- Detail
- Dilihat: 5157
Makassar - Dalam rangkaian acara Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) KPI, 2015 juga diselenggarakan Talk Show dengan tema "Meneguhkan Penyiaran Indonesia Dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN". Pembicaranya, yakni Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo, Ketua KPI Pusat Judhariksawan, Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Suryopratomo, dan Ridho Eisydari Dewan Pers. Acara Talk Show Rakornas 2015 itu disiarkan langsung oleh TVRI Nasional dan dipandu oleh pembawa acara Brigita Manohara.
Dalam penjelasannya, Menteri Kominfo Rudiantara mengatakan banyak pekerjaan rumah yang harus siapkan dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan berlaku pada akhir tahun ini. "Pertama tekhnologi, soal digitalisasi, broadband. Kedua, dari sisi regulasi juga harus segera selesaikan. Alhamdulillah tahun 2015 UU Penyiaran akan diselesaikan karena sudah masuk prolegnas DPR RI. Ketiga, SDM," kata Rudiantara di Makassar, Senin, 31 Maret 2015.
Menurut Rudiantara, bahasan tentang penyiaran berarti berbicara tentang konten dan kreativitas. Hal yang tidak kalah penting untuk meningkatkan dua hal itu, menurut Rudiantara, dengan dibuatnya sertifikasi SDM terkait penyiaran itu sendiri. "Kesiapan Indonesia dalam kancah ASEAN, kita tidak ada masalah dalam hal regulasi, yang jadi masalah adalah SDM itu sendiri," ujar Rudiantara.
Dalam persaingan penyiaran negara-negara ASEAN nanti, Indonesia harus memiliki strategi, dengan strategi budaya kalau tidak mau hanya dijadikan pasar konten asing. Menurutnya, pengembangan konten berbasiskan budaya dapat mengimbangi persaingan itu. Namun yang tidak kalah penting adalah pengembangan sumber manusia penyiaran itu sendiri.
Berbeda dari Rudiantara, dalam melihat MEA Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq memiliki acuan yang berbeda dalam persiapannya. Menurut Mahfudz MEA bisa dilihat sebagai konsep proteksi yang bisa dinilai sebagai sebagai peluang atau tatanan. Dari perkembangan nasional, menurut Mahfudz, perlu dilihat keunikan apa yang bisa kembangkan.
"Kita harus selesaikan pekerjaan rumah kita. Pada pertemuan DPR negara-negara Asean di DIY 2015 lalu, sudah sepakat starting poin adalah melakukan migrasi dari penyiaran analog ke digital harus segera diselesaikan. Ini berarti yang harus diselesaikan terlebih dahulu adalah regulasi," kata Mahfud.
Untuk mencapai langkah itu, menurut Mahfudz, hal yang segera yang akan dilakukan adalah melihat subtansi dari UU Penyiaran dan meletakkan payung hukum digitalisasi itu sendiri. "Dalam pembuatan regulasi, kita seringkali tidak melakukan pemetaan secara menyeluruh, tapi di sisi lain kita bicara investasi. Begitu ada pengembangan industri, ada perubahan regulasi. Di satu sisi saya melihat kepastian hukum itu penting, semakin kuat derajat regulasi, maka kepastian hukum semakin tinggi. Memang itu jadi celah dalam Permen (Digital), tetapi kepastian hukum lebih kuat kalau diatur dengan Undang-undang," ujar Mahfudz.
Menurut Mahfudz, kelemahan regulasi yang tidak dilakukan dengan kajian dan pemetaan yang komprehensif akan menimbulkan celah di kemudian hari. Padahal menurutnya, dalam waktu yang bersamaan, kepastian hukum harus diwujudkan, sementara industri bergerak. Itulah alasan Mahfudz, kepastian hukum harus diperkuat di tingkat Undang-Undang. "Mudah-mudahan 2015 revisi Undang-undang Penyiaran selesai," ujarnya.
SDM Penyiaran Lokal
Bila dalam jelang akhir tahun ini MEA akan mulai berlaku, Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo mengingatkan perlunya melihat kondisi SDM penyiaran lokal. Menurutnya, dalam hal penyiaran itu tidak bisa hanya melihat Pulau Jawa dalam hal SDM, juga dari Sabang sampai Merauke.
"Yang harus disadari bahwa SDM adalah tumpuan kita. Kita akan tertinggal jika SDM kita tertinggal. Oleh karena ini di sinilah pentingnya SOP penyiaran dan standar lainnya harus punya standarisasinya. Pembinaan dan sistemnya harus menjadi rekayasa Negara," kata Syahrul.
Lebih lanjut Syahrul menjelaskan, kepentingan nasional menghadapi MEA membutuhkan motivasi yang kuat dan paradigma baru. Syahrul menyatakan, harus didasari semua pihak, terkadang media menjadi persoalan. Ia mencontohkan bagaimana Metro TV dan TV One yang memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat dan memberitakan sebuah persoalan dalam ranah publik. Dalam konteks itu, menurut Syahrul, solusi untuk semua itu adalah perlunya standarisasinya dan aturan main yang jelas.
Dari sisi perkembangan penyiaran daerah, Syahrul menjelaskan, saat ini Sulawesi Selatan perkembangannya sangat akseleratif. Hampir semua punya siaran lokal. Menurutnya, KPID Sulawesi Selatan diberikan dukungan dalam menjalankan tugasnya, dan pihaknya melakukan sinergi dengan perguruan tinggi dan masyarakat. Namun ia menyayangkan siaran nasional banyak mengambil alih siaran daerah dan isi siarannya lebih banyak untuk kepentingan untuk kepentingan masyarakat di Pulau Jawa.
Hal senada juga dikemukakan Ketua KPI Pusat, dalam bidang penyiaran SDM adalah salah satu bagian yang penting di dalamnya, apalagi dalam persiapan menghadi MEA. Namun, yang tidak perlu dilupakan, menyelesaikan masalah SDM penyiaran bukan hanya dengan dengan adanya standar kompetensi atau hard skill semata, tapi juga perlunya pembentukkan soft skill di dalamnya, salah satunya perlunya wawasan kebangsaan yang dimiliki pekerja penyiaran akan berpengaruh besar dalam proses karya dan produksi program siarannya nanti.
Dalam menghadapi MEA, Judhariksawan mengingatkan, KPI adalah refresentasi dari publik. Dalam konteks ketahanan nasional, KPI berperan dalam hal penyiaram dalam mencerdasakan bangsa, penyiaran yang sejalan dengan budaya dan ideologi, dan hal lainnya harus persiapkan.
MEA dalam Sudut Pandang Lain
Perwakilan ATVSI Suryopratomo memiliki pandangan berbeda dalam melihat MEA. Menurutnya, MEA bukanlah kompetisi atau saling mengalahkan antarnegara ASEAN, namun cita-cita menjadikan ASEAN sebagai pemain penting dalam kancah global.
"Saat bicara MEA ada mitos yang kuat. Di sana ada 10 negara, kompetisi, kalau seperti itu, Indonesia pasti kalah. Yang dimaksud MEA ASEAN itu menjadi single market. Daya saing ASEAN kuat. ASEAN bisa makmur. ASEAN jadi pemain global," kata Suryopratomo.
Salah kaprahnya tentang MEA yang hanya berfokus pada melihatnya sebagai persaingan semata, menurut pria yang kerap dipanggil Tomy ini mengatakan, karena selama ini media tidak pernah mengedukasi publik tentang MEA itu sendiri.
"Kalau kita pelajari akan berlakunya MEA pada Januari 2016, jenis profesi yang akan dibuka ada 19 profesi, di antaranya perawat, dokter dokter gigi, arsitek, dll. Penyiaran tidak ada. Kalau secara bidang, yakni bidang jasa, ada bidang bisnis, komunikasi, konstruksi, keuangan, lingkungan hidup, pariwisata, bidaya dan olah raga. Penyiaran 1 januari 2016 akan sama seperti sekarang, tertutup untuk negara lain," ujar Tomy.
Walaupun demikian, menurut Ketua KPI Pusat, dengan berlakunya MEA dengan sendirinya telah membuat adanya tantangan dalam bidang penyiaran. "Saya tidak persoalkan profesi yang dikatakan tadi. Tapi kita bayangkan 1 Januari 2016, arus manusia yang masuk akan sedemikian rupa. Belum masuk MEA saja, penyiaran kita berisi hal yang tidak mencerdaskan dan tidak membentuk karakter bangsa. Pertanyaannya, 1 Januari 2016 pergaulan masyarakat kita akan terpengaruh dengan masyarakat warga negara lainnya. Kalau dikatakan Indonesia belum siap? Maka apakah media lebih siap menghadapi publik yang seperti itu?" kata Judhariksawan.