Jakarta – Komisi I DPR RI melakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan KPI, ATVSI dan ATVLI terkait permintaan masukan Panja Digitalisasi Komisi I mengenai proses digitalisasi serta revisi UU Penyiaran, Selasa, 3 September 2013, di ruang rapat Komisi I DPR RI. Ketua Panja Digitalisasi, Tantowi Yahya mengatakan, masukan ketiganya akan menjadi bahan pertimbangan dalam UU Penyiaran yang baru nanti.

Perubahan atau pembuatan UU Penyiaran yang baru ini termasuk paling sulit karena menyangkut banyak unsur seperti teknologi, politik, hukum dan lainnya. Masukan dari KPI, ATVSI dan ATVLI akan dibahas dalam rangka penyusunan UU Penyiaran yang baru. “Karena itu kami perlu mengajak bicara pemangku kepentingan agar UU ini tidak ketinggalam zaman. UU ini harus bersifat futuristik, agar teknologi yang muncul belakangan bisa tercover oleh UU baru ini,” katanya.

Diawal rapat, Ketua KPI Pusat, Judhariksawan menegaskan jika revisi UU Penyiaran sangat patut diformatkan secara digital. Judha juga menyampaikan soal dampak migrasi analog ke digital terhadap perlindungan publik. Menurutnya, migrasi digital bukan merupakan tanggungjawab atau kesalahan publik, sehingga akibat adanya migrasi tidak boleh membebankan publik. “Karena itu, harus ditempuh upaya untuk memberikan subsidi kepada publik sebagaimana dilakukan di negara lain dalam hal pengadaan set top box atau produksi televisi digital murah,” jelasnya.

Penting juga melakukan sosialisasi yang memadai dan massiv terutama memberikan informasi yang jelas kepada kepada calon pembeli televisi seperti yang dilakkan Jepang dan AS. Untuk menjamin diversity of conten, maka harus diatur komposisi format siaran dan segmentasi pda setiap kanal program. “Misalnya, dari 12 kanal program yang tersedia ditetapkan 3 kanal untuk progam berita, 3 kanal untuk program hiburan, 2 kanal untuk program film dan musik, 2 program untuk program anak, dan 2 kanal untuk pendidikan dan budaya,” papar Judha dalam presentasinya.

Sementara itu, Ketua ATVLI, Imawan Mashuri mengkritisi permen soal digital dan meminta pelaksanaan migrasi tidak merugikan keberadaan televisi lokal. Menurutnya, UU No.32 tahun 2002 tentang Penyiaran memberikan ruang luas bagi televisi lokal untuk berdiri dan berkembang. Karena itu, televisi lokal yang sudah ada dan memiliki izin berhenti hanya karena migrasi ini. “Menurut UU Penyiaran, izin televisi hanya bisa dihentikan oleh pengadilan bukan switch off,” katanya.

Saat ini, jumlah anggota ATVLI (Asosiasai Televisi Lokal Indonesia) ada 64 anggota. Jika ditotal dengan yang belum masuk jadi anggota ada sekitar 161 televisi lokal di Indonesia, sebagian besar dari televise lokal tersebut sudah mengantongo izin prinsip maupun tetap.

Anggota KPI Pusat bidang Perizinan, Azimah Subagijo, menyoroti soal lamanya proses perizinan penyiaran. Dia juga menyampaikan bahwa saat ini masih banyak perizinan analog yang masih dalam proses perizinan menunggu izin keluar. Menurutnya, ini harus mendapatkan perhatian karena ini menyangkut banyak kepentingan.

Dalam rapat tersebut, turut hadir Anggota KPI Pusat, Amirudin, Agatha Lily, Fajar Arifianto, Sujarwanto Rahmat, dan Danang Sangga Buana. Red

Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat meneruskan surat aduan dari masyarakat terkait rencana penyiaran ajang Miss Wolrd 2013 oleh stasiun televisi RCTI, Selasa, 3 September 2013. Dalam suratnya, KPI meminta RCTI agar memperhatikan dengan sungguh-sungguh aduan dari masyarakat tersebut. Aduan masyarakat ke KPI didasarkan pada pandangan atas keberagaman budaya dan nilai-nilai yang ada di masyarakat tentang penyelenggaraan dan rencana penyiaran ajang tersebut.

Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, dalam suratnya mengatakan, penerusan aduan ini dilandasi ketentuan Pasal 8 ayat 3 huruf e dalam UU Penyiaran tahun 2002. “KPI berkewajiban untuk menampung, meneliti, dan menindaklanjuti aduan, sanggahan, serta kritik dan apresiasi masyarakat terhadap penyelenggaraan penyiaran,” katanya.

Tidak lupa, dalam surat itu, KPI meminta RCTI untu menjadikan P3 dan SPS KPI tahun 20012 sebagai acuan utama dalam penayangan setiap program siaran. Red

Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat akan pusatkan perhatian atas mekanisme pelayanan perizinan penyelenggaraan penyiaran agar dapat ditempuh dengan cepat dan akuntabel. Hal tersebut juga sejalan dengan undang-undang tentang keterbukaan informasi public serta undang-undang pelayanan publik. Hal tersebut disampaikan Amiruddin, komisioner KPI Pusat bidang perizinan dan infrastruktur dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).

Apa yang dikatakan Amiruddin ini sejalan dengan harapan yang disampaikan jajaran Ditjen Penyelenggara Pos dan Informatika (PPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika, Syaharuddin, saat membuka acara Pra FRB tersebut. Menurut Syaharuddin, sebagai regulator bersama, KPI dan Kemenkominfo harus meningkatkan lagi kualitas pelayanan perizinan penyiaran. Sehingga para pemohon izin mendapatkan kepastian tentang status perizinan dari usaha penyiaran yang mereka jalani.

Ke depan, ujar Amiruddin, pusat data perizinan penyiaran yang dimiliki oleh KPI akan dimutakhirkan, sehingga kinerja perizinan penyiaran ini dapat diketahui masyarakat lewat informasi yang sesuai melalui web site KPI Pusat. Hal ini merupakan salah satu upaya KPI dalam menciptakan pelayanan publik yang optimal dan akuntabel bagi masyarakat.

Sebelumnya dijelaskan pula oleh Koordinator bidang perizinan dan infrastruktur KPI Pusat, Azimah Subagijo, penataan mekanisme pelayanan perizinan yang dilakukan KPI Pusat untuk mengoptimalkan pemanfaatkan frekuensi sebagaimana yang diamanatkan oleh undang-undang penyiaran. Keberadaan frekuensi sebagai salah satu sumber daya yang dikelola negara, sangat terbatas. Namun peminat yang berkeinginan mengelola frekuensi untuk dunia penyiaran sangat banyak. “Disinilah peran KPI untuk memastikan frekuensi dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat”, ujar Azimah. “TIdak boleh ada frekuensi yang diberikan pada lembaga penyiaran, namun ternyata tidak digunakan untuk bersiaran. Atau kalaupun bersiaran, tapi tidak menunaikan kewajiban pembayaran izin-izin kepada negara” tegasnya. Dua hal terakhir ini yang menjadi temuan dalam Pra FRB, yang merupakan salah satu tahapan perizinan yang harus dilewati oleh pemohon izin siaran.  Azimah menekankan, bahwa KPI berkomitmen agar frekuensi yang dipinjamkan negara pada para penyelenggara penyiaran ini, harus member manfaat optimal bagi kebaikan masyarakatnya.

 

Jakarta – KPI dan Bawaslu segera membuat keputusan bersama mengenai SOP tentang Desk Penyiaran Pemilu 2014. Hal itu disepakati dalam pertemuan lanjutan antara KPI dan Bawaslu di kantor Bawaslu Pusat, Senin, 2 September 2013. Selain itu, hasil pertemuan tersebut mendesak agar pembentukan task force 4 lembaga dipercepat.

Dalam pertemuan tersebut, KPI dihadiri langsung Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, Wakil Ketua KPI Pusat, Idy Muzayyad, Anggota KPI Pusat, Agatha Lily dan Fajar Arifianto Isnugroho.

Diawal pertemuan, Idy Muzayyad menegaskan bahwa MoU antara KPI dan Bawaslu memandatkan beberapa hal seperti pembentukan desk bersama dan penyamaan persepsi tentang batasan kampanye. Terkait persepsi kampanye ini, Judhariksawan meminta agar semua pihak bisa sama. “Ini sangat penting dalam desk penyiaran. Pasalnya, definisi siaran kampanye belum jelas,” katanya.

Anggota Bawaslu bidang Pengawasan, Daniel Zuchron menyampaikan beberapa masalah seperti pelanggaran pada iklan peserta pemilu. Pertemuan antara lembaga akan dilakukan kembali dalam waktu dekat. Red

Bali - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sepakat mencabut izin dari lembaga penyiaran yang menunggak pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi Izin Stasiun Radio (ISR) dan Izin Penyelenggaraan Penyiaran (IPP). Hal tersebut disampaikan Azimah Subagijo, Koordinator Bidang Perizinan dan Infrastruktur KPI Pusat dalam acara Pra Forum Rapat Bersama (Pra-FRB) untuk wilayah layanan di sepuluh provinsi (Nusa Tenggara Barat, Bali,Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Bengkulu, Riau, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah), di Bali (2/9).

Dalam Pra FRB yang juga dihadiri oleh jajaran Ditjen Sumber Daya Penyelenggaraan Pos dan Informatika (SDPPI) dan Ditjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI) Kemenkominfo tersebut, diketahui beberapa lembaga penyiaran yang mengajukan perpanjangan izin, ternyata sudah lama menunggak pembayaran IPP yang seharusnya dilakukan setiap tahun. Padahal surat peringatan ataupun teguran telah dilayangkan oleh Ditjen PPI dan KPID setempat kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan. Karenanya, KPI dan Kemenkominfo akan melakukan tindakan tegas atas penunggakan-penunggakan ini, yakni berupa penolakan perpanjangan izin ataupun pencabutan izin siaran.

Menurut Azimah, lembaga penyiaran seharusnya memiliki kesadaran penuh bahwa frekuensi yang digunakan untuk bersiaran adalah milik negara yang dipinjamkan. Konsekuensi dari peminjaman frekuensi tersebut, lembaga penyiaran harus membayar kepada negara sebagai salah satu bentuk kontribusinya pada negara.

Azimah menyadari bahwa kehadiran lembaga penyiaran di tengah masyarakat membantu pemerintah baik dalam penyebaran informasi serta pelayanan publik bagi masyarakat. Namun, lanjut Azimah, lembaga penyiaran pun mendapatkan keuntungan financial atas bisnis mereka yang menggunakan frekuensi tersebut. Sesuai ketentuan berlaku, seharusnya lembaga penyiaran taat dengan menunaikan kewajiban financial pada negara. “Dalam undang-undang penyiaran sudah disebutkan bahwa negara menguasai spectrum frekuensi radio yang digunakan untuk penyelenggaraan penyiaran sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, ujarnya. Sehingga sikap dari lembaga penyiaran yang menunggak tersebut tidak sejalan dengan amanat undang-undang penyiaran.

Ke depannya, Azimah menjelaskan, KPI Pusat akan melakukan penataan terhadap mekanisme  perizinan untuk lembaga penyiaran. Saat ini frekuensi yang tersedia sedemikian terbatas, sedangkan pemohon atas izin penyiaran terus bertambah. Sehingga terjadi  defisit frekuensi di beberapa daerah yang memang memiliki banyak peminat untuk menyelenggaran penyiaran. Di sisi lain,ujar Azimah, di tengah defisit frekuensi ini ada pula frekuensi yang dimiliki lembaga penyiaran namun tidak digunakan untuk bersiaran, atau digunakan namun tidak membayar iuran ke negara baik dalam bentuk biaya ISR ataupun IPP. Karenanya, penataan mekanisme perizinan ini, menurut Azimah, akan memberikan data riil atas lembaga penyiaran yang benar-benar beroperasi sesuai dengan regulasi yang ada. Dirinya berharap dengan penataan ini, seluruh frekuensi yang tersedia dapat dimanfaatkan optimal oleh lembaga penyiaran untuk memberikan kemaslahatan bagi negara dan bangsa Indonesia. 

I

 

 

 

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.