Jakarta - Pemilik Televisi Trans TV dan Trans 7, Chairul Tanjung, berkomitmen untuk meningkatkan kualitas siaran televisi miliknya. Mengingat pada dasarnya semua lembaga penyiaran memiliki tujuan yang sama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yakni menghadirkan muatan siaran yang berkualitas pada masyarakat. Hal itu disampaikan Chairul dalam pertemuan dengan jajaran komisioner KPI Pusat di kantor KPI Pusat (27/8).

Kepada Chairul Tanjung yang datang didampingi jajaran direksi Trans TV dan Trans 7 tersebut, KPI menayangkan cuplikan program-program siaran dari Trans TV dan Trans 7 yang mendapat sanksi dari KPI. Ketua KPI Pusat Judhariksawan menyatakan bahwa KPI sudah memulai proses evaluasi kepada lembaga-lembaga penyiaran yang akan mengurus perpanjangan izin siaran tahun 2016.  Hal ini sejalan dengan arahan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara yang meminta KPI menyiapkan Rapor dari masing-masing televisi yang akan mengajukan perpanjangan izin tersebut.

Usai melihat cuplikan program dari kedua televisi miliknya yang mendapatkan sanksi dari KPI, Chairul Tanjung mengaku sependapat dengan KPI, bahwa hal-hal berlebihan seperti pornografi, kekerasan, berita kontroversi, pelanggaran privacy, dan pelanggaran perlindungan anak, harus dieliminir dari televisi. Dirinya bahkan meminta agar KPI memberikan duplikasi cuplikan tayangan yang mendapat sanksi tersebut agar dapat disosialisasikan kepada jajaran produser di televisi miliknya itu. “Agar para produser kami memiliki pemahaman yang sama tentang regulasi, mana yang boleh mana yang tidak,” ujarnya.

Selain itu untuk mendapatkan kesamaan pemahaman tentang regulasi penyiaran, Chairul berharap dapat membuat Sekolah P3&SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran) secara inhouse bagi seluruh pekerja televisi miliknya, dengan arahan dari KPI Pusat. Namun demikian Chairul menyatakan bahwa masalah penggunaan jam siaran untuk acara semacam pernikahan Rafi Ahmad dan Nagita Slavina dapat didiskusikan lebih jauh.

Chairul menyampaikan pula tentang target pasar dari dua televisi miliknya yang bergeser ke arah middle up dengan mengusung nilai-nilai yang edukatif, inspiratif dan komunikatif. “Dengan begitu produser dituntut untuk membuat program siaran yang mengikuti target audience,” ujarnya.

Dalam kesempatan yang sama, Komisaris Trans Media yang juga Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Ishadi SK ikut menyampaikan masukan kepada KPI.  “Kami mendukung KPI sebagai lembaga yang independen,” ujar Ishadi. Selain itu dirinya juga mengharapkan keadilan penegakan hukum agar para pekerja media dapat merasa terlindungi.

Atas pertemuan ini, Ketua KPI Pusat berharap Trans TV dan Trans 7 dapat melakukan perubahan muatan isi siaran menjadi lebih baik, selama setahun ke depan. “Harus diakui, grafik sanksi yang diterima Trans TV dan Trans 7 mengalami peningkatan ,” ujar Judha. Karenanya dia berharap, perbaikan kualitas siaran yang signifikan pada dua televisi ini. Selanjutnya, dalam proses evaluasi perpanjangan izin penyelenggaran penyiaran ini, KPI akan mengundang lembaga-lembaga penyiaran lainnya.

Jakarta - Chief Executive Officer (CEO) Trans Corp Chairul Tanjung bersama jajaran Trans TV dan Trans7 berkunjung ke kantor KPI Pusat. Chairul Tanjung yang biasa dipanggil CT mengatakan, salah satu alasan KPI berdiri untuk mengawasi dan memperbaiki kualitas siaran Lembaga Penyiaran Indonesia.

"Jadi kunjungan ini untuk silaturahmi sekaligus dialog, karena sejak KPI berdiri 12 tahun yang lalu, saya belum pernah ke kantornya. Hari ini, akhirnya bisa terlaksana dan bisa melihat sistem kerja di sini," kata CT di Ruang Rapat KPI Pusat, Kamis, 27 Agustus 2015. Turut hadir dalam kunjungan itu, jajaran pejabat dari Trans Corp seperti Ishadi SK, Titin Rosmasari, Andi Chairil, Alfito Nova, dan sejumlah produser lingkup Trans Media.

Kunjungan diterima langsung oleh Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan Komisioner lainnya seperti Agatha Lily, Azimah Subagijo, Sujarwanto Rahmat Arifin, Fajar Arifianto Isnugroho, Bekti Nugroho, Danang Sangga Buana, dan Amirudin serta Kepala Sekretariat Maruli Matondang. Judharisawan menjelaskan, KPI semula berencana mengundang seluruh pemilik dan jajaran petinggi Lembaga Penyiaran untuk sosialisasi perpanjangan izin sejumlah televisi untuk tahun depan di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

Proses perpanjangan izin ini, menuruut Judha, akan sama pada periode sebelumnya, yakni Kominfo akan melibatkan KPI dalam rekomendasi perpanjangan izin. "Tapi Trans datang duluan, kami beritahukan saja sekalian. Nanti sosialisasi ini akan kami sampaikan ke seluruh Lembaga Penyiaran lainnya," ujar Judha. 

Dalam pertemuan itu CT mengatakan, pemilik televisi manapun tidak ada niat untuk melanggar aturan yang ada. Menurutnya, misi membangun Indonesia melalui televisi sesuai dengan tujuan KPI didirikan. Namun dalam pelaksanaannya, menurut CT, sering ada kelalaian dalam pelaksanaan di lapangan. "Barangkali ini masalahnya belum ada satu pemahaman antara KPI dan teman di pelaksana televisi ini sendiri," kata CT.

Di antara tugas KPI dalam Undang-undang Penyiaran adalah pengawasan dan memberikan teguran kepada Lembaga Penyiaran yang melanggar ketentuan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). Menurut Judha, dalam menjalankan tugasnya, KPI lebih mengedepankan pembinaan sebelum penjatuhan sanksi. "Ini dilakukan agar ada perbaikan untuk  tayangan berikutnya," ujar Judha.

Catatan-catatan pembinaan Lembaga Penyiaran dan teguran yang dikeluarkan KPI selama ini akan dikumpulkan dijadikan bahan evaluasi perpanjangan izin siaran. Menutut Judha, raport atau hasil evaluasi itu akan diserahkan ke Kominfo sebagai bahan rekomendasi perpanjangan, baik itu terkait isi siaran dan Sistem Siaran Jaringan.

Bukan rahasia jika banyak pihak geram dengan perilaku televisi yang menjadikan rating sebagai acuan utama memproduksi program. Kekerasan, seks, dan mistik kerap hadir di layar dengan alasan rating tinggi.

Mengejutkan, ketika Presiden Joko Widodo merasa perlu menyinggung peran media yang selama ini mengejar rating dalam pidato menyambut HUT Ke-70 RI di hadapan SU MPR 14/8/2015. Di mana tanggung jawab televisi?

Presiden Jokowi menyinggung media dan rating dalam pidato kenegaraannya beberapa waktu lalu, ”Ketika media hanya mengejar rating dibanding memandu publik untuk meneguhkan nilai keutamaan dan budaya kerja produktif, masyarakat mudah terjebak histeria publik. Terutama isu-isu yang berdimensi sensasional.”

Pernyataan Presiden ini dipandang keras, bahkan ia mengulangnya sampai dua kali. Bicara mengenai media yang mengejar rating, tentu sasarannya adalah media penyiaran. Media massa selain televisi menggunakan metode lain untuk mengukur daya serap produknya seperti surat kabar atau majalah menggunakan banyaknya eksemplar (oplag) yang laku di pasar.

Sementara media penyiaran (televisi/radio) menggunakan teknik rating untuk mengukur jumlah pemirsa yang menyaksikan suatu program pada waktu tertentu. Tapi, salahkah jika televisi menggunakan rating?

Rating: Antara Kuantitas dan Kualitas

Alat ukur kepemirsaan televisi dengan sistem rating sering menjadi pertanyaan publik. Mengapa tetap dipakai oleh televisi sebagai acuan, padahal program dengan rating tinggi isinya kerap bermasalah. Televisi menggunakan sistem rating karena metode ini yang dipercaya pemasang iklan untuk melihat berapa banyak penonton yang menyaksikan suatu program yang tayang.

Hal ini penting, mengingat televisi terutama yang swasta, merupakan industri padat modal dan mengandalkan pemasukan dari pengiklan untuk membiayai operasionalnya. Yang jadi masalah adalah lembaga konsultan pengukur rating yang digunakan televisi cenderung monopolistik. Alasannya, lembaga inilah satu-satunya yang dipercaya pemasang iklan sebagai alat ukur.

Banyak pihak sering menyangsikan metodologi dan pengambilan sampel dari pengukuran rating ini. Contoh sederhananya adalah pemakaian 2000 pemirsa televisi dari 10-12 kota besar di Indonesia yang menjadi sampel. Penduduk Indonesia lebih dari 250 juta jiwa, dan terdapat lebih dari 500 kabupaten/kota dari Sabang sampai Merauke.

Tentu penduduk dari kota-kota selain sampel tadi tidak akan pernah benar-benar terwakili aspirasinya. Perlu diingat juga bahwa rating ini hanyalah alat untuk mengukur jumlah (kuantitas) pemirsa televisi. Hanya mengukur berapa banyak penonton yang menyaksikan suatu program televisi di suatu waktu tertentu. Rating sama sekali tidak mengukur kualitas tayangan sehingga tidak dapat otomatis dikatakan bahwa pemirsa yang banyak atau rating yang tinggi menunjukkan bahwa program acaranya berkualitas.

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tak jarang justru memberi sanksi mulai dari teguran hingga penghentian pada program yang memiliki rating yang tinggi. Semisal program YKS (Yuk Keep Smile), Smackdown (tarung bebas), dan Sexophone (talkshow).

KPI mendasarkan pengawasannya kepada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) sebagai upaya menjaga agar seluruh WNI dapat memperoleh informasi yang layak dari media penyiaran sebagai salah satu amanah Undang-Undang Penyiaran 2002/32.

Televisi Multistakeholder

Merujuk Robert Picard dalam Media Economics (1989), media televisi melayani keinginan/ kebutuhan dari empat kelompok. Pertama, pemilik, termasuk di dalamnya terkait tujuan ekonomi yaitu memperoleh pendapatan yang tinggi, pertumbuhan perusahaan, serta peningkatan nilai dan aset perusahaan.

Kedua, audiens atau pemirsa. Secara kolektif, audiens mencari produk dan pelayanan media yang bermutu tinggi dengan biaya rendah dan akses yang mudah. Ketiga, para pengiklan, yang mencari akses untuk menyasar target audiens dengan biaya yang rendah melalui pesan-pesan komersial dan pelayanan bermutu tinggi dari media pengiklan.

Terakhir, para pekerja dari organisasi media, yang tertarik untuk mendapatkan kompensasi berupa gaji yang baik, perlakuan yang adil dan sama, suasana kerja yang aman dan menyenangkan, serta segala penghargaan yang didapatkan dari pekerjaannya.

Maka itu, ketika industri pertelevisian di Indonesia cenderung menjadi sangat pragmatis, lebih mengedepankan untung rugi, mengabaikan nilai dan pendidikan publik, lebih mengutamakan hiburan dan berorientasi kepada pasar tanpa mempertimbangkan baik/ buruk efek yang ditimbulkannya, sesungguhnya televisi sudah mengabaikan paling tidak kepentingan dari kelompok stakeholder-nya yang utama yaitu masyarakat.

Padahal, sudah saatnya media televisi tidak sekadar menjadi unit bisnis dan media hiburan, tetapi juga menjadi institusi yang membawa kemaslahatan untuk masyarakat.

Menggugah Tanggung Jawab Sosial Televisi

Televisi yang mengutamakan rating dalam membuat program siarannya sering tidak peduli apakah program tersebut bermanfaat atau tidak bagi masyarakat. Padahal, dampak yang ditimbulkan program televisi buruk yang tetap terus diputar dengan alasan rating tinggi, akan sangat besar.

Sebagai media audiovisual dan menggunakan ranah publik, televisi masuk hingga ke ruang-ruang keluarga. Pemirsa, khususnya anakanak dan remaja, akan mudah terpengaruh dan meniru muatan yang disiarkan televisi. Beruntung jika muatannya baik. Namun, jika buruk, cenderung sensasional, memuat kekerasan, eksploitasi seks, dan mistik, tentu imbasnya juga negatif.

Masalah berlipat mengingat program televisi yang buruk, namun rating-nya tinggi tidak hanya diputar oleh satu televisi, tapi juga kerap ditiru televisi lain dengan program sejenis. Televisi memiliki suatu potensi strategis dalam membentuk karakter bangsa. Daya jangkau yang sangat luas dengan penetrasi tertinggi (95%) bila dibandingkan media lain membuatnya sangat efektif untuk menyebarkan informasi/ide.

Dengan tolok ukur ini, seyogianya tontonan yang ditayangkan harus mampu memberi nilai tambah bagi masyarakat. Televisi dapat berfungsi sebagai ”jendela” masyarakat untuk mengetahui lingkungan di luar dirinya dan mendasarkan informasi tersebut untuk meningkatkan kemakmuran. Itulah amanat dari Pasal 6 UU Penyiaran yang diharapkan mampu dijalankan televisi.

Selaras dengan ini, sesuai Bhinneka Tunggal Ika, tayangan televisi juga diharapkan membentuk karakter moral masyarakat. Bukan hanya agama, melainkan juga moral dalam kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara. Misal dengan lebih banyak menyoroti bagaimana hidup secara toleran di dalam perbedaan demi memperkuat jati diri masyarakat sebagai bangsa Indonesia.

Dalam konteks demokrasi, tayangan televisi juga diharapkan mampu mempertajam kepekaan politik masyarakat. Bukan hanya ragam politik praktis, melainkan juga apa yang seharusnya menjadi hak dan tanggung jawab masyarakat sebagai warga negara demi mencerdaskan kehidupan politik masyarakat sehingga tidak ada lagi yang menjadi objek dan bulan-bulanan politik penguasa.

Kemanfaatan

Televisi sebagai media yang menggunakan ruang publik dengan leluasa dan simultan memunculkan konsekuensi bahwa bukan hanya pemilik perusahaannya yang berkepentingan terhadap isi siaran, melainkan juga seluruh masyarakat. Daya jangkau televisi yang dapat ditangkap di berbagai kota sampai pelosok, jika siarannya tanpa tanggung jawab sosial, bakal menjadi sesuatu yang kontraproduktif.

Tanggung jawab sosial media televisi setidaknya harus muncul dalam konteks memberi kemanfaatan bagi masyarakat berupa siaran yang mendidik, social control, dan agen pengubah. Utamanya dengan menyiarkan lebih banyak nilainilai positif yang menginspirasi masyarakat untuk lebih produktif dan berubah ke arah yang lebih baik serta mengembalikan ruang publik yang nyaman untuk semua.

AZIMAH SUBAGIJO
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat

 

*Terbit di Koran Sindo 25 Agustus 2015

Menumbuhkan (Kembali) Tanggung Jawab Sosial Televisi

source: http://nasional.sindonews.com/read/1036697/18/menumbuhkan-kembali-tanggung-jawab-sosial-televisi-1440470527/2

Jakarta – Umpatan dan celaan yang merendahkan martabat orang lain dari segi fisik, status atau profesi tidak boleh lagi ada di layar kaca meskipun hal itu untuk program candaan atau komedi. Kreatifitas dan kreasi dari artis atau komedian harus lebih cerdas dan berkualitas agar dampak candaan yang buruk tidak menjadi hal yang lumrah bagi masyarakat.

“Rasanya tidak pas jika bahan lawakan mengedepankan hal-hal yang sensitif seperti merendahkan orang lain, baik itu secara fisik, profesi maupun status. Cobalah bahan-bahan lawakan atau cadaan yang mucul itu lebih bernas atau cerdas,” kata Komisioner bidang Isi Siaran, S. Rahmat Arifin saat membuka dialog dengan perwakilan ANTV guna membahas dua program acaranya yakni Pesbukers dan Baal Veer, Rabu, 26 Agustus 2015 di kantor KPI Pusat, Jakarta.

Menurut Rahmat, membuat orang tertawa itu sulit karena butuh ide yang tidak mudah. Tapi, alangkah bijaknya jika ide lawakan yang dimunculkan tidak melulu hal yang sifatnya merendahkan martabat orang lain atau ngerjain.

Selain lawakan, Rahmat juga meminta supaya tayangan yang segmennya untuk anak-anak dan remaja tidak menonjolkan hal yang sifatnya ngebully. Tontonan seperti ini tidak baik efeknya bagi anak-anak karena mereka mudah untuk meniru.

KPI sangat peduli terhadap perlindungan anak dan remaja yang direfresentasikan di dalam P3 dan SPS.  “Saya minta tolong agar intensitas dan kualitas dijaga betul. Konflik yang wajar saja. Kita pikirkan dampaknya pada anak-anak dan remaja,” kata Rahmat yang diikuti anggukan setuju Komisioner KPI Pusat bidang Isi Siaran, Agatha Lily.

Sementara itu, pihak ANTV yang hadir dalam dialog tersebut diberi kesempatan menyampaikan penjelasan terkait beberapa adegan dalam program tersebut yang dinilai melanggar. Sebelumnya, di muka dialog, KPI Pusat menyuguhkan klip tayangan yang melanggar dari kedua program tersebut. ***

Jakarta - Pernyataan bernuansa kritikan dari Presiden Joko Widodo tentang media yang mengutamakan mengejar rating relevan dengan temuan dan tindakan KPI. “Memang ada kecenderungan rating itu menjadi tuhannya media, sehingga penyajian konten seringkali meminggirkan aspek kualitas dan positive impact bagi public,” papar Idy Muzayyad, Wakil Ketua KPI Pusat, Selasa (25/8).

Idy kurang sependapat dengan bantahan yang menyebutkan bahwa kritikan presiden itu akan menjadi preseden ke arah pengekangan kebebasan pers. Karena menurut Idy, arah kritikan presiden sebenarnya lebih banyak kepada program media dan konten nonjurnalistik. 

“Kalau soal kebebasan pers, itu kan konteksnya untuk jurnalistik. Tidak compatible kalau untuk konten media nonjurnalistik memakai paradigma kebebasan pers. Jadi jangan dibiaskan hal ini,” papar Idy.

Temuan KPI berdasarkan survey indeks kualitas program siaran yang dilakukan di sembilan kota di Indonesia dengan melibatkan sembilan perguruan tinggi ternama, banyak program siaran khususnya televisi yang masih kurang berkualitas, misalnya sinetron, infotainment, variety show dan program anak. Untuk program berita, memang banyak juga kritikan dari masyarakat karena seringkali masih menyajikan kekerasan dan ada masalah dengan indepensi dan imparsialitas.

“Jadi saya kira, apa yang disampaikan presiden itu perlu menjadi bahan refleksi dan otokritik bagi media untuk meningkatkan kualitas dan pelayanannya bagi public. Dan rating yang bersifat kuantitatif itu jangan menjadi satu-satunya tujuan, karena perlu diimbangi dengan kualitas,” papar Idy.

Idy menduga pernyataan presiden itu juga dilatari pandangan bahwa media belum sepenuhnya sejalan dengan program revolusi mental yang dicanangkan. Sehingga presiden mengajak agar pekerja media melakukan revolusi mental untuk transformasi media sendiri dan sekaligus turut serta mengembangkan revolusi mental di tengah masyarakat melalui sajian konten media yang relevan.(*)  

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.