- Detail
- Dilihat: 12086
Jakarta – Jurnalis Senior Ishadi Soetopo Kartosapoetro, biasa disapa Ishadi SK, mengatakan selayaknya jurnalis tidak boleh takut menyampaikan berita yang memang benar dan akurat kepada khalayak. Selain itu, lanjutnya, jurnalis tidak boleh berpihak kepada siapapun dalam menyampaikan berita tersebut. Demikian disampaikannya di depan peserta Sekolah P3SPS KPI Angkatan VIII yang berlangsung di kantor KPI Pusat, Rabu, 20 Januari 2016.
Menurut Ishadi, keberanian itu diperlukan dalam jiwa setiap jurnalis untuk mengungkapkan apa yang benar dan perlu disampaikannya. Namun keberanian tersebut harus juga dibarengi dengan kedewasaan berpikir demi keselamatan jiwanya. Jangan sampai karena keberanian atau kenekatannya hal itu justru menyebabkan jiwanya terancam.
“Jurnalis yang berani itu juga tidak bisa diajak kompromi. Selain itu, jurnalis juga harus bisa menjalin hubungan baik dengan narasumbernya dan hal ini sangat penting untuk mempermudah kerjanya sebagai pencari berita,” tambah Ishadi yang dikenal sebagai praktisi paling ulung dalam bidang penyiaran di Indonesia.
Beberapa contoh tentang jurnalis pemberani dan terkenal juga disampaikan Ishadi ke peserta Sekolah P3SPS. Salah satunya adalah jurnalis atau koresponden CNN Peter Arnett yang bertugas di Irak selama perang teluk berlangsung. Peter yang sudah berdiam diri di Irak sejak lama dan memiliki hubungan baik dengan pemimpin Irak kala itu, Saddam Husein, menjadi satu-satunya wartawan yang mampu menyajikan informasi terkini dan terakurat seputar perang teluk. Karena keakuratan beritanya, sekelas Presiden AS George Bush harus rela menunggu berita yang disampaikan Peter sebelum dirinya menyampaikan keterangan resmi atau pers conference mengenai tindakan negaranya di Irak saat itu.
Disela-sela ceritanya mengenai kepatutan seorang jurnalis, Ishadi sedikit menyinggung persoalan idealisme dengan kepentingan bisnis dalam sebuah media. Menurutnya, idealisme dan bisnis harus sejalan untuk menjaga kelangsungan hidup media tersebut. Jika media hanya mengedepankan salah satu aspek, kemungkinan media tersebut akan gulung tikar dan itu sudah banyak terjadi. “Kombinasi antara idealisme dan pemikiran bisnis sangat pas demi keberlangsungan hidup sebuah media. Contoh-contoh media yang mampu menggabungkan hal itu seperti Kompas, Tempo dan Jawa Pos,” katanya.
Namun, lanjut Ishadi, keberadaan media atau lembaga penyiaran itu tidak bisa dilepaskan dari sebuah aturan. Karenanya, kode etik atau P3SPS KPI itu harus ada untuk mengatur kita berbuat apa. “Ngeri juga kalau kita melihat kejadian di layar kaca tanpa ada blur atau semacamnya. Moral dan etika itu harus diatur,” tandasnya di depan puluhan peserta sekolah yang berasal dari perwakilan TV dan juga radio. ***