- Detail
- Dilihat: 12776
Bandung - Keberadaan sumber daya manusia (SDM) yang professional di bidang penyiaran adalah salah satu tugas dan kewajiban Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) seperti yang diamanatkan dalam undang-undang nomor 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Untuk itu, KPI harus mampu membuat sebuah disain sistem pengembangan SDM yang menjamin profesionalitas di bidang penyiaran dengan mewujudkannya dalam bentuk regulasi. Hal tersebut mengemuka dalam seminar bidang kelembagaan pada Rapat Pimpinan (Rapim) KPI, di Bandung (1/3), yang bertajuk standarisasi kompetensi profesi penyiaran dan kode etik KPI.
Hadir sebagai pembicara dalam seminar ini, Bekti Nugroho (Koordinator bidang kelembagaan KPI Pusat), Mochamad RIyanto (Mantan Ketua KPI Pusat), Imam Wahyudi (Dewan Pertimbangan Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia/ Dewan Pers). Menurut Riyanto, rencana KPI Pusat menyusun standarisasi kompetensi profesi penyiaran merupakan langkah maju, Hal ini sejalan dengan program pemerintah yang sedang menyusun Standar Kompetensi Kinerja Nasional Indonesia (SKKNI). Untuk itu, RIyanto menilai, KPI sebaiknya bekerjasama dengan asosiasi-asosiasi profesi untuk menyusun standarisasi tersebut.
Menurut Bekti Nugroho, kehadiran standar kompetensi profesi penyiaran adalah sebuah usaha KPI untuk meningkatkan kualitas penyiaran di Indonesia. Dalam pandangannya, standar kompetensi dan kode etik ini akan menjadikan marwah KPI kembali berwibawa. Sehingga lembaga penyiaran tidak lagi mengakali sanksi-sanksi KPI seperti yang terjadi pada beberapa program yang selama ini. SElain itu, ujar Bekti, standarisasi ini juga untuk menjaga agar frekuensi ini digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. “Dan itu hanya bisa terjadi dengan keberadaan KPI yang punya wibawa, martabat, kredibilitas dan integritas”, tegasnya. udah
Sementara itu, dalam pemaparannya di hadapan peserta Rapim, Imam Wahyudi menyampaikan bahwa sebagai lembaga yang punya kewenangan untuk menjatuhkan sanksi, KPI memang membutuhkan sebuah aturan yang mengikat semua komisioner pusat dan daerah. Sebagaimana lembaga-lembaga lain seperti Komisi Informasi, Komisi Pemilihan umum, dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang telah memiliki kode etik.
Peserta Rapim menanggapi wacana baru soal standarisasi dan kode etik ini dengan antusias. Menurut Sumeizita, komisioner KPID Sulawesi Selatan, KPI Pusat harus memikirkan kompensasi yang didapat dari standarisasi kompetensi ini bagi para praktisi penyiaran. “Yang pasti, dengan adanya standarisasi ini akan menaikkan nilai tawar mereka”, ujarnya. Untuk itu, kerjasama antara KPI dengan asosiasi lembaga penyiaran juga dilakukan dengan baik dalam pembuatan standarisasi ini. Usul lain yang juga mengemuka adalah dimasukannya masalah kompetensi profesi dan korporasi sebagai salah satu syarat memperoleh izin penyiaran. Sehingga, hanya lembaga penyiaran yang memiliki SDM-SDM penyiaran berkualitas saja, yang dapat menyelenggarakan kegiatan penyiaran. Pendapat ini ternyata disetujui pula oleh Imam Wahyudi. Menurutnya, selama ini media cetak dapat didirikan dengan mudah tapi tidak demikian dengan media elektronik seperti televisi dan radio yang membutuhkan waktu panjang untuk mendapat izin siar. Imam menilai, seharusnya KPI dapat memasukkan parameter kompetensi ini dalam proses perizinan. Sehingga, masalah-masalah yang muncul di layar penyiaran, dapat direduksi seminimal dan seawal mungkin.