Jakarta - Komisi I DPR RI mendesak Lembaga Penyiaran Publik (LPP TVRI), anggota Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) dan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI) untuk secara sungguh-sungguh meningkatkan kualitas program dan isi siaran, sesuai dengan amanat UU nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran dan pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran (P3SPS). 

Komisi I DPR RI juga mendesak TVRI, Anggota ATVSI dan ATVJI meningkatkan fungsi kontrol kualitas dalam proses produksi dan penanyangan program dan isi siaran serta memenuhi amanat PP 50 Tahun 2005 Pasal 17 dan Peraturan KPI/P3SPS Pasal 68 terkait penanyangan konten lokal pada semua stasiun televisi anggota jaringan.

Demikian disebutkan dalam hasil kesimpulan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi I DPR RI dengan KPI, ATVSI, LPP TVRI dan ATVJI, Senin, 7 Maret 2016. ,

Dalam RDP tersebut hadir Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Wakil Ketua KPI Pusat Idy MUzayyad serta Komisioner KPI Pusat Agatha Lily, Bekti Nugroho, Amirudin, Fajar Arifianto, S. Rahmat Arifin, Azimah Subagijo dan Danang Sangga Buana. 

Selain itu, kesimpulan hasil RDP Komisi I juga mendesak ATVSI dan ATVJI untuk mematuhi peraturan tentang tayangan partai politik sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang penyiaran Pasal 36 Ayat 4, P3SPS dan ketentuan KPU. Komisi I juga meminta kepada KPI untuk melakukan pengawasan terkait hal tersebut.

‎Tidak hanya itu, Komisi I DPR mendukung KPI Pusat untuk meningkatkan fungsi pengawasan program siaran, termasuk konten lokal‎ pada stasiun televisi jaringan. Meningkatkan koordinasi dengan LSF agar terbangun sinkronisasi aturan P3SPS dengan aturan sensosr untuk program siaran di televisi. 

“Komisi I juga meminta KPI melakukan koordinasi dengan kementerian dan lembaga negara terkait untuk ‎mengevaluasi kinerja lembaga pemeringkatan dalam rangka menjaga pemeringkatan program siaran agar sesuai dengan prinsip dan tujuan penyiaran,” kata Pimpinan RDP Meutya Hafid.

Terkait peningkatan kualitas program dan isi siaran, Komisi I DPR mendesak KPI untuk melakukan evaluasi tahunan terhadap program dan isi siaran pada semua lembga penyiaran, termasuk rekomendasi perbaikan kualitas program dan isi siaran serta menyampaikan evaluasi tahunan seperti dimaksud pada point a dalam hasil kesimpulan rapat kepada pemerintah Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Komisi I DPR.

“ Komisi I juga mendesak KPI untuk melakukan pertemuan secara berkala dengan ATVSI, ATVJI, dan ATVLI serta asosiasi televisi lainnya,” papar Meutya menutup hasil kesimpulan rapat yang digelar mulai sekitar pukul 10.30 WIB hingga sekitar pukul 21.00 WIB itu. *** 

 

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengundang para ahli di bidang psikologi dan anak untuk bicara mengenai persoalan LGBT (lesbian, guy, biseksual dan transgender) dari sudut pandang sosial dan dampaknya , Jumat, 4 Maret 2016. Para ahli tersebut antara lain Prof. Sarlito Wirawan Sarwono (Guru Besar Psikologi dari Universitas Indonesia), Elly Risma (Psikolog dari Yayasan Kita dan Buah Hati), Erlinda (Komisi Perlindungan Anak Indonesia) dan Ihshan Gumilar (Psikolog Syaraf).

Ketua KPI Pusat Judhariksawan di awal pertemuan mengatakan maksud pihaknya mengundang para ahli itu adalah untuk mendapatkan masukan sebanyak-banyak terkait persoalan LGBT dari sudut pandang psikolog dan anak. “Silahkan para ahli menyampaikan pandangannya terkait persoalan ini,” kata Judha yang didampingi Wakil Ketua KPI Pusat Idy Muzayyad, Komisioner Agatha Lily, Amirudin, Danang Sangga Buana, dan Sujarwanto Rahmat Arifin.

Kesempatan pertama, Prof Sarlito menyampaikan, manusia itu ditakdirkan untuk menjadi heteroseksual. Menurut ahli psikologi sosial ini ada aspek lain yang membuat orang tersebut jadi LGBT yakni pengaruh dari luar dirinya. Orang dengan kasus demikian, lanjut Sarlito, ada kemungkinan masih bisa disembuhkan.

Selain itu, kata Sarlito, persoalan ini (LGBT) menyangkut masalah etika dan ini harus benar-benar jadi perhatian.

Menurut sudut pandang Elly Risman persoalan LGBT menjadi momentum bagi orangtua untuk mengontrol anak-anak. Kebiasaan anak-anak yang lebih akrab dengan gawai (gadget) tidak boleh dibiarkan. Apalagi kebanyakan orangtua tidak lebih hebat dari anak-anaknya dalam hal penguasaan gawai.

Ada beberapa penyebab pola asuh yang salah terhadap anak-anak yang dipandang Elly dapat menjadi penyebab mereka menjadi LGBT. “Ingat, peran orangtua sangat vital dalam awal terbentuknya LGBT. Jangan sampai justru pola asuh kita menjadi pemicu anak terlibat LGBT tanpa kita sadari,” tegas Elly.

Pernyataan senada dengan Elly juga disampaikan Erlinda dari KPAI. Menurutnya, karakter anak paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan sebanyak 80 %. Sedangkan sisanya datang dari dalam dirinya. Pengaruh dari lingkungan bisa datang dari siaran media pandang dengar atau TV. Jika siaran televisi mengadung muatan yang negatif ini sangat berbahaya terhadap mereka. “Karena itu kami sangat berharap KPI dapat memfasilitasi membuat tontonan yang mendidik dan menjadi siaran alternatif bagi anak-anak,” pintanya.

Erlinda mengatakan LGBT merupakan penyimpangan terhadap moral dan agama. Menurut Erlinda, KPAI dan Kominfo mendukung pelarangan propaganda LGBT melalui media online dan media lainnya. “Perjuangan ini harus terus dilakukan. Kita sekarang dalam situasi genting,” ujarnya.

Sementara itu, Ahli Psikologi Syaraf (Neuropsychology) Ihshan Gumilar dalam presentasinya menjabarkan perkembangan LGBT di dunia. Banyak publik tidak mengetahui bahwa gerakan LGBT untuk bisa diterima di masyarakat luas, sudah dimulai semenjak tahun 60-an.

Ihshan mengatakan bahwa Diagnostic and Statistical Manual ‎selalu direvisi tiap beberapa tahun berdasarkan hasil penelitian yang valid. Pencabutan homoseksual dari DSM pada 1973, yang berdampak pada pandangan bahwa homoseksual bukan lagi sebagai penyakit jiwa, dilakukan bukan berdasarkan hasil penelitian. Tetapi, berdasarkan adanya desakan politik dan demonstrasi besar-besaran.

Selain bercerita tentang awal tumbuhnya LGBT, Ihshan juga menggambarkan bagaimana perubahan otak manusia. Menurutnya, otak tak ubahnya seperti plastik yang bisa berubah bentuk dan sangat fleksibel. Lalu yang menyebabkan perubahan tersebut? Jawabannya adalah perilaku dan pengalaman yang kita buat. Dalam catatannya Ihshan merujuk Donald Hebb, psikolog asal Kanada, mengemukakan sebuah ungkapan yang terkenal, Neurons fire together, wire together (Syaraf yang aktif bersamaan, akan membentuk jaringan secara bersamaan pula).

Pemikiran, perasaan, orientasi seksual, persepsi, termasuk sensasi fisik yang dibayangkan, mengaktifkan ribuan syaraf secara bersamaan. Ketika sebuah pemikiran ataupun perasaan tersebut diulang terus menerus, maka ribuan syaraf tersebut akan membentuk dan menguatkan jaringan sistem syaraf yang unik untuk pemikiran atau perasaan tersebut.

Menurut Ihshan, adanya konsep neuroplasticity ini menyampaikan bahwa perbedaan struktur otak tidak serta merta menyebabkan seseorang mempunyai orientasi seksual LGBT. Tetapi, kebiasaan, pengalaman, dan gaya hidup yang dibangunlah yang bisa mengubah struktur dan fungsi otak hingga menghasilkan orientasi dan perasaan intim terhadap sesama jenis, tandasnya.

Pertemuan yang berlangsung cukup dinamis ini juga diselingi berbagai pertanyaan dari Komisioner KPI Pusat. Pertanyaan yang diajukan mereka berkaitan dengan pengaruh yang disebabkan promosi LGBT di isi siaran. ***

Jakarta - Anggota Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengunjungi kantor Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Jumat, 4 Maret 2016. Kunjungan itu dalam rangka konsultasi proses perekrutan anggota Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) NTT yang sudah mulai berjalan awal tahun ini.

Dalam pertemuan itu, rombongan DPRD NTT dipimpin oleh Ketua Komisi I DPRD NTT Maxi Ebu Tho. Ia mengungkapkan, tahun ini masa jabatan anggota KPID NTT telah memasuki tahun terakhir. Maka, DPRD pun telah menyiapkan panitia seleksi anggota KPID NTT masa jabatan 2016-2019.

“Saat ini kami telah membentuk tim pansel yang terdiri dari lima anggota dari berbagai latar belakang. Kami ingin mendiskusikan hal-hal lebih lanjut mengenai peraturan perekrutan yang sudah diatur dalam UU 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dan Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia no 1 tahun 2014 tentang Kelembagaan KPI,” terang Maxi.

Pada pertemuan itu DPRD NTT disambut oleh Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Rahmat Arifin, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho, Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang dan Kepala Bagian Perencanaan, Hukum dan Humas KPI Pusat Umri.

Fajar mengatakan, pembentukan tim seleksi mutlak ditangan DPRD. “Pada prinsipnya, panitia seleksi adalah kepanjangan tangan DPRD untuk melakukan teknis seleksi anggota KPID, maka harus mendapatkan supervisi langsung dari anggota DPRD agar proses rekrutmen dapat dikontrol dengan baik,” kata Fajar. 

Berkaitan dengan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota KPID, Maruli menjelaskan, bahwa kesempatan itu terbuka lebar. Hanya saja, perlu ditekankan bahwa apabila PNS yang mencalonkan diri tersebut lolos seleksi maka yang bersangkutan harus bersedia mengundurkan diri sebagai PNS. 

“Hal ini seperti yang diatur dalam UU no 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) pasal 88,” terang Maruli. 

Berkaitan dengan tata cara seleksi, Fajar mengingatkan, proses seleksi harus terbuka. “Dalam hal ini terbuka maksudnya bisa diakses oleh publik, pengumuman pendaftarannya disiarkan di media massa, dan saat uji kelayakan dan kepatutan juga boleh diliput media,” ujarnya.

Selain itu, menganai tata cara seleksi, kata Fajar, adalah ranah kewenangan DPRD. Apabila DPRD ingin menambahkan elemen-elemen lain sebagai pelengkap, misalnya wawancara, hal itu boleh saja dilakukan selama dianggap perlu, demi terpilihnya anggota yang berkompeten. 

Prinsipnya, hal-hal yang perlu diujikan antara lain melingkupi visi-misi, pemahaman menganai dunia penyiaran, komitmen waktu kerja, dan pemahaman mengenai dinamika daerah.

Rahmat mengimbuhkan, media adalah alat untuk menggairahkan daerah. Saat ini belum banyak lembaga penyiaran induk jaringan yang membuka stasiun di NTT. Maka yang lebih berperan adalah lembaga penyiaran komunitas. “Kita tahu saat ini KPID NTT sedang fokus pada radio komunitas. Hal itu perlu diapresiasi demi mendorong kemajuan daerah-daerah terpencil di NTT,” kata Rahmat

Disamping hal-hal teknis perekrutan, Rahmat berpesan, “tolong perhatikan proporsi keikutsertaan anggota lama yang mencalonkan diri kembali. Adanya anggota incumbent ini sangat penting untuk menunjang kesinambungan program dan kinerja KPID.”

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia dan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur mendorong lembaga penyiaran memperbanyak konten mendidik dalam program siarannya. Lembaga penyiaran, khususnya televisi, didorong untuk menjalankan dengan sepenuhnya fungsi media sebagai sumber informasi, media edukasi, sarana hiburan dan alat kontrol sosial yang menguatkan ideologi bangsa.

Hal tersebut diungkapkan dalam pertemuan antara KPI dengan Komisi A DPRD Provinsi Jawa Timur di Kantor KPI Pusat, Jakarta, Jumat, 4 Maret 2016. Rombongan yang berjumlah 15 orang itu dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi A DPRD Jatim Bambang Juwono. Dari KPI Pusat diwakili oleh Komisioner KPI Pusat bidang pengawasan isi siaran Idy Muzayyad, Komisioner KPI Pusat bidang kelembagaan Fajar Arifianto Isnugroho, Komisioner KPI Pusat bidang Pengelolaan Struktur dan Sistem Penyiaran Danang Sangga Buwana dan Sekretaris KPI Pusat Maruli Matondang.

Menanggapi kebutuhan konten mendidik yang lebih banyak di televisi, Idy Muzayyad mengatakan bahwa apa yang disiarkan media dewasa ini merupakan potret kontestasi antara tayangan yang baik dan buruk. “Kita bisa menutup sama sekali konten yang buruk. Maka harus diperbanyak (konten) yang baik,” kata pria yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua KPI Pusat itu.

Idy mengakui bahwa, sanksi yang dikeluarkan KPI selama ini belum berbanding lurus dengan peningkatan kualitas. Idy menganggap sanksi KPI belum menimbulkan efek jera. Untuk itu, lanjutnya, dalam revisi Undang-undang penyiaran yang saat ini sedang dibahas di DPR, KPI mengusulkan adanya peraturan yang mengatur sanksi denda terhadap pelanggaran siaran yang dilakukan lembaga penyiaran.

Berbicara mengenai konten dan industri pertelevisian erat kaitannya dengan rating dan sharing. Kedua hal itu yang menentukan pendapatan televisi berdasarkan jumlah iklan yang masuk dari suatu program acara tertentu. Saat ini penentuan rating televisi dimonopoli oleh satu lembaga pemeringkat. Idy mengungkapkan, saat ini belum ada peraturan ataupun undang-undang yang mengatur keberadaan lembaga pemeringkat itu. Besar harapannya hal itu dapat dimasukkan dalam revisi undang-undang penyiaran.

Di samping itu, pokok undang-undang penyiaran adalah menjamin adanya keberagaman konten dan keberagaman kepemilikan. Dalam proses perpanjangan izin penyiaran yang sedang berlangsung saat ini, Danang Sangga Buwana mengatakan, KPI Pusat telah melakukan Verifikasi Faktual data yang diterima. “KPI sedang mengkaji kepemilikan saham lembaga penyiaran,” katanya. 

Poin penting lainnya dalam evaluasi perpanjangan izin penyiaran adalah penerapan sistem stasiun berjaringan. Dalam undang-undang penyiaran televisi diwajibkan menayangkan konten lokal 10 persen dari total jam siaran. “ini penting untuk menjaga lokalitas daerah. Agar tayang tidak selalu jakarta centris. Sayangnya penerapannya saat ini masih 5-7 persen,” kata Danang.

Dalam kesempatan yang sama, Komisi A DPRD Jatim juga menyampaikan rencana rekrutmen anggota KPID Jatim masa jabatan 2016 – 2019. “Bagaimana seharusnya kita menyikapi perubahan undang-undang 32 (tahun 2002 tentang penyiaran) yang saat ini sedang dibahas di DPR, khususnya mengenai peraturan perekrutan, kebetulan tahun ini kami akan memulai membentuk tim seleksi perekrutan anggota KPID jatim masa Jabatan 2016-2019,”kata Bambang Juwono.

Mengenai hal itu, Fajar mengatakan, akan diusulkan peraturan peralihan untuk kepengurusan yang sudah berjalan. Selama undang-undang yang baru belum disahkan, maka masih berlaku undang-undang yang lama. “Namun kami mengusulkan adanya peraturan peralihan yang akan mengatur kepengurusan yang sudah berjalan. Harapannya jika undang-undang disahkan di tengah kepengurusan baru, mereka masih bisa melanjutkan kepengurusan hingga masa jabatan berakhir, tidak putus di tengah jalan,” kata Fajar.

Palembang - Televisi harus mendengarkan aspirasi masyarakat tentang kualitas isi siarannya, guna menjaga keberlangsungan industri penyiaran dalam bersaing -pasar global. Jika program siaran televisi sudah sesuai dengan harapan dan aspirasi masyarakat, tentunya televisi tidak akan kehilangan pasarnya dalam bisnis penyiaran. Masyarakat pun akan merasa dekat dengan televisi serta melakukan pembelaan dengan cara menjadi pemirsa yang setia. Hal tersebut terungkap dalam Survey yang digelar Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentang Minat, Kepentingan dan Kenyamanan Publik (MKK) tentang penyiaran, di kantor KPI Daerah Sumatera Selatan (3/3).

Dalam Survey MKK ini, komisioner KPI Pusat Azimah Subagijo mengajak masyarakat aktif menyampaikan pendapatnya tentang muatan program siaran. Perwakilan masyarakat yang hadir dalam survey MKK terbut terdiri atas akedemisi, tokoh agama, budayawan, serta dari pemuda dan perempuan. Komisioner KPI Pusat bidang pengelolaan struktur dan system penyiaran, Amiruddin, memandu jalannya survey MKK yang dilakukan dengan model diskusi terbatas.

Diantara masukan yang didapat adalah keinginan masyarakat agar pengelola televisi tidak menampilkan lagi public figure yang pernah bermasalah dengan hukum. Jangan sampai hal-hal yang tabu di masyarakat justru diputar balik oleh televisi menjadi hal yang lumrah dan biasa-biasa saja. Hal ini tentu saja mencederai nilai-nilai kearifan yang dipahami masyarakat baik di tingkat lokal daerah ataupun secara nasional.

Terkait nilai-nilai lokal juga, masyarakat di Palembang dan Sumatera mayoritas adalah masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai religius. Tokoh masyarakat di Palembang, Umar Said, yang hadir pada survey tersebut mengkritik program-program televisi yang kontraproduktif dengan usaha para da’I membina dan memperbaiki masyarakat. “Televisi harusnya jadi mitra bagi masyarakat dalam mengembangkan budaya lokal. Bukan malah mengerus dan menggantikan dengan budaya yang tidak sesuai bagi masyarakat”, eujar Umar. Terkait pemanfaatan televisi untuk sosialisasi politik juga menjadi sorotan dari kalangan perempguan, pemuda dan akademisi. Malah ada usulan yang mengemuka agar dalam regulasi yang tengah disusun melarang secara tegas penggunaan televisi untuk kepentingan politik praktis.

Survey MKK yang dibuka oleh Ketua KPID Sumatera Selatan Iwan Kesumajaya ini bertujuan menghimpun minat, kepentingan dan kenyamanan masyarakat terhadap muatan lembaga penyiaran, sebagaimaa yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002. Sebelum di Palembang, survey MKK ini sudah dilakukan di Makassar. Diagendakan survey selanjutnya dilaksanakan di Surabaya bekerja sama dengan KPID Jawa Timur.

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.