Jakarta – Menghadapi era digitalisasi yang padat kompetisi. Ketersediaan sumber daya manusia yang handal menjadi sebuah keutamaan. Oleh karenanya, perlu terobosan besar guna mencetak sumber daya manusia Indonesia berkualitas yang mampu bersaingan dengan siapapun.

Pendapat tersebut disampaikan Anggota DPR RI dari Komisi I, Fadli Zon, saat menjadi pemateri dalam seminar merajut nusantara yang digagas oleh Badan Aksebilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI dengan tema “Pentingnya Digital Skill di Dunia Kerja”, Rabu (6/4/2022)

Menurutnya, pembahasan terkait digitalisasi ini sudah menggema. Bahkan, terkait hal ini, Presiden RI, Joko Widodo, memberi instruksi dengan lima langkah percepatan transformasi digital, salah satunya setiap warga negara Indonesia wajib aktif dan paham dalam sektor penggunan talenta digital. 

“Kemampuan inovasi sumber daya manusia dalam negeri menjadi salah satu hal yang menjadi prioritas dan perlu ditingkatkan. Sehingga SDM Indonesia mampu bersaing dan mengembangkan produk TIK dan bahkan bekerja di bidang TIK,” tutur Fadli Zon.

Dia menyampaikan jika pada 2030 nanti, Indonesia mesti siap beralih ke e-Economy. Menyambut era itu, dibutuhkan sebanyak 17 juta human talents yang adaptif dengan perkembangan teknologi. Karena itu, pemahaman teknologi, inovasi dan pembaruan teknologi menjadi penting. Selain juga integrasi masyarakat di era 4.0 makin tinggi.

“Transformasi digital yang dilakukan Indonesia diharapkan dapat memberikan dampak signifikan bagi pemulihan ekonomi pasca pandemi. Target dari upaya transformasi digital adalah memberikan kontribusi tambahan pertumbuhan PDB dan lapangan pekerjaan,” ungkap Fadli Zon.

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, transformasi digital yang tengah gencar dilakukan pemerintah diperkirakan menciptakan 2,5 juta lapangan kerja baru pada 2024. Bahkan, potensi ekonomi digital akan jadi besar akibat momentum pasca pandemi Covid-19. Ini akan dijadikan modal untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat guna mewujudkan visi Indonesia 2045. 

Pria yang biasa disapa Andre ini menuturkan, mengutip hasil penelitian dari Microsoft tahun 2020, proyeksi lapangan kerja terkait teknologi digital akan terus berkembang di skala global. Jumlahnya diperkirakan mencapai 190 juta pekerjaan pada 2025. Pekerja dengan skill digital di bidang komputasi awan juga bakal banyak dicari, dengan proyeksi 23 juta pekerjaan pada 2025. 

“Dengan pembangunan infrastruktur digital yang terus dikebut, Kementerian Kominfo juga meningkatkan kapasitas talenta digital dengan tujuan dapat memanfaatkan infrastruktur yang ada. Jangan sampai infrastruktur TIK sudah dibangun, tapi kita tidak siap dengan sumber daya manusianya,” kata Yuliandre.

Yuliandre yang pernah menjabat Ketua KPI Pusat periode 2016-2019, mengklaim Kemenominfo telah mengambil inisiatif melakukan program terkait dengan peningkatan kualifikasi dan kualitas sumber daya manusia digital Indonesia. Dimulai dari level yang paling bawah yaitu basic skills yang lahir dari dua unsur yang berkolaborasi antara pendidikan dan pelatihan. 

“Indonesia juga perlu menyesuaikan dengan perubahan pola dan permintaan tenaga kerja, serta membuka akses pelatihan dan pengembangan keterampilan seluas-luasnya untuk semua lapisan masyarakat,” tutup Yuliandre. Darma/Maman/Editor: RG dan MR

 

 

Bandung -- Transformasi penyiaran nasional dari siaran analog ke digital dipastikan membuat kompetisi di kalangan industri penyiaran makin terbuka dan ketat. Menyikapi situasi yang tidak bisa terhindarkan ini, seluruh lembaga penyiaran harus mampu menciptakan inovasi baru dipadu kreatifitas yang beragam agar tidak tertinggal pemain digital global.

Hal itu disampaikan Presiden Joko Widodo dalam sambutannya membuka acara puncak peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) Ke-89 yang berlangsung di Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (1/4/2022). 

Menurut Presiden, kecepatan transformasi digital menjadi salah satu kunci untuk memenangkan kompetisi. Pasalnya, perkembangan teknologi berimplikasi terhadap cara masyarakat dalam mencari dan memperoleh berita. Mereka juga punya cara baru dalam memproduksi dan menikmati tontonan. 

“Penghentian siaran analog atau ASO, tidak hanya menyangkut perubahan dasar dari aspek perubahan teknologi penyiaran tetapi juga menyangkut cara pandang, sikap, perilaku, budaya, serta aspek lain agar menjadi lebih adaptif dalam merespon perubahan,” lanjutnya. 

Presiden juga menyerukan seluruh stakeholer penyiaran agar gesit menyikapi perubahan zaman dengan segera merubah kultur, merubah model bisnisnya, memanfaatkan peluang digitalisasi. Upaya ini dinilainya dapat melahirkan konten-konten yang inovatif dan edukatif. 

Pemerintah, lanjut Presiden, berupaya merumuskan berbagai kebijakan, merumuskan kerangka regulasi yang berkeadilan, moderen dan adaptif terhadap persaingan yang mampu mendorong tumbuh majunya ekosistem ekonomi kreatif dalam negeri. “Membuktikan kemampuan kita berkompetisi di tingkat global,” tuturnya.

Presiden juga menyampaikan harapannya kepada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) agar semakin adaptif dengan situasi terbaru. KPI harus mampu menjalankan peran pengawasannya dengan baik dan mengawal penyiaran Indonesia agar bertanggungjawab, profesional dan makin maju. 

“Saya juga minta insan penyiaran Indonesia mengawal dan bertangungjawab dalam pembangunan mental dan karakter bangsa. Tidak semata mata memberikan tontonan, memberikan hiburan dan informasi kepada masyarakat, tapi juga memberikan edukasi dan sumber inspirasi yang mencerahkan masyarakat. Menjadi alat pemersatu bangsa serta memberikan inspirasi yang berlimpah yang mendorong kemajuan bangsa,” tandas Presiden Joko Widodo.

Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Johnny G Plate, menyampaikan capaian sudah sudah dilalui bangsa ini. Menurutnya, Indonesia telah melewati tiga fase perjalanan yang dimulai dari fase perjuangan, fase kedaulatan maritim dan yang fase ketiga yang akan dilalui dalam waktu dekat yakni fase era digital yakni migrasi siaran analog ke lembaga penyiaran digital. 

“Menjadi tugas dan kewajiban kita memastikan ASO berhasil sukses. Salah satu hal penting dari ASO adalah tersedianya infrastruktur digital,” kata Menteri Johnny.

Dia juga menyampaikan pentingnya ketersediaan perangkat penerima siaran digital yakni STB (set top box). Karenanya, Johnny meminta kepastian LP pemegang MUX untuk menyediakan STB sesuai dengan ketentuan dalam PP (Peraturan Pemerintah) No.46. 

“Komitmen inilah yang akan menyukseskan. Kami berharap lembaga penyiaran yang telah mendapat kewenangan tata kelola MUX, baik TVRI dan 7 LPS lainnya, untuk memastikan perangkat TV yang belum DVBT2 segera memastikan terpasang dan siap untuk menghadapi era baru digital TV kita,” tegas Menteri Johnny.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, menyatakan pihaknya siap menghadapi transformasi digital lembaga penyiaran dengan menyiapkan perangkat pengawasan siaran (TV dan radio) yang lebih moderen. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran lembaga penyiaran untuk menciptakan siaran yang positif, sehat, edukatif, faktual dan berkualitas. 

“Mari sukseskan hari penyiaran nasional ke 89. Bersiaplah menghadapi era penyiaran nasional digital ,” tukasnya. ***/Editor: MR

 

 

Bandung -- Akhir-akhir ini kita sering mendengar istilah soft power dalam banyak diskusi, perbincangan keseharian bahkan pemberitaan. Jika diartikan secara harfiah, soft power adalah kemampuan untuk mengubah atau memengaruhi kelompok lainnya bahkan orang di seluruh penjuru melalui aset-aset yang sifatnya tak benda melalui berbagai saluran yang isinya dikemas dalam pesan bermaksud. 

Lantas, apa hubungan soft power dengan penyiaran. Ternyata keduanya sangat berkaitan karena konten atau isi siaran termasuk salah satu model dari soft power tersebut. Buktinya adalah dampak atau pengaruh yang disebabkannya. Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Mimah Susanti, dalam talkshow Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) Ke-38 bertajuk “Penyiaran Nasional dan Soft Power” yang diselenggarakan di Universitas Pasundan, Bandung, Jawa Barat, Rabu (30/3/2022). 

Menurut Mimah, konten siaran memiliki pengaruh terhadap masyarakat dan juga berpengaruh terhadap medianya. Istilahnya sekarang adalah konten is the king (konten adalah raja. “Jadi ada kaitan antara soft power dengan ruang lingkup penyiaran. Karena soft power ada di konten. Bahkan, soft power di penyiaran bisa dipesan,” katanya dalam talkshow tersebut.  

Namun, soft power yang ada di media penyiaran secara isi tidak sama dengan media sosial. Pasalnya, media penyiaran diatur dan diawasi berdasarkan Undang-Undang (UU) Penyiaran. Karenanya, isi siaran media penyiaran terkontrol, dapat dipertanggungjawabkan dan tidak seenaknya seperti di media sosial. 

“Media itu sukanya extraordinary atau suka dengan hal-hal yang luar biasa. Karena kalau tidak luar biasa orang jadi malas membacanya. Cara-cara ini tidak bisa dilakukan di media penyiaran,” tutur Mimah Susanti.

Hal senada disampaikan Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, saat  memberi sambutan di awal acara. Menurutnya, strategi soft power dalam penyiaran bisa dimanfaatkan untuk tujuan yang baik seperti mengenalkan kebudayaan. “Jadi radio dan TV bisa dipakai untuk ini. Hegemoni ada pada tataran pikiran dan soft power itu seperti ini,” katanya.

Ketua Komisi I DPRD Provinsi Jabar, Bedi Budiman, ikut menguatkan pernyataan bahwa penyiaran menjadi salah satu unsur soft power. Karenanya, penyiaran memiliki peran yang krusial dalam membentuk karakter masyarakat secara nasional maupun internasional. 

“Keberhasilan Korea lewat K Pop bisa menjadi contoh kita terkait soft power. Namun begitu, negara ikut terlibat di dalamnya. Negara juga harus hadir dalam persoalan ini. Karenanya, media harus diatur semuanya. Harus melakukan proteksi dan melindungi masyarakat. Keamanan ideologi dan keadilan ekonomi harus jadi priotas,” katanya di acara tersebut.

Sementara itu, dalam sambutannya, Rektor Unpas, Eddy Jusuf, menyampaikan persoalan ASO di Indonesia yang terlambat jika dibandingkan negara ASEAN lain.

“Beberapa negara di kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Filipina, Malaysia, dan Thailand sudah lebih dulu menerapkan ASO. Saya rasa, upaya transformasi digital harus dilakukan secepatnya untuk mengakselerasi teknologi dan memberikan stimulan terhadap potensi yang mungkin muncul di masyarakat,” paparnya.

Menurut Eddy, industri televisi Indonesia mesti lebih akseleratif dan bisa mengimbangi era digitalisasi, sehingga dunia televisi tidak akan tertinggal teknologi internet. Transformasi digital, lanjutnya, memberi banyak manfaat dan keuntungan. Di samping siaran yang diterima masyarakat semakin baik dan canggih, konten juga kian beragam dengan konsep dan model isi siaran yang lebih khusus.

“Tidak hanya peningkatan kualitas siaran, transformasi penyiaran di era digital juga mampu menumbuhkan ekonomi kreatif dan mengembangkan ekosistem penyiaran baru yang didukung internet berkecepatan tinggi,” tandasnya. ***

 

 

Bandung -- Gubernur Jawa Barat, Ridwal Kamil mengatakan, transformasi penyiaran nasional ke digital harus disikapi secara cepat dan tepat. Pasalnya, migrasi sistem ini akan menyebabkan perubahan besar terhadap tatanan penyiaran di tanah air termasuk manusianya. 

“Digitalisasi penyiaran merupakan keharusan. Dinamika digitalisasi ini akan merubah orang (secara sosial dan cara memanfaatkan media) dan ini tidak  bisa dihindari,” kata Ridwal Kamil, dalam sambutannya di Gala Dinner menyambut Peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) Ke-89 di Gedung Sate, Kamis (31/3/2022) malam.

Selain itu, lanjut Emil, perubahan sistem siaran ini harus direspon secara positif lewat inisiatif dan kreatifitas terutama dalam membuat konten. Soalnya, migrasi ini akan memunculkan banyak TV digital yang artinya harus diimbangi dengan tingginya produksi konten siaran. “Di era digital itu yang penting konten. Jadi jangan kaget kalau nanti akan banyak siaran TV yang sekaligus membuka lapangan kerja,” ujarnya.

Menurut Emil, perubahan yang akan mengubah tatanan penyiaran nasional harus dibarengi antisipasi regulasi yang ketat dan tegas. Memang kehadiran konten menjadi faktor utama dalam digitalisasi, tapi harus tetap mengedepankan isi yang bermanfaat, berkualitas dan baik bagi masyarakat.

“Tetap hati-hati dalam menyiarkan. Siarkan yang menginspiratif, manfaat, edukatif dan baik bagi masyarakat. Media penyiaran itu berbeda dengan media sosial karena harus ada verifikasi baru ditayangkan. Adapun media sosial ditayangkan dulu baru verifikasi atau klarifikasi. Karena itu, kita butuh konten yang inspiratif agar kita bisa mewujudkan target menjadi 4 besar negara maju di dunia,” tegasnya di depan peserta Harsiarnas 2022 yang datang dari berbagai daerah.

Dalam kesempatan itu, Emil meminta kepada masyarakat untuk siap menghadapi peralihan sistem penyiaran ini. Dia juga meminta kepada pemerintah agar memperhatikan daerah-daerah yang belum dapat terjangkau sinyal komunikasi dan siaran. Menurutnya, di wilayah Jabar masih terdapat sejumlah titik yang belum terlayani penyiaran dan komunikasi. “Kami minta ini jadi perhatian dan perlu kerja bersama,” tuturnya.

Ketua KPI Pusat, Agung Suprio, di tempat yang sama, menjelaskan alasan pihaknya memilih Bandung sebagai tuan rumah peringatan Harsiarnas ke 89. Menurutnya, kota Bandung memiliki sejarah penyiaran terkait menggemakan proklamasi kemerdekaan negeri ini ke seantero negeri dan dunia. 

“Ini pusatnya industri kreatif juga memiliki jumlah TV paling banyak dan radio juga. Akan tetapi kenapa Bandung yang terpilih, karena ada nilai sejarah khususnya penyiaran. Jadi pada waktu, Bung Karno memproklamirkan kemerdekaan di Pegangsaan, agar menggema ke seluruh dunia, siarannya juga disampaikan melalui radio di sini yang sekarang jadi RRI Bandung,” jelasnya.

Di akhir sambutannya, Agung berharap, terpilih kota Bandung sebagai tuan rumah Harsiarnas makin menumbuhkan kreatifitas masyarakatnya. “Semoga hal ini makin menjadikan Jabar sebagai provinsi yang kreatif,” tandasnya. ***/Foto: AR/Editor: MR

 

 

Jakarta -- Iklan produk rokok di lembaga penyiaran diatur sepenuhnya dalam Undang-Undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. UU yang sudah berusia 20 tahun ini hanya bersifat melakukan pembatasan pada tayangan iklan rokok di lembaga penyiaran. Indonesia hingga saat ini termasuk segelintir negara yang belum sepenuhnya menerapkan pelarangan iklan rokok di media.

Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia mengatakan, belum ada aturan yang secara khusus mengatur tentang iklan rokok. Selama ini, iklan rokok diatur dalam UU sektoral seperti UU Penyiaran, UU Pers dan UU lainnya. Semestinya, ada UU yang lebih spesifik mengatur kebijakan soal iklan rokok seperti UU Periklanan. 

“Kita tidak ada UU Iklan. Iklan rokok di lembaga penyiaran diatur oleh UU Penyiaran yang rezimnya hanya pembatasan saja. Sehingga aturan yang dibuat KPI dalam P3SPS pun hanya melakukan pembatasan saja. Namun begitu, pembatasan iklan rokok yang dibuat KPI sedemikian ketat agar tampilan iklan rokok yang muncul tidak menarik orang,” jelas Irsal di forum diskusi The First ITCRN Conference: Tobacco Control for Sustainable Recovery yang diselenggarakan secara daring oleh Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia (UI), Selasa (29/3/2022).

Menurut Irsal, iklan rokok masih menjadi andalan industri penyiaran dalam mendapatkan sumber iklan. Ditambah lagi banyak kegiatan atau event yang disponsori oleh perusahaan rokok. Jadi betapa kuatnya industri ini menyokong media penyiaran secara finansial. 

Terkait hal itu, Irsal mengusulkan agar para pihak yang ingin pelarangan iklan rokok di media untuk memanfaatkan momentum revisi UU Penyiaran yang sedang dalam tahap pembahasan di DPR. “Saat ini ada angin segar lagi bahwa DPR akan serius melakukan revisi UU Penyiaran dan harapannya akan diselesaikan pada tahun ini. Ini momentum yang tepat untuk mendorong agar UU Penyiaran hasil revisi melarang penayangan iklan rokok di media penyiaran,” usulnya.

Namun begitu, lanjut Irsal, dorongan ini harus memperhatikan konteks regulasi yang lain secara bersamaan karena pelarangan ini sifatnya sangat sektoral. Banyak regulasi dan lembaga terkait yang harus diajak bicara. Apalagi dan dari iklan rokok sangat besar. 

“Jadi harus kerjasama bersama seperti dengan kementerian kesehatan, kementerian perdagangan dan pihak lainnya. Karena hal ini akan menyankup hal yang umum. Jika pemerintah belum mengarahkan pada aturan larangan sampai kapanpun akan bersifat pembatasan,” ujar Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Sementara itu, Vanda Siagian, Perwakilan P2PTM dari Kementerian Kesehatan, menyampaikan data riset dari Kemenkes bawa terjadi peningkatan jumlah pengkonsumsi rokok di kalangan perempuan dan usia lebih muda. Peningkatan prevalensi perokok perempuan mencapai 2,3% dan untuk perokok usia muda mencapai 75%.

“Untuk jumlah perokok antara usia 10 hingga 14 tahun mencapai 23% dan perokok di usia antara 15 hingga 19 tahun mencapai 52%,” kata Vanda.

Menurut Vanda, perlu upaya terstruktur diantaranya amandemen PP No.109 tahun 2012 agar laju perokok di usia muda menurun. Rencana amandemen PP ini sudah dilakukan sejak 2017 dan hingga sekarang belum mencapai kesepakatan. 

Dalam kesempatan itu, mewakili Walikota Depok, Fitriawan Sahli, menyampaikan kebijakan pemerintah daerahnya menekan laju perokok di wilayah kota Depok. Depok menjadi wilayah pertama yang tegas melarang segala bentuk iklan dan aktifitas lain terkait rokok. 

“Kami ingin menciptakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat. Kami juga ingin melindungi kesehatan masyarakat dari bahaya asap rokok terutama juga menceggah perokok pemula,” tandasnya. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.