Jakarta - Dalam Undang-undang Penyiaran Pasal 8 Ayat (3) Huruf (f), KPI memiliki tugas dan kewajiban menyusun perencanaan pengembangan Sumber daya Manusia (SDM) yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran. Secara tidak langsung, KPI memiliki tugas untuk memastikan bahwa insan penyiaran yang memproduksi program siaran, kompeten dan memahami arah penyiaran Indonesia.
Hal itu dikemukanan Ketua KPI Pusat Judhariksawan dalam sambutan peluncuran Sekolah P3SPS KPI di Auditorium Pertemuan, Lantai VIII, Gedung Bapeten, Jalan Gajah Mada No.8, Jakarta Pusat, Selasa, 21 April 2015.
Judhariksawan menjelaskan, keberadaan Sekolah P3SPS menawarkan sistem dan paradigma baru kepada pelaku dan insan penyiaran. Menurutnya, paradigma penyiaran tidak hanya terus berpikir industrialis, namun memiliki tanggung jawab sosial dalam pembentukan karakter bangsa.
"Melalui Sekolah P3SPS ini kami ingin merangkul teman-teman Lembaga Penyiaran, bahwa penyiaran juga memiliki tugas sosial di dalamnya, karena penyiaran itu mengajarkan nilai-nilai. Dengan kegiatan ini diharapkan ada perubahan paradigma," kata Judhariksawan.
Judhariksawan menjelaskan, masalah penyiaran Indonesia saat ini bukan pada kekurangan pemahaman teknis (Hard sklills), namun pada kemampuan memahami arah penyiaran, nilai-nilai, filosofis dan tujuan penyiaran itu sendiri (Soft skills). Menurutnya, bimbingan teknis penyiaran yang akan dilaksanakan KPI sebagai upaya memberikan pemahaman, bahwa ada tanggung jawab mulia yang diemban pelaku penyiaran.
Menurut Judha, untuk mewujudkan itu, Lembaga Penyiaran diminta mengizinkan karyawannya untuk cuti selama tiga hari mengikuti program pelatihan teknis yang diselenggarakan KPI. Melalui pelatihan singkat itu, Judha berharap, peserta yang sudah menyelesaikan pelatihan bisa menjadi agen perubahan pada program siaran yang dikerjakan di Lembaga Penyiaran masing-masing.
"Hari ini menjadi titik terang untuk menjadikan program siaran di Lembaga Penyiaran menjadi lebih baik dan berkualitas," ujar Judha.
Acara peresmian Sekolah P3SPS dilakukan dengan penyematan tanda peserta secara simbolis. Penyematan tanda peserta diberikan oleh Ketua Komisioner KPI Pusat Judharikswan, Kepala dan Wakil Sekolah P3SPS Sujarwanto Rahmat Arifin dan Fajar Arifianto Isnugroho.
Jakarta - Peluncuran Sekolah P3SPS KPI berlangsung pada Selasa, 21 April 2015 atau bertepatan dengan peringatan Hari Kartini. Turut hadir dari dalam acara pembukaan perwakilan dari Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), Kementerian Hukum dan Hak Asasi manusia (Kemenkumham), perwakilan RRI, dan dari sejumlah Lembaga Penyiaran.
Staf Ahli Menkominfo Bidang Komunikasi dan Media Massa Henri Subiakto dalam sambutannya mengatakan peluncuran Sekolah P3SPS yang bertepatan dengan Hari Kartini memiliki motivasi yang sama dengan semangat yang diperjuangkan RA Kartini, yakni pelopor perubahan.
"Selamat kami ucapkan atas ide menggagas Sekolah P3SPS. Bimbingan teknis untuk peningkatan pehaman atas P3SPS sangat penting dan kami mendukung hal itu," kata Henri Subiakto dalam sambutannnya dalam Peluncuran Sekolah P3SPS di Auditorium Pertemuan, Lantai VIII, Gedung Bapeten, Jalan Gajah Mada No.8, Jakarta Pusat, Selasa, 21 April 2015.
Henri menjelaskan, pemahaman P3SPS saat masih minim dalam lingkup pelaku penyiaran. Menurutnya, hal itu bisa dilihat dari masih banyaknya pelanggaran yang bisa ditemukan dalam program acara di Lembaga Penyiaran dan dalam bentuk siaran iklan.
Dalam kondisi seperti itu, menurut Henri, sekolah P3SPS adalah langkah tepat untuk memberikan pemahaman dan pelatihan teknis seputar peraturan penyiaran. Menurutnya hal itu juga relevan dengan amanat Undang-undang Ketenagakerjaan yang mengarahkan adanya standar profesi untuk semua jenis bidang kerja.
Lebih lanjut Henri menjelaskan, saat ini khusus bidang penyiaran belum ada lembaga yang menangani sertifikasinya. Ia berharap Sekolah P3SPS ke depan dikonsep dan diarahkan sebagai cikal bakal untuk standar profesi penyiaran di Indonesia.
Jakarta - Dalam menilai konten dan perilaku Lembaga Penyiaran, KPI menggunakan Pedoman Perilaku Penyiaran (P3) dan Standar Program Siaran (SPS). P3SPS juga panduan bagi praktisi di Lembaga Penyiaran dalam memproduksi program siarannya. Peraturan itu bersifat operasional dalam memandu pelaku penyiaran apa yang boleh dan tidak boleh disiarkan kepada publik, dan bagaimana semestinya dilakukan oleh Lembaga Penyiaran.
Secara filosofi, P3SPS adalah bentuk perlindungan negara kepada publik dalam ranah penyiaran. Peraturan itu dibuat untuk menjamin masyarakat dalam mendapatkan informasi yang sehat, layak, dan benar. Cakupan dan tujuan utamanya kepada perlindungan publik di atas kepentingan pribadi dan kelompok para pemilik lembaga penyiaran, maka peraturan itu wajib dipahami dan diterapkan oleh pelaku penyiaran dalam program siarannya.
Sampai saat ini, peraturan itu belum sepenuhnya dipahami pelaku penyiaran. Nilai-nilai yang termuat dalam P3SPS belum seutuhnya terinternalisasi dalam Lembaga Penyiaran itu sendiri. Ini terbukti dengan masih banyaknya program acara berpotensi dan melanggar P3SPS. Belum lagi dari hasil pantauan KPI akan kualitas siaran, yang sepenuhnya belum bisa dikatakan baik. Buah pikiran Undang-undang Penyiaran yang mengamanatkan media penyiaran sebagai agen dan pendorong peradaban masyarakat yang lebih baik, masih jauh dari harapan.
Selaku regulator penyiaran, KPI memiliki tugas memastikan bahwa pelaku dan insan penyiaran harus memahami arah menyiaran Indonesia dan kompeten di bidangnya. Upaya memperbaiki penyiaran, mau tidak mau harus melihat bagian hulu, yakni pelaku dan insan penyiaran itu sendiri. Bagian ini harus benar-benar diperhatikan, karena pada mereka disandarkan harapan akan arah penyiaran kita. Selain bagian hulu, juga bagian hilir, yakni masyarakat itu sendiri selaku penonton.
Atas dasar itu KPI merasa penting untuk menggagas Sekolah P3SPS atau pendidikan singkat tentang panduan penyiaran. KPI sepenuhnya sadar, bimbingan teknis untuk pelaku penyiaran sebagai bentuk upaya membumikan nilai-nilai P3SPS dalam tataran yang paling teknis dan implementatif. Ini juga sebagai bentuk ikhtiar dalam menyamakan persepsi, pemahaman, sudut pandang, interpretasi hingga pengujian dalam ranah implementasi di lapangan akan nilai-nilai P3SPS.
Peserta Sekolah P3SPS adalah pemilik dan karyawan di Lembaga Penyiaran, calon pekerja penyiaran, mahasiswa, dan masyarakat yang peduli dengan isu-isu penyiaran dengan jumlah peserta 25 - 30 orang setiap angkatan. Pelaksanaan akan dilakukan di Kantor KPI Pusat, Jakarta dengan target penyelesaian kurikulum dan materi selama tiga hari. Selama dua hari diisi dengan paparan materi dan diskusi, sedangkan hari tarakhir peserta akan diberikan ujian akhir dan dipresentasikan untuk dibahas bersama.
Materi pengajaran dalam Sekolah P3SPS nanti benar-benar langsung pada pada bahasan praktis hingga filosofis. Pengayaan materi akan disesuaikan dengan studi kasus program siaran yang sudah tayang dengan melihat klasifikasi yang disematkan di dalamnya. Kemudian dibahas dengan menganalisa makna dan nilai-nilai konten di dalamnya dengan bahasan yang lebih spesifik akan nilai dan unsur konten penyiaran itu sendiri, seperti pornografi dan seksual, horor, mistik, kekerasan, kesopanan dan kesusilaan, jurnalistik, jaminan kepentingan publik, dan penegakan hukum dan sanksi.
Harapannya, lulusan Sekolah P3SPS ini bisa memahami dan menerapkan nilai-nilai penyiaran yang berlandaskan kode etik (Code of ethic ) yang merunut pada Pedoman Perilaku (P3) dan implementasi teknis (Code of conduct) mengacu Standar Program Siaran (SPS), serta berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku. Ke depan melalui pendidikan ini, nilai-nilai itu diharapkan melekat pada pelaku penyiaran itu sendiri maupun masyarakat peduli penyiaran.
Sekolah P3SPS menawarkan pengalaman lain dalam melihat regulasi penyiaran, karena pelatihannya dalam bentuk kelas tatap muka dari para Komisioner KPI. Secara tidak langsung Sekolah P3SPS adalah perpaduan bahasan dalam sudut pandang regulator penyiaran dan pelaku penyiaran itu sendiri. Selain instruktur dari komisioner KPI, akan ada pemateri tamu dari tokoh dan ahli dalam bidang penyiaran. Seluruh peserta ditargetkan mampu memahami P3SPS dan mampu mengaplikasikan dalam lingkungan kerja.
Harus disadari, ekosistem penyiaran yang sehat harus dibangun, dijaga, dikembangkan, dan terus diupayakan dengan terus menerus. Untuk mewujudkannya, tak cukup hanya sebatas kesadaran, tanpa ada dukungan, komitmen, dan partisipasi semua pihak, khususnya masyarakat, insan dan pelaku penyiaran itu sendiri.
Jakarta - Upaya perbaikan program siaran di Lembaga Penyiaran terus dilakukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Di antaranya dengan meluncurkan program Sekolah P3SPS (Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran). Sekolah P3SPS adalah upaya KPI membumikan nilai-nilai peraturan penyiaran yang selama ini dijadikan pedoman menilai isi siaran dalam bentuk pelatihan bimbingan teknis.
Komisioner KPI Pusat yang juga Kepala Sekolah P3SPS Sujarwanto Rahmat Arifin mengatakan, lahirnya ide untuk menggagas bimbingan teknis penyiaran karena selama ini, dari pengawasan KPI sering menemui kesalahan yang berulang dalam siaran televisi dan radio. Selain itu, menurut Rahmat, selama ini KPI sering undang untuk menyampaikan tentang P3SPS ke sejumlah Lembaga Penyiaran.
"Dengan Sekolah P3SPS, KPI langsung mengundang seluruh elemen penyiaran untuk mengikuti pelatihan bimbingan teknis pedoman yang selama ini kita gunakan," kata Rahmat dalam sambutannya di Auditorium Pertemuan, Lantai VIII, Gedung Bapeten, Jalan Gajah Mada No.8, Jakarta Pusat, Selasa, 21 April 2015.
Lebih lanjut Rahmat menjelaskan, selama menjadi Komisioner Bidang Isi Siaran KPI, masih banyak pelaku dan praktisi penyiaran yang belum paham P3SPS. Menurutnya, Sekolah P3SPS upaya menyamakan persepsi dan pandangan dalam melihat P3SPS antara regulator penyiaran dan pelaku penyiaran itu sendiri.
Rahmat berharap dengan adanya Sekolah P3SPS, seluruh elemen penyiaran bisa memahami nilai-nilai dan pedoman penyiaran itu sendiri dan bisa diterapkan dalam lingkungan kerjanya. Selain itu, menurut Rahmat, program itu nanti bisa dijadikan prasyarat untuk standar dan kelayakan profesi dunia penyiaran.
"Harapan ke depannya, profesionalitas profesi penyiaran tidak hanya menekankan pada kemampuan teknis, juga pemahaman atas nilai, pedoman dan peraturan penyiaran itu sendiri," ujar Rahmat.
Program siaran di Lembaga Penyiaran saat ini, menurut Rahmat, adalah bentuk dialektika yang intens antara penonton, Lembaga Penyiaran, dan lembaga pengukur rating itu sendiri. Menurutnya, atas dasar itu, KPI sepenuhnya sadar, upaya perbaikan program siaran melalui Sekolah P3SPS tidak akan serta-merta langsung bisa memperbaiki kualitas siaran yang ada.
Setidaknya, menurut Rahmat, Sekolah P3SPS adalah bentuk ikhtiar atau langkah kecil KPI dalam upaya memperbaiki program siaran di Lembaga Penyiaran secara perlahan-lahan.
Dalam penjelasan Rahmat, Peserta Sekolah P3SPS adalah pemilik dan karyawan di Lembaga Penyiaran, calon pekerja penyiaran, mahasiswa, dan masyarakat yang peduli dengan isu-isu penyiaran. "Bisa jadi, kalau pemilik Lembaga Penyiaran ikut serta, sekat antara karyawan dan pemilik bisa diminimalisir dalam melihat program siaran yang akan diproduksi atau ditayangkan," ujar Rahmat.
Jakarta: Komisi I DPR RI berencana merevisi Undang Undang Penyiaran nomor 32 Tahun 2002, tahun ini. Namun, ada empat hal yang harus diperhatikan dalam pembuatan Rancangan UU Penyiaran baru
"Pertama, jangan ada dominasi kepemilikan media elektronik," kata Anggota Komisi I DPR Fraksi Gerindra Elnino M. Husen Mohi disela diskusi 'Revisi UU Penyiaran Yang Memihak Kepentingan Publik' di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (20/4/2015).
Kedua, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) harus diberi kewenangan yang lebih besar karena menjadi penghubung kepentingan masyarakat di dunia penyiaran. Ketiga, RUU Penyiaran yang sedang digodok harus semakin memperhatikan kepentingan daerah. Keberagaman konten juga harus semakin ditingkatkan dengan menambah durasi dan slot untuk konten lokal yang dulu hanya sekitar 10 persen
"Yang terjadi sekarang adalah TV dan radio lokal itu sebenarnya milik pusat juga. Lalu konten lokalnya memang perlu dibikin. Tapi sekadar mutar video clip lagu-lagu daerah, itu pun diputar jam 2 sampai 4 malam sekedar mencapai 10 persen," terang dia.
Hal keempat dan paling perlu diperhatikan adalah perkembangan media elektronik di daerah. UU Penyiaran harus memberi peluang perkembangan dan menghindari dominasi modal dan pembentukan opini dari isu nasional yang terpusat.
"Jangan menjadi sekedar corong politik dari politisi nasional maupun politisi lokal di tingkat lokal saja, namun mengedepankan aspirasi publik," tegas dia. (Metrotvnews.com)
Tidak sepantasnya program TV mengajarkan bulliying yg dipertontonkan srluruh indo dg konsumsi mulai anak kecil.. korban bulliying lgs di gambarkan dgn photo dirinya ranpa ijin yg ybs.. mengambil keuntungan di atas musibah orang lain.. mengajarkan berujar yg kurang pantas utk acara sekelas TV yg sdh punya nama..
Tolongg segera di tinjut..hal ini sangat tidak mendidik.. mau dikemanakan penerus bangsa ini..
Sangat2 prihatin
Pojok Apresiasi
Rabiatul
Menurut saya, tidak masalah tayangan olahraga tetap disiarkan. Entah itu beach volleyball atau yang lainnya. Penggunaan pakaian sesuai dengan regulasi yang bertujuan untuk olahraga serta keamanan kenyamanan atlet dan tidak ada niatan untuk kearah pornografi. Siaran tv sangat beragam, kalau memang tidak berkenan untuk menonton, silahkan pindah ke channel lain yang menyiarkan berbagai program. Siaran olimpiade ini hanya 4 tahun sekali, tolong jangan hilangkan euforia pesta olahraga ini