Jakarta - Penyiaran merupakan salah satu media yang efektif untuk merawat nasionalisme, karena informasi yang terkandung dalam penyiaran merupakan instrumen penting dalam menjaga nasionalisme kita. Dengan digitalisasi penyiaran yang memberikan akses informasi lebih merata ke seluruh pelosok di Indonesia, diharapkan ketahanan informasi serta ketahanan budaya juga terbentuk dengan kuat. Hal tersebut disampaikan Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Bidang Kelembagaan Hardly Stefano Pariela saat menerima Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Bidang Media dan Propaganda, di kantor KPI Pusat, (1/3). 

Dipimpin oleh Ketua Bidang Media dan Propaganda Ariansyah, turut hadir Sekretaris Umum Bidang Media dan Propaganda Fachri Hidayat, Wakil Ketua Bidang Agraria Sahdan, serta Wakil Ketua Bidang Pergerakan Sarinah Fanda Puspitasari. Dalam audiensi tersebut Hardly memaparkan tantangan dunia penyiaran ke depan saat siaran analog dihentikan dan siaran digital dimulai. “Jumlah stasiun televisi di masa mendatang akan berjumlah berkali lipat dari sekarang,” ujarnya. Hal ini tentu membutuhkan kemampuan pengelolaan konten siaran yang sesuai dengan regulasi penyiaran, dalam hal ini undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). 

Selain itu, tambah Hardly, masyarakat belum memahami betul bagaimana penyiaran digital ke depan akan direalisasi, apalagi sebagian besar masyarakat masih menggunakan perangkat televisi dengan modulasi analog. Hardly berharap, GMaNI dapat ambil bagian dalam sosialisasi penyiaran digital di tengah masyarakat. Tidak sekedar itu, menurut Hardly, GMNI juga harus ikut mengambil posisi mengingatkan kembali janji pemerintah tentang kualitas penyiaran digital yang lebih jernih dan bersih secara audio visual dan canggih secara teknologi. Tingginya kualitas siaran digital juga harus dapat dinikmati di seluruh pelosok daerah di Indonesia, bukan hanya di kota-kota besar saja, tukas Hardly.  

Pembicaraan bersama mahasiswa ini kemudian berlanjut pada pengaturan konten di media baru. Fachri Hidayat mengatakan secara pribadi dirinya mendukung pengaturan media baru diserahkan pada KPI. Hardly sendiri menilai, sebagai sebuah saluran kebebasan berekspresi selayaknya pengawasan media baru diserahkan pada kelompok masyarakat sipil ketimbang pemerintah. “Tentunya dengan menggunakan pendekatan hukum administratif bukan pidana, untuk setiap pelanggaran,”ujarnya. Apalagi saat ini, pers diawasi oleh Dewan Pers, penyiaran diawasi oleh KPI, yang keduanya merupakan perwakilan dari kelompok masyarakat sipil. 

Secara rinci Hardly memaparkan konten di lembaga penyiaran, televisi dan radio, diatur sedemikian ketat melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). Sedangkan untuk di internet, setidaknya terdapat enam jenis konten yang diawasi oleh Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yakni kesusilaan, perjudian, penghinaan atau pencemaran nama baik, pemerasan dan pengancaman, berita bohong, dan SARA. “Undang-undang penyiaran memang mengatur banyak isu, namun sanksi yang diberikan hanyalah administratif. Sedangkan UU ITE hanya mengatur enam hal, namun memiliki sanksi pidana,” ucapnya. 

Dengan beragam tantangan penyiaran digital ke depan serta disrupsi informasi di media baru, Hardly berharap mahasiswa dapat mengambil peran tidak sekedar sebagai agent of change, tapi juga agent of transformation. Mahasiswa dapat ikut membantu masyarakat melewati transformasi digital ini dengan perilaku yang baik, sehingga komunitas yang terbangun adalah komunitas informatif yang bermanfaat bukan komunitas disinformatif. 

Selain itu, mahasiswa diharap mampu membuat konten bermanfaat di media sosial. Saat ini internet dan media baru menjadi hutan belantara tanpa regulasi yang memadai. Beragam informasi dapat diakses termasuk informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. “Juga informasi yang bertentangan dengan ideologi bangsa kita,” ujarnya. GMNI harus mampu mengisi ruang percakapan di dunia maya dengan konten nasionalisme yang mampu menangkal nilai-nilai yang bertentangan dengan Pancasila. “Kita sedang berhadapan dengan globalisasi virtual. Karena itu kita harus hadapi dengan nasionalisme virtual,” pungkas Hardly.

 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan menjatuhkan sanksi teguran tertulis kepada program siaran “Brownis Jalan Jalan” di Trans TV. Teguran ini diberikan lantaran acara tersebut ditemukan melanggar aturan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012.

Pelanggaran ditemukan tim analis pemantauan KPI dalam ““Brownis Jalan Jalan” tanggal 7 Februari 2021 pukul 12.27 WIB dan tanggal 14 Februari 2021 pukul 12.24 WIB yang menghadirkan 4 (empat) orang pria yang dijuluki sebagai “Galaxy Boys – Galak Galak Sexy”. Selama segmen itu berlangsung, keempat pria berlaku dengan gesture atau bahasa tubuh dan gaya bicara kewanita-wanitaan. Bahkan, terdapat adegan salah seorang dari pria tersebut melakukan video call dan menunjukkan ketertarikannya terhadap seorang pria a.n. Harris. 

Tim pemantauan juga mencatat beberapa komentar grafis dan suara yang ditambahkan dalam segmen itu bernuansa mengukuhkan keberadaan keempat pria tersebut sebagai pria dengan karakter kewanita-wanitaan, seperti “..lo ngga mau video call lagi say?..”,”..aduhhh pusing pala barbie..”, “..jantungan say..”, “..emang kita barang cin..”, “..rasain say..”, “..aku lelah say..”, “..aduh aku ngga fokus deh mainnya, lawannya gede-gede banget berotot lagi jadi pengen nyender, eh maksudnya tanding..”, “..cukup kita aja yang begini cyiinn..”, “..bisa ngga kita candle light dinner aja..”, “..maaf ya manis kalo aku genit..”, dan “..lelaki rasa blueberry ini mah..”. Hal ini dijelaskan dalam surat teguran KPI untuk acara “Brownis Jalan Jalan” Trans TV pada Jumat (26/2/2021) lalu. 

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan KPI diamanatkan oleh UU untuk menjaga konten siaran agar isi siaran berperan dalam membangun watak dan perilaku masyarakat. Jadi hal-hal seperti terlihat dalam tayangan tersebut tidak boleh dieksploitasi agar tidak ditiru anak-anak dan remaja. Menurutnya, hal seperti ini tidak akan ditolerir KPI dan akan disikapi dengan tegas. 

“Kami memutuskan memberi sanksi teguran tertulis untuk “Brownis Jalan Jalan” karena adegan seperti itu jelas telah melanggar aturan penyiaran sekaligus etika dan norma yang ada di masyarakat kita. Belum lagi dampak yang diakibatkannya terutama bagi anak-anak karena hal ini dapat memengaruhi perilaku dan psikologis mereka terkait orientasi gendernya,” jelas Mulyo.

Berdasarkan keterangan dalam surat teguran untuk “Brownis Jalan Jalan” Trans TV, adegan tersebut telah menabrak 6 (enam) Pasal yang ada dalam P3SPS KPI tahun 2012.  Selain menabrak aturan yang ada di P3SPS, adegan di atas juga tidak mengindahkan Surat Edaran Nomor 184/K/KPI/02/16 yang dikeluarkan pada tanggal 18 Februari 2016 serta Nomor 203/K/KPI/02/16 tertanggal 23 Februari 2016 tentang Larangan Menampilkan LGBT. 

“KPI telah menegaskan larangan tampilan atau siaran yang mengarahkan pada perilaku LGBT dalam surat edaran itu. Semestinya, ini menjadi acuan Trans TV dan juga lembaga penyiaran lainnya untuk tidak menyiarkan hal-hal terkait itu. Dalam beberapa kasus di beberapa televisi, hal seperti ini sudah pernah disanksi. TV mestinya belajar dari sanksi-sanksi yang pernah dikeluarkan KPI. Sampai hari ini sanksi-sanksi itu masih bisa dilihat di website kpi.go.id. Kami meminta Trans TV segera melakukan perbaikan dan tidak mengulangi lagi. Kami juga berharap semua lembaga penyiaran agar berhati-hati terkait soal ini. Mari kita buat siaran kita lebih baik,  bermanfaat, dan yang paling utama memberi perlindungan bagi anak-anak dan remaja,” tegas Mulyo. ***

 

 

Jakarta -- Anggota Komisi 1 DPR RI, Yan Permenas Mandenas mengatakan, masyarakat informasi itu ditandai dengan adanya perilaku informasi secara keseluruhan dan berkeadilan hingga pelosok wilayah di Indonesia. Menurutnya, penemuan informasi dengan tujuan tertentu sebagai akibat adanya kebutuhan untuk memenuhi tujuan tersebut.

Terkait hal ini, pandemi Covid-19 menambah pekerjaan rumah di Papua. Pasalnya, optimalisiasi pemanfaatan TIK (teknologi informasi dan komunikasi) di Papua tidak berkembang. Karena itu, pemerintah diharapkan bisa memberikan percepatan jaringan internet terutama di lembaga pendidikan yang ada di Papua.

“Harapan kami dari tanah Papua agar digalakan pembangunan infrastruktur di wilayah-wilayah terpencil dan di perbatasan sehingga masyarakat di sana ikut merasakan kemajuan teknologi sehingga mereka segera memenuhi kebutuhan informasi dan komunikasi tersebut,” kata Yan Permenas dalam seminar daring “Merajut Nusantara” yang diselenggarakan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), awal pekan ini.

Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Yuliandre Darwis mengatakan, pemerataan jaringan internet perlu mendapatkan perhatian yang luas. Hari ini, kata dia, ketika semua orang bicara internet dan digital tentu semua akan melihat cakupan dan jangkauannya. Terkait ini, Papua yang berada di timur wilayah Indonesia masih menjadi pulau yang paling minim mendapatkan akses internet.  

“Kondisi geografis yang beragam serta minimnya ketersediaan infrastruktur, menjadikan masyarakat di beberapa wilayah mengalami kesulitan mengakses pelayanan pendidikan. Tidak semua daerah dapat sinyal. Papua menjadi pulau yang paling minim mendapatkan akses internet,” kata Yuliandre.

Ia menuturkan, berdasarkan hasil pengamatan antaranews di 2020 lalu, kurang lebih 66% wilayah Papua belum bisa mengakses layanan internet dan hal ini berdampak besar pada saat pandemi sekarang terutama untuk dunia pendidikan. Proses pembelajaran daring di Papua hanya dapat dilakukan oleh 48% siswa.

Saat masa pandemi, pembelajaran anak sekolah di Papua banyak dibantu lewat siaran radio khususnya di wilayah pedalaman. Wilayah-wilayah yang tidak terjangkau internet dan TV sangat terbantukan oleh siaran radio. 

“Pemuda Papua juga telah membuat aplikasi yang menggabungkan fitur pariwisata dan e-commerce yang menawarkan informasi wisata, akomodasi, transportasi, kuliner, toko, serta jasa yang sudah diverifikasi. Hal ini tentunya perlu kita apresiasi,” tandas Andre, panggilan akrabnya. */Man

Jakarta – Gelombang desakan serta dukungan agar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektornik (UU ITE) segera direvisi datang dari berbagai kalangan. Berbagai kegaduhan yang timbul akibat dari adanya pasal karet dalam UU ini menjadi alasannya. Padahal UU yang dilahirkan pada 2008 ini diniatkan bukan untuk mengekang kebebasan berpendapat dan berekspresi melalui internet. 

Terkait wacana revisi UU tersebut, Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Pusat (KPI Pusat), Hardly Stefano, ikut mendukung rencana tersebut. Menurut dia, perubahan isi UU ITE khususnya pada pasal karet yang menjadi polemik di masyarakat harus dilakukan. Upaya ini dapat memberi ruang yang lebih dinamis pada kebebasan berpendapat dan berekspresi tanpa dibayangi adanya ancaman hukum pidana. 

“Memang ada yang berpandangan bahwa UU ITE ini diperlukan untuk mencegah dampak negatif dari dinamika komunikasi di internet. Namun tak sedikit pula yang berpandangan bahwa UU ITE ini merupakan UU karet yang berpotensi membungkam kebebasan berekspresi dan berpendapat,” ujar Hardly dalam Webinar yang diselenggarakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya (FDK UINSA) dengan tema “Kebebasan Berpendapat dan Wacana Revisi Pasal Karet UU ITE”, Senin (1/3/2021).

Jika UU ini direvisi, lanjut Hardly, pendekatan hukumnya sebaiknya berkaca pada UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers. Menurutnya, kedua UU ini meskipun mengatur tentang kebebasan dan tanggungjawab berekspresi dan berpendapat dalam media mainstream (konvensional) tetapi mengedepankan pendekatan preemtif dan preventif dengan tetap melakukan tindakan imperatif. 

“Pelanggaran terhadap norma dalam UU Pers dilakukan melalui mekanisme verifikasi, mediasi dan penyampaian klarifikasi dan permintaan maaf secara terbuka. Sedangkan pelanggaran pada norma UU Penyiaran, selain dilakukan verifikasi dan mediasi, juga dikenakan sanksi administrasi. Sanksi pidana menjadi pilihan terakhir untuk dikenakan. Pola seperti ini dapat diterapkan dalam penanganan kasus pelanggaran UU ITE. Jadi lebih persuasi dan edukatif. Lantas, sebaiknya pola yang mengedepankan pendekatan represif dihilangkan dalam paradigma UU ITE hasil revisi nanti,” usul Hardly.

Kapolri memang sudah mengeluarkan Surat Edaran No.2 tahun 2021 tentang Kesadaran Budaya Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan Produktif pada 19 Februari lalu. Intinya surat tersebut memerintahkan seluruh penyidik kepolisian mengedepankan restoactive justice dalam penegakan UU ITE.  

“Keluarnya surat edaran dari Kapolri terkait penegakan UU ITE ini, kita anggap sebagai terobosan hukum, namun sekaligus menunjukkan bahwa memang ada yang kurang tepat dalam paradigma penegakan hukum UU tersebut. Dengan ancaman hukuman pidana, terlihat bahwa paradigma UU ITE lebih mengedepankan prinsip represif-imperatif. Surat edaran ini telah memberi nuansa restoactive, dengan mengedepankan persuasi dan edukasi, serta langkah preemtif dan preventif,” tutur Hardly.

Meskipun telah ada terobosan hukum, Hardly mengatakan surat edaran ini masih menjadi instrumen hukum yang lemah dibandingkan UU. Menurutnya, surat edaran adalah instrumen pengaturan internal dan pada akhinya harus tunduk pada UU sebagai landasan hukum positif yang legitimated. 

“Dapat dikatakan, SE Kapolri ini merupakan solusi sementara. Dibutuhkan solusi yang lebih sistematis dan komprehensif, salah satu opsinya adalah kembali melakukan revisi atas UU ITE atau membuat UU khusus tentang konten internet. Revisi maupun pembuatan UU baru terkait dinamika internet harus mampu mengatur titik keseimbangan antara kebebasan berekspresi di satu sisi dengan kemanfaatan berekspresi di sisi yang lain. Antara kebebasan berpendapat dengan tanggung jawab berpendapat. Juga mengatur titik kompromi antara kebebasan individu dengan norma sosial dan peraturan hukum yang berlaku,” jelas Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini. 

Hardly juga mengusulkan, untuk menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat, dibutuhkan semacam lembaga pengawasan dan abitrase konten atau informasi elektronik. Menurut dia, lembaga ini sebaiknya merupakan representasi perwakilan masyarakat atau civil society seperti Dewan Pers dan KPI. Bukan lembaga struktural pemerintahan. 

“Keberadaan lembaga pengawasan dan abitrase konten internet ini dapat dengan membentuk lembaga baru. Namun jauh lebih baik jika dapat mengoptimalkan lembaga negara independen yang telah ada dengan memberikan perluasan kewenangan,” tandas Hardly Stefano.

Dalam webinar tersebut, turut hadir narasumber lain yakni Anggota Komisi A DPRD Kota Surabaya, Arif Fathoni, dan CEO sekaligus Editor Chief Telegraf.co.id danTelegraf.id, Koeshondo W. Widjojo. ***

 

Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) memutuskan memberi sanksi administratif berupa teguran tertulis kepada program siaran “Status Selebritis” di SCTV. Program acara infotainmen ini kedapatan melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. Pelanggaran ditemukan pada tayangan “Status Selebritis” tanggal 02 Februari 2021 pukul 07.25 WIB. Demikian ditegaskan KPI dalam surat teguran yang telah dilayangkan ke SCTV, 17 Februari 2021 lalu. 

Adapun bentuk pelanggaran berupa tayangan video yang bersumber dari instagram @manaberita yang berisi informasi tentang kehidupan pribadi seseorang (suami mempergoki istrinya selingkuh dengan seorang pria yang diduga oknum lurah). Pada tayangan itu terdapat juga rekaman video amatir yang ditampilkan secara berulang-ulang peristiwa suami melabrak dan meluapkan kemarahannya kepada pasangan tersebut.

Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, mengatakan tampilan video tersebut telah melanggar 8 (delapan) Pasal dalam P3SPS sekaligus tidak mengindahkan Surat Edaran KPI Nomor 591/K/KPI/31.2/12/2019 tertanggal 17 Desember 2019 tentang Program Siaran Infotainment di Lembaga Penyiaran Televisi. “Kami menilai tayangan video tersebut tidak memperhatikan penghormatan terhadap hak privasi seseorang sekaligus perlindungan terhadap anak dan remaja dalam siaran. Padahal acuan ini telah diatur tegas dalam P3SPS KPI,” tegasnya, Rabu (24/2/2021).

Menurut Mulyo, pihaknya tidak akan mentolerir segala bentuk siaran yang mengekspose persoalan atau masalah pribadi orang dalam semua mata acara. “Tayangan seperti ini rendah kadar kemanfaatannya. Memang dapat memberi pelajaran tentang kehidupan berrumah tangga. Tetapi visual yang dimunculkan justru membuka kemungkinan dampak baru di masyarakat. Belum lagi kalau yang menontonnya anak-anak dan remaja, ini akan memberi pengaruh yang tidak baik bagi mereka,” kata Komisioner bidang Isi Siaran ini.

Ia meminta kepada SCTV dan seluruh lembaga penyiaran untuk lebih jeli, teliti dan berhati-hati sebelum menayangkan sebuah informasi ataupun video terlebih jika itu viral di masyarakat. “Tidak semua hal yang viral di media sosial mesti masuk ke dalam ruang siaran. Televisi saat ini banyak yang terlalu ceroboh mengambil muatan viral di media sosial demi sesuatu yang sensasional agar ditonton. Mestinya dilihat dan dipertimbangkan apa dampak dan  manfaatnya bagi masyarakat. Bagaimana pun televisi sebagai ruang publik ini harus dimanfaatkan sebesar-besar untuk kepentingan masyarakat lewat informasi dan siaran yang baik serta berkualitas,” tandas Mulyo. ***

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.