Bekasi -- Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2021 dimulai dengan penyampaian pandangan oleh 33 KPI Daerah Provinsi yang hadir secara off line dan on line, Rabu (10/11/2021). Sebelumnya, pembukaan rapat koordinasi  diawali dengan sambutan oleh PIC Rakornas KPI 2021 sekaligus Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia.

Dalam sambutannya, Irsal mengingatkan kembali hasil rekomendasi Rakornas tahun lalu yang diantaranya mengawal proses revisi UU Penyiaran, melakukan revisi aturan kelembagaan, membumikan gerakan literasi sejuta pemirsa, hingga sosialisasi digital penyiaran. “Kita akan coba mereview kembali rekomendasi Rakornas tahun lalu untuk menghasilkan rekomendasi yang lebih baik pada Rakornas kali ini. Kita berharap jalannya Rakornas berjalan dengan baik karena disinilah kinerja KPI terlihat,” katanya.

Adapun maksud tema Rakornas 2021 “Keadilan Persaingan dan Keberagaman di Era Penyiaran Digital”, Irsal menjelaskan hal ini dalam upaya mendorong adanya keadilan berusaha setiap pelaku usaha penyiaran, baik media lama maupun baru. Keadilan ini dapat diwujudkan dengan hadirnya regulasi yang akan menjamin persaingan jadi lebih sehat.

“Ini maksudnya agar kita bisa mendorong lembaga penyiaran karena saat ini terlihat tidak imbang karena ada yang baru. Lalu kita mendorong pelaksanaan persaingan sehat karena digitalisasi akan merubah lanskap penyiaran. Dan paling penting adalah menjaga keadilan dan menumbuhkan lembaga penyiaran,” ujar Irsal.

Saat penyampaian pandangan oleh KPID, dimulai dari KPID Maluku, disampaikan pentingnya penguatan konten lokal dengan tetap menguatkan kelembagaan KPID. Selain itu, persoalan cakupan siaran masih jadi masalah di wilayah Maluku karena faktor geografisnya.

“Saya hanya menyampaikan di Maluku siaran terestrial hanya bisa dinikmati di kota Ambon. Bukan karena kemampuan tapi karena Geografi. Kami titipkan masih ada satu tahun jangan sampai kami tinggal nama saja,” kata Ketua KPID Maluku, Mutiara Dara Utama. 

Dilanjutkan pandangan dari perwakilan KPI Aceh yang berharap digitalisasi penyiaran segera dilakukan karena persoalan sulitnya mendapatkan siaran yang selama ini dihadapi masyarakat Aceh segera tertangani. 

“Digitalisasi penyiaran adalah suatu keniscayaan. Kami berharap ini dirasakan di Aceh karena Aceh sangat sulit karena banyak bukit. Siaran analog saja masih sulit dinikmati,” katanya seraya meminta dukungan dan arahan untuk dapat menyukseskan rancangan “Qanun Penyiaran” sehingga dapat mendukung penyiaran di Aceh. 

Sementara itu, KPID Sulawesi Tenggara (Sultra) mendesak agar revisi UU Penyiaran 32 tahun 2002 agar segera dituntaskan. KPID menilai lemahnya kondisi lembaga ini karena UU Penyiaran belum juga di revisi. “Masalah saya kira banyak sekali. Jadi Rakornas ini harapan kami perlu kita pikirkan langkah politisnya,” kata wakil dari KPID Sultra.

Hingga berita ini diturunkan, masih berlangsung pandangan dari KPID yang sebagian besar menyampaikan sejumlah masalah dan juga masukan terkait digitalisasi, penguatan kelembagaan KPID, revisi UU Penyiaran dan P3SPS KPI tahun 2012. ***/Editor:MR

 

 

Jakarta -- Maraknya konten luar yang tidak sejalan dan bertentangan dengan etika dan nilai-nilai kebangsaan dikhawatirkan menghilangkan rasa nasionalisme dan kecintaan generasi muda (milenial) pada tanah air. Perlu strategi untuk meminimalisir dampak buruk tersebut diantaranya dengan memperbanyak konten dalam negeri yang berisikan pesan tentang cinta tanah air dan wawasan kebangsaan.

Deputi VII Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Aris Mustofa mengatakan, strategi bersama dengan seluruh stakeholder dapat membendung dampak negatif dari banjirnya informasi maupun konten dari luar. 

“Strategi ini dengan menyajikan konten berisikan pesan tentang kecintaan terhadap bangsa dan wawasan kebangsaan di seluruh aspek siaran. Kita harus mengimbangi masuknya konten yang melemahkan itu dengan konten wawasan dan kecintaan tanah air. Dalam bentuk apapun kontennya,” katanya saat menerima kunjungan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio dan Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, 

Menurut Aris, harus ada upaya konkrit untuk membiasakan dan membudayakan hal-hal baik dan positif kepada masyarakat khususnya anak milenial dalam kehidupan keseharian.  

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia menyatakan, keberadaan media penyiaran di tengah maraknya informasi hoax dan fake yang berasal dari media baru, sangat dibutuhkan. Media penyiaran merupakan media verifikator karena memiliki mekanisme kerja dan organisasi yang benar serta  di awasi oleh payung hukum. “Kami sangat konsern dengan infromasi yang ada di media penyiaran,” katanya. 

Dalam kesempatan itu, Irsal menyampaikan rencana pelaksanaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI tahun 2021. Agenda yang melibatkan 33 KPID ini akan membahas dinamika penyiaran menghadapi era digitalisasi pada 2021 mendatang. Selain itu, rapat ini akan membahas perkembangan revisi UU Penyiaran yang hingga sekarang masih dalam pembahasan di DPR. 

“Karena ada isu penting dalam rakornas ini yakni mendorong UU penyiaran untuk direvisi segera. Karena dunia penyiaran ini berubah sangat cepat terutama teknologi internet. Sekarang kita lihat kompetisinya tidak adil. Ada yang bayar pajak tetapi yang satunya tidak. Padahal kerja di media baru ini hampir sama dengan media penyiaran atau konvensional. Ini tidak seimbang ketika penggunaan basis internet begitu massif. Kita mendorong revisi UU Penyiaran dapat mencakup penggunaan internet. Supaya berita dan informasi yang menyesatkan di media baru tidak makin liar,” tandasnya. ***/Foto: AR/Editor:MR

 

Jakarta –  Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menegaskan tidak boleh ada glorifikasi dan amplifikasi atau membesar-besarkan dengan mengulang dan membuat kesan merayakan kebebasan Saiful Jamil dalam program siaran di televisi dan radio. Hal ini disampaikan KPI dalam pertemuan dengan tim manajemen Saiful Jamil di kantor KPI Pusat, yang meminta keterangan terkait kemunculannya di televisi, (4/11). Dalam pertemuan tersebut tim manajemen Saiful Jamil diwakili oleh Ayu Kyla dan H. M. Firmansyah. Sedangkan dari KPI Pusat yang hadir adalah Wakil Ketua KPI Pusat Mulyo Hadi Purnomo, Komisioner KPI Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela dan Irsal Ambia, serta Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran, Mimah Susanti.

Dalam pertemuan tersebut Ayu menjelaskan kondisi di lembaga pemasyarakatan (lapas) saat dibebaskannya Saiful Jamil. Menurut Ayu, pihaknya tidak pernah mengundang kehadiran jurnalis sehingga membuat lapas Cipinang ramai menjelang pembebasan Saiful. Selain itu, Ayu juga menanyakan dasar hukum dari KPI melarang  Saiful Jamil di televisi.

Menjawab pertanyaan dari tim manajemen Saiful Jamil ini, Hardly Stefano Pariela memaparkan tentang konsep ideal penyiaran yang diamanatkan dalam Undang-Undang Penyiaran. “Kalau mau kita simpulkan dari pasal 2 sampai 5 undang-undang Penyiaran, intinya konten siaran, selain menghibur, juga harus memberikan edukasi yang positif pada publik,” ujar Hardly.

Salah satu tugas KPI adalah menetapkan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Atas dasar ini KPI mengeluarkan surat edaran pada seluruh lembaga penyiaran untuk tidak melakukan amplifikasi dan glorifikasi atas peristiwa pembebasan Saiful Jamil. “Kita bisa berpolemik apakah Saiful Jamil yang menginisiasi peristiwa pembebasannya,” tambah  Hardly. Tapi yang tampil di lacar kaca dan yang dilihat masyararakat adalah Saiful Jamil tampil bak pahlawan. Bagi kami, ini yang tidak etis dan tidak perlu disimbolkan dengan gegap gempita, tegasnya.

Sebagai sebuah lembaga negara, KPI terikat pada regulasi, dalam hal ini undang-undang penyiaran. KPI harus memastikan konten siaran di televisi dan radio memenuhi aspirasi masyarakat sebagaimana yang diamanatkan undang-undang. Keresahan akan tampilnya Saiful Jamil di televisi bukan dari hanya suara satu dua orang. Faktanya, tambah Hardly, yang menyuarakan itu termasuk lembaga-lembaga negara seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) hingga anggota dewan. “Keresahan di masyarakat ini direpresentasi oleh lembaga negara yang juga punya legitimasi,” terangnya.

Sementara itu Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Kelembagaan Irsal Ambia mengingatkan agar tim manajemen Saiful Jamil memahami betul konstruksi hukum yang ada dalam undang-undang penyiaran. Jadi, kalau KPI ditanya apakah boleh melarang atau tidak, jawabannya ada di undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Jika membandingkan dengan artis-artis lain, Mulyo Hadir Purnomo menyampaikan tindakan tegas yang sudah diambil KPI kepada lembaga penyiaran yang menayangkan aksi-aksi artis yang tidak pantas. Hal ini juga menjadi bagian dari usaha KPI mengakomodir aspirasi publik yang resah terhadap konten siaran yang nirsusila. Di sisi lain, jika pihak Saiful Jamil merasa dirugikan dengan pemberitaan di media yang memberi citra buruk, Mulyo menyarankan tim manajemen memanfaatkan hak jawab di media. Mulyo pun berpesan, Saiful Jamil harus membangun karakter dan citra yang positif agar penerimaan masyarakat menjadi lebih baik.

 

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi teguran tertulis untuk program siaran jurnalistik “Breaking News” di TVOne dan program siaran jurnalistik “Metro Malam” di Metro TV. Kedua program siaran ini kedapatan menayangkan tayangan yang melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Adapun pelanggaran dalam program siaran “Breaking News” tvOne ditemukan pada tanggal 18 Oktober 2021 pukul 20.14 WIB yakni menampilkan pemberitaan terkait “Polisi Gerebek Kantor Pinjol Ilegal” yang memuat visual gambar ketelanjangan yang diperlihatkan dalam layar monitor komputer. Sedangkan pelanggaran pada siaran “Metro Malam” Metro TV ditemukan pada tanggal 18 Oktober 2021 pukul 23.35 WIB yang juga menampilkan pemberitaan “Lagi, Perusahaan Pinjol Ilegal Digerebek”dengan memuat visual gambar ketelanjangan yang sama dalam layar monitor komputer di kantor pinjol tersebut.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan keputusan memberi sanksi teguran tertulis untuk dua program jurnalistik di dua stasiun TV ini telah melalui proses klarifikasi dan rapat pleno penjatuhan sanksi. Menurutnya, visual tidak etis yang ada dalam program siaran tersebut telah mencederai nilai-nilai yang berlaku di masyarakat serta aturan penyiaran. 

“Kami sangat menyayangkan tayangan tersebut dapat lolos. Meskipun hal tersebut adalah fakta lapangan, semestinya hal itu bisa dicegah oleh sistem sensor internal yang ada di kedua TV, misalnya dengan bluring atau ditutupi. Kami memahami gambar itu tidak disengaja, tapi penekanan kami adalah kehati-hatian dalam menayangkan dengan terlebih dahulu melakukan cek dan ricek terhadap isi berita menjadi hal yang paling utama. Sebagai sebuah berita, fakta ini penting diketahui masyarakat agar tidak gegabah menggunakan jasa pinjol yang mulai meresahkan masyarakat. Bentuk-bentuk tindakan penagihan dengan cara-cara yang tidak benar bisa disampaikan melalui deskripsi reporter atau news anchor. Hal ini untuk meminimalisir hal-hal yang tidak terduga muncul seperti tayangan tersebut,” jelas Mulyo. 

Mulyo mengatakan, tayangan ketelanjangan tersebut telah melanggar pasal-pasal terkait penghormatan terhadap nilai dan norma kesopanan serta kesusilaan yang ada di masyarakat dan agama dalam P3SPS. Selain itu, melanggar pasal yang mewajibkan setiap lembaga penyiaran memperhatikan prinsip-prinsip jurnalistik dengan tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

“Meskipun ini tayangan jurnalistik atau berita, bukan berarti ada pengecualian atau dispensasi terhadap gambar atau isi yang sampaikan. Semuanya harus sesuai dengan aturan yang berlaku karena aturan jurnalistik di P3SPS KPI mengadopsi prinsip-prinsip jurnalistik yang berlaku diantaranya tidak boleh ada gambar cabul,” kata Mulyo. 

Sebelumnya, KPI telah meminta kedua stasiun TV untuk memberikan klarifikasi atas tampilan ketelanjangan dalam program siaran jurnalistik di masing-masing TV. Dari jawaban yang diperoleh, terdapat unsur ketidaksengajaan. Atas tampilan tayangan tidak etis tersebut, kedua stasiun TV telah menyampaikan permintaan maaf. 

“Keduanya telah kami minta klarifikasi. Atas pertimbangan klarifikasi tersebut kami memberikan sanksi teguran kepada keduanya. Kami berharap kejadian ini tidak terulang kembali. Karenanya, kami meminta kepada seluruh perangkat redaksi dan juga produksi di lembaga penyiaran untuk senantiasa memperhatikan ketentuan atau pedoman penyiaran yang berlaku. Ini salah satunya untuk menghindari dampak buruk akibat tayangan. Kami berharapnya isi siaran kita aman, nyaman, baik, sehat dan penuh manfaat bagi masyarakat,” tandasnya. ***

 

Yogyakarta -- Mutu dan kualitas konten siaran tidak sepenuhnya terbentuk oleh mekanisme pemberian sanksi atau punishment. Perilaku menonton masyarakat seperti memilih sebuah program siaran TV atau mendengarkan acara radio tertentu, ikut berperan dalam menentukan tinggi rendahnya kualitas sebuah program siaran. Artinya, jika publik masih gemar menonton tayangan tidak berkualitas, maka kreatifitas dan pola produksi siaran akan mengikuti.

Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, dalam kegiatan diseminasi hasil Riset Indeks Kualitas Program Siaran TV  di Yogyakarta, Selasa (3/11/2021), mengatakan berbagai kebijakan KPI pada dasarnya diarahkan untuk mencapai idealitas kepentingan publik, namun juga harus memperhatikan realitas pilihan publik, serta terus memberi tantangan pada  kreatifitas produksi siaran. 

“Pendekatan sanksi atau teguran tidak cukup untuk mengubah siaran kita menjadi baik. Ketiga hal  tersebut saling terkait dalam membentuk dan menciptakan kualitas siaran,” kata Hardly. 

Peningkatan kualitas siaran juga tidak sepenuhnya ditentukan oleh lembaga penyiaran. Menurutnya, resultan dari relasi dinamis antara seluruh stakeholder ikut menentukan kualitas tersebut.

“Ini yang perlu saya sampaikan, karena ada mekanisme hukum permintaan dan penawaran. Ada interaksi antara KPI dengan lembaga penyiaran, ada interaksi antara lembaga penyiaran dengan masyarakat dan itu semua berujung pada wajah penyiaran kita hari ini. Jadi jangan semata-mata hanya satu titik saja yang kita katakan salah, tapi perlu ada upaya stimulasi pada proses produksi siaran di satu sisi dan  pilihan penonton di sisi yang lain,” tutur Hardly.

Dia menegaskan bahwa idealitas kepentingan publik harus menjadi standar indeks kualitas. Kemudian, realitas pilihan publik distimulasi melalui diseminasi kepada publik tentang bagaimana sebuah program dinilai berkualitas atau tidak. Dari realitas itu, ada upaya intervensi untuk menstimulasi proses kreatifitas produksi konten siaran. 

“Dan catatan kritis dari hasil riset ini juga bisa mempengaruhi dinamika proses produksi,” ujar Hardly. 

Terkait hal itu, Hardly mengatakan pihaknya punya agenda yang selalu digemakan dalam tagline yakni “Bicara Siaran Baik”. Bicara siaran baik ini semangatnya adalah ketika ada program siaran yang baik harus disebarkan karena ini bagian dari mestimulasi realitas pilihan publik sehingga dari waktu ke waktu pilihan publik makin baik dan berkualitas. 

“Ketika ada siaran yang buruk laporkan ke KPI untuk kemudian kami ambil tindakan. Tugas KPI itu bagaimana dari waktu ke waktu menyiapkan program siaran untuk semakin banyak yang baik dan berkualitas. Jadi penonton memilih siaran yang baik itu penting. Jadi apa yang mereka pilih akan menentukan apa yang menjadi kreatifitas produksi siaran,” jelasnya.  

Dalam kesempatan itu, Hardly berharap diseminasi hasil riset indeks kualitas siaran TV dapat dilakukan terus menerus dan berkelanjutan agar menjadi public discourse (diskursus publik). 

“Saya berharap diseminasi riset ini tidak berhenti dalam forum formal seperti ini, tapi juga bisa menjadi bahan-bahan diskusi berdasarkan kategori program dengan forum yang lebih santai dan bisa banyak orang terlibat, sehingga menjadi diskursus publik tentang berbagai hal tentang penyiaran,” harapnya.   

Sementara itu, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Pengembangan Lembaga UIN Sunan Kalijaga, Prof. Iswandi Syahputra,  menyampaikan hal-hal yang perlu dipahami pertelevisian dan pemirsa, berkaitan dengan kualitas program siaran televisi. 

Menurutnya, kualitas siaran dapat dinilai dari tiga perspektif yang berbeda dan terkadang berlawanan, yaitu perspektif pemirsa (minat pemirsa, kebutuhan dan tuntutan pemirsa), produsen program siaran/konten kreator (kreativitas dan produksi teknis- audio, visual, pencahayaan, editing, dan hal teknis lainnya), manajemen televisi (Program siaran yang berkualitas harus menghadirkan karakteristik tertentu, seperti menghormati pluralitas dan integritas, pengungkapan kebenaran, kecerdikan dan tidak adanya kekasaran dan sensasionalisme).

Dosen Komunikasi UIN Sunan Kalijaga, Bono Setyo, menyampaikan beberapa temuan riset terkait siaran religi. Temuan tersebut diantaranya, program siaran religi mendapat tempat pada pemirsa. Menurutnya, hal ini menjadi peluang yang dapat ditangkap semua media dengan membuat berbagai kreasi siaran religi. 

Dalam kesempatan itu, Bono menyayangkan masih banyak televisi yang terjebak komersialisasi sehingga meninggalkan fungsi edukasinya. Selain itu, keberimbangan konten juga belum terwujud. Media televisi juga belum mampu mengangkat kekuatan kharisma figur penyampai konten religi maupun nama program. 

“Siaran religi semua televisi didominasi agama Islam, namun sayangnya belum banyak yang fokus pada intisari ajaran, masih dangkal dan sering kali masih menyajikan konten mistik, horor. Track record dan kredibilitas penyampai konten pun belum diperhatikan media televise,” paparnya. ***/Editor:MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.