Surabaya -- Mengubah kebiasaan masyarakat untuk menonton siaran berkualitas tidaklah mudah. Selain karena tidak banyak tayangan yang memang berkualitas secara tontonan, penonton TV kita belum seluruhnya dibekali edukasi tentang memilih dan memilah tayangan yang memang pantas dan berkualitas bagi mereka. Karenanya, upaya literasi berkelanjutan dan terarah harus terus dilakukan.

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, mengatakan literasi merupakan langkah intervensi kepada masyarakat agar terbekali dengan pengetahuan tentang menonton yang baik. Literasi yang tepat dan berkelanjutan dapat mengubah cara berpikir dan pandangan masyarakat terhadap tayangan. Misalnya, jika mereka menonton sinetron maka yang akan ditonton sinetron yang baik, berkualitas dan penuh nilai. 

“Kita harus melakukan intervensi kepada penonton agar beralih menonton tayangan berkualitas. Kita tidak melarang masyarakat nonton sinetron atau berita apapun tapi harus kita arahkan mereka nonton sinetron atau berita yang berkualitas,” kata Nuning kepada para peserta kegiatan pembekalan tenaga literasi media KPID Provinsi Jawa Timur, Kamis (23/9/2021) di Surabaya. Kegiatan ini merupakan kerjasama antara KPI Pusat dengan sejumlah KPID dalam rangkaian program Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang sudah berjalan sejak 2019. 

Menurut Nuning, para tenaga literasi yang sudah dibekali kemampuan meliterasi harus mampu dan berani menjadi juru bicara di tengah masyarakat tentang  memanfaatkan media. Publik yang tidak memahami dan mengerti bagaimana memilih siaran yang baik harus dibimbing. Selain juga meluruskan soal regulasi dan kewenangan KPI.

“Adik-adik ini peserta merupakan agen potensial sebagai agen literasi KPI,” ujarnya kepada peserta peserta yang sebagian diantaranya adalah mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Jatim dan Jawa Tengah.

Pada kesempatan yang sama, Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano menambahkan, pola menonton siaran yang baik oleh masyarakat secara otomatis akan mengubah orientasi para produsen program maupun lembaga penyiaran. “Jika penontonnya sudah mulai menonton tayangan berkualitas, hal itu akan mengubah kualitas program kita. Sekarang ini arahnya sudah mulai ke sana,” tutur Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini.

Selain itu, Hardly meminta agen literasi untuk mengabarkan atau memviralkan hal-hal yang baik kepada masyarakat. “Bicarakan kepada orang-orang tentang siaran yang baik. Ini sesuai dengan motto kami yakni mari bicara siaran baik. Jadi mulai sekarang sampaikan yang baik-baik saja,” tandasnya.

Selain bicara tentang literasi dan sosialisasi, KPI juga mendorong keterlibatan masyarakat dalam mengawasi isi siaran. Menurut Nuning, pengawasan partisipasi ini dapat membantu KPI mengawasi isi siaran lembaga penyiaran khususnya di daerah. “Perlu diketahui bahwa jumlah lembaga penyiaran di tanah air berjumlah ribuan, terdiri dari 3000 radio dan 700 televisi. Karena keterbatasan infrastruktur dan sumber daya manusia maka peran serta masyarakat sangat diperlukan untuk mengawasinya,” pintanya.

Dalam kegiatan bertajuk bimtek tersebut, ikut hadir Ketua KPID Jatim, Afif Amrullah, Komisioner KPID Jatim, Amalia Rosyadi Putri dan Immanuel Yosua Tjiptosoewarno. ***/Editor:MR

 

 

Surabaya -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) terus memastikan pemahaman terhadap aturan penyiaran khususnya Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) tahun 2012 dapat diterima dan dipahami secara utuh dan jelas oleh lembaga penyiaran dan seluruh komponen produksi di dalamnya. Dengan begitu, pengertian maupun pemahaman terhadap aturan ini tidak hanya secara tekstual saja tapi juga secara kontekstual.

“P3SPS harus dipahami secara tekstual dan kontekstual oleh seluruh insan penyiaran dan ini sangat penting. Oleh sebab itu, forum dialog seperti ini harus dilakukan secara berkala,” ujar Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi kegiatan Akademi P3SPS Angkatan VIII yang diselenggarakan KPID Provinsi Jawa Timur di Surabaya, Kamis (23/9/2021).

Dia mengatakan, P3SPS yang merupakan turunan dari UU Penyiaran tahun 2002 ini merupakan panduan, koridor dan rambu-rambu yang harus dipahami dan dipatuhi seluruh insan penyiaran. Pasalnya, pedoman ini dibuat atas dasar konsensus bersama seluruh stakeholder penyiaran di tanah air.

Namun begitu, lanjut Hardly, permintaan untuk mematuhi aturan ini jangan diartikan sebagai bentuk pemasungan terhadap kebebasan berkreasi. Menurutnya, pedoman yang sedang dalam tahap revisi ini dimaksudkan untuk menciptakan program siaran yang kreatif juga berisi nilai edukatif dan informatif.

“Implementasi P3SPS dalam proses produksi program siaran kami harapkan dapat menghasilkan konten yang baik dan berkualitas, serta menjadi parameter dalam produksi konten di berbagai platform informasi dan hiburan,” katanya kepada para peserta akademi yang berasal dari perwakilan lembaga penyiaran dan mahasiswa.

Hardly juga menjelaskan pemberian sanksi untuk lembaga penyiaran merupakan bentuk pembinaan lembaganya agar ada perbaikan terhadap tayangan. “Sanksi juga sebagai pencegahan adanya pelanggaran yang dilakukan lembaga penyiaran lain. Misalnya, kita kasih sanksi untuk tayangan sinetron di salah satu TV yang kemudian dicermati oleh TV lain agar tidak mengulangi kesalahan atau pelangggaran yang sama. Jadi pembelajaran bagi lembaga penyiaran yang belum melakukan pelangggaran,” tegasnya.

Meskipun keputusan sanksi dapat membuat efek jera pada lembaga penyiaran, tetap saja ditemukan pelanggaran isi siaran di sejumlah TV. Menyangkut hal ini, Hardly menyebutkan beberapa penyebab, diantaranya karena kualitas konten kreator yang rendah. Kemudian, terjadinya proses produksi kejar tayang sehingga unsur kualitas konten tidak jadi prioritas. 

“Selain itu, kami menilai tim produksi kurang memahami regulasi  yang ada  yakni P3SPS. Mungkin juga ada kelalaian dari lembaga penyiaran. Dan yang terakhir disebabkan karena rating  dan share. Jangan-jangan ini disukai masyarakat yang kemudian menjadi stimulasi bagi lembaga penyiaran,” ungkap Hardly.

Menurutnya, harus ada upaya dan strategi intervensi untuk meminimalisir dan mungkin mengubah cara atau kebiasan masyarakat tersebut. Salah satunya dengan memasifkan peran literasi media untuk publik. 

“Literasi ini penting agar masyarakat dapat memilah dan memilih program acara yang baik dan bermanfaat bagi mereka. Jika hal ini sudah menjadi budaya, tentunya pola pembuatan atau produksi program acara akan mengikuti kebiasaan tersebut. Selain itu, edukasi ini untuk menghilangkan persepsi salah oleh masyarakat terhadap sensor dan blur yang selama ini dianggap sebagai kewenangan KPI. Padahal KPI tidak berwenang melakukan hal itu,” kata Hardly.

Dalam kesempatan itu, Hardly mengajak seluruh lembaga penyiaran, rumah produksi dan konten kreator menjadi teladan pendistribusi informasi yang selektif. “Informasi untuk masyarakat ini juga harus disampaikan dengan baik dan juga berkualitas,” tandasnya. ***/Editor:MR

 

Jakarta -- Undang-undang No.11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja mendorong peralihan siaran TV analog ke TV digital atau ASO (analog swicth off) dilaksanakan paling lambat pada 2 November 2022. Ini artinya, Indonesia menjadi salah satu negara yang melakukan persiapan paling singkat untuk melaksanakan sistem siaran anyar ini. 

Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah mengatakan, persiapan singkat ini harus dimaksimalkan sedemikian rupa. Terkait hal ini yang penting adalah mempersiapkan masyarakat menghadapi ASO khususnya di daerah. 

“Peran ini harus dilakukan oleh KPID dengan sosialisasi dan literasi. Sosialisasi ini menyangkut misalnya cara mendapatkan set top box-nya. Standarnya seperti apa dan lainnya. Kemudian hal ini dikuatkan soal literasi karena masyarakat kita akan banyak menerima siaran TV setelah berganti siaran digital nanti,” kata Nuning saat menerima kunjungan Komisioner KPID Provinsi Kalimantan Tengah (Kateng) Periode 2021-2023 di Kantor KPI Pusat, Selasa (21/9/2021).

Dia juga menyampaikan faktor lain yang harus diperhatikan KPID menghadapi migrasi ini yakni soal kesiapan infrastruktur, program siaran dan ekosistemnya. 

“Bagaimana KPID harus menumbuh kembangkan lembaga penyiaran yang ada di daerah pada era konvergensi ini. Pasalnya, saat ini sudah banyak media-media grup besar sudah melakukan transformasi tersebut meskipun regulasinya belum ada,” ujar Nuning.

Dalam kesempatan itu, Nuning mendorong KPID untuk meningkatkan pengawasan terhadap konten lokal 10 persen pada TV berjaringan di Kalsel. Menurut dia, upaya ini sangat penting untuk meningkatkan sumber daya lokal dalam penyiaran. 

Komisioner KPI Pusat, Yuliandre Darwis. menambahkan salah satu yang harus dipersiapkan untuk menghadapi era digital dimana akan muncul banyak TV baru adalah infrastruktur pengawasan. “Infrastruktur penyiaran di era ini akan lebih besar karena pertumbuhan TV baru akan meningkat,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua KPID Kalteng, Ilham Bursa, menyampaikan target 100 hari yang harus dicapai kepengurusannya. Dia juga mengatakan pihaknya akan mendorong semua lini lembaga penyiaran, baik dari sisi konten maupun sisi yang lain.

Pada kunjungan itu turut hadir Komisioner KPID Kalteng Henoch Rents Katoppo, Eni Artini, At Prayer, Nisa Rahimia, Chris Philip Alessandro dan Ahmada. ***/Editor:MR

 

 

 

Jakarta -- Proses seleksi calon Anggota atau Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) diharapkan memperhatikan regulasi terkait seperti Undang-undang (UU) No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran, UU Cipta Kerja dan Peraturan KPI (PKPI) tahun 2014 tentang Kelembagaan. Hal ini untuk mencegah munculnya masalah hukum atau polemik di kemudian hari setelah proses pemilihan Komisioner KPID selesai.

“Sangat perlu diperhatikan di mana pemerintah daerah dan tim seleksi sebaiknya mengikuti dasar hukum dan peraturan yang sudah ada supaya tidak ada gugatan dikemudian hari,” kata Komisioner KPI Pusat, Irsal Ambia, saat menerima kunjungan kerja Komisi I DPRD dan Tim Seleksi Pemilihan KPID Provinsi Gorontalo di Kantor KPI Pusat, Rabu (22/9/2021).

Menurut Irsal, secara teknis mungkin ada beberapa hal berbeda di setiap daerah dalam proses pemilihan karena ada aturan di PKPI dibuat secara umum yang ini dapat disesuaikan dengan masing daerah misalnya tes tertulis, wawancara atau tes lainnya. “Namun begitu secara prinsip hal ini tetap mengikuti peraturan yang ada misalnya berpendidikan sarjana atau kompetensi yang setara,” ujarnya. 

Selain itu, lanjut Irsal, pihaknya berharap bahan tes atau ujian dapat menjadi pengukuran penilaian para peserta seleksi. Pasalnya, hal ini terkait peran KPID dalam melakukan pengawasan dan penegakkan peraturan sehingga perlu ada pemahanan yang baik dan kapasitas tentang penyiaran.   

Sementara itu, Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, meminta adanya keterwakilan perempuan dalam pengurusan KPID. Menurutnya, sudut pendang perempuan dalam setiap kebijakan sangat penting terlebih perlindungan anak dan perempuan dalam siaran menjadi tujuan utama pengawasan. 

“Saya berharap agar ekosistem lembaga penyiaran di Gorontalo dapat kembali tumbuh. Ke depannya akan ada Bimtek untuk Komisioner KPID seluruh Indonesia,” kata Echa, panggilan akrabnya.

Di awal pertemuan, Wakil Ketua DPRD Provinsi Gorontalo, H. Awaludin Pauweni, memperkenalkan tim seleksi calon Komisioner KPID yang turut hadir dalam kunjungan tersebut. Dia berharap tim seleksi dapat mengemban tugas dan tanggung jawab serta dapat melakukan koordinasi dan komunikasi dengan semua pihak selama menjalankan proses seleksi tersebut. **/Editor:MR

 

Padalarang - Riset Kebutuhan Program Siaran Lembaga Penyiaran yang mengandung kajian berkenaan dengan minat, kenyamanan, dan kepentingan (MKK) publik terkait isi siaran, merupakan titik pijak dalam mensyiarkan informasi dan hiburan kepada khalayak. Merujuk pada undang-undang Cipta Kerja yang mewajibkan analog switch off (ASO), jumlah televisi yang hadir di tengah masyarakat akan semakin banyak. Hal ini disampaikan Ketua KPI Pusat Agung Suprio  saat memberi sambutan pada Diseminasi Hasil Riset Kebutuhan Program Siaran Lembaga Penyiaran wilayah Jawa Barat, yang dilaksanakan KPI Pusat bekerja sama dengan Universitas Padjajaran (Unpad), (20/9). 

Agung mengungkap, dari data KPI saat ini terdapat 40 lembaga penyiaran yang telah mengajukan izin untuk penyelenggaraan televisi digital. Sebagian besar memiliki kekhususan segmentasi program, seperti TV berita, TV anak, TV Pendidikan dan TV perempuan. Harapannya, dengan adanya riset mengenai kajian MKK Publik ini, keberagaman konten siaran akan tercapai saat diterapkannya penyiaran digital tahun 2022 mendatang. 

Riset ini, ujar Agung, dapat menjadi landasan untuk televisi maupun radio dalam membuat program siaran yang mendekati kenyamanan dan kepentingan publik. “Dengan demikian industri dapat tetap tumbuh dan masyarakat dilayani dengan maksimal,” ucapnya. Agung berharap, riset kajian MKK yang saat ini dilaksanakan untuk wilayah Jawa Barat, dapat dikembangkan di seluruh daerah di Indonesia. Apalagi, secara legal, riset ini dilandaskan pada Undang-Undang Penyiaran, khususnya pasal 8 ayat (3) tentang tugas dan kewajiban KPI. Serta pasal 52 yang menjadi pintu masuk masyarakat untuk berperan serta mengembangkan program siaran lembaga penyiaran.

 

Dalam diseminasi hasil riset, turut hadir pula Ketua Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Dr Dadang Rahmat Hidayat sebagai narasumber. Dadang yang juga Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Unpad mengatakan, hasil riset harus dapat diimplementasikan untuk semua pemangku kepentingan penyiaran.  “Advokasi dan literasi seharusnya tidak hanya pada publik, tapi juga pada pihak lain seperti pengiklan,” ujarnya. Karena, tambahnya, ada juga pengiklan yang berprinsip yang penting iklannya ditonton. 

Dadang mengusulkan agar dilakukan advokasi atas hasil riset agar sampai kepada pengiklan. “Sehingga pengiklan juga paham, oh ternyata selama ini saya beriklan di acara bermasalah,” terangnya. Pengiklan harus dapat diarahkan agar selain iklannya ditonton banyak orang, tapi penempatannya juga berada di program-program yang berkualitas. 

Ini juga yang menurut Dadang menjadi upaya menjaga program-program berkualitas di televisi agar keberadaannya dapat berkesinambungan. Kita berharap hasil riset ini bukan hanya mengedukasi publik agar hanya menonton siaran berkualitas, tapi juga pada pengiklan. “Agar mereka paham, iklannya itu punya impact atas keberlangsungan sebuah program siaran,”tegas Dadang. 

Narasumber lain yang turut hadir adalah Dewi Sri Sotijaningsih dari Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). Dewi berpendapat, KPI harus mengaitkan antara hasil riset kajian MKK ini dengan riset indeks kualitas program siaran televisi dan riset kuantitatif dari Nielsen. Tindak lanjut KPI terhadap dari riset ini yang akan menentukan kebermanfaatannya bagi kualitas program siaran televisi mendatang. Ditambahkan Dewi, selain dipublikasikan pada masyarakat, kajian tentang MKK juga harus disampaikan kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Sebagai pemberi izin untuk penyelenggaraan penyiaran, seharusnya Kominfo merujuk pada hasil riset ini.  “Sehingga kita dapat benar-benar mendorong program siaran di televisi dapat semakin berkualitas dan demokratis,” pungkasnya./Editor:MR

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.