Jakarta – Definisi iklan kampanye sesuai dengan Peraturan KPU No.15 tahun 2013 dapat dilihat dari tiga unsur yakni subyek, adanya ajakan dan visi misi progam. Ketiga unsur tersebut merupakan poin penting dan sudah dianggap sebagai iklan kampanye.

“Jika sudah ada salah satunya sudah dianggap kampanye. Ini yang perlu disamakan persepsinya, ini untuk mempersempit ruang kesempatan bagi orang untuk mengakalinya,” kata Anggota KPU Pusat, Ferry Kurnia Rizkiansyah, di sela-sela pertemuan lanjutan antara KPI, KPU, Bawaslu dan Dewan Pers di kantor KPI Pusat, Senin, 9 September 2013.

Dalam kesempatan itu, Ferry menyampaikan bahwa PKPU sudah direvisi dan selesai di bahas Kementerian Hukum dan HAM. Hal penting yang direvisi dalam PKPU No.15 tahun 2013 yakni mengenai definisi kampanye, pelaksana kampanye, dan beberapa hal lainnya. “Kata-kata berita dalam masa tenang sudah dihapus jadi pada masa tenang kampanye dilarang menayangkan iklan kampanye. Sanksi soal pemberedelan dan pencabutan izin juga dicabut,” tambahnya.

Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad menegaskan jika persoalan definisi tersebut harus clear, supaya tidak membingungkan. “Ini untuk  tindak lanjut ke depannya. Ketika kita tidak sama akan mempersulit eksekusi nanti,” jelasnya.

Menurut Idy, KPI dan Dewan Pers hanya sebatas supporting sistem dalam Pemilu 2014. Karenanya, PKPU merupakan dasar dari apa yang akan dilakukan kedua lembaga ini. “Kesapakatan bersama ini penting juga untuk penyamaan rataan ke daerah. Pola kerja task force ini penting bagi mereka,” katanya.

Sementara itu, Daniel Zuchron, Anggota Bawaslu Pusat bidang Pengawasnan menyatakan pihaknya banyak menerima aduan terkait kampanye. Namun, banyak aduan tersebut ternyata bukan ranah lembaganya. Karena bukan kewenangan Bawaslu, domain tersebut harus ditindak oleh lembaga lain seperti KPI dan Dewan Pers. “Kerjasama ini penting dan jangan pula Bawaslu melampui yang bukan kewenangannya,” katanya.

Ditempat yang sama, Anggota Dewan Pers, Jimmy Silalahi, menyambut baik adanya kerjasama ke empat lembaga ini. Namun demikian, lanjutnya, semua ini adalah semangat untuk mengatur bukan untuk membatasi. “Bagaimana ini nantinya menjadi adil dan tidak ada yang dominan,” paparnya.

Turut hadir dalam pertemuan, Anggota KPI Pusat, Agatha Lily, Danang Sangga Buana, Fajar Arifianto Isnugroho, dan Sujarwanto Rahmat. Anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi dan Muhammad Ridho. Sampai dengan berita ini ditulis, pertemuan masih berlangsung. Red

Jakarta – Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, menerima langsung kunjungan perwakilan Kedutaan Besar Amerika Serikat di Indonesia, Sam Cahusee (Assistant Press Attache), Gregory Mc Elwain dan Gini (Divisi Broadcasting US Embassy), Kamis, 5 September 2013. Kunjungan tersebut dalam rangka berbagai informasi mengenai kondisi penyiaran di negara masing-masing. 

Judha menyampaikan tugas dan fungsi lembaganya sesuai dengan yang diamanahkan UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran. Kedudukannya hampir sama dengan FCC (Federal Comunication Comision) di AS. "Kami ingin menerapkan diversty  of ownership, biar tidak ada monopoli," tambahnya.

Dalam kesempatan itu, Judha menginformasikan jumlah lembaga penyiaran di Indonesia yang mencapai ribuan. Jumlah ini termasuk yang paling banyak di dunia. Red

Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meminta proses pelaksanaan digitalisasi penyiaran mengikutsertakan seluruh pemangku kepentingan. Karenanya, pelaksanaan digitalisasi yang dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika seharusnya ditunda, hingga dicapai kesepakatan dari semua pihak tentang implementasi digitalisasi yang terbaik.

Dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Panitia Kerja (Panja) Digitalisasi-PLIK/MPLIK Komisi I DPR-RI dengan KPI Pusat dan kalangan industri (3/9) yang dipimpin Tantowi Yahya sebagai Ketua Panja, terungkap pula bahwa Komisi I sebenarnya sudah meminta Kemenkominfo untuk menunda pelaksanaan digitalisasi. Bahkan alokasi anggaran untuk digitalisasi, oleh Komisi I diputuskan untuk ditunda.

Bagi KPI Pusat, pelaksanaan digitalisasi ini memang sebuah kemestian. Namun proses pelaksanaannya harus memikirkan kemaslahatan bagi seluruh pihak, terutama masyarakat. Menurut Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, migrasi digital bukanlah tanggung jawab atau kesalahan publik, karenanya segala akibat dari migrasi ini seharusnya tidak boleh membebani publik. Untuk itu pemerintah harus  menyiapkan anggaran, baik dalam bentuk subsidi langsung untuk pengadaan set top box bagi masyarakat ataupun produksi televisi digital yang terjangkau.

Selain masyarakat luas, pihak lain yang harus dipikirkan kepentingannya adalah industri penyiaran. Menurut Judha, salah satu konsekuensi digitalisasi penyiaran versi Kemenkominfo adalah adanya pembagian antara lembaga penyelenggara infrastruktur (network provider) dan penyelenggara program siaran (service provider).  Dengan demikian seluruh lembaga penyiaran swasta yang saat ini telah memiliki penyelenggaraan penyiaran, tidak hanya wajib melakukan migrasi dari analog ke digital, tetapi juga akan berubah menjadi sebatas penyelenggara program siaran. Keadaan ini menunjukkan adanya potensi kerugian finansial bagi lembaga penyiaran dalam pelaksanaan digitalisasi.  Bagi KPI sendiri, adanya pembagian antara lembaga penyelenggara infrastruktur dan penyelenggara program siaran merupakan bentuk pelanggaran undang-undang penyiaran. Menurut Judha, dalam regulasi penyiaran saat ini tidak dikenal pembagian tersebut. Dalam undang-undang penyiaran hanya menyebutkan empat jenis lembaga, yakni lembaga penyiaran swasta, lembaga penyiaran publik, lembaga penyiaran berlangganan dan lembaga penyiaran komunitas. Ini juga yang menjadi salah satu alasan KPI untuk meminta digitalisasi dilaksanakan setelah ada payung hukum setingkat undang-undang.

Dikatakan Judha, pada banyak negara menunjukkan kesuksesan migrasi ditunjang partisipasi aktif dan koordinasi yang baik antar semua pemangku kepentingan. Komponen yang harus terlibat aktif tersebut adalah pemerintah, regulator, penyelenggara program, penyedia konten,penyalur program, penyelenggara multipleks lainnya, pabrikan peralatan dan juga konsumen. Harapan Judha, dengan partisipasi aktif dan koordinasi yang baik tersebut, tujuan digitalisasi penyiaran yang memberikan manfaat besar bagi publik dapat tercapai.

Jakarta – Selang satu hari dari pertemuan di Bawaslu, KPI dan Bawaslu kembali bertemu terkait pembentukan Desk Penyiaran Pemilu 2013. Pertemuan yang berlangsung di kantor KPI Pusat, Rabu, 4 September 2013, membahas anggota dalam desk penyiaran Pemilu tersebut.

Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad mengatakan, pertemuan ini akan lebih memfokuskan kepada penunjukan orang-orang yang terlibat dalam desk penyiaran Pemilu 2013. Nantinya, desk penyiaran ini akan memiliki tugas sesuai dengan fungsi kelembagaan masing-masing. “Bawaslu untuk penanganan kepada peserta Pemilu. Sedangkan KPI menangani lembaga penyiaran,” katanya yang disaksikan Anggota Bawaslu bidang Pengawasan, Daniel Zuchron.

Selain soal desk penyiaran, Idy meminta adanya kesamaan persepsi mengenai turunan dari Peraturan KPU yang saat ini dalam pembahasan dan pengesahan Kementerian Hukum dan HAM. Kemungkinan, PKPU tersebut akan selesai pekan ini. “Turunan dari PKPU harus kita tafsirkan bersama dan job desk pekerjaannya harus jelas,” tambahnya yang disaksikan Komisioner KPI Pusat, Fajar Arifianto Isnugroho. Agatha Lily dan Sujarwanto Rahmat.

Dalam kesempatan itu, Daniel Zuchron menyempatkan menyampaikan perihal kebijakan lembaganya yang melakukan penindakan pada perserta Pemilu terkait iklan dari peserta Pemilu tersebut.

Rencananya, Bawaslu dan KPI akan lebih mengintesifkan pertemuan dengan kegiatan FGD yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat. Upaya ini mempercepat proses pembentukan desk penyiaran dan penyamaan persepsi diantara dua lembaga ini. Red

Jakarta – Komisi I DPR RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPI, ATVSI dan ATVLI terkait permintaan masukan Panja Digitalisasi Komisi I mengenai proses digitalisasi serta revisi UU Penyiaran, Selasa, 3 September 2013, di ruang rapat Komisi I DPR RI. Ketua Panja Digitalisasi, Tantowi Yahya mengatakan, masukan ketiganya akan menjadi bahan pertimbangan dalam UU Penyiaran yang baru nanti.

Perubahan atau pembuatan UU Penyiaran yang baru ini termasuk paling sulit karena menyangkut banyak unsur seperti teknologi, politik, hukum dan lainnya. Masukan dari KPI, ATVSI dan ATVLI akan dibahas dalam rangka penyusunan UU Penyiaran yang baru. “Karena itu kami perlu mengajak bicara pemangku kepentingan agar UU ini tidak ketinggalam zaman. UU ini harus bersifat futuristik, agar teknologi yang muncul belakangan bisa tercover oleh UU baru ini,” katanya.

Diawal rapat, Ketua KPI Pusat, Judhariksawan menegaskan jika revisi UU Penyiaran sangat patut diformatkan secara digital. Judha juga menyampaikan soal dampak migrasi analog ke digital terhadap perlindungan publik. Menurutnya, migrasi digital bukan merupakan tanggungjawab atau kesalahan publik, sehingga akibat adanya migrasi tidak boleh membebankan publik. “Karena itu, harus ditempuh upaya untuk memberikan subsidi kepada publik sebagaimana dilakukan di negara lain dalam hal pengadaan set top box atau produksi televisi digital murah,” jelasnya.

Penting juga melakukan sosialisasi yang memadai dan massiv terutama memberikan informasi yang jelas kepada kepada calon pembeli televisi seperti yang dilakkan Jepang dan AS. Untuk menjamin diversity of conten, maka harus diatur komposisi format siaran dan segmentasi pda setiap kanal program. “Misalnya, dari 12 kanal program yang tersedia ditetapkan 3 kanal untuk progam berita, 3 kanal untuk program hiburan, 2 kanal untuk program film dan musik, 2 program untuk program anak, dan 2 kanal untuk pendidikan dan budaya,” papar Judha dalam presentasinya.

Sementara itu, Ketua ATVLI, Imawan Mashuri mengkritisi permen soal digital dan meminta pelaksanaan migrasi tidak merugikan keberadaan televisi lokal. Menurutnya, UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan ruang luas bagi televisi lokal untuk berdiri dan berkembang. Karena itu, televisi lokal yang sudah ada dan memiliki izin berhenti hanya karena migrasi ini. “Menurut UU Penyiaran, izin televisi hanya bisa dihentikan oleh pengadilan bukan switch off,” katanya.

Saat ini, jumlah anggota ATVLI (Asosiasai Televisi Lokal Indonesia) ada 64 anggota. Jika ditotal dengan yang belum masuk jadi anggota ada sekitar 161 televisi lokal di Indonesia, sebagian besar dari televise lokal tersebut sudah mengantongo izin prinsip maupun tetap.

Anggota KPI Pusat bidang Perizinan, Azimah Subagijo, menyoroti soal lamanya proses perizinan penyiaran. Dia juga menyampaikan bahwa saat ini masih banyak perizinan analog yang masih dalam proses perizinan menunggu izin keluar. Menurutnya, ini harus mendapatkan perhatian karena ini menyangkut banyak kepentingan.

Dalam rapat tersebut, turut hadir Anggota KPI Pusat, Amirudin, Agatha Lily, Fajar Arifianto, Sujarwanto Rahmat, dan Danang Sangga Buana. Red

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.