaran yang sesuai dengan konsep perlindungan terhadap perempuan. Menurutnya persoalan eksploitasi perempuan dalam siaran harus dilihat dari berbagai aspek. Jika perempuan tersebut sebagai obyek hal itu jelas tidak dibenarkan. Terkait kasus atlet renang yang diblur, Mariana menyatakan dia (atlet renang) sebagai subyek jadi tidak perlu berlebihan. “Kalau program acaranya uji nyali terus ada perempuan seksi hadir disitu sudah jelas ada unsur eksploitasinya,” jelasnya.

Tapi yang penting, kata Mariana, dalam konteks perlindungan perempuan, ketika perempuan  tampil di layar kaca jangan sampai memunculkan stigma, streotip atau pun persepsi. “Untuk lebih amannya, pelaku media dapat berkonsultasi terkait persoalan hak asasi, juga pada seniman, pengawas media, serta ahli visual sebelum  program tayang,” katanya mengusulkan.

Beberapa peserta yang berasal dari lembaga penyiaran ikut menyampaikan usulan terkait perbaikan kualitas tayangan seperti perlunya pembicaraan dengan kalangan rumah produksi terkait konten sinteron. Selain itu, penilaian terhadap sebuah program harus juga melihat konteks dan kontennya.

Di akhir acara, Komisioner KPI Pusat Dewi Setyarini meminta semua pihak khusus lembaga penyiaran untuk bersama-sama mengembalikan fungsi media sebagai wadah pendidikan, kontrol, pembangun ekonomi, dan pemberi informasi. “Memang sekarang semua serba bebas, tapi hal itu harus juga dibarengi dengan tanggungjawab,” paparnya.

Acara bertajuk pembinaan ini dihadiri pula Komisioner bidang Isi Siaran KPI Pusat, Mayong Suryo Laksono, sekaligus bertindak sebagai moderator. ***


Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.