Cipayung – Andy Flores Noya akrab disapa Andy presenter acara penuh inspiratif “Kick Andy” berbagi pengalaman dengan kru monitoring isi siaran KPI Pusat dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Monitoring Isi Siaran tahun 2015 di Cipayung, Bogor, Jumat lalu, 26 Juni 2015.

Mengenakan pakaian casual dengan ciri khas kepala plontosnya, Andy bercerita dengan santai bagaimana perjalanan program acara “Kick Andy” dimulai hingga mencapai sukses di mata pemirsa tanpa harus mengikuti arah rating yang berimpact terhadap penyeragaman program. Selain bercerita tentang perjalanan karir Jurnalistiknya, Andy juga menyoroti bagaimana etika jurnalistik atau pemberitaan berubah dari waktu ke waktu karena tuntutan persaingan.

Saat menjadi Pemred di salah satu stasiun televisi berita, Andy pernah begitu marah kepada redaksinya karena menayangkan demo anak-anak sekolah dasar yang melemparkan bangku-bangku sekolah. “Saya juga marah ketika ada tayangan tentang seorang ibu yang di garuk dalam razia PSK ketika sedang menunggu angkot untuk pulang ke rumah padahal ibu tersebut bukanlah PSK. Ini jadi perdebatan kita. Kenapa hal ini bisa masuk,” katanya menggusarkan dampak pemberitaan tersebut terhadap anak-anak dan ibu tersebut.

Menurut Andy, persaingan antar media khususnya televisi tanpa disadari atau tidak mengabaikan etika yang pernah diajarkan pada saat dirinya sekolah Jurnalistik. Pelanggaran etika sudah menjadi hal biasa dan massif pada saat ini. “Nilai-nilai yang kami perjuangkan dulu sudah bergeser karena tuntutan rating,” keluh pria yang semasa duduk di bangku kuliah lebih mengutamakan membeli buku ketimbang jajanan.

Idealisme Andy terus terpelihara meskipun dirinya tidak lagi menjabat pemimpin redaksi. Salah satu buktinya dengan membuat seciamik mungkin program acara “Kick Andy” yang pernah menyabet penghargaan Anugerah KPI untuk program talkshow terbaik. 

Andy membuka rahasia sukses program “Kick Andy”-nya kepada peserta Bimtek berjumlah enam puluh orang tersebut. Menurutnya, sebuah program acara harus memberi impact positif bagi pemirsanya. Karenanya Dia begitu menekankan pentingnya pembahasan di awal produksi untuk meraba bagaimana dampak dari tayangan tersebut, apakah positif atau sebaliknya.

Andy sangat jeli memilih ide-ide yang akan dimunculkan dalam “Kick Andy” dan bahkan tidak segan membuangnya jika ide tersebut tidak sesuai dengan konsep acaranya yang mengutamakan mutu dan etika meskipun harus mengorbankan tawaran yang mengiurkan. “Sebuah program acara itu harus memiliki nilai manfaat bagi masyarakat. Dan, kami selalu melakukan pembicaraan mengenai hal ini sebelum memproduksi program Kick Andy berikutnya,” katanya yang angguki penuh khidmat moderator acara Raden Guntur Kertapati.

Di tengah kondisi bangsa saat ini, keberadan program acara yang bermutu dan inspiratif sangatlah perlu. Andy mengusulkan adanya gerakan untuk mendorong orang melahirkan program-program yang laik dan prositif. “Nilai-nilai itu sangat penting untuk bangsa kita dan ini harus ada dalam setiap program,” katanya.

Dalam kesempatan itu, Andy berpesan kepada para pemantau agar dapat melihat persfektif program-program mana yang memiliki nilai-nilai tersebut. “Semua orang sudah menganggap KPI sebagai lembaga yang kredibel. Jadi, jika KPI sudah menilai sebuah program apakah program itu jelek atau baik, mereka akan percaya. Espektasi masyarakat terhadap KPI semakin tinggi,” tambah Andy.

Menurutnya, setiap manusia itu harus memiliki arti dan manfaat bagi setiap orang. “Dan itu bisa dilakukan melalui propesi masing-masing,” papar Andy disambut riuh tepuk tangan peserta Bimtek Pemantauan Isi Siaran siang itu. ***

Tanggung jawab sosial industri media, khususnya televisi, perlu terus diingatkan. Selain lewat peringatan lisan, tertulis, apabila perlu sanksi hukum.

Selain itu lewat penyadaran tentang kewajiban etis (deontologi) media.

Kita diyakinkan hasil survei Komisi Penyiaran Indonesia belum lama ini. Dari 45 program acara dalam 15 stasiun televisi di Indonesia selama Maret-April 2015, diperoleh nilai indeks kualitas secara keseluruhan 3,25, di bawah angka standar baik 4,0. Televisi cenderung mempertontonkan tayangan sensasional dan kualitas rendah.

Hasil itu membenarkan keluhan banyak orang tentang minimnya perhatian industri televisi sebagai pendidik. Industri media sebagai usaha ekonomi didahulukan. Sisi idealisme, di antaranya memberikan informasi yang benar dalam isi benar dan cara, dikesampingkan. Hasil survei KPI perlu dilanjutkan, pelatuk menggulirkan gerakan menjauhkan televisi jadi alat pembodohan dan perusak moral.
Dalam media televisi, tingginya rating ukuran keberhasilan, sementara dalam media cetak besarnya oplah dan iklan. Rating, oplah, dan iklan memang merupakan faktor kepercayaan publik. Yang terjadi, kepercayaan diperoleh dengan cara tidak etis, pembodohan, sensasional, dan irasional. Kewajiban etis media dilanggar demi kepercayaan pasar dan kepentingan ekonomi.

Televisi memiliki ”kemewahan” lebih dibandingkan dengan media cetak dan digital. Budaya menonton kebiasaan masyarakat memberikan kesempatan besar media televisi berbuat semaunya. Menonton televisi dan mendengarkan radio tidak menuntut persyaratan sesulit membaca. Prinsip komunikasi yang searah dalam televisi, cenderung jadi sepihak sehingga tidak merangsang sikap kritis.

Dengan ”kemewahan” itu, beban kesalahan yang ditanggungnya secara etis lebih besar dibandingkan dengan media cetak dan digital. Upaya kuratif perlu lebih digiatkan. Eksistensi KPI perlu lebih diberi gigi. Tak hanya peringatan, tetapi juga kewenangan membawanya ke ranah hukum, termasuk menutup program siaran. Penguatan posisi KPI jadi keniscayaan. Kenikmatan membawa tanggung jawab.

Untuk mengingatkan deontologi industri televisi yang memasuki ruang-ruang privat dalam proses pembusukan dan pembodohan publik, perlu lebih digencarkan di tengah masyarakat semakin lebih terbuka dan permisif. Kita atur kembali agar industri media, dalam hal ini televisi, kembali ke peranan idealnya sebagai pendidik masyarakat.

Rating yang jadi ukuran keberhasilan perlu dilandasi proses dan cara yang tidak merusak. Survei KPI kita jadikan pelatuk gerakan bersama, termasuk lewat penguatan kedudukan KPI yang jauh dari motivasi kecurangan dan pengawasan apalagi kepentingan sempit.

Survei itu jangan kita sia-siakan sebagai sekadar data, tetapi data yang bicara mengingatkan perlunya penyadaran bersama tentang fungsi edukatif dan kewajiban etis industri televisi.

*Tajuk Rencana KOMPAS 29 Juni 2015

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat menggelar uji publik penyempurnaan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI di kantor KPI Pusat, Senin, 22 Juni 2015. Uji publik ini merupakan upaya KPI menangkap aspirasi dari lembaga penyiaran terhadap perubahan dalam P3SPS KPI tahun 2012. Rencananya, KPI Pusat akan menggelar satu kali lagi proses uji publik penyempurnaan P3SPS sebelum ditetapkan atau diterapkan.

Dalam uji publik pertama ini, KPI Pusat mengundang perwakilan lembaga penyiaran yakni RCTI, MNC TV, Global TV, TV One, ANTV, Metro TV, Trans TV, Trans 7, SCTV, Indosiar, RTV dan Net TV.

Dalam kesempatan itu, KPI Pusat yang diwakili Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Koordinator bidang Isi Siaran Agatha Lily dan Komisioner bidang Isi Siaran S. Rahmat Arifin, mendapatkan banyak masukan dari peserta terkait isi dalam P3SPS yang akan disempurnakan.

Di ujung pertemuan, Rahmat berharap tidak ada lagi kesan bahwa P3SPS mutlak hanya dari keinginan KPI saja. Menurutnya, P3SPS yang akan diterapkan ini merupakan P3SPS hasil pembahasan bersama antara KPI dan lembaga penyiaran. “P3SPS ini merupakan milik bersama,” katanya penuh semangat. ***

Jakarta – Penerapan sistem stasiun jaringan (SSJ) oleh lembaga penyiaran swasta belum terimplementasi sepenuhnya. Jam tayang program lokal yang belum sesuai, komposisi waktu siaran lokal yang kurang dari 10%, tidak terakomodasinya SDM lokal hingga isi konten yang tidak sesuai adalah masalah-masalah yang muncul dalam penerapan sistem ini.

Danang Sangga Buana, Komisioner KPI Pusat di dalam presentasinya menilai, penerapan SSJ belum terimplementasi secara keseluruhan, karena minimnya komitmen LPS atas siaran program lokal. Posisi rating share sebagai ‘dewa’, menyebabkan siaran lokal yang rendah rating dianggap tidak begitu penting bagi LPS. Bahkan, lanjut Danang, belum adanya implementasi SSJ pada waktu yang serentak (seragam), membuat LPS satu dengan LPS lain masih saling iri.

Seharusnya, kata Komisioner bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran ini, waktu siaran program lokal harus seragam dan waktu siaran program lokal itu pada saat pagi dan sore, bukan tengah malam. Lembaga penyiaran mestinya menyiarkan program lokal yang dekat dengan masyarakat atau sesuai dengan kebutuhan mereka. “Dan, upaya ini harus juga selaras dengan komitmen untuk memberdayakan potensi dan sumber daya lokal,” katanya pada saat diskusi bertajuk Bimtek tentang SSJ di kantor KPI Pusat, Kamis, 25 Juni 2015.

Sementara itu, Koordinator bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran yang juga Komisioner KPI Pusat, Azimah Subagijo, memunculkan sejumlah usulan terkait penerapan 10% konten lokal dalam sistem tersebut. Menurutnya, untuk melengkapi evaluasi pemenuhan 10% konten lokal pada Televisi SSJ dengan parameter aspek program yang berkoordinasi dengan Kemenkominfo yakni sistem relay maksimal hanya 90% dari total durasi perhari.

Azimah pun sepakat dengan Danang jika program lokal yang minimal 10% dari total durasi per hari disiarkan pada waktu produktif penonton. Selain itu, program lokal harus sesuai P3SPS dan dekat atau relevan bagi masyarakat.

Adapun Amirudin yang juga Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran, mengetengahkan bagaimana fungsi “cermin budaya lokal” 10%. Menurutnya, lembaga penyiaran jangan terjebak pada pemahaman penayangan “budaya lokal” semata-mata pada budaya material (tarian, debus, wayang, arsitektur), tetapi juga budaya non-material (gagasan, ide, pengetahuan lokal, metode, dll).

Menurut Amir, sapaan akrabnya, pemahaman tersebut terakomodasi oleh tenaga lokal. “Itulah gunanya SDM lokal yang bukan saja paham teknis atau keterampilan penyiaran tetapi juga sebagai pemegang otoritas kebudayaan, dan memiliki kemampuan imajinasi yang cukup,” katanya yang juga dituliskan dalam presentasinya.

Selain itu, lanjut Amir, sistem ini wajib dilakukan dan untuk melaksanakannya dapat memanfaatkan dana CSR perusahaannya sendiri untuk produksi tayangan budaya lokal, atau kerjasama dengan pemerintah daerah dan funding, CSR perusahaan laiannya di daerah.

Penerapan SSJ adalah amanat yang dituangkan dalam UU Penyiaran tahun 2002. Sistem jaringan ini mengandung semangat terhadap aspek keberagaman kepemilikan (diversity of ownership), keberagaman isi siaran (diversity of content), dan kearifan lokal. ***

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) meminta lembaga penyiaran mengevaluasi secara menyeluruh program tayangan variety show dan sinetron yang disiarkan selama ini. Hal itu sebagai tindak lanjut dari hasil Survey Indeks Kualitas Program Televisi yang dilakukan KPI bersama dengan 9 (sembilan) perguruan tinggi negeri di 9 (sembilan) kota besar di Indonesia.

Ketua KPI Pusat Judhariksawan menyampaikan, dalam survey ini KPI menetapkan indikator-indikator yang merujuk pada tujuan diselenggarakannya penyiaran seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Di antaranya adalah membentukk watak, idetitas dan jatidiri bangsa Indonesia yang bertakwa dan beriman, menghormati keberagaman, menghormati orang dan kelompok tertentu. Selain itu, masih merujuk pada undang-undang yang sama, indikator yang ditetapkan oleh KPI adalah program tayangan tidak memuat kekerasan, tidak bermuatan seksual dan tidak bermuatan mistik, horor dan supranatural.

“Dari indikator-indikator ini, hasil survei KPI menunjukkan program variety show dan sinetronmemiliki kualitas yang rendah!” ujar Judha. Terutama untuk indikator membentuk watak, identitas, dan jatidiri bangsa Indonesia yang bertakwa dan beriman. Tentu saja hal ini patut dicermati lebih jauh. Apalagi program variety show di televisi memiliki kuantitas yang banyak, tambah Judha.

Dalam Survei Indeks Kualitas Program Televisi tentang program khusus ini menguji kualitas tiga program, yaitu berita, variety show, dan sinetron. Hasil yang sama juga didapati pada program sinetron. Nilai indeks yang rendah didapati pada indikator membentuk watak identitas dan jati diri bangsa Indonesia yang bertakwa dan beriman, tidak bermuatan kekerasan, dan tidak bermuatan mistik, horor dan supranatural. Namun demikian, nilai indeks yang sangat rendah itu hanya terpusat pada satu program sinetron yang diuji. Sedangkan untuk program berita, memiliki indeks yang lebih tinggi dari variety show dan sinetron, namun masih di bawah standar kualitas yang ditetapkan oleh KPI. 

Terkait rendahnya kualitas sinetron dengan genre mistik ini, Judha meminta lembaga penyiaran melakukan pembenahan atas model sinetron seperti ini. Meskipun ada data yang mengatakan bahwa sinetron-sinetron ini mendapat banyak penonton, tapi jika kualitas tayangan justru bertentangan dengan tujuan, arah dan fungsi penyiaran di tengah masyarakat, KPI menilai sudah saatnya ada perombakan total terhadap sinetron dengan genre mistis. “KPI tidak akan membiarkan masyarakat dicekoki dengan tayangan-tayangan yang justru tidak memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas kepribadian bangsa,” tegas Judha. 

Pada survey ini, responden juga diminta untuk menilai program acara yang berkualitas dari program yang pernah ditonton dalam sebulan terakhir. Hasilnya adalah, Kick Andy, Mata Najwa, Indonesia Lawyers Club, My Trip My Adventure, On the Spot, Hitam Putih, Laptop si Unyil, Mario Teguh, Liputan 6 dan Ini Talkshow.

Hasil survei indeks kualitas program siaran televisi dapat di unduh dalam tautan ini dan ini.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.