Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyampaikan apresiasi tinggi kepada lembaga penyiaran yang telah menyampaikan informasi dengan bijak dan tidak menimbulkan ketakutan terkait aksi teror bom bunuh diri di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), Minggu (28/3/2021) lalu, serta kasus penyerangan Kantor Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Polri). 

“Kami juga berterimakasih kepada lembaga penyiaran yang tidak memframing agama manapun terkait teror bom tersebut. Karena kita semua paham terorisme itu tidak beragama. Tidak satu pun agama di Indonesia yang membenarkan dan mengajarkan terorisme kepada umatnya,” kata Komisioner KPI Pusat, Mohamad Reza, Selasa (30/3/2021).

Reza menegaskan, pihaknya mengutuk keras tindakan teror aksi bom bunuh diri di salah satu Gereja di Kota Makassar pada hari akhir pekan lalu. “Karena itu, KPI mengajak seluruh komponen penyiaran untuk memperkuat kekuatan bangsa dan persatuan Indonesia agar tidak goyah oleh paham-paham apapun yang memecah bangsa ini,” tambahnya.

Berdasarkan hasil pemantauan tim analis KPI Pusat, belum ditemukan adanya potensi atau indikasi pelanggaran siaran oleh lembaga penyiaran terkait pemberitaan bom bunuh diri tersebut serta kasus penyerangan Mabes Polri. “Ini menjadi catatan baik dan patut kami apresiasi. Semoga hal ini dapat dipertahankan ke depannya,” kata Reza.

Meskipun begitu, KPI tetap mengingatkan seluruh lembaga penyiaran untuk berhati-hati dan memperhatikan aturan siaran terkait pemberitaan kasus terorisme aksi bom bunuh diri di Makassar. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pemberitaan tentang terorisme harus mengacu pada Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) KPI tahun 2012. ***

 

 

(Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari saat menjadi pembicara GLSP di Surakarta)

Surakarta - Dunia penyiaran akan selalu ada dengan segala perubahan zaman serta perubahan teknologi. Industri penyiaran dituntut untuk fleksibel mengikuti perkembangan zaman dengan tetap mengedepankan konstitusi dan juga norma-norma kita sebagai masyarakat Indonesia. Segala dinamika yang terjadi pada dunia penyiaran tentu harus diimbangi dengan regulasi yang adaptif dengan perkembangan zaman. 

Wakil Ketua Komisi I DPR RI Abdul Kharis Almasyhari menyampaikan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam Gerakan Literasi Sejuta Pemirsa (GLSP) yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) di Pendopo Tawangarum, Balaikota Surakarta, (29/3). “Kita menginginkan seluruh konten siaran di seluruh media dan seluruh platform, tidak melanggar undang-undang, konstitusi maupun norma yang ada,” terangnya. Walaupun perubahan terus terjadi, Kharis mengatakan, tetap saja nilai luhur bangsa Indonesia harus dipertahankan, karena inilah kekuatan sekaligus keunggulan disbanding bangsa lain. 

Diantara nilai luhur bangsa yang harus senantiasa dijaga, menurutnya, adalah nilai kesopanan dan kesantunan yang mengikat kita untuk tidak mudah berkonflik dan terpecah belah. “Inilah yang menjadi patokan kami, Komisi I DPR RI, dalam menyusun rancangan undang-undang penyiaran,” tegasnya. 

Dengan adanya undang-undang penyiaran yang baru nanti, selain menjadi patokan bagi KPI untuk melakukan pengawasan konten siaran,  juga mengawal siaran yang sudah multiplatform. Selain itu, Kharis menambahkan, akan berkaitan pula dengan Kementerian Keuangan dalam hal pendapatan negara dari beragam platform media tersebut. “Kita akan buat supaya mereka membuka kantor di Indonesia,” tukasnya. 

GLSP merupakan salah satu kegiatan yang menjadi rangkaian peringatan Hari Penyiaran Nasional ke-88 yang digelar di Surakarta. Selain dari Komisi I, pembicara yang turut hadir adalah Komisioner KPI Pusat bidang Kelembagaan Yuliandre Darwis, Direktur Program RCTI Endah Hari Utami, serta pemenang Kontes Dangdut Indonesia (KDI) Baiq Gita Febliasni.

(Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis)

Di hadapan peserta yang hadir secara offline dan online ini, Yuliandre menyampaikan tentang model kerja KPI dalam melakukan pengawasan konten siaran. Kerja KPI, ujar Yuliandre, adalah pada post produksi atau setelah tayang. KPI tidak melakukan filtering pada konten siaran yang belum disiarkan, sebagaimana kerja dari lembaga sensor. 

“KPI memberikan panduan atau guidance pada pengelola televisi dan radio dalam menyelenggarakan kegiatan penyiaran,” ujarnya. Panduan itu yang dikenal dengan nama Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI 2012. 

Komisioner yang akrab disapa Andre memaparkan tantangan dunia penyiaran ke depan, pada era disrupsi. Tuntutan membuat konten siaran yang kreatif dan berkualitas semakin tinggi, demi menggaet lebih banyak pemirsa, di tengah hadirnya berbagai platform media yang makin menggerus pendapatan iklan dari lembaga penyiaran. 

Televisi, ujar Andre, sudah diperkirakan menemui senjakala dalam waktu yang dekat. Namun karena kreativitas produksi konten yang kuat, banyak program siaran di televisi saat ini yang justru mendapat rating tinggi. Andre menunjukkan salah satu sinetron di RCTI yang masih tayang sekarang, mampu menggapai rating tertinggi dalam waktu lima tahun terakhir. 

Terhadap kualitas konten siaran, KPI telah membuat riset indeks kualitas program siaran yang memberikan penilaian secara kualitatif. Sejauh ini, ujar Andre, memang masih ada program siaran yang di bawah nilai standar, seperti infotainment. Tapi secara keseluruhan, program siaran televisi terus melakukan perbaikan, sebagaimana yang tergambar dalam hasil riset yang dibuat KPI. 

Acara ini diawali dengan sambutan dari Walikota Surakarta Gibran Rakabuming Raka dan pembicara kunci Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Seluruh rangkaian kegiatan peringatan Harsiarnas yang dilakukan KPI, tetap mengedepankan protokol kesehatan. Diantaranya dengan melakukan tes swab antigen di lokasi, sebelum pelaksanaan kegiatan. (Foto: Agung R)

 

 

(Ketua DPR RI Puan Maharani)

Jakarta – Industri penyiaran memiliki kontribusi terhadap produk domestik bruto melalui sub-sektor informasi dan komunikasi serta penciptaan lapangan kerja. Sedangkan secara tidak langsung, industri penyiaran memiliki multiplier effect pada sektor lain. Berbagai program yang dikeluarkan media penyiaran dapat mempengaruhi pola dan preferensi konsumsi masyarakat yang tentu berujung kepada kinerja perekonomian. Hal tersebut disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) Puan Maharani saat menjadi pembicara utama Seminar Nasional yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dalam Memperingati Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-88, Selasa (30/3/2021).

Dalam Seminar dengan tema “Penyiaran Sebagai Pendorong Kebangkitan Ekonomi Pasca Pandemi” yang dihadiri secara virtual, Puan berpendapat, melalui lembaga penyiaran, berbagai informasi dan potensi keunggulan ekonomi suatu daerah akan diketahui dan lebih dikenal masyarakat maupun pelaku usaha di daerah lain, bahkan hingga ke luar negeri. ”Dengan penyebarluasan informasi dan potensi ini akan memberikan dampak positif bagi perkembangan perekonomian daerah tersebut,” tegas anggota DPR RI dari Dapil 5 Jawa Tengah ini.

Karenanya Puan mengajak para pelaku media penyiaran agar melihat kemajuan teknologi sebagai sebuah kesempatan. Khusus di masa pandemi ini, Puan mengajak media-media penyiaran di seluruh Indonesia dapat terus membangkitkan semangat gotong royong bangsa Indonesia untuk mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya. “Saya yakin, ketika penyiaran kita semakin kuat maka ekonomi Indonesia akan semakin hebat,” ungkapnya.

Di tengah derasnya informasi yang hadir di berbagai media, khususnya media sosial, media penyiaran harus menjadi seperti dataran tinggi tempat orang merasa aman. Yakni aman dari hoax, karena informasi yang disampaikan kredibel, terkonfirmasi, memegang kaidah jurnalistik dan turut mencerdaskan kehidupan masyarakat. Selain itu, tambahnya, masyarakat juga merasa aman karena program-program siaran non berita mengikuti Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS). 

(Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Shalahudin Uno)

Dalam seminar nasional tersebut, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Shalahudin Uno, turut menyampaikan sambutan secara virtual. Sandi mengapresiasi lembaga penyiaran yang selama ini telah berperan aktif mendukung pemerintah mengatasi pandemi. “Langkah yang diambil pemerintah ini tentu tidak lepas dari peran industri penyiaran dalam mendiseminasikan referensi untuk masyarakat atas berbagai kebijakan pemerintah, khususnya di sektor pariwisata dan ekonomi kreatif,” ujarnya. 

Sandi berharap, industri penyiaran dapat berkolaborasi dengan pihaknya untuk menyiarkan konten yang inspiratif mengenai langkah strategis pemulihan destinasi pariwisata dan ekonomi kreatif di Indonesia. Dia juga mengajak segenap pengelola televisi dan radio untuk senantiasa menghadirkan informasi yang akurat, valid dan berimbang. “Serta memproduksi hiburan yang sehat, mendidik, bermanfaat dan mencerdaskan masyarakat,” pungkasnya. 

Dalam Seminar Nasional ini, hadir sebagai pembicara Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz, Ketua KPI Pusat Agung Suprio, Staf Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika R. Niken Widyastuti, Direktur Utama LPP TVRI Imam Brotoseno, Direktur Program dan Produksi LPP RRI Soleman Yusuf, serta Ketua Umum Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Syafril Nasution.

 

 

 

Surakarta - Revisi undang-undang penyiaran, diharapkan dapat mulai dibahas setelah rampungnya undang-undang perlindungan data pribadi (PDP) yang diperkirakan tuntas pada bulan Juli. Selanjutnya Komisi I DPR RI akan melakukan pembahasan rancangan undang-undang penyiaran sebagaimana yang telah ditetapkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2021.

Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafidz menyampaikan hal tersebut saat menjadi narasumber Seminar Nasional yang dilangsungkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dengan tema “Penyiaran Sebagai Pendorong Kebangkitan Ekonomi Pasca Pandemi”, di Auditorium RRI Surakarta (303).

Secara khusus Meutya menilai, topik yang diambil KPI dalam seminar yang menjadi rangkaian peringatan Hari Penyiaran Nasional (Harsiarnas) ke-88 ini sangat kontekstual. “Mungkin ini Harsiarnas pertama yang membahas ekonomi,” ujar Meutya. Saat ini negara memang sangat fokus terhadap pembenahan ekonomi dan kita berharap semua sektor termasuk penyiaran, ikut berkontribusi dalam pemulihan ekonomi.

Salah satu tujuan penyiaran yang disebut dalam undang-undang penyiaran saat ini, ungkap Meutya, adalah untuk meningkatkan perekonomian nasional. “Jadi semangat penyiaran hadir untuk membantu perekonomian sudah ada dalam undang-undang saat ini,” tegasnya.

Undang-undang penyiaran ke depan, menurutnya, harus adaptif terhadap perubahan zaman. Kita harus paham, akan semakin banyak media melakukan konvergensi. Ke depan tentunya harus kita buka kemungkinan satu perusahaan dapat memiliki beragam jenis media, baik itu radio, televisi ataupun online.

Meutya kemudian mengutip undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang juga memuat pasal-pasal yang mengatur tentang penyiaran. Pada prinsipnya, undang-undang cipta kerja ini menembuh kebuntuan akan analog switch off (ASO) sehingga digitalisasi penyiaran dapat segera terealisasi.

Selain itu, politisi dari Partai Golkar ini juga menyebut tentang infrastruktur sharing sebagai upaya menghemat pembiayaan dalam memenuhi kebutuhan informasi masyarakat. “Sebetulnya kalau industry penyiaran dan industri telekomunikasi melakukan infrastruktur sharing, tentu akan menjadi lebih murah dan cepat dalam memenuhi kebutuhan di seluruh Indonesia,” tambahnya.

Dia juga berpendapat, saat ini adalah era efisiensi untuk pembiayaan. Dulu di era kompetisi orang punya hak ekslusif atas sebuah infrastruktur telekomunikasi atau penyiaran. “Sah-sah saja sebenarnya, karena mereka yang menghidupi penyiaran saat ini,” ujarnya. Tapi Meutya mengingatkan bahwa frekuensi ini adalah milik publik dan bukan milik pemilik tower dan infrastruktur saja. Maka ke depan, semangatnya adalah kita bangun infrastrukut bersama-sama. Untuk daerah yang sulit menapatkan undang,  pemerintah dapat ikut serta membantu pembiayaan. “Jadi barengan membuatnya, barengan juga memakainya,” tukasnya. Dia meyakini, untuk mengejar ketertinggalan infrastruktur di Indonesia, tidak mungkin jalan sendiri-sendiri. Harus ada kerja sama dan kolaborasi, tambahnya.

Digital deviden yang didapat dalam migrasi system penyiaran dari analog ke digital, akan menghasilkan multiplier effect termasuk dalam usaha membangun perekonomian negara, termasuk yang paling utama penciptaan lapangan kerja. Akan ada banyak lapangan kerja baru yang terbuka bagi publik. “Inilah yang kita harap dapat membantu sekali pembenahan ekonomi di tanah air, termasuk dalam menyelesaikan pandemi,” tuturnya.

Terkait RUU Penyiaran mendatang, Meutya berharap tidak akan alot lagi pembahasannya, karena faktor yang membuat panjang pembahan dalam RUU lalu adalah soal digitalisasi. “Analog Swich Off sudah diambil pengaturannya di UUCK,” terangnya. Dia menegaskan, RUU penyiaran akan banyak mengatur tentang membuat konten siaran yang baik, bagaimana pengawasan yang baik, juga bagaimana struktur KPI menjadi lebih kuat. Sedangkan untuk lembaga penyiaran publik (LPP), tambahnya, akan diletakkan tidak sama dengan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS). Mengingat untuk LPP tidak hanya hak lebih yang didapatkan, tapi juga kewajiban yang lebih banyak. Dia meyakini pembahasan RUU Penyiaran mendatang betul-betul ke pembenahan konten penyiaran dan industrinya, karena masalah migrasi sistem penyiaran sudah diambil di undang-undang Cipta Kerja, pungkasnya. 

 

 

 

 

Surakarta - Membekali masyarakat dengan kemampuan literasi adalah suatu cara melindungi bangsa ini dari konten negative seperti hoax, hatespeech, pornografi dan kekerasan, yang potensial hadir sebagai akibat dari kemajuan teknologi. Dengan Gerakan Liteasi Sejuta Pemirsa (GLSP) diharapkan dapat menambah dan mengembangkan kemampuan sikap kritis masyarakat, dalam bermedia, khususnya televisi dan radio. Pernyataan ini disampaikan Walikota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka, saat memberikan sambutan dalam kegiatan GLSP yang diselenggarakan KPI Pusat di Pendopo Tawangarum, Balai Kota Surakarta, (29/3). 

Menurut Gibran, perkembangan teknologi informasi yang pesat di saat ini haruslah diiringi dengan peningkatan kemampuan literasi masyarakat. “Sehingga masyarakat memiliki bekal keterampilan untuk dapat memilah dan memilih informasi yang benar dan tak mudah terpengaruh jika informasi yang disampaikan tidak sesuai dengan norma yang ada,” ujarnya. Gibran juga mengajak publik untuk ikut melakukan pengawasan dalam rangka peningkatan kualitas siaran televisi dan radio, agar tercipta siaran yang sehat, mencerdaskan dan bermartabat. 

Kegiatan GLSP di kota Surakarta ini terasa sangat spesial dengan kehadiran Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Wakil Ketua KomisI I Abdul Kharis Almasyhari dan pemenang KDI 2020, Baiq Gita. Agenda literasi sendiri, menurut Ganjar sudah menjadi sebuah kemestian, terutama dalam menyongsong era penyiaran digital. 

Sebagai pemberi sambutan kunci, Ganjar menyampaikan keyakinan bahwa perkembangan teknologi informasi lewat penyiaran itu melompat-lompat. “Jadi ada potensi informasi yang disajikan mengandung hoax dan disinformasi,” ujarnya. Karenanya, tambah Ganjar, literasi kepada publik harus terus digaungkan dan dimasifkan untuk menghasilkan masyarakat yang lebih cerdas dalam bermedia. 

Jika tidak mampu memilah dan memilih informasi yang disajikan media, maka penonton dapat terjebak pada berbagai program yang ditawarkan lembaga penyiaran. Sementara di sisi lain, masyarakat juga harus cerdas meyebarkan informasi yang akurat, sehingga dapa tmembentuk karakter bangsa. GLSP yang hadir dalam rangkaian peringatan Harsiarnas ke-88 ini, turut menghadirkan pula Komisioner KPI Pusat Yuliandre Darwis serta Direktur Program RCTI, Uut Endah Hari Utami. 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.