Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyelenggarakan FGD dalam rangka Penyempurnaan P3SPS dengan tema: Implementasi Penyempurnaan Aturan Periklanan yang Aplikatif dalam P3SPS KPI, KPI Pusat, 10 Oktober 2014 di kantor KPI Pusat, Jakarta.

Beberapa poin penting dalam pembahasan FGD ini diantaranya : (1) batasan maksimal 20% iklan niaga berdasarkan UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 dan proyeksi revisi UU Penyiaran kedepan (perhitungan iklan 20% berdasarkan satuan waktunya, (2) urgency lembaga penyiaran menyediakan dan memproduksi serta menayangkan iklan layanan masyarakat sendiri sebagai bagian dari CSR, (3) penayangan iklan layanan masyarakat cuma-cuma (gratis) dari pemerintah atau lembaga pemerintah berkaitan dengan keselamatan umum, kewaspadaan pada bencana alam, kesehatan masyarakat, dan kepentingan umum lainnya yang disampaikan oleh badan-badan publik.

Narasumber dalam FGD ini adalah Komisioner Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat S. Rahmat M.Arifin, Agatha Lily serta Mochamad Riyanto salah satu Tim Revisi UU Penyiaran. Peserta yang hadir Bambang Sumaryanto mewakili DPI, Ridwan Handoyo , ATVSI, KPID DKI Jakarta, KPID Jateng, Ketua KPID  Jatim, KPID Banten, Ketua KPID Sumatera Selatan.

Fokus poin yang berkembang dalam FGD tersebut mengenai aspek konten yaitu pertama batasan dan atau larangan beriklan melalui televise dan radio, kedua penggunaan slot pemanfaatan durasi secara proporsional.




 


Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menjatuhkan sanksi penghentian sementara pada program sinetron Ganteng-Ganteng Serigala (GGS) yang tayang di SCTV setiap pukul 19.30. Sinetron GGS ini harus dihentikan sementara selama 3 (tiga) hari berturut-turut yaitu mulai tanggal 21,22, dan 23 Oktober 2014.  Sanksi tersebut dijatuhkan oleh KPI, lantaran adanya pelanggaran  Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) pada tayangan 16 Agustus 2014.

Pada episode tersebut sinetron ini menayangkan adegan seorang remaja perempuan melompat ke dalam api serta adegan remaja laki-laki dan remaja perempuan yang mengenakan seragam sekolah berpelukan di lingkungan sekolah. Padahal,  adegan bermesraan dan berpelukan dengan menggunakan seragan sekolah di lingkungan sekolah ini sebelumnya ditemui di tanggal 30 Mei 2014. Dan KPI telah telah memberikan surat teguran kedua, karena adegan tersebut telah melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran  Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 14 dan Pasal 21 ayat (1) serta Standar Program Siaran Komisi Penyiaran Indonesia Tahun 2012 Pasal 15 ayat (1), Pasal 16 ayat (2) huruf b dan Pasal 37 ayat (4) huruf a. Namun pada tayangan GGS 16 Agustus 2014, adegan yang menjadi penyebab sinetron ini mendapatkan teguran kedua justru muncul lagi.

KPI Pusat juga menilai bahwa inti cerita program sinetron GGS tidak mengandung nilai-nilai pendidikan, ilmu pengetahuan dan budi pekerti. Selain itu tampilan yang muncul di sinetron ini tidak sesuai dengan perkembangan psikologis remaja serta bertentangan dengan etika yang ada di lingkungan pendidikan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2) huruf b dan Pasal 37 ayat (1) dan (2) SPS.

Dikarenakan sinetron GGS ini telah mendapat sanksi administratif sebanyak 2 (dua) kali, yakni pada  20 Mei 2014 dan 16 Juni 2014, maka pelanggaran yang timbul selanjutnya mengakibatkan sinetron ini harus dihentikan sementara. Rapat Pleno KPI juga memutuskan bahwa pihak SCTV juga dilarang menyiarkan program dengan format sejenis pada waktu siar yang sama sesuai dengan pasal 80 ayat (2) SPS. Selain itu, SCTV berkewajiban memperbaiki keseluruhan alur cerita program sinetron Ganteng Ganteng Serigala yang sesuai dengan tujuan, arah dan fungsi dari penyiaran sesuai dengan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 SPS. Tindakan penjatuhan sanksi penghentian sementara ini juga sudah melewati forum klarifikasi dengan pihak SCTV yang dihadiri oleh Harsiwi Ahmad selaku Direktur SCTV.

Jakarta - Rencana Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menggagas rating alternatif semakin mendapat dukungan dari berbagai kalangan dan lembaga. Hal itu mengemuka dalam Focus Discusion Group (FGD) rating yang kembali digelar KPI, pada Selasa, 07 Oktober 2014. Di antaranya dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang diwakili Deputi KaBPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Sasmito Wibowo, perwakilan PWI Djoko Laksono, dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia, KPID, dan beberapa perwakilan dari Lembaga Penyiaran.

Dalam diskusi itu, Sasmito memaparkan hasil penelitian perilaku penonton televisi yang dilakukan BPS pada tahun 2003, 2006, 2009, dan 2012. Dari hasil temuan lembaganya, ia memiliki hipotesa, bahwa perilaku konsumen di Indonesia secara tak langsung dipengaruhi oleh lembaga rating televisi.

"Perilaku konsumen ini akhirnya mempengaruhi Indeks Harga Konsumen dan inflasi Indonesia," kata Sasmita.

Pandangan lain, juga datang dari peserta lainnya yang menerangkan tentang dampak adanya monopoli rating televisi dan dampaknya terhadap konten isi siaran, industri, dan perilaku masyarakat.

Di akhir acara, seluruh pihak setuju untuk mendukung penyelenggaraan rating yang akan dilakukan KPI dengan menggandeng lembaga dan pihak-pihak yang kredibel. Ini tidak lain, karena siaran televisi memiliki dampak terhadap seluruh lini kehidupan masyarakat.

"Program rating ini, kami dukung dan akan sampaikan ini ke pihak-pihak terkait. Bagi saya rating sangat berpengaruh pada konten. Konten ini seperti perut bangsa ini," ujar Joko. (ISL)

Jakarta – Implementasi sistem digitalisasi harus diatur dalam regulasi setingkat undang – undang (UU). Hal ini penting dilakukan karena aturan pelaksanaan alih teknologi analog ke digital harus jelas, kuat dan komprehensif. Demikian di tegaskan Anggota DPR RI 2014-2019, Mahfudz Siddiq, dalam Forum Koordinasi dan Komunikasi bertemakan Tantangan dan Peluang Peralihan Sistem Analog Menuju Digital dalam Penyiaran di Indonesia yang diselenggarakan Kemenkopolhukam di Hotel Sari Pan Pacifik, Rabu, 8 Oktober 2014.

Menurut mantan Ketua Komisi I DPR RI periode 2009-2014, sistem digital yang diatur dalam peraturan menteri atau Permen justru menimbulkan ketidakjelasan dan jika permen tersebut bermasalah yang bertanggungjawab adalah menteri. “Kekhawatiran ini pernah saya bicarakan dengan menteri kominfo sebelumnya,” katanya merujuk mantan Menkominfo, Tifatul Sembiring.

Proses digitalisasi tidak sekedar soal perpindahan teknologi, tapi lebih luas lagi. Penerapan sistem digitalisasi melibatkan banyak pihak, modal yang besar, dan aspek teknis lainnya, lanjut Mahfudz.

Dirinya mengusulkan pemerintah menerbitkan peraturan setingkat Peraturan Presiden (Perpres) sebagai payung hukum sistem digitalisasi yang memang belum diatur secara jelas dalam UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Permen terkait digitalisasi, yang disebutkan berjumlah 18 Permen, mengatur aspek-aspek lain mengenai proses digitalisasi. Padahal, proses digitalisasi menimbulkan perubahan sosial serta memiliki masalah multidimensional.

“Saya sarankan ke pemerintah ambil waktu jeda untuk mentranformasikan gagasan yang ada di Permen ke dalam sebuah Perpres. Pemerintah harus mengambil satu kebijakan. Dibanyak negara, aturan digitalisasi diatur dalam satu UU. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah,” tutur Mahfudz yang terlihat segar meskipun beberapa jam sebelumnya baru selesai mengikuti rapat paripurna pemilihan Ketua MPR RI periode 2014-2019 yang panjang dan melelahkan.

Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, mengatakan proses digitalisasi harus diatur dalam satu UU jika perlu UU khusus. Menurutnya, pengaturan implementasi digitalisasi tidak cukup hanya diatur dalam aturan Permen yang secara kedudukan lebih rendah dari UU.

Selain itu, lanjut Idy, pembahasan digitalisasi harus transparan. “Arah digitalisasi dibawa kemana, itu harus dibicarakan bersama. Tidak cukup hanya kominfo. Hal ini harus dibicarakan lintas departemen dengan mengajak serta stakeholder terkait,” tegasnya disela-sela acara tersebut.

Idy meminta KPI harus terlibat dalam proses tersebut dengan sejumlah syarat. Dia juga mengusulkan dibentuk sebuah tim pengawas dan pengedalian terkait pelaksanaan proses digitalisasi. “Sampai sekarang tim tersebut belum ada. Ini harus cepat dilakukan,” kata Idy yang menekankan bahwa pihaknya tidak menolak pelaksanaan sistem ini.

Sementara itu, ATVSI yang diwakili Suryopratomo, mengatakan siap mengikuti peraturan yang ada karena penerapan sistem digital menyangkut kebijakan global. Menurutnya, dengan sistem ini penggunaan frekuensi menjadi efisien. “Kami dari ATVSI akan mengikutinya,” tukasnya. ***

Temanggung - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Jawa Tengah menggelar acara Literasi Media di Kota Temanggung pada Selasa, 30 September 2014. Kegiatan dikuti 150 peserta dari berbagai unsur pemerintah dan kalangan masyarakat. 

Pelaksanaan acara Literasi Media bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika Kabupaten Temanggung, yang menyertakan pelajar SMU, SMK, Madrasah Aliah se-Temanggung dan Sekolah Tinggi Agama Islam Nahdatul Ulama (STAINU).

Adapun Narasumber dalam acara itu, yakni Komisioner KPI Pusat Bidang Pengawasan Isi Siaran Agatha Lily,  Direktur Budi Santoso Foundation, Adi Eko Priyono, dengan moderator dari Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informasi Kabupaten Temanggung Eko Kus Prasetyo.

Agatha Lily menjelaskan pentingnya Literasi Media agar masyarakat melek media dan dapat mengkritisi program-program yang ada di media televisi dan radio. Dalam kesempatan ini, Lily juga meminta seluruh perserta untuk menjadi agen-agen intelektual di lingkungan sekitar mereka untuk memberikan pengertian tentang tayangan yang tidak baik agar jangan ditonton, khususnya anak-anak dan remaja. 

Di sela-sela presentasinya, Lily memberikan contoh-contoh tayangan yang melanggar Pedoman Perilaku Penyiaran dan Stanhdar Program Siaran (P3SPS), mulai dari program acara pemberitaan, acara hiburan, sinetron dan FTV sampai tayangan anak-anak dan kartun.

Lily juga menjelaskan, bahwa tidak semua tayangan anak dan kartun layak ditonton. Orang tua dan guru harus selalu waspada atas apa yang dikonsumsi oleh anak-anak dan remaja. Menurut Lily, anak-anak dan remaja membutuhkan lingkungan yang kondusif untuk mendukung perkembangan potensinya . Selain itu juga memerlukan figur-figur yang baik (significant other) agar dapat belajar tentang sesuatu yang baik. 

"Seringkali semua itu didapat dari televisi, maka dibutuhkan kekritisan untuk memilih tayangan yang baik dan aman," kata Lily.

Pernyataan Lily disambut baik dukungan dari peserta dan guru-guru dengan memberikan masukan dan saran agar KPI meminimalisir tayangan-tayangan yang tidak sesuai dengan adat istiadat masyarakat. “Kami di Temanggung terganggu dengan berita-berita yang tidak dapat dipercaya, sinetron-sinetron yang marak juga banyak yang tidak baik,” ujar salah satu peserta. (MRJ)

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.