Batam - Indonesia adalah negara kepulauan yang terdiri dari 17.504 pulau besar dan kecil. Membentang dari 94⁰ BT – 141⁰ BT dan 6⁰ LU – 11⁰ LS, dengan luas perairan/laut sekitar 5,8 Juta Km², dan luas wilayah daratan sekitar 2,01 Juta Km² serta panjang garis pantai sekitar 81.290 km.  

Di darat Indonesia berbatasan dengan 3 negara, yakni Malaysia, Republik Demokratik Timor Leste (RDTL), dan Papua New Guinea (PNG), dengan panjang batas negara 3.094,16 km. Sedangkan di laut berbatasan dengan 10 negara, yakni India, Thailand, Malaysia, Vietnam, Filipina, Republik Palau, PNG, Australia, RDTL, dan Singapura.

Hal itu dijelaskan oleh Asisten Deputi Pengelola Lintas Negara Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Sony Sumarsono dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan Workshop “Penguatan Penyelenggaraan Penyiaran Kawasan Perbatasan Antar Negara” yang diselenggarakan KPI Pusat di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Rabu, 18 Juni 2014.

“Berdasarkan Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar, NKRI memiliki 92 pulau kecil terluar yang berbatasan langsung di wilayah laut dengan 10 negara tetangga,” kata Sony.

Salah satu isu strategis pengelolaan perbatasan, menurut Sony, kawasan perbatasan belum sepenuhnya aman/tertib, sehingga sering terjadi kasus-kasus pelanggaran batas negara dan lintas batas negara yang berpotensi merugikan negara. Selain itu, rendahnya kondisi sosial ekonomi warga masyarakat perbatasan padahal memiliki potensi sumber daya cukup besar, baik di darat maupun laut. 

“Kondisi kawasan perbatasan masih terisolir baik secara fisik maupun komunikasi dan informasi, dan masih banyaknya desa-desa tertinggal pada kawasan perbatasan karena terbatasnya infrastruktur atau sarana prasarana,” ujar Sony. 

Dengan adanya rapat koordinasi itu, Sony menegaskan, penyiaran di perbatasan antarnegara merupakan bagian strategi nasional yang perlu ditangani dengan sungguh-sungguh secara meneyeluruh. Ini tidak lain, karena memiliki kaitan erat dengan penciptaan situasi keamanan negara di wilayah perbatasan antarnegara.

Dari kajian dan temuan lembaganya di lapangan, terkait penyiaran di perbatasan, menurut Sony, banyak ditemukan permasalahan. Seperti banyak daerah perbatasan yang belum menerima siaran (blank spot), masyarakat t di kawasan perbatasan banyak menerima limpahan siaran dari negara tetangga (spill over), rendahnya minat pengusaha penyiaran mendirikan lembaga penyiaran di kawasan perbatasan, sumber daya manusia yang kurang mendukung, dan kebijakan terkait penyiaran yang belum ramah dengan pengembangan penyiaran di kawasan perbatasan antarnegara.

Menurut Sony, peraturan yang mengatur wilayah perbatasan diatur dalam Perban No. 2 Tahun 2011 tentang Renduk Tahun 2011-2014. Sony berharap rapat koordinasi dengan elemen terkait dapat didibentuk kesepatakan bersama untuk pengelolaan perbatasan terkait penyiaran. Seperti, pengarusutamaan bidang penyiaran dalam pengelolaan perbatasan antar negara, pemberian kebijakan khusus bidang penyiaran di kawasan perbatasan  antar negara,  pengembangan infrastruktur, sumber daya manusia dan program siaran di kawasan perbatasan antar negara, dan pemantauan dan evaluasi luberan siaran asing di kawasan perbatasan antar negara.

Adapun lembaga terkait yang hadir dalam rapat koordinasi penyiaran perbatasan adalah, Kemenkominfo, Kemendagri, Kemenkopolhukam, Kemendagri, KPI Pusat dan KPI Daerah yang masuk wilayah perbatasan. Pelaksanaan rapat koordinasi berlangsung selama tiga hari, 17, 18, 19 Juni 2014. Di akhir rapat seluruh elemen terkait perbatasan diharapkan dapat membuat rekomendasi untuk strategi pelaksanaan penyiaran di wilayah perbatasan.

Batam - Dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dan Workshop “Penguatan Penyelenggaraan Penyiaran Kawasan Perbatasan Antar Negara” yang diselenggarakan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menghadirkan pembicara dari Asisten Deputi Koordinasi Media Massa Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) Brigjen. TNI A. Hafil Fuddin SH, Sip. 

Pria yang biasa dipanggil Hafil ini menyampaikan materinya yang berjudul, “Pemanfaatan Penyiaran Sebagai Sarana Memperkuat Ketahanan NKRI di Wilayah Perbatasan”. Selain dari Polhukam peserta dan pemateri Rakor berasal dari lembaga terkait perbatasan dan penyiaran serta dari unsur masyarakat.

Hafil menjelaskan, masalah penyiaran di wilayah perbatasan adalah isu serius yang perlu dibicarakan dan ditindaklanjuti. Menurutnya, persoalan serius wilayah perbatasan adalah kesejangan informasi yang masuk ke wilayah perbatsan. “Masyarakat di daerah perbatasan begitu mudah mengakses berbagai jenis siaran dari negara-negara tetangga. Sementara radio dan siaran televisi nasional maupun daerah kadang tidak dapat diterima dengan baik di kabupaten-kabupaten terpencil di wilayah perbatasan,” kata Hafil dalam menyampaikan materinya di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Rabu 18 Juni 2014.

Kesenjangan informasi di wilayah perbatasan, menurut Hafil, harus segera ditangani dengan baik. Bila tidak hal itu akan berimpilaksi pada melemahnya ketahanan NKRI di wilayah perbatasan, meliputi bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun pertahanan dan keamanan.

Upaya mewujudkan kawasan perbatasan sebagai beranda depan NKRI yang aman dan sejahtera memerlukan konsolidasi komitmen nasional yang melibatkan sektor swasta dan pemangku kebijakan lainnya. Termasuk insan media dan pers, dengan orientasi utama peningkatan kehidupan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

“Desentralisasi sistem pemerintahan melalui otonomi daerah menempatkan Pemerintah Daerah menjadi ujung tombak dalam pengelolaan wilayah perbatasan dan pulau-pulau kecil terdepan,” ujar Hafil.

Kesenjangan informasi di wilayah perbatasan, menurut Hafil, disebabkan beberarapa hal. Di antaranya, lokasi daerah perbatasan relatif terisolasi dari pusaran geliat ekonomi bangsa, informasi tentang ekonomi dan pembangunan belum tersosialisasi secara baik karena banyaknya daerah perbatasan yang masih blank spot.

Terkait bidang ekonomi juga karena adanya kesenjangan sosial ekonomi masyarakat perbatasan dengan masyarakat negara tetangga mempengaruhi watak dan pola hidup masyarakat setempat, tatanan politik di daerah perbatasan relatif belum berkembang dan cenderung diwarnai isu-isu primordialisme dan kecemburuan sosial, kebijakan pembangunan di wilayah perbatasan masih bersifat sektoral dan belum menyentuh kebutuhan riil masyarakat perbatasan, penyaluran aspirasi masyarakat yang belum berlangsung seperti yang diharapkan.

Menghadapi masalah itu, Hafil menerangkan, usaha dan upaya yang dilakukan pemerintah pusat melalui kementerian terkait Pemda perlu adanya koordinasi yang menyeluruh terkait dengan wilayah perbatasan ini. Salah satunya dengan memperkuat ketahanan NKRI di wilayah perbatasan, yakni dengan meningkatkan wawasan kebangsaan dalam rangka membentuk nasionalisme masyarakat perbatasan dan  rasa bangga sebagai Bangsa Indonesia. Selain itu juga membantu memelihara imajinasi mengenai masyarakat Indonesia yang meskipun berbeda beda dan berjauhan, namun bersatu. 

Instrumen untuk mencapai itu salah satunya, menurut Hafil, bisa menggunakan medium penyiaran. “Menjadikan penyiaran perbatasan sebagai instrumen efektif dan efisien. Dengan menyapa, memperlakukan, mempengaruhi dan membentuk konsesus kepada masyarakat,” terang Hafil di akhir acara.

Batam - Dalam setiap program siarannya lembaga penyiaran agar lebih mengedepankan kepentingan khalayak. Ini tidak lain karena program siaran yang disiarkan lembaga penyiaran memiliki dampak terhadap publik.

“Karena dampaknya langsung ke khalayak, maka lembaga penyiaran tidak bisa mengabaikan publik,” kata Komisioner Bidang Kelembagaan KPI Pusat Bekti Nugroho dalam Training of Trainer Literasi Media di Hotel Planet Holiday, Batam, Selasa, 17 Juni 2014.

Bekti yang juga pernah menjadi jurnalis televisi menerangkan, format acara televisi dibagi dalam beberapa hal, yakni timeless dan imajinatif; timeless dan factual; dan factual dan actual, kemudian berita, serta dranama dan non-drama. Dalam persiapan program acara televisi, menurutnya juga ada ada petimbangan umum, kemudian pertimbangan sumber daya manusia, spesifikasi teknis, dan konfigurasi alat yang digunakan.

Meski dengan segala macam pertimbangan itu, menurut Bekti, masih didapatkan siaran yang melanggar aturan. Menurutnya itu tidak lain karena adanya pertimbangan ratting yang digunakan lembaga siaran yang mengacu pada unsur komersial. Maka tak mengherankan, konsep diperencanaan mengalami perubahan saat dilakukan eksekusi.

Padahal menurut Bekti, apa yang ditayangkan lembaga penyiaran dengan begitu cepat ditiru oleh penontonnya. Dia banyak mencontohkan kasus-kasus kejahatan yang bermula dari menonton yang berakhir dengan aksi meniru.

Dengan menjadikan ratting sebagai acuan satu-satunya oleh lembaga penyiaran, menurut Bekti hal itu meninggalkan kekhawatiran. “Kualitas tontontan menjadi semakin mengkhawatirkan karena terpaku pada ratting acara yang ada,” ujar Bekti. Dalam kondisi demikian, peran dan kontrol publik harus ditingkatkan atas program acara dari lembaga penyiaran.

Bekti berharap, lembaga penyiaran tetap mengedepankan publik dengan program acara yang menghibur, mendidik, dan mencerdaskan. Ini tidak lain karena lembaga penyiaran adalah sarana yang paling ampuh dalam menyebarkan ide-ide strategi kebudayaan dalam pembentukan karakter bangsa.

Peserta training literasi media berasal masyarakat yang fokus dan peduli media penyiaran, pelaku penyiaran, dan utusan dari Komisi Penyiaran Indonesia Daerah dari berbagai provinsi di Indonesia. Training literasi media adalah ikhitiar KPI dalam upaya mendidik masyarakat yang sadar dan krits terhadap media yang ditonton. Selain materi training, di akhir acara, peserta diberikan praktik dalam pengawasan dan kontrol media dan tata cara pelaporan pelanggaran program oleh lembaga penyiaran.

Batam - Meski perkembangan teknologi informasi begitu pesat, saat ini televisi menjadi penetrasi tertinggi dalam bidang media komunikasi di Indonesia. Rata-rata masyarakat Indonesia menonton televisi selama 4,5 jam dalam sehari.

Hal itu dikemukakan Komisioner KPI Pusat Bidang Pengelolaan Infrastruktur dan Sistem Penyiaran KPI Pusat Azimah Subagijo. Tingginya kebutuhan informasi masyarakat dari televisi saat ini, menurut Azimah, keterampilan literasi sudah seperti kebutuhan pokok, seperti sandang, pangan, dan papan.

Tingginya penetrasi media televisi dalam sektor komunikasi, menurut Azimah, membuat KPI terus mendorong agar masyarakat menjadi pemirsa yang kritis dan cerdas dalam menonton televisi. Salah satunya pembentukan masyarakat peduli penyiaran di beberapa daerah di Indoensia. 

Cara lain efektif untuk menangkal dampak negatif televisi adalah dengan kegiatan literasi media ke masyarakat. Tak hanya itu, literasi media secara tidak langsung mengoptimalkan media oleh masyarakat, dan meningkatkan kualitas produksi lembaga penyiaran.

“Literasi media adalah keterampilan hidup. Media punya keterbatasan ruang dan waktu, media adalah alat yang punya sisi positif dan negatif,” kata Azimah dalam training literasi media KPI di Hotel Planet Holiday, Batam, Kepulauan Riau, Selasa, 17 Juni 2014.

Dengan literasi media, masyarakat di didik mengapresiasi atas program acara yang bagus, karena kecenderungan memprotes dan menghina lebih mudah dari apresiasi. Dengan kata lain, menurut Azimah, literasi media adalah keterampilan dalam mengakses, memilah dan memilih konten media, keterampilan mengkritisi atau menonton dengan sadar, juga keterampilan memproduksi untuk program alternatif.

Pemahaman keterampilan sadar media, bisa dimulai dari keluarga dan orang-orag terdekat. “Guru dan orang tua merupakan dua kelompok yang penting mempunyai keterampilan media,” ujar Azimah.

Lebih lanjut Azimah menjelaskan, metode literasi media yang paling efektif adalah melalui gerakan kultural. Dengan membuat suatu komunitas terhadap suaru prgram siaran dan membuat kajian. Hasil kajiannya bisa memberikan memberikan rekomendasi atau solusi. 

Dengan gerakan massif untuk sadar media sekaligus sebagai strategi dalam pengawasan lembaga penyiaran dari penyelewengan pemiliknya. “Kecenderungannya, media semakin berkuasa akan sering disalahgunakan,” terang Azimah.

Di akhir acara, peserta literasi media diberikan praktik kelompok dalam menilai tayangan televisi yang disediakan panitia. Peserta training diminta melihat konten isi siaran program acara yang ditayangkan. Kemudian komisioner KPI Pusat mengavaluasi hasil pengamatan dari tayangan yang diberikan.

Batam - Dalam pelatihan literasi media di Batam, Selasa, 17 Juni 2014, Komisioner Bidang Isi Siaran Agatha Lily menjelaskan tentang protes yang diterima Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) saat mengeluarkan pers rilis tentang 10 sinetron yang tidak layak tonton. Menurut perempuan yang biasa dipanggil Lily ini mengatakan, munculnya rilis itu karena tayangan yang masuk dalam rilis itu, salah satunya karena menampilkan adegan yang tidak ramah terhadap anak.

Menurut Lily, perlindungan terhadap hak-hak anak dalam dunia penyiaran harus tetap diperjuangkan. Itu tidak lain, karena tayangan yang ditonton oleh anak begitu cepat ditiru. “Dua minggu lalu, kami menegur tiga program acara film kartun,” kata Lily.

Teguran oleh KPI dilayangkan kepada lembaga penyiaran, karena film-film kartun yang ditayangkan memuat adegan anak-anak yang melemparkan pisau kepada temannya dan menancap persis mengenai samping perut. Menurut Lily, saat menonton televisi anak-anak harus tetap ditemani, karena film kartun tidak selalu identik atau aman untuk anak-anak.

Dari laporan yang diterima Lily di daerah, ada anak yang menirukan adegan Limbat membakar. Lewat literasi media yang digelar KPI, Lily berharap para peserta usai traning bisa mensosialisasikan akan hak-hak anak dalam dunia penyiaran.

Lebih lanjut Lily menjelaskan, KPI menyadari selain bertugas mengawasi dan memberikan sanksi kepada lembaga penyiaran, KPI juga memiliki tugas dalam menjalankan misi literasi media. Program untuk mendidik masyarakat untuk melek dan kritis terhadap media.

Di akhir acara, pentingnya literasi media dan upaya perlindungan terhadap hak anak dalam penyiaran, Lily mengajak peserta usai training urun rembuk dalam membuat panduan modul untuk orang tua atau guru tentang tayangan dan hak-hak anak dalam dunia penyiaran serta dampak perilaku anak dari tayangan yang ditonton.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.