Jakarta -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menilai kampanye para calon peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada) tahun 2020 yang berlangsung pada masa pandemi Covid-19 lebih aman dilakukan di lembaga penyiaran, TV dan Radio. Selain efektif dan efisien, model kampanye melalui media ini sejalan dengan upaya pencegahan penyebaran Covid-19.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Nuning Rodiyah, dalam acara Jagong Budaya yang diselenggarakan Bawaslu Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, secara daring dengan tema “Sosialisasi Pengawasan Partisipatif Pada Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Ponorogo Tahun 2020”, Rabu (19/8/2020) malam.

Selain itu, lanjut Nuning, ada empat keuntungan jika menjadikan media penyiaran sebagai medium utama pilkada di masa pandemik. Pertama, informasi bisa diterima dengan cepat dan tepat, yang berbeda dengan model konvensional. Kedua, informasi bisa diterima secara utuh, berimbang dan adil oleh seluruh masyarakat, sehingga bisa menutup ruang bagi terjadinya black campaign yang lazim terjadi pada proses kampanye secara konvensional ataupun melalui platform media sosial. 

“Ketiga adalah daya jangkau dan kepemirsaan yang luas sehingga memudahkan penyelenggara dan peserta pilkada menyampaikan informasi dan gagasan. Adapun yang ke empat, media penyiaran situ elalu diawasi dengan intesitas waktu 24 jam perharinya secara menyeluruh, integral, massif, dan secara langsung oleh KPI dengan juga mengikutsertakan masyarakat,” papar Nuning.

Bahkan, kata  Nuning, kampanye di media penyiaran dapat mendorong angka partisipasi masyarakat dan pembentukan pemilih rasional. Hal ini dimungkinkan berkat kualitas informasi yang ditayangkan secara adil dan berimbang, baik TV maupun radio.  

Dalam kesempatan itu, Komisioner bidang Kelembagaan KPI Pusat ini membahas ketentuan mengenai kampanye dan sosialisasi pilkada 2020 yang menurutnya masih belum adaftif terhadap pademi. “Baru sebatas untuk memperhatikan protokol kesehatan saja,” ujarnya dalam diskusi. 

Nuning mengusulkan perlunya perbaikan terhadap aturan kampanye dan sosialisasi Pilkada 2020. Ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam kaitan iklan kampanye berdasarkan Pasal 65 UU No 10 tahun 2016 yang di fasilitasi penyelenggara melalui APBD yakni pertama perlu memberikan ruang bagi peserta pemilihan untuk beriklan secara mandiri yang disertai pengaturan dan pembatasan jumlah iklan yang ditayangkan. 

Kedua, masa kampanye di lembaga penyiaran sangat terbatas (14 hari) sebagaimana telah ditentukan di tahapan pilkada, sehingga perlu ditinjau ulang agar bisa dilaksanakan selama masa kampanye. “Debat yang difasilitasi KPUD hanya maksimal 3 kali, sehingga perlu diberikan penambahan frekuensi debat yang diselenggarakan TV atau radio atau pemerintah daerah dengan panduan dari penyelenggara Pemilu,” pinta Nuning.

Aturan kampanye Pilkada 2020 masih menggunakan model lama, termasuk kampanye di media penyiaran. Misalnya debat publik masih diberikan porsi tiga kali adapun penayangan iklan kampanye hanya dibatasi 10 kali selama 14 hari dan itu difasilitasi oleh penyelenggara pemilu melalui APBD. “Jika kerangka pikir new normal digunakan, maka yang paling mungkin untuk proses adaptasi ini adalah memaksimalkan media mainstream, TV-Radio, sebagai sarana pendorong partisipsi publik,” tandas Nuning.

Sementara itu, Anggota Bawaslu RI, Mochammad Afifuddin, menjelaskan mekanisme kerja lembaganya dan kerjasama dengan lembaga lain seperti KPI dalam mengawasi jalannya Pilkada 2020. Hal ini, katanya, adalah usaha untuk mencegah terjadinya potensi pelanggaran. “Saya sering mengistilahkan samudera pengawasan dalam kontek pencegahan itu sangat luas. Karena itu, hal ini butuh inovasi, kolaborasi dan kerjasama,” ujarnya seraya memastikan kerjasama dengan KPI berjalan dengan baik.  

Inovasi ini, lanjut Afif, bisa dilakukan dengan menggandeng budaya lokal dan hal ini dinilai efektif. Pasalnya, untuk mengajak orang masyarakat mau ikut memilih lebih mudah dengan bantuan orang yang dipercaya seperti pemuka agama, tokoh masyarakat hingga Ketua RT/RW. 

Dia menerangkan pentingnya tiga faktor yang tidak boleh hilang dalam proses pemilihan kepala daerah yakni penyelenggara, peserta dan pemilih. Menurutnya, ketiganya memiliki kaitan yang tidak bisa dipisahkan dan saling melengkapi. “Penyelenggara juga harus dipercaya dan jika masyarakat tidak percaya ini akan sangat berbahaya. Karena itu penting melakukan pengawasan terhadap prosesnya,”pintanya.

Dalam kesempatan itu, Anggota Bawaslu bidang Pengawasan dan Sosialisasi ini, menyoroti pentingnya penambahan aturan kampanye di media sosial dan media penyiaran. Pasalnya, aturan yang diterapkan dalam Pilkada sekarang masih sama dengan Pemilu sebelumnya. Padahal, banyak celah yang perlu ditambal untuk meminimalisir terjadinya pelanggaran. “Pengaturan di media sosial dan media penyiaran perlu ditambah,” tegas Afif. ***  

 

Jakarta - Penayangan proses interogasi terhadap pelaku kejahatan dalam program siaran patut mendapatkan evaluasi, mengingat dalam Standar Program Siaran (SPS) Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) 2012 terdapat ketentuan untuk tidak menyajikan rekaman proses interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kejahatan. Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan Isi Siaran, Mimah Susanti, menyampaikan hal tersebut dalam Diskusi Kelompok Terpumpun/ FGD tentang Rekaman Proses Interogasi Kepolisian Pada Program Siaran, yang diselenggarakan di Jakarta, (19/08/2020). 

Pada kesempatan diskusi tersebut Santi menyampaikan catatan pengawasan konten siaran yang dilakukan KPI, terhadap program siaran yang menampilkan tindak kejahatan. “Dari catatan kami, setidaknya ada lima hal yang patut diperhatikan oleh lembaga penyiaran saat menyajikan tayangan terkait tindak kejahatan,” ujarnya. KPI menemui adanya wawancara pengakuan tersangka tindak kekerasan dan/atau kejahatan yang diceritakan secara jelas dan rinci. “Ada juga wawancara dengan pemilihan diksi yang kurang tepat sehingga dinilai tidak pantas untuk ditayangkan,” ungkap Santi. Selain wawancara, KPI juga menemukan tayangan proses interogasi oleh pihak kepolisian kepada tersangka tindak kejahatan pembunuhan,  yang dilakukan di dalam mobil. Ada juga pemberitaan  yang di dalamnya terdapat proses interogasi kepolisian terhadap tersangka tindak kekerasan dan/atau kejahatan, serta menampilkan  pengulangan tayangan gambar dan suara  yang sama secara bersambung menyatu  proses interogasi kepolisian pada pelaku tindak kekerasan dan/atau kejahatan.

Munculnya pemberitaan tindak kejahatan yang disampaikan secara detil dapat dipahami sebagai upaya memberikan informasi yang utuh kepada publik tentang sebuah tindakan kriminal beserta  modus yang melingkupinya. Namun demikian, menurut Wakil Ketua KPI  Mulyo Hadi Purnomo, lembaga penyiaran sebaiknya juga mempertimbangkan dampak yang diperoleh oleh publik. Ada kekhawatiran pemberitaan tindak  kejahatan ini selain menimbulkan efek kengerian, juga berpotensi ditiru oleh publik. 

Terkait kepentingan publik ini, Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yadi Hendriyana sepakat dengan Mulyo. Menurutnya publik berhak mendapat informasi yang akurat dan memiliki dampak yang positif. Untuk itulah jurnalis juga harus mampu mengukur impact positif dan negatif untuk publik dari setiap karya jurnalistik yang dihasilkannya. “Pada tahap ini, tentulah dibutuhkan kompetensi dalam memahami etika jurnalistik,” ujar Yadi. Selain itu Yadi juga mengingatkan bahwa “calling message” dari undang-undang penyiaran saat ini adalah membentuk budaya santun dan bermoral . 

Dalam kesempatan tersebut hadir pula dari Divisi Humas Polri, yang diwakili oleh Komisaris Besar Polisi Sugeng Hadi Sutrisno. Dia memaparkan tentang hak-hak yang dimiliki tersangka dalam pemeriksaan. Dalam proses interogasi, ujar Sugeng, hanya dapat dihadiri oleh tersangka, penyidik, juru bahasa dan penasehat hukum. Peliputan sendiri, ujar Sugeng, masih memungkinkan. Namun dilakukan oleh pihak kepolisian dan bukan untuk konsumsi publik. Sedangkan untuk proses rekonstruksi perkara, boleh diliput oleh media. 

Namun demikian, menurut Yadi, meskipun proses rekonstruksi memang dapat diliput oleh media, jurnalis harus paham adanya tuntutan keberimbangan saat menayangkan. “Harus ada obyektifitas dan proporsional,” ujar Yadi.  Wartawan memang punya hak meliput, namun yang pegang kendali terkait penayangan adalah media yang bersangkutan. 

Senada dengan Yadi, Komisioner KPI Pusat Kelembagaan Hardly Stefano Pariela menyampaikan, tidak semua yang dibolehkan oleh polisi, dapat disampaikan kepada publik. Rekonstruksi perkara memang dibolehkan, tapi yang harus diingat dalam P3 & SPS KPI mengatur bahwa tidak boleh menayangkannya secara rinci, ujarnya.  Yang terpenting dalam pemberitaan kasus kejahatan ini adalah tidak memberikan inspirasi akan ide kejahatan yang serupa, serta tidak menghalangi proses pengadilan pro justitia. (Foto: Agung Rahmadiansyah/ KPI)

 

 

Jakarta -- Peran lembaga atau media penyiaran dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 di masa pandemi dinilai sangat vital. Selain dapat meningkatkan partisipasi pemilih, media seperti TV dan radio, bisa berfungsi sebagai media penjernih pelbagai informasi dari media baru yang kebenarannya tanpa verifikasi dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Pendapat tersebut disampaikan Komisioner KPI Pusat, Hardly Stefano, saat mengisi acara Seminar Nasional on line dengan tema “Pilkada di Masa Pandemi” yang diselanggarakan Universitas 17 Agustus 1945 Banyuwangi, Jawa Timur, bekerjasama dengan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat, Kamis (13/8/2020). 

Di awal paparan, Hardly menyampaikan, kondisi pandemi Covid-19 saat ini memunculkan apatisme publik yang cukup tinggi terhadap pelaksanaan Pilkada yang dikhawatirkan menurunkan angka partisipasi pemilih. Untuk menepis hal itu, lanjutnya, perlu ada penyampaian informasi secara massif kepada masyarakat melalui instrumen media penyiaran. 

“Bahwa Pilkada di saat pandemi dilakukan dalam suasana new normal. Ada pembatasan pengumpulan orang dalam jumlah banyak. Sehingga penyampaian informasi paling efektif di saat ini adalah menggunakan media. Baik media konvensional maupun media baru atau internet,” kata Hardly. 

Dalam konteks media penyiaran, lanjut Hardly TV dan Radio harus senantiasa mengacu pada pedoman penyiaran (P3SPS). Adanya aturan dan juga pengawasan dari KPI (baik di pusat maupun daerah), memastikan media ini menyampaikan informasi yang terukur, berkualitas, dan proporsional. 

“Tentunya hal ini bisa melawan dan mengantisipasi informasi hoax, hate speech dan SARA. Dan, ini sering kali menjadi instrumen dalam sebuah proses yang disebut black campaign dan hal negatif lainnya,” katanya. 

Berkaca hal di atas, KPI berpandangan bahwa media penyiaran dapat menjadi media penjernih untuk melawan hoax, ujaran kebencian (hate speech) maupun SARA. “Dalam konteks tersebut, maka kami ingin mendorong lembaga penyiaran terutama di saat pandemi ini menjadi instrumen penyampaian sosialisasi tentang Pilkada maupun juga berbagai materi kampanye secara proporsional dan berimbang. Menjadi medium pendidikan politik yang konstruktif pada masyarakat sehingga bisa mendorong partisipasi politik. Pada gilirannya akan meningkatkan kualitas demokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan Pilkada tahun ini,” tutur Hardly.  

Selain itu, Hardly mendorong lembaga penyiaran untuk dapat menyuguhkan informasi Pilkada yang lengkap dan akurat serta diperlukan publik. Seperti informasi calon pemimpin serta apa esensi dari Pilkada meskipun dalam suasana pandemi. “Informasi-informasi seperti ini harus tersampaikan kepada publik secara massif melalui berbagai media khususnya media penyiaran agar dapat mendorong partisipasi publik dalam penyelenggaraan Pilkada,” pintanya. 

Dalam kesempatan itu, Hardly mendorong lembaga penyiaran agar diprioritaskan dalam sosialisasi maupun medium kampanye. Alasannya, lembaga penyiaran senantiasa melakukan check dan recheck informasi. 

“Ini berbeda karakteristiknya jika dibanding dengan media daring atau online. Karena di media itu, ada juga yang merupakan media pers dan tercatat di Dewan Pers tetapi banyak juga yang kemudian berkembang di sosial media. Nah, yang berkembang di sosial media ini, bisa menyampaikan informasi apa saja yang bisa saja bias kepentingan dan tendensius. Bahkan bisa menjadi media serang menyerang di antara peserta Pilkada, baik di antara timses dan lainnya,” tandasnya. 

Pilih pemimpin berkualitas

Sementara itu, di awal seminar, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Arif Wibowo, mengatakan penyelenggaraan Pilkada 2020 banyak ditentang karena khawatir terhadap penyebaran Covid-19. Namun, dalam prosesnya, Pilkada tetap dilangsungkan meskipun diundur hingga Desember mendatang. 

“Diperlukan pemilihan agar ada legislasi yang kuat untuk kepala daerah. Jika kita tidak bisa memastikan kapan covid berakhir, maka tidak ada jalan yang lebih baik yang diambil karena pemerintahan harus terus berlanjut oleh karena itu kami memutuskan pilkada tetap berlanjut,” jelasnya.

Selain itu, kata Arif, jika tidak ada pemilihan dikhawatirkan adanya konflik karena ada pertanyaan soal tidak adanya legitimasi untuk kepala daerah. “Jadi pelaksanaan pilkada sangat penting dan tentunya nanti harus patuh dengan protokol kesehatan yang berlaku,” tambahnya.

Dia juga meminta semua pihak ikut terlibat dalam pengawasan dan ikut mendorong partisipasi masyarakat dalam Pilkada yang akan berlangsung pada Desember mendatang. Minimal jumlah partisipasi bisa sama dengan Pemilu 2019 lalu. 

“Apatisme masyarakat cukup tinggi dan itu tidak sesuai dengan survey yang dilakukan selama ini. Kita harus mampu mendorong partisipasi masyarakat dalam pilkada nanti dan menyampaikan informasi tentang calon secara lengkap agar publik dapat memilih pemimpin yang bermutu,” papar Arif. 

Anggota KPU RI, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, mengatakan pihaknya sudah mengajukan perubahan Peraturan KPU tentang Pilkada 2020 kepada DPR. Perubahan ini menyangkut sejumlah pasal terkait kampanye dan iklan calon peserta di media massa. 

Selain itu, Kade Wiarsa, menyoroti pemilih pemula dalam Pilkada mendatang yang angkanya mencapai 3 juta lebih. Menurutnya, jumlah pemilih pemula dalam Pilkada ini melebihi angka pemilih pemula pada Pemilu 2019 lalu. 

Dalam kesempatan itu, Dia  berharap kepada pemilih yang akan berpartisipasi dalam Pilkada di tengah suasan pandemi untuk memperhatikan protokol kesehatan. “Aspek kesehatan ini sangat penting. Kami juga berharap tahapan Pilkada dapat berjalan dengan baik,” kata Raka Sandi.

Adapun Rektor Untag 1945 Banyuwangi, Andang Subaharianto, sepakat pelaksanaan Pilkada tetap jalan dan jangan sampai diundur lagi. Menurutnya, proses pemilihan untuk memenuhi asas demokrasi dan membentuk pemerintahan yang sah serta berlegitimasi. ***

Jakarta - Kala itu adalah tahun 2008, publik Indonesia dihebohkan dengan berita duka meninggalnya mantan presiden Indonesia ke–2, Soeharto. Sepuluh jam kemudian, Indonesia kehilangan sosok pentingnya, ia adalah pria yang berjasa menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia ke dunia luar.

Ia tak lain adalah Mohammad Yusuf Ronodipuro, seseorang yang telah berjasa bagi Indonesia karena telah menyebarkan kabar merdekanya Indonesia tak lama setelah teks proklamasi dibacakan oleh Sukarno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945.

Yusuf lahir di Salatiga pada 30 September 1919 kala negeri kita tengah dijajah pemerintah kolonial Belanda.

Memasuki masa penjajahan Jepang, Yusuf yang memiliki minat dalam bidang jurnalistik memutuskan pada tahun 1943 untuk bekerja sebagai seorang wartawan Hoso Kyoku, sebuah radio militer milik pemerintah kolonial Jepang di Jakarta.

Pada 9 Agustus 1945 Kekaisaran Jepang menyatakan menyerah tanpa syarat kepada sekutu, setelah tiga hari sebelumnya kota Hiroshima dan Nagasaki dijatuhi bom atom milik sekutu, negeri “Matahari Terbit” itu memutuskan untuk mengaku kalah dalam perang dunia kedua.

Sayangnya berita kekalahan Jepang belum terdengar hingga khalayak umum Indonesia, sebab pada masa itu pendengar radio di Indonesia belumlah banyak.

Beruntunglah Yusuf termasuk orang Indonesia yang mengetahui kabar gembira ini, dari rekanya yang bernama Mochtar Lubis, ia kemudian menyebarkan kabar ini kepada para pejuang di markas mereka yang dikenal dengan nama Menteng 31.

Terdengarnya kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu, membangkitkan semangat para pejuang untuk menyegerakan kemerdekaan Indonesia, terutama mereka–mereka yang berasal dari golongan pemuda.

Momen yang ditunggu itupun tiba, pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia menyatakan kemerdekaanya. Dengan dibacanya teks proklamasi oleh Sukarno dan Hatta di Jalan Pegangsaan Timur 56, bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaanya.

Namun merdekanya Indonesia ini belum diketahui oleh dunia luar, sehingga pengakuan atas kemerdekaan Indonesia oleh bangsa lain belum didapatkan.

Yusuf kala itu belum mendengar kabar akan merdekanya Indonesia, ia dan rekan–rekan lainnya di Hoso Kyoku terjebak dari gedung kerja mereka karena tidak diperijinkan untuk keluar oleh Kempetai.

Namun tiba–tiba datanglah utusan Adam Malik bernama Syahrudin untuk menemui Yusuf, ia berhasil menembus penjagaan pihak Jepang di Hoso Kyoku, lalu diberikanlah selembar surat pendek berisi teks proklamasi ini kepada Yusuf.

Atas perintah Adam Malik, Yusuf ditugaskan untuk menyebarluaskan pernyataan merdekanya bangsa Indonesia kepada dunia luar melalui radio, namun dalam prosesnya Yusuf menghadapi kendala, pasalnya studio siaran di Hoso Kyoku tidak terhubung lagi dengan pemancarnya.

Beruntunglah ada seorang teknisi yang dapat mengutak–atik pemancarnya sehingga dapat terhubung kembali.

Setelah segalanya telah dipersiapkan, pada pukul 19.00, Yusuf mulai menyebarluaskan kabar kemerdekaan ini melalui radio.

Selain menggunakan bahasa Indonesia, Yusuf juga menggunakan bahasa Inggris agar pesan yang ia sampaikan dapat dipahami oleh dunia Internasional.

Radio–radio internasional di Inggris, Amerika, dan Singapura berhasil mendengar siaran radio Yusuf. Kabar merdekanya Indonesia pun disebarkan lagi oleh radio–radio internasional ini.

Upaya Yusuf dalam menyebarluaskan kabar ini bukanlah tanpa konsekuensi. Yusuf dan rekan–rekannya yang membantu dalam penyebarluasan kabar ini kemudian ketahuan oleh pihak Jepang dan diberikan hukuman fisik.

Yusuf merupakan salah satu yang menerima hukuman paling berat, ia disiksa habis–habisan, seorang perwira Jepang telah mengeluarkan katana miliknya untuk memenggal kepala Yusuf.

Beruntunglah datang Letkol Tomo Bachi, pimpinan Hako Kyoku kala itu, ia kemudian memerintahkan untuk membebaskan Yusuf.

Kesukaan antar Yusuf dengan Letkol Tomo Bachi dalam hal opera dan musik klasiklah yang menyelamatkan Yusuf dari akhir hidupnya.

Kesukaan yang sama ini membuat Yusuf memiliki hubungan yang baik dengan Letkol Tomo Bachi sehingga Yusuf kemudian diperbolehkan pulang walaupun ia dalam kondisi baju robek, gigi copot dan pincang.

Meski nyawanya hampir hilang, keinginan Yusuf untuk berbakti pada negaranya tak berakhir. Pada 23 Agustus 1945, bersama beberapa orang lainya, Yusuf mendirikan radio Suara Merdeka Indonesia. Melalui radio ini, kabar akan Indonesia merdeka dalam bahasa Inggris dikumandangkan ke seluruh dunia.

Melalui radio ini pula, Sukarno pada 25 Agustus 1945 mengumandangkan pidato pertamanya di radio kepada khalayak banyak.

Didirikannya Suara Merdeka Indonesia ini, menyebabkan stasiun radio kecil milik Jepang di berbagai daerah dipergunakan untuk menyebarluaskan kabar kemerdekaan Indonesia bagi masyarakat di sekitar daerah tersebut.

Lalu pada 11 September di tahun yang sama, Yusuf bersama Abdulrachman Saleh, Maladi dan Brigjen Suhardi, mendirikan Radio Republik Indonesia (RRI).

RRI sendiri didirikan dengan tujuan yang berorientasi demi kepentingan masyarakat Indonesia. Slogannya yang terkenal, yaitu “Sekali di Udara, Tetap di Udara”, juga merupakan buatan Yusuf.

Penyebaran kabar kemerdekaan Indonesia melalui radio ini kemudian menuai hasil, pada 1946, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia secara resmi, lalu Palestina ikut serta mengakui, negara Timur Tengah lainnya pun mengikuti, lalu India kemudian juga mengakui kemerdekaan Indonesia.

Setelah jasanya terhadap Indonesia, pada 1950, Yusuf ditugaskan menjabat sebagai Kepala Stasiun RRI. Dimasa kepemimpinan jabatannya, ia berhasil membujuk Presiden Soekarno untuk merekam beliau membacakan teks proklamasi. Hal ini menjadikan RRI sebagai satu–satunya yang memiliki rekaman deklarasi kemerdekaan yang Soekarno bacakan.

Setelah dipercaya memimpin RRI, Yusuf dipercaya menjadi Sekjen Departemen Penerangan di Departemen Luar Negeri RI. Ia ditugaskan di daerah–daerah penting seperti London dan markas besar PBB di New York.

Selama masa kepemimpinan Indonesia di bawah Soeharto, Yusuf kemudian dipercaya sebagai Duta Besar RI bagi Argentina di Buenos Aires.

Ia bersama tokoh bangsa lainya juga kemudian mendirikan lembaga non pemerintah dan otonom bernama L3PES (Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan  Sosial).

Yusuf kemudian memutuskan pensiun dari pekerjaan terakhirnya sebagai Duta Besar pada 31 Mei 1976.

Ia kemudian menikmati masa tuanya hingga meninggal pada 28 Januari 2008 akibat penyakit kanker paru–paru dan stroke yang ia derita. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan.

Pria yang begitu berjasa bagi bangsa Indonesia ini, sehari–harinya dikenal sebagai pria ramah yang suka tersenyum dan bergurau dengan orang disekitarnya. Ia meninggalkan istrinya bernama Siti Fatma Rassat, tiga anak, dan tujuh cucu.

Pada tahun 2012, ia diberikan Anugerah Lifetime Achievement oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) atas jasanya bagi Indonesia terutama dalam bidang penyiaran di tanah air. Red dari Nationalgeograpic.co.id

 

Jakarta -- Digitalisasi penyiaran memberikan keuntungan bagi masyarakat, baik secara mikro maupun makro. Secara mikro, masyarakat akan mendapatkan kualitas siaran yang lebih baik dan konten beragam. Sementara secara makro, masyarakat diuntungkan dengan digital deviden yang dapat dimanfaatkan untuk membuka peluang usaha berbasis digital, termasuk industri kreatif.

Hal itu diungkapkan Wakil Ketua KPI Pusat, Mulyo Hadi Purnomo, dalam Webinar Sosialisasi TV Digital dengan tema: Goes to Digital (12/8/2020). 

Menurutnya, posisi KPI sebagai Lembaga Negara Independen mendukung digitalisasi karena telah ditetapkan sebagai program pemerintah dan pada sisi lain ada keuntungan yang bisa diperoleh masyarakat. Karena itu, KPI mengambil posisi mendukung digitalisasi. 

"Ketika digitalisasi secara regulatif telah memiliki landasan hukum dalam pelaksanaannya, maka beberapa hal harus diperhatikan oleh KPI. Hal ini sekaligus menjadi tantangan. Pertama, KPI harus mengawal pelaksanaan digitalisasi penyiaran agar asas keadilan dalam pengelolaan multiplekser dapat ditegakkan. Keterbatasan mux jangan sampai membuat lembaga penyiaran eksisting maupun baru kesulitan untuk menjadi penyelenggara  siaran. Keadilan di sini juga berlaku dalam hak kepemilikan mux di seluruh area,” kata Mul, panggilan akrabnya. 

Kedua, digitalisasi harus dapat memecahkan persoalan belum meratanya siaran free to air. Data Kementerian Kominfo menunjukkan baru sekitar 57% kota terlayani. Nasib 43% kota lain juga harus diperhatikan. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi dan hiburan harus dipenuhi. 

Ketiga, digitalisasi harus berorientasi pada keberagaman konten. Televisi saat ini lebih didominasi oleh dua jenis konten: hiburan dan berita. “Sementara konten anak, perempuan, pendidikan, budaya yang masih belum terlalu kelihatan. Digitalisasi penyiaran harus memberikan banyak pilihan konten. Keempat, karena akan terjadi penambahan jumlah penyelenggara siaran maka KPI harus menyiapkan perangkat pengawasan,” tambah Mulyo. 

Peningkatan tersebut, menurut Mulyo, bisa jadi akan sangat signifikan sehingga tak bisa mengandalkan pengawasan manual tetapi harus mencari metode yang lebih canggih, misalnya dengan artificial intelegence. 

Kelima, KPI berharap sosialisasi siaran digital bisa dilaksanakan secara tepat dan merata. Masih banyak masyarakat yang mengira bahwa siaran digital sama dengan pay tv (tv berbayar). KPI bersama kominfo provinsi dan kabupaten/kota harus dilibatkan. Pemegang multiplexer juga harus turut menyosialisasikannya melalui layar kaca. 

Keenam, perbaikan survei rating harus dapat dibawa dalam teknologi set of box. Sehingga bisa merata dan memotret secara tepat fakta minat masyarakat. Tidak hanya terkonsentrasi pada kota besar sehingga membuat masyarakat kota lain tidak diminati penyelenggara siaran. Survey rating tak boleh menyebabkan hak masyarakat untuk mendapatkan informasi terabaikan. 

Adapun yang terakhir, kata Mulyo, adalah literasi media. Semakin banyak televisi dan program siaran akan semakin banyak kemungkinan paparan dari program siaran. Karena itu masyarakat harus dibuat lebih kritis dan peduli. Sekaligus untuk membuat masyarakat melek terhadap kemungkinan paparan media baru. 

“Komunikasi dengan masyakat secara langsung diperlukan dalam proses literasi. Di sinilah pentingnya KPID. Karena Indonesia terdiri atas banyak budaya maka yang dapat memahami secara baik adalah mereka yang berada dalam wilayah tersebut, yakni KPID. KPID juga akan turut serta mengawasi kinerja penyiaran di daerah. Akan ada banyak pengaduan masyarakat terkait konten siaran. Maka, keberadaan KPID masih diperlukan dalam konteks menjaga kepentingan publik agar tidak terpapar konten negatif TV, radio, atau nantinya terhadap media baru. KPID lebih paham norma dan etika terkait budaya yang berlaku di wilayah masing-masing,” tegas Mulyo.

Ia melanjutkan, apa yang diutarakan di atas sebagai bentuk amanat UU Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran, sesuai pasal 8 ayat 1 yang berbunyi “KPI sebagai wujud peran serta masyarakat dalam mewadahi aspirasi dan mewakili kepentingan masyarakat akan penyiaran”. Sementara dalam kaitannya dengan digitalisasi maka adalah tugas dan kewajiban KPI (psl 8 [3] b) untuk “turut serta dalam membantu pengaturan infrastruktur bidang Penyiaran.” Dengan demikian semua program pemerintah yang berorientasi pada kepentingan masyarakat semestinya didukung.

Pembicara lain, Direktur Penyiaran Kominfo, Geryantika Kurnia menyatakan, semua “aturan main” di dalam proses digitalisasi penyiaran telah disiapkan sehingga fair, seperti masalah tarif, penawaran, termasuk antara konten dan penyelenggara multiplexernya telah diatur. “Bagi penyelenggara penyiaran yang IPP-nya masih analog bisa mengajukan ke Menkominfo untuk migrasi ke digital. Tidak akan ada biaya ISR, cost operasional infrastruktur akan hilang, hanya kontennya saja. Jika simulcast, maka hanya dicantumkan izin analog dan digital, maka bisa bersiaran analog dan digital,” jelasnya.  

Webinar hasil kerjasama Kementerian Kominfo dan KPID Bengkulu ini juga menghadirkan narasumber, antara lain: Ketua Koordinator ASPIKOM, Dhanurseto Hadiprasha, Dekan Binus Business School Undergraduate Program, Hardijanto Saroso, Corporate Secretary Trans TV, Freddy Melmambessy dan dimoderatori oleh Ketua KPID Bengkulu, Ratim Nuh. */Intan

 

Hak Cipta © 2024 Komisi Penyiaran Indonesia. Semua Hak Dilindungi.