Jakarta – Anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat Danang Sangga Buwana mengatakan jika seorang ayah menjadi tersangka korupsi, maka media tidak boleh menayangkan gambar anaknya di televisi.
Terutama anak yang masih berusia di bawah 18 tahun. Menurut Danang, hal itu sudah diatur dalam Pedoman Prilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran.
"Cukup ayahnya saja. Bahkan, istrinya juga tidak perlu ditayangkan media," kata Danang saat Sosialisasi dan Diskusi Jurnalis dalam Pemberitaan yang Berperspektif Perlindungan Saksi dan Korban, di Ancol, Jakarta, Sabtu 19 Oktober 2013.
Sebab, kata Danang, tayangan itu akan memberikan dampak luar biasa terhadap anak dan istri tersangka. Dicontohkan Danang, anak tersangka bisa saja menjadi cibiran teman-temannya.
Stigma anak koruptor bisa terbentuk. Karenanya, kata Danang, jika anak itu masih di bawah 18 tahun maka tidak boleh ditayangkan di media ketika ayahnya menjadi tersangka dugaan korupsi.
Apalagi, kata dia, anak itu nanti bisa saja menjadi saksi atau korban dalam kasus ini. "Itu harus dilindungi," tegas Danang seperti ditulis JPNN. Red
Jakarta - Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat telah bertemu dengan Indro Warkop dan Olga Syahputra yang diberitakan oleh salah satu media online, telah mengatakan bahwa KPI meminta sejumlah uang pada artis Olga Syahputra. Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor KPI Pusat tersebut (18/10), Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, Rahmat Arifin mengatakan, masalah ini sudah dianggap selesai.
“Indro dan Olga sudah memberikan klarifikasi atas pernyataan mereka yang dikutip oleh media online”, ujar Rahmat. Pada dasarnya, berita yang mengatakan KPI meminta uang pada Olga adalah tidak benar. Rahmat juga mengingatkan bahwa kewenangan KPI adalah mengawasi lembaga-lembaga penyiaran seperti televisi dan radio, bukan para pelaku di industry penyiaran tersebut. Karenanya, sangat tidak benar, jika kemudian dikatakan KPI atau oknum KPI meminta uang pada Olga, yang program acaranya di televisi banyak mendapatkan teguran dari KPI.
Rahmat menyayangkan kurangnya usaha crosscheck oleh media online tersebut pada KPI, di kesempatan pertama pemuatan berita yang bertendensi buruk bagi lembaga ini. Meskipun sesudah mengangkat berita tersebut, dua komisioner KPI Pusat diwawancara untuk konfirmasi. Untuk itu, Rahmat berharap media-media online menaati kode etika jurnalistik media online yang sudah dikeluarkan oleh Dewan Pers. Sehingga, tidak perlu ada lagi berita-berita seperti ini yang dapat menjatuhkan citra seseorang atau lembaga, tanpa melalui konfirmasi, pungkasnya.
Jakarta – Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengundang TVRI untuk menyampaikan klarifikasi terkait pengaduan masyarakat atas dugaan pelanggaran terhadap P3 dan SPS KPI tahun 2012 dalam program siaran di lembaga penyiaran publik tersebut. Klarifikasi dilakukan pada Rabu sore, 16 Oktober 2013, di kantor KPI Pusat, Jakarta.
Dalam pertemuan itu, TVRI diwakili GM Pemberitaan, Pipit Irianto, serta beberapa orang dari bagian redaksi pemberitaan TVRI. Adapun dari KPI Pusat, hadir Ketua KPI Pusat, Judhariksawan, Komisioner sekaligus Ketua bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat, S. Rahmat Arifin, dan Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran, Agatha Lily.
Disela-sela pertemuan, ditayangkan cuplikan dugaan pelanggaran yang dilaporkan masyarakat dan direkam bagian pemantauan KPI Pusat. Usai penayangan cuplikan tersebut, TVRI diminta menjelaskan adanya tayangan yang diduga melanggar tersebut bisa muncul dalam siarannya.
Adapun klarifikasi yang disampaikan TVRI terkait tayangan yang diduga melanggar, menjadi masukan dan data yang akan disampaikan dalam rapat pleno KPI Pusat untuk memutuskan sanksinya. Diakhir klarifikasi, TVRI dimintai menandatangani berita acara. Red
Jakarta - Program siaran hiburan yang marak di televisi saat ini masih banyak yang melanggar P3SPS. Hal tersebut dikarenakan masih ada perbedaan persepsi lembaga penyiaran dalam memahami P3SPS. Program dengan format komedi masih sering menampilkan kata-kata kasar dan adegan yang melanggar norma kesopanan .
Adegan dalam program siaran dengan format komedi yang sedang menjadi trend adalah adegan melempar tepung ke wajah. Menurut KPI adegan tersebut melanggar norma kesopanan yang sudah diatur dalam P3SPS. Hal tersebut disampaikan oleh Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat S. Rahmat M. Arifin dalam pertemuan dengan perwakilan bidang produksi lembaga penyiaran di kantor KPI Pusat, Kamis, 17 Oktober 2013.
Selain itu, Sujarwanto Rahmat juga berpendapat adegan lempar tepung itu berbahaya, dikhawatirkan akan menjadi perilaku yang wajar dan ditiru oleh anak-anak. Dari pertimbangan itu, KPI memutuskan bahwa adegan lempar tepung ke wajah seseorang dalam program siaran komedi harus dihilangkan atau dikurangi seminimal mungkin.
Pertemuan yang dihadiri oleh perwakilan bidang produksi seluruh lembaga penyiaran (LP) ini juga dimaksudkan umtuk mendapatkan masukan dan pendapat dari pihak LP. Dari perwakilan TransTV berpendapat harus ada kepastian, apakah adegan tersebut benar-benar harus hilang atau ada batasan-batasan tertentu. Senada dengan TransTV, perwakilan SCTV menyampaikan bahwa KPI dan LP harus berembuk tentang batasan-batasan adegan dalam program komedi khususnya yang menggunakan benda seperti tepung atau sejenisnya. Perwakilan ANTV berharap bidang produksi tidak terbelenggu dengan adanya batasan-batasan itu.
Agatha Lily, Komisioner bidang Pengawasan Isi Siaran KPI Pusat yakin pihak produksi LP dapat membuat sesuatu dari acara komedi yang lebih kreatif sekaligus tidak melanggar norma kesopanan. "Saya yakin tim kreatif bisa melakukan hal yang lebih kreatif. Kita harus sepakat, adegan lempar tepung alangkah baiknya dapat dihilangkan", ujar Lily
Sujarwanto Rahmat menginformasikan setelah pertemuan tersebut KPI akan memberikan surat imbauan kepada seluruh stasiun televisi yang isinya memberikan tenggang waktu kepada televisi untuk menghilangkan atau dikurangi seminimal mungkin adegan lempar tepung, tinta, tart atau sejenisnya ke wajah seseorang dalam program siaran komedi.Red
Jakarta – Apakah anda semua setuju dengan ajakan untuk menghentikan segala bentuk tayangan kekerasaan. Dan, menghentikan semua bentuk kekerasan tersebut dimulai dengan menyetop isi pemberitaan tentang kekerasan.
Ajakan tersebut disampaikan Stanley Adi Prasetyo, Anggota Dewan Pers, dalam makalahnya yang berjudul “Siaran Kekerasan dalam Perspektif Etika Jurnalistik” pada workshop Standar Kelayakan Siaran Bermuatan Kekerasan dalam Program Jurnalistik yang diselenggarakan KPI Pusat, Kamis pekan lalu, 10 Oktober 2013.
Menurut Stanley, ajakan tersebut bagian dari moratorium bersama dengan juga memperketat kepatuhan pelaksanaan KEJ (Kode Etik Jurnalistik) dan P3 dan SPS KPI, memperketat fungsi pengawasan dan pembinaan dari Dewan Pers dan KPI, memproses dan memublikasikan pelanggaran yang terjadi kepada masyarakat luas, mendorong munculnya media watch dan melakukan media literasi.
Didalam makalahnya, Stanley menjelaskan jika masyarakat tidak pernah mengetahui apakah tayangan kekerasan tersebut berbahaya atau tidak. Bagi masyarakat, tayangan kekerasan di televisi hanyalah sebuah hiburan dan tidak membahayakan. Memang benar, itu hanyalah sebuah tayangan dan sama sekali tidak berbahaya. Namun, dibalik tayangan kekerasan itu, kita bisa saja mencontoh apa yang dilakukan oleh pelaku-pelaku kekerasan di televisi.
Menurut Stanley, anak-anak tidak bisa dibiarkan dengan menyaksikan tontonan seperti itu. Jika terlalu sering, ada kemungkinan mereka akan merasa terbiasa dengan tindak kekerasan dan bukan tak mungkin anak-anak akan melakukan peniruan tindak kekerasan tanpa rasa takut.
Apa yang disampaikan Stanley terkait bahaya pemberitaan kekerasan tidak lepas dari kondisi yang ada di masyarakat kita yang mudah dipengaruhi. Bagaimana pun, pengaruh media terhadap masyarakat sangat kuat karena memang media punya kekuatan besar itu.
Harusnya media tidak boleh melupakan fungsi institusi sosialnya yakni ikut bertanggungjawab menjaga tatanan sosial, medidik masyarakat, bukan sekedar memberikan informasi tapi tidak mendidik. “News judgement banyak ditinggalkan oleh media kita demi mengejar rating dan prestise yang muaranya pada satu tujuan yakni keuntungan,” papar Stanley dalam presentasinya.
Sementara itu, di tempat yang sama, Priyambodo, Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) menekankan penerapan standar kompetensi wartawan dan program melek media. Menurutnya, kedua program sudah bukan menjadi wacana tapi harus diwujudkan. Red